Ajaran agama Islam akan berhasil dan berkembang apabila dilakukan dengan cara

Guru merupakan komponen pendidikan yang paling utama. Walaupun tidak ada komponen pendidikan lainnya, namun ada guru dan murid, kegiatan pendidikan akan tetap berjalan. Atas dasar itu, peningkatan pendidikan selalu berawal dari peningkatan mutu guru agar menjadi tenaga profesional yang ditandai oleh keunggulan kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Untuk menjadi guru agama Islam yang profesional, selain harus memiliki kompetensi profesional tersebut juga harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu guru yang demikian itu telah banyak dilakukan, seperti melalui program sertifikasi, pendidikan profesi keguruan, pelatihan, dan lain sebagainya. Namun hingga kini upaya-upaya tersebut masih sering dikeluhkan, karena dianggap belum berjalan secara efektif. Strategi peningkatan mutu guru pendidikan agama Islam yang lebih efektif masih perlu dirumuskan. Peningkatan mutu program Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK), pendidikan lanjut pasca-sertifikasi, pemberian paradigma baru tentang proses pembelajaran, pelatihan guru agar menjadi instruktur, mentor atau  tutor, serta menghidupkan kembali pendidikan guru agama pada tingkat sekolah menengah pertama, sebagaimana yang pernah dilaksanakan pada tahun 70-an, merupakan strategi alternatif yang dinilai dapat meningkatkan mutu tenaga guru pendidikan agama Islam yang profesional.

A.Pendahuluan

Peningkatan mutu guru Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu program yang mendapatkan prioritas dari Pemerintah. Hal ini dilakukan dengan alasan, antara lain karena peningkatan mutu guru Pendidikan Agama Islam terkait langsung dengan peningkatan mutu gurunya. Dengan kata lain, bahwa peningkatan mutu pendidikan Agama Islam, hanya akan berhasil apabila didukung oleh keberadaan gurunya yang berkualitas. Di antara program yang dipandang strategis untuk peningkatan mutu guru PAI adalah dengan program sertifikasi. Yaitu sebuah program yang diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme guru pada kompetensi akademik, pedagogik, kepribadian dan sosialnya dengan berdasarkan pada penilaian autentik berupa portofolio yang didukung oleh data-data fisik yang lengkap, valid dan autentik pula. Menurut laporan setelah dilakukan evaluasi oleh lembaga yang otoritatif, ternyata program tersebut belum memiliki pengaruh yang siginifikan terhadap peningkatan mutu guru. Program tersebut baru berhasil meningkatkan kesejahteraan ekonomi para guru, seperti memperbaiki rumah tempat tinggal, memiliki kendaraan roda empat, dan menunaikan ibadah haji atau umrah. Namun program ini terus dilanjutkan, dengan cara meningkatkan metode dan pendekatan program sertifikasi tersebut. 

Sementara itu terdapat pula sejumlah penelitian yang dilakukan sebagian mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap kinerja guru yang sudah mengikuti pelatihan, dengan kinerja guru yang belum mengikuti pelatihan menunjukkan, bahwa guru yang belum mengikuti pelatihan ternyata lebih baik kinerjanya dibandingkan dengan guru yang sudah mengikuti program pelatihan. Pelatihan tenaga guru baru berhasil meningkatkan gizi para guru, namun belum berhasil meningkatkan mutu guru. Guru yang belum dilatih ternyata lebih kreatif dan mandiri.

Melihat keadaan tersebut, maka perlu dicarikan strategi lain yang lebih efektif dalam peningkatan  guru dengan biaya yang ringan, dan waktu dan biaya lainnya yang lebih ringan. Makalah ini akan mencoba mengemukakan sejumlah gagasan dan pemikiran yang diperkirakan dapat meningkatkan mutu tenaga guru, dengan terlebih menerangkan peran dan kedudukan guru. Berbagai data dan informasi dari berbagai sumber yang otoritatif yang berhasil dihimpun dalam makalah ini akan dideskripsikan secara sistematik dan komprehensif serta dianlisa dengan pendekatan sosiologis pedagogis.

B.Pengertian dan Kedudukan Guru

Dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan, bahwa guru adalah pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidik anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.  Sebagai seorang guru, ia harus memiliki kualifikasi akademik berupaja ijazah jenjang pendidikan akademik yang sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan,  serta tersertifikasi, yaitu buti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Seorang guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi dimaksud adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Kompetensi guru dimaksud, meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik meliputi (a)pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b)pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum atau silabus; (d)perancangan pembelajaran; (e)pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f)pemanfaatan teknologi pembelajaran; (g)evaluasi hasil belajar, dan (h)pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sedangkan kