Uang bisa membeli dunia, tapi tidak akan pernah bisa membeli bahagia. Rabu , 24 Oct 2018, 07:00 WIB www.moslemsubang.wordpress.com Red: Agung Sasongko REPUBLIKA.CO.ID, OLEH: Muhammad Arifin Ilham Di hadapan para sahabatnya yang mulia, Rasulullah SAW tercinta menuturkan dauh nubuwwat, sebuah sabda yang kontennya menjangkau peristiwa yang akan datang. "Akan datang suatu zaman atas manusia, perut-perut mereka menjadi Tuhan-Tuhan mereka. Perempuan-perempuan mereka menjadi kiblat mereka. Dinar-dinar (uang) mereka menjadi agama mereka. Dan kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka. " Para sahabat menyimak penuh khidmat. Lanjut Sang Nabi, "Waktu itu, tidak tersisa dari iman kecuali namanya saja. Tidak tersisa dari Islam kecuali ritual-ritualnya saja. Tidak tersisa Alquran kecuali sebatas kajiannya saja. Masjid-masjid mereka makmur, tetapi hati mereka kosong dari petunjuk (hidayah- Nya). Ulama-ulama mereka menjadi makhluk Allah yang paling buruk di permukaan bumi." Tergurat dari wajah para sahabat, rasa sedih dan cemas. Dipandanginya lekat-lekat wajah Rasul, disimaknya kalam-kalam bertutur manusia pilihan tersebut. Hingga sampailah Sang Murabby Agung itu menggambarkan keadaan apa yang akan terjadi nanti jika sudah sedemikian menyedihkan kondisi umatnya. "Kalau sudah terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa mereka dan menimpakan kepada mereka empat perkara (azab). Pertama, kekejaman tak berperi dari para penguasa. Kedua, kekeringan tak terhingga yang sangat lama. Ketiga, beraneka kezaliman para pejabat kepada rakyat jelata. Dan keempat, pisau hukum para hakim tumpul, sekarat, dan berkarat." Atas tuturan ini, para sahabat pun terheran-heran. Mereka bertanya, "Wahai Rasul Allah, apakah mereka ini para penyembah berhala?" "Ya! Bagi mereka, setiap dirham (uang) menjadi berhala (dipertuhankan/disembah)," pungkas Nabi SAW. Hadis yang cukup panjang riwayat Bukhari Muslim yang muttafaq alaih ini pun akhirnya menjadi renungan kita semua. Berhala itu bukan lagi patung- patung atau arca. Berhala zaman now itu berupa uang. Kini, kita lihat bagaimana keadaan kita. Hari-hari kita fokusnya selalu uang. Detik, menit, dan jam dihitungnya dengan standar uang. Berangkat pagi pulang malam, bahkan hingga tidak pulang, yang dicari dan dikejar adalah uang. Pemimpin dan para pejabatnya berusaha mati- matian untuk mengekalkan zona nyamannya; ternyata pengorbitnya adalah uang. Para hakim kehilangan muruah agungnya. Hukum dipermainkan atas kepentingan pemilik modal. Jika modal kuat, pisau hukum kelihatan tumpul. Sebaliknya terhadap pihak yang tidak ada modal pisau hukum sangat tajam. Ujung-ujungnya bisa ditebak semua karena uang. Ikhwah fillah, mari sadarkan diri kita semua. Uang memang bisa membeli rumah, tapi tidak bisa membeli ketenangan. Uang bisa membeli dunia, tapi tidak akan pernah bisa membeli bahagia. Bahagia dan surga hanya bisa dibeli dengan 'sekadar uang' yang dikuasakan oleh ketaatan yang sempurna kepada Allah dan rasul-Nya.Wallahu a'lam.
Penyembahan berhala adalah istilah merendahkan untuk pemujaan berhala, benda fisik seperti gambar kultus, sebagai dewa,[1] atau praktik diyakini hampir pada ibadah, seperti memberikan kehormatan yang tidak semestinya dan memperhatikan bentuk membuat selain Tuhan.[2] Dalam agama Abrahamik semua penyembahan berhala adalah sangat dilarang, meskipun dilihat sebagai apa yang merupakan penyembahan berhala mungkin berbeda di dalam dan di antara mereka. Dalam agama-agama lain penggunaan gambar kultus diterima, meskipun istilah "penyembahan berhala" tidak mungkin digunakan dalam agama, yang pada dasarnya tidak setuju. Gambar, ide, dan objek merupakan penyembahan berhala sering kali menjadi masalah perdebatan yang cukup besar, dan di dalam semua agama Abrahamik istilah ini dapat digunakan dalam pengertian yang sangat luas, dengan tidak ada implikasi bahwa perilaku menentang untuk benar-benar merupakan dari penyembahan religius dari objek fisik.
Larangan menyembah berhala di dalam agama Yahudi disebutkan dalam kitab keluaran pasal 20 ayat 4–5 dan termasuk sepuluh perintah Allah
KristenGagasan-gagasan di dalam agama Kristen berkenaan dengan larangan menyembah berhala dilandaskan pada perintah pertama Dasatitah yang berbunyi:
Perintah ini dijabarkan di dalam Alkitab, yakni di dalam ayat ke-3 dari bab 20 Kitab Keluaran, ayat ke-10 dari bab 4 Injil Matius, ayat ke-8 dari bab 4 Injil Lukas, dan banyak lagi ayat lain, misalnya:[3]
Alkitab memberikan konsepsi bahwa penyembahan berhala merupakan perbuatan yang pelakunya harus diberi hukuman mati. Kitab Ulangan 17:2–7 membahas tentang hukuman mati untuk penyembah berhala.[5] Pandangan Kristen mengenai larangan menyembah berhala secara umum dapat dibedakan menjadi dua kategori besar, yakni pandangan Kristen Katolik dan Kristen Ortodoks yang menghalalkan citra-citra religius,[6] dan pandangan banyak jemaat Kristen Protestan yang mengharamkannya. Meskipun demikian, banyak umat Kristen Protestan yang memanfaatkan citra salib sebagai lambang.[7][8] Kristen Katolik
Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks dari generasi ke generasi membela pemanfaatan ikon. Perdebatan mengenai apa yang disiratkan citra-citra dan apakah penghormatan dengan bantuan ikon-ikon di dalam gereja setara dengan dilarang menyembah berhala sudah berlangsung berabad-abad lamanya, teristimewa sejak abad ke-7 sampai dengan Reformasi Protestan pada abad ke-16.[9] Perdebatan-perdebatan ini mendukung penyertaan ikon-ikon Yesus Kristus, Santa Perawan Maria, dan para Rasul, yakni ikonografi yang diungkapkan dalam bentuk karya seni kaca patri, santo-santa daerah, dan berbagai macam lambang iman Kristen lainnya. Perdebatan-perdebatan tersebut juga mendukung amalan-amalan seperti misa Katolik, penyalaan lilin di depan gambar-gambar, hiasan-hiasan dan perayaan-perayaan Natal, serta pawai-pawai sukaria maupun pawai-pawai peringatan dengan mengusung patung tokoh-tokoh penting dalam agama Kristen.[9][10][11] Di dalam makalahnya, Ihwal Citra Suci, Santo Yuhana Addimasyqi membela pemanfaatan ikon-ikon dan citra-citra untuk menanggapi gerakan ikonoklasme Bizantium yang memprakarsai penghancuran citra-citra religius secara besar-besaran pada abad ke-8 dengan dukungan dari Kaisar Leo III maupun penggantinya, Kaisar Konstantinus V, saat berlangsungnya perang agama melawan Khilafah Bani Umayyah.[12] "Saya berani menggambar citra Allah yang tidak kasatmata, bukan dalam keadaan-Nya yang tidak kasatmata, melainkan dalam keadaan-Nya sesudah menjadi kasatmata demi kita melalui daging dan darah," ungkap Santo Yuhana Addimasyqi dalam tulisannya. Ia menambahkan pula bahwa citra-citra adalah ungkapan-ungkapan "kenangan akan mukjizat, kehormatan, kenistaan, kebajikan, maupun kejahatan", dan bahwasanya buku juga merupakan citra yang tersurat dalam bentuk lain.[13][14] Ia membela pemanfaatan citra-citra dalam kegiatan-kegiatan religius atas dasar doktrin Kristen tentang Yesus sebagai inkarnasi Firman Allah.[15] Pernyataan Santo Yohanes Penginjil bahwa "Firman itu telah menjadi manusia" (Yohanes 1:14) mengisyaratkan bahwa Allah yang tidak kasatmata menjadi kasatmata, bahwasanya kemuliaan Allah mengejawantah dalam diri Putra Tunggal-Nya, Yesus Kristus, dan oleh karena itu Allah memilih untuk membuat yang tidak kasat mata menjadi wujud yang kasatmata, yang rohani berinkarnasi menjadi wujud jasmani.