10 negara teratas yang rentan terhadap perubahan iklim 2022

10 negara teratas yang rentan terhadap perubahan iklim 2022

leolintang/Getty Images/iStockphoto

Ilustrasi dampak perubahan iklim.

Nationalgeographic.co.id - Dua tahun lalu, University of Notre Dame mempublikasikan indeks yang mengungkapkan negara mana yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim. 

Dikenal dengan Notre Dame Global Adaptation Initiative (ND-GAIN), itu merupakan indeks komprehensif. Ia melihat kerentanan setiap negara, serta kesiapan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Entah dengan infrastruktur, persediaan makanan, atau kemampuan teknologi.

 Baca Juga: Ke Mana Perginya Sampah Plastik dari Negara-negara Maju dan Industri?

Peta yang disusun oleh para ahli di Eco Experts menunjukkan lima negara teratas yang mampu bertahan dari perubahan iklim. Selain itu, ada pula lima negara terbawah yang diperkirakan paling terpengaruh oleh perubahan iklim.

Dari data tersebut, lima negara yang kemungkinan dapat bertahan, meliputi:

  1. Denmark
  2. Selandia Baru
  3. Norwegia
  4. Singapura
  5. Inggris

Sementara itu, lima negara yang paling terancam adalah:

  1. Republik Afrika Tengah
  2. Republik Chad
  3. Eritrea
  4. Burundi
  5. Sudan

10 negara teratas yang rentan terhadap perubahan iklim 2022

University of Notre Dame/Eco Experts

Peta data yang menunjukkan sepuluh negara paling mampu bertahan dan rentan terhadap perubahan iklim.

Apakah Anda menemukan pola yang familiar? Bukan kebetulan bahwa negara kaya merupakan yang paling siap menghadapi perubahan iklim. Sebaliknya, negara dengan penghasilan terendah adalah yang paling rentan. 

Meski begitu, salah satu hal terburuk tentang perubahan iklim adalah negara-negara yang merupakan pencemar paling produktif seringkali tidak terkena dampaknya. Jika terkena pun, tidak sebanding dengan yang dialami Afrika, India, Timur Tengah dan Afrika Selatan.

10 negara teratas yang rentan terhadap perubahan iklim 2022

University of Notre Dame/Eco Experts

Negara-negara di benua Afrika paling terdampak.

Mereka memiliki tingkat ekonomi menengah ke bawah, berada di sepanjang garis pantai (terancam banjir), posisi lintang rendah (kekeringan), serta situasi politiknya tidak stabil. 

Inilah yang menjadi alasan mengapa Kesepakatan Paris muncul: yakni untuk mendorong negara-negara maju berkontribusi lebih banyak dalam membantu negara miskin. 

Baca Juga: Selama Ramadan, Sampah di Masjid Istiqlal Naik Dua Kali Lipat. Apa Penyebabnya?

Meskipun indeks tersebut melihat kemampuan bertahan dalam skala negara, tapi pola yang sama juga diaplikasikan pada level lokal.

Baik di Amerika Serikat maupun Bangladesh, mereka yang hidup dalam kemiskinan selalu lebih menderita saat perubahan iklim menghampiri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Video Pilihan

Berdasarkan proyeksi hingga berabad mendatang dan skenario kenaikan suhu 1,5; 2; 3; dan 4 derajat celsius, seperti ini peringkat 20 negara paling rentan tenggelam di dunia:

1. Bangladesh

2. Vietnam

3. Mesir

4. Thailand

5. Malaysia

6. Filipina

7. Jepang

8. Myanmar

9. Indonesia

10. China

11. Irak

12. Korea Selatan

13. Arab Saudi

14. Inggris

15. Argentina

16. Amerika Serikat

17. Brasil

18. Spanyol

19. India

20. Italia

Penelitian ini turut mengukur risiko pada wilayah aglomerasi urban, yaitu daerah yang berdekatan dan lintas batas administratif. Selanjutnya dapat disingkat sebagai UA.

Dengan skenario pemanasan global 4 derajat celsius, ada lebih dari 90 persen kawasan tempat tinggal di hampir 300 UA, yang akan berada di bawah garis pasang dalam waktu berabad-abad.