[16][17] Paus Pius V berdoa menggunakan krusifiks, lukisan karya August Kraus Pembelaan terdahulu terhadap pemanfaatan citra-citra mencakup eksegesis Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Bukti pemanfaatan citra-citra religius didapati di dalam seni rupa dan peninggalan-peninggalan tertulis Kristen purba. Sebagai contoh, penghormatan terhadap makam-makam dan patung-patung para martir adalah perbuatan yang jamak dilakukan komunitas-komunitas Kristen purba. Pada tahun 397, Santo Agustinus dari Hipo, di dalam Confessiones bagian 6.2.2, bercerita tentang kebiasaan ibunya menyiapkan persembahan untuk patung-patung dan makam-makam para martir.[18]
— Paus Gregorius I, abad ke-7[19] Pembelaan Kristen Katolik mengungkit bukti-bukti tekstual dari laku penghormatan lahiriah terhadap ikon-ikon, dengan berargumen bahwa ada "bermacam-macam bentuk ibadat" dan bahwasanya penghormatan yang ditunjukkan terhadap ikon-ikon sama sekali berbeda dari pemujaan terhadap Allah. Sembari mengutip ayat-ayat Perjanjian Lama, argumen-argumen ini menyajikan contoh bentuk-bentuk "penghormatan" seperti dalam ayat ke-3 dari bab 33 Kitab Kejadian, dengan alasan bahwa "pemujaan adalah satu hal tersendiri, lain halnya dengan pemujaan yang dilakukan demi menghormati sesuatu yang luar biasa". Argumen-argumen ini menegaskan bahwa "penghormatan yang diberikan kepada citra tertentu sesungguhnya teralihkan kepada purwarupanya", dan bahwasanya tindakan menghormati sebuah citra Kristus tidak terhenti pada citra itu sendiri – materi citra itu sendiri bukanlah objek penyembahan – tetapi melampaui citra tersebut, sampai kepada purwarupanya.[20][19][21] Menurut Katekismus Gereja Katolik, "menyembah berhala tidak sekadar mengacu kepada ibadat pagan yang batil. Orang menyembah berhala kapan saja ia menghormati dan memuliakan sesuatu yang lain sebagai ganti Allah, baik berupa dewa-dewi maupun roh-roh jahat (misalnya setanisme), kekuasaan, kesenangan, ras, nenek moyang, negara, uang, dsb."[22] Pembuatan citra-citra Yesus Kristus, Santa Perawan Maria, dan para aulia Kristen bersama dengan doa-doa yang ditujukan kepada mereka sudah menyebar luas di kalangan umat Kristen Katolik.[23] Kristen OrtodoksGereja Ortodoks Timur membedakan latria dari dulia. Latria adalah menyembah Allah, dan latria terhadap segala sesuatu selain Allah diharamkan dalam ajaran Gereja Ortodoks. Di lain pihak, dulia, yang didefinisikan sebagai penghormatan terhadap citra-citra, patung-patung atau ikon-ikon religius, tidak saja diperbolehkan tetapi juga diwajibkan.[24] Perbedaan antara latria dan dulia dijabarkan Tomas Aquinas di dalam Summa Theologiae bagian 3.25.[25] Penghormatan terhadap citra-citra Maria, yang disebut devosi kepada Bunda Maria, adalah amalan yang dipermasalahkan sebagian besar umat Kristen Protestan.[26][27] Di dalam kesusastraan apologetis ortodoks, pemanfaatan maupun penyalahgunaan citra-citra dibahas secara panjang lebar. Kesusastraan eksegesis Ortodoks merujuk kepada ikon-ikon dan patung ular tembaga yang dibuat Musa (atas perintah Allah) di dalam ayat ke-9 dari bab 21 Kitab Bilangan, yakni patung yang mengandung rahmat dan kuasa Allah untuk menyembuhkan orang-orang yang digigit ular-ular sungguhan. Demikian pula Tabut Perjanjian dikedepankan sebagai bukti dari benda ritual yang di atasnya Yahweh hadir.[28][29] Penghormatan terhadap ikon-ikon melalui laku proskinesis diundangkan pada tahun 787 Masehi oleh Konsili Ekumene yang ke-7.[30][31] Keputusan tersebut dipicu oleh kontroversi ikonoklasme Bizantium yang mencuat sesudah meletusnya perang-perang Kristen-Muslim dan munculnya gerakan ikonoklasme di Asia Barat.[30][32] Pembelaan terhadap citra-citra maupun sumbangsih sarjana Kristen asal Suriah, Yuhana Addimasyqi, benar-benar penting pada zaman itu. Gereja Ortodoks Timur sejak saat itu memuliakan penggunaan ikon-ikon dan citra-citra. Gereja-Gereja Katolik Timur juga menerima kehadiran ikon-ikon di dalam perayaan Liturgi Suci mereka.[33] Kristen ProtestanPerdebatan seputar menyembah berhala sudah menjadi salah satu faktor pembeda ajaran Kristen Katolik yang pro paus dari ajaran Kristen Protestan yang anti paus.[34] Penulis-penulis yang anti paus mempertanyakan amalan-amalan peribadatan dan citra-citra yang didukung umat Kristen Katolik. Banyak sarjana Protestan menggolongkan amalan-amalan peribadatan dan citra-citra Katolik sebagai "kekeliruan yang lebih besar daripada semua kekeliruan lain dalam kehidupan beragama." Amalan-amalan Kristen Katolik yang dinilai keliru oleh umat Kristen Protestan mencakup penghormatan terhadap Santa Perawan Maria, misa Katolik, meminta syafaat orang-orang kudus, serta penghormatan yang diharapkan maupun yang ditunjukkan terhadap Sri Paus.[34] Tudingan penyembahan berhala terhadap umat Kristen Katolik dilontarkan oleh berbagai macam golongan umat Kristen Protestan, mulai dari Gereja Inggris sampai Yohanes Kalvin di Jenewa.[34][35] Alkitab dan krusifiks di atas altar sebuah gereja Protestan yang berhaluan Lutheran Umat Kristen Protestan tidak meninggalkan semua ikon dan lambang agama Kristen. Dalam segala macam konteks penghormatan, mereka biasanya menghindari pemanfaatan citra-citra, kecuali citra salib. Salib tetap menjadi ikon utama mereka.[7][8] Menurut Carlos Eire, seorang profesor kajian dan sejarah agama, secara teknis, cabang-cabang utama agama Kristen memiliki ikon mereka masing-masing, tetapi maknanya berbeda-beda dari satu cabang ke cabang lain, dan "apa yang dianggap devosi oleh yang satu merupakan penyembahan berhala bagi yang lain".[36] Carlos Eire menegaskan bahwa hal ini tidak saja terbukti dalam debat antar-Kristen, tetapi juga dalam tindakan para prajurit raja-raja Katolik menggantikan "berhala-berhala Aztek yang menyeramkan" di daerah-daerah jajahan mereka di Benua Amerika dengan "salib-salib dan citra-citra Maria serta orang-orang kudus yang indah-indah".[36] Umat Kristen Protestan kerap menuduh umat Kristen Katolik menyembah berhala, menyembah ikon, bahkan menganut kepercayaan pagan. Tuduhan semacam ini sudah lumrah diwacanakan semua golongan Kristen Protestan pada zaman Reformasi Protestan. Dalam kasus-kasus tertentu, misalnya kasus Kaum Puritan di Inggris, segala macam benda religius diharamkan, baik yang berwujud tiga dimensi maupun yang berwujud dua dimensi, termasuk salib.[37] Citra tubuh Kristus pada salib adalah lambang kuno yang digunakan di gereja-gereja Katolik, Ortodoks, Anglikan, dan Lutheran, berbeda dari sejumlah jemaat Kristen Protestan yang hanya menggunakan salib polos. Dalam agama Yahudi, penghormatan terhadap ikon Kristus dalam bentuk salib dipandang sebagai menyembah berhala.[38] Meskipun demikian, sejumlah sarjana Yahudi tidak berpandangan demikian. Menurut mereka, agama Kristen berdiri di atas landasan keyakinan agama Yahudi, dan sesungguhnya bukan penyembahan berhala.[39] IslamDi dalam agama Islam menyembah berhala adalah salah satu perbuatan syirik yang membatalkan tauhid uluhiyah
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Idolatry. |