Meski hanya sepertiganya yang berasal dari Asia, tetapi di dalamnya termasuk kota-kota besar dengan lebih dari 10 juta penduduk, misalnya Haora, Shanghai, Hanoi, dan Dhaka. Setengah dari wilayah aglomerasi dengan tingkat risiko lebih dari 90% melalui proyeksi pemanasan 4 derajat celsius, tetap akan terdampak meskipun skenarionya diturunkan menjadi 2 derajat celsius.

Para ilmuwan menyatakan bahwa sebetulnya sudah ada banyak kota yang berada di bawah garis pasang. Mereka pun mengidentifikasi ada 197 wilayah aglomerasi urban di dunia, yang di dalamnya terdapat lebih dari 10 ribu orang tinggal di bawah rerata garis pasang, dan sepertinya masih bertahan dengan adanya infrastruktur yang kini ada.

Jakarta tak luput dari jajaran paling terdampak hingga multiabad ke depan.

Seluruh wilayah aglomerasi paling terancam dengan proyeksi berabad-abad mendatang dan skenario pemanasan 1,5; 2; 3; dan 4 derajat celsius adalah mereka di bawah ini:

1. Haora, India

2. Shanghai, China

3. Hanoi, Vietnam

4. Dhaka, Bangladesh

5. Calcutta, India

6. Shantou, China

7. Mumbai, India

8. Hong Kong, China

9. Osaka, Jepang

10. Tianjin, China

11. Tokyo, Jepang

12. Shenzen, China

13. Karachi, Pakistan

14. Jakarta, Indonesia

15. Surabaya, Indonesia

16. New York, Amerika Serikat

17. Quezon City, Filipina

18. Buenos Aires, Argentina

19. Seoul, Korea Selatan

20. Rajshahi, Bangladesh

21. Cairo, Mesir

Penelitian ini mengasumsikan, emisi global sebetulnya tidak menjadi negatif, namun pengurangan karbon secara masif bisa mengurangi dua hal. Yakni kenaikan permukaan laut dalam jangka panjang dan asesmen-asesmen yang dipaparkan dalam penelitian ini.

Tapi perlu diketahui juga bahwa belum ada sistem yang diterapkan untuk menahan kolaps lapisan es.

Jika lapisan es di barat Antartika sudah mulai mencair, maka seluruh kenaikan permukaan laut multiabad ke depan bisa jadi lebih tinggi dari yang digambarkan dalam penelitian ini. Misalnya, secara global 1 meter lebih tinggi (21%) dengan skenario 2 derajat celsius atau 0.5 meter (6%) lebih tinggi dengan skenario 4 derajat celsius.

Banyak pulau-pulau kecil rentan masih bisa dilindungi terumbu karangnya dalam skala tertentu. Tetapi, pemanasan global, pengasaman laut, dan berbagai degradasi ekologis lainnya bisa mengancam harapan ini.

Mitigasi yang Memungkinkan

Sejauh yang para peneliti ini ketahui, hampir tidak ada studi yang telah mengeksplorasi adaptasi apa saja yang dapat dilakukan. Namun, studi dari The Atlantis sudah pernah mengelaborasi berbagai mitigasi yang mungkin dapat dijalankan pada tiga daerah terancam di Eropa dengan kenaikan permukaan laut setinggi 5-6 meter. Mereka melakukan wawancara pada puluhan ahli lokal.

Pada umumnya, partisipan berpendapat agar kawasan terdampak di delta Sungai Rhine ditinggalkan, lalu membangun akomodasi layaknya di Venesia, dan tempat-tempat di muara Sungai Thames ditinggalkan, termasuk London. Terlebih studi ini mengasumsikan kenaikan permukaan laut sebesar 5 meter akan segera terjadi pada 2130.

Namun, berbagai macam perlindungan akan memakan banyak biaya dan negara yang paling terdampak, tidak lebih kaya dari Belanda atau Inggris.

Dan tak seperti Belanda, kebanyakan area pesisir sedari awal tidak dibangun dengan struktur di bawah permukaan laut. Sehingga, banyak lanskap lingkungan yang sekarang eksis, bisa jadi tidak mudah untuk mengakomodasi tanggul maupun bentuk pertahanan lainnya.

Meski demikian, ada cara lain untuk memindai adaptasi yang memungkinkan, yaitu dengan mempelajari kota-kota yang sudah mengalami penurunan multimeter. Contoh paling dramatis adalah Tokyo dan Jakarta, yang telah turun nyaris 5 meter.

Sejumlah area di masing-masing kota ini sekarang sudah ada di bawah rata-rata permukaan laut.

Tokyo telah mengimplementasikan tanggul yang lebarnya 30 kali lebih dari tingginya. Sejauh ini, mitigasi tersebut dibangun terbatas karena faktor biaya pembongkaran struktur jalan, menaikkan tanggul, dan pembangunan kembali.

Para ilmuwan ini beropini, bahkan adaptasi paling monumental sekalipun tak dapat menghilangkan seluruh kekhawatiran. Sejumlah sungai perlu ditembok dari laut dan dipompa sepenuhnya ke dalamnya.

Konsekuensi atas hal ini berdampak terhadap ekologi, perdagangan, pelabuhan, dan lainnya. Di samping itu, warga di baliknya akan hidup dengan risiko bencana dan banjir dadakan yang dapat disebabkan beragam faktor.

Tingkat pemanasan global yang lebih tinggi bisa menyebabkan manusia membutuhkan pertahanan atau migrasi yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun, hal ini bisa ditekan dengan komitmen kuat atas Perjanjian Iklim Paris, utamanya membatasi kenaikan suhu hingga 1.5 derajat celsius.

Terlebih meski ancaman ini sifatnya global, konsentrasinya ada di Asia, di mana kota-kota besar dan empat dari lima besar negara yang membangun kapasitas batu bara paling baru, adalah sekaligus mereka yang paling terancam.

Pengurangan dramatis emisi karbon adalah urgensi semua negara pesisir. Bahkan jika hasilnya tercapai pun, upaya adaptasi yang besar di seluruh dunia tetap diperlukan. Ini untuk melindungi populasi yang tinggal di wilayah pesisir dari waktu ke waktu dan melestarikan area serta warisan budaya yang ada di dalamnya.

(erd/erd)

Apa saja yang menyebabkan perubahan iklim semakin cepat?

Iklim berubah secara terus menerus karena interaksi antara komponen-komponennya dan faktor eksternal seperti erupsi vulkanik, variasi sinar matahari, dan faktor-faktor disebabkan oleh kegiatan manusia seperti misalnya perubahan pengunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil.

Apa yang menyebabkan perubahan iklim di berbagai negara?

Perubahan iklim terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer yang menyebabkan efek gas rumah kaca.

Apakah ada perubahan iklim di Indonesia?

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami ancaman terhadap perubahan iklim. Banjir, kekeringan panjang, tanah longsor, kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan terjadinya perubahan iklim di dunia.

Perubahan iklim di Indonesia menyebabkan apa?

Perubahan Iklim di Indonesia Kekeringan yang terjadi di Indonesia mengubah pola tanam yang mengakibatkan gagal panen. Selain itu, perubahan iklim juga mengubah arus laut dan menyebabkan pengasaman laut, sehingga menyebabkan menurunnya hasil tangkapan ikan.

10 negara teratas yang rentan terhadap perubahan iklim 2022
Berbagi di PinterestNew Research menemukan korelasi yang kuat antara polusi toksik dan tidak beracun di beberapa negara. Chaideer Mahyuddin/AFP via Getty ImagesNew research finds a strong correlation between toxic and nontoxic pollution in some countries. CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP via Getty Images

  • Kemanusiaan telah menghasilkan sejumlah besar polusi toksik dan tidak beracun.
  • Polusi beracun, seperti partikel halus, secara langsung membahayakan kesehatan manusia.
  • Polusi nontoksik berkontribusi terhadap pemanasan global, yang akibatnya merusak kesehatan manusia karena efek negatif dari perubahan iklim.
  • Polusi beracun dan tidak beracun dapat memperburuk satu sama lain.
  • Penelitian ini menunjukkan "korelasi yang kuat" antara polusi toksik dan tidak beracun di negara -negara tertentu.
  • Studi ini juga menyoroti daftar 10 negara yang paling berisiko terhadap perubahan iklim dan polusi beracun.

Dalam sebuah studi baru, para peneliti telah menunjukkan "korelasi yang kuat" antara polusi beracun, yang secara langsung merusak kesehatan manusia, dan polusi tidak beracun, yang berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.

Dalam penelitian ini, yang diterbitkan dalam jurnal PLOS One, para peneliti mengidentifikasi negara -negara yang dapat didukung oleh masyarakat internasional secara efektif untuk mengurangi efek negatif dari kedua jenis polusi.

Para peneliti juga mengidentifikasi negara -negara yang akan membutuhkan dukungan untuk "mengatasi tantangan tata kelola untuk memiliki kesempatan untuk berhasil mengatasi risiko polusi," kata Dr. Richard Marcantonio dari KROC Institute for International Peace Studies, University of Notre Dame, In, dan His Penelitian rekan penulis.

Polusi manusia memiliki efek negatif yang mendalam pada ekologi di seluruh dunia. Polusi ini berasal dari emisi beracun - seperti partikel halus, atau PM2.5 - dan emisi tidak beracun, seperti gas rumah kaca.

Selama beberapa abad terakhir, manusia telah melepaskan lebih banyak gas rumah kaca, seperti karbon dioksida, ke atmosfer, meningkatkan suhu bumi dan berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Para peneliti telah menunjukkan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman yang signifikan bagi kesehatan manusia, dan percaya bahwa beberapa efek kesehatan ekologis dan kesehatan manusia dari perubahan iklim tidak dapat diubah.

Para ilmuwan khawatir bahwa titik-titik kritis, yang akan segera dilintasi, menyebabkan “umpan balik penguatan diri” dalam pemanasan global, menurut Prof. Will Steffen, seorang ahli perubahan iklim dan profesor emeritus di Universitas Nasional Australia di Canberra, Australia, dan miliknya rekan penulis. Ini akan membatasi kemampuan umat manusia untuk secara kolektif menanggapi krisis iklim.

Polusi beracun, seperti materi partikulat halus, juga merupakan masalah kesehatan utama.

Menurut Badan Perlindungan Lingkungan (EPA), materi partikulat halus telah dikaitkan dengan banyak masalah kesehatan yang serius, terutama kondisi pernapasan dan kardiovaskular. EPA juga mencatat bahwa partikel halus dapat merusak sungai, danau, perairan pantai, tanah, dan hutan.

Para peneliti telah menunjukkan bahwa polusi beracun dan tidak beracun bukanlah masalah yang terpisah, karena mereka dapat saling memperkuat. Namun, beberapa ilmuwan telah menyarankan bahwa lebih banyak penelitian diperlukan untuk memahami hubungan ini dan untuk menentukan apa respons yang tepat untuk mengurangi efek kesehatan dari polusi toksik dan tidak beracun seharusnya.

Lebih lanjut, seperti yang diamati oleh para peneliti di balik penelitian ini, ada sedikit penelitian yang mengeksplorasi korelasi antara lokasi paparan polusi beracun dan lokasi kerentanan perubahan iklim.

Menentukan korelasi ini bisa menjadi penting, karena dapat membantu masyarakat internasional mengidentifikasi negara -negara yang paling efektif didukung untuk merespons polusi toksik dan tidak beracun.

Untuk menentukan korelasi antara lokasi paparan polusi toksik dan kerentanan iklim, para peneliti dari penelitian ini menganalisis data dari tiga sumber:

  • Indeks Negara Inisiatif Adaptasi Global Notre Dame, yang mengukur kerentanan suatu negara terhadap bahaya terkait perubahan iklim
  • Indeks Kinerja Lingkungan Yale, yang mengukur kesehatan lingkungan suatu negara
  • Aliansi global tentang kesehatan dan polusi, yang memperkirakan kematian akibat polusi beracun

Data tersebut mencakup 176 negara dan mencakup tahun 2018 - tahun terakhir semua dataset memiliki informasi yang mencakup semua negara.

Para peneliti menemukan "korelasi yang kuat" antara kerentanan suatu negara terhadap perubahan iklim dan paparan populasinya terhadap polusi beracun.

Temuan ini menegaskan hipotesis para peneliti dan didukung oleh penelitian sebelumnya yang telah menunjukkan bahwa efek negatif dari perubahan iklim dan paparan polusi beracun secara tidak proporsional mempengaruhi negara -negara termiskin di dunia.

Berbicara kepada Medical News Today, Prof. Philip J. Landrigan, Direktur Observatorium Global tentang Polusi dan Kesehatan di Institut Schiller untuk Sains dan Masyarakat Terpadu, Boston College, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan bahwa pembakaran bahan bakar fosil “IS Sumber utama [...] gas rumah kaca yang [mendorong] perubahan iklim dan [juga] bertanggung jawab atas 85% polusi partikulat di udara dan untuk hampir semua polusi oleh oksida sulfur dan nitrogen. "

"Dengan demikian, logis bahwa efek kesehatan dari kedua masalah ini harus jatuh secara tidak proporsional [...] pada populasi yang sama."

Temuan para peneliti memungkinkan mereka untuk menentukan negara mana yang paling berisiko polusi beracun dan kerusakan terkait perubahan iklim.

Para peneliti juga dapat menghasilkan 10 "daftar target" teratas untuk mengidentifikasi negara -negara yang berada dalam posisi terbaik untuk melindungi diri dari risiko polusi beracun dan perubahan iklim dengan dukungan dari komunitas internasional. Negara -negara ini adalah:

  • Singapura
  • Rwanda
  • Cina
  • India
  • Pulau Solomon
  • Bhutan
  • Botswana
  • Georgia
  • Korea Selatan
  • Thailand

Daftar ini juga mengidentifikasi negara mana yang tidak dapat menanggapi risiko ini bahkan dengan dukungan internasional. Para peneliti mencatat ini dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk ketidakmampuan untuk menegakkan standar lingkungan, eksploitasi ini oleh bisnis eksternal, dan masalah geografis spesifik.

Sebagai contoh, para peneliti menyoroti Republik Demokratik Kongo (DRC). DRC terpapar partikel halus dari Gurun Sahara dan dari transportasi di daerah perkotaan. Ini juga berisi banyak bisnis pertambangan nasional dan internasional yang berkontribusi pada polusi saluran airnya dan mungkin merusak kesehatan orang.

Selain itu, pemanasan global dan peningkatan pertanian mengganggu hujan, yang meningkatkan risiko kekurangan gizi dan prevalensi penyakit.

Bagi para peneliti, alih -alih negara -negara pendukung terutama seperti DRC untuk mengurangi dampak negatif dari polusi beracun dan perubahan iklim, masyarakat internasional perlu terlebih dahulu membantu mengurangi masalah ketidaksetaraan struktural, kemiskinan, korupsi, dan eksploitasi standar lingkungan yang lemah. Masalah -masalah ini membuatnya lebih sulit untuk melakukan respons langsung terhadap polusi beracun dan perubahan iklim.

Namun, para peneliti menemukan bahwa negara -negara seperti Cina dan India, yang merupakan dua negara dalam lima daftar target tertinggi, tidak hanya rentan terhadap perubahan iklim dan polusi beracun tetapi juga ditempatkan dengan baik untuk menanggapi masalah ini dengan dukungan tersebut Komunitas Internasional.

Berbicara dengan MNT, Dr. Marcantonio mengatakan bahwa sifat polusi beracun dan tidak beracun dari gas rumah kaca juga mempengaruhi jenis respons yang harus ditawarkan oleh komunitas internasional.

“Daftar Arget [T] memuat 'kesiapan' dan berinteraksi dengan nilai dengan kerentanan iklim gabungan dan risiko polusi beracun. Jadi negara -negara di bagian bawah daftar cenderung memiliki kesiapan yang rendah dan kerentanan tinggi/paparan racun. ”

“Salah satu perbedaan utama antara variabel -variabel ini adalah bahwa polusi dan kesiapan beracun rata -rata endogen untuk masing -masing negara, sedangkan beberapa faktor yang mendorong kerentanan iklim bersifat eksogen - [yaitu], negara -negara tidak memiliki kendali atas mereka, karena mereka didorong oleh ekosistem global Perubahan yang didorong oleh emisi [gas rumah kaca] dari semua negara. ”

“Jadi, [mengurangi] polusi beracun cenderung lebih merupakan program kebijakan domestik/nasional, sedangkan [mengurangi] banyak aspek kerentanan iklim membutuhkan koordinasi internasional, [seperti] kesepakatan iklim Paris.”

"Yang mengatakan, tidak ada perjanjian internasional fungsional yang mengatur polusi beracun meskipun fakta bahwa itu adalah bahaya lingkungan tunggal terbesar bagi kesehatan manusia saat ini - meskipun perubahan iklim dapat menyusulnya dalam beberapa dekade mendatang."

Marcantonio mengatakan kepada MNT bahwa inti masalah ini adalah ketidaksetaraan global dalam konsumsi dan produksi polusi.

“Setiap konteks, bahkan sampai ke tingkat komunitas dan kota, membutuhkan skema yang dirancang secara unik untuk mengurangi dan/atau beradaptasi dengan kondisi saat ini dan masa depan. Tetapi sebagai komunitas manusia, sebagai aturan umum, kita perlu secara substansial mengurangi konsumsi kita - pendorong utama emisi toksik dan tidak beracun - dan mendistribusikan kembali konsumsi, karena ada kesenjangan substansial yang digunakan saat ini. ”

"Saya mengerti bagi banyak orang, itu mungkin tampak jawaban yang jelas, tetapi itu tidak terjadi, dan kami bahkan tidak mengukurnya dengan baik."

“Secara historis, negara -negara berpenghasilan tinggi memiliki tingkat emisi gas rumah kaca per kapita tertinggi dan merupakan kekuatan pendorong di balik banyak konsumsi barang yang diproduksi di negara -negara berpenghasilan rendah yang berkontribusi pada produksi polusi beracun - meskipun beberapa polusi beracun berasal dari proses lain , seperti transportasi, dll., Jadi [tidak dapat] sepenuhnya [dikaitkan dengan] konsumsi eksternal. "

"Tetapi intinya adalah bahwa orang -orang yang paling bertanggung jawab cenderung kurang terpapar dan berisiko, meniru banyak masalah ketidaksetaraan yang ada saat ini."

Berbicara kepada MNT, Dr. Marcantonio menunjukkan bahwa efek negatif dari perubahan iklim dan polusi tidak terbatas pada negara -negara berpenghasilan rendah. Meskipun demikian, karena ketidaksetaraan dalam konsumsi dan kontribusi terhadap polusi, negara -negara berpenghasilan tinggi memiliki tanggung jawab untuk menanggapi masalah tersebut.

“Seperti yang [kita] lihat dengan banyak peristiwa cuaca ekstrem baru -baru ini, semua negara berisiko terhadap dampak perubahan iklim, baik yang kaya atau miskin, meskipun negara -negara miskin rata -rata menghadapi risiko yang lebih besar.”

“Yang mengatakan, negara -negara berpenghasilan tinggi memiliki peran penting untuk memainkan keduanya, karena mereka cenderung menjadi yang paling bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca dan memiliki tingkat konsumsi material per kapita tertinggi. Sebagian besar disebabkan oleh perilaku inilah risiko yang kami identifikasi berada pada tingkat mereka. "

"Mengenali hubungan terbalik antara tanggung jawab dan risiko ini bukanlah hal yang baru, tetapi mudah -mudahan, implikasi moral dan etisnya setidaknya dibuat sedikit lebih jelas dan menonjol oleh pekerjaan kita."

Ini juga didukung oleh Dr. Alexandra Schneider, kepala kelompok penelitian risiko lingkungan dan ilmuwan senior di Helmholtz Zentrum München di Munich, Jerman, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Berbicara kepada MNT, Dr. Schneider mengatakan, "[...] Temuan itu, dalam pendapat saya, mencerminkan status ketidaksetaraan saat ini yang kita miliki di dalam negara dan antar negara."

“Sangat tidak mungkin bahwa suatu negara akan memiliki ketahanan terhadap satu faktor lingkungan tetapi tidak untuk negara lain, jadi [...] negara -negara dengan ketahanan yang berkurang, tentu saja, [juga] lebih berisiko [efek dari] perubahan iklim juga sebagai polusi udara. Jadi bagi saya, temuannya tidak terduga atau sama sekali baru, tetapi [...] penting untuk menunjukkannya dan membuat orang lebih sadar akan hal itu. "

Negara manakah yang nomor 1 dalam perubahan iklim?

Germanwatch menerbitkan indeks bekerja sama dengan Newclimate Institute dan Climate Action Network International dan dengan dukungan keuangan dari Barthel Foundation.Hasil terpenting tersedia dalam bahasa Jerman, Inggris, Prancis dan Spanyol.... 2020 Hasil ..

Negara mana yang tidak akan terpengaruh oleh perubahan iklim?

Menurut Indeks Kinerja Perubahan Iklim (CCPI), yang diterbitkan oleh Badan Pemantauan Independen, tiga negara teratas yang terkemuka dalam perlindungan iklim adalah semua Skandinavia: Denmark, Swedia, dan Norwegia, sedangkan Inggris berada di peringkat keempat dalam perlindungan iklim.Denmark, Sweden, and Norway, while the United Kingdom is ranked fourth in climate protection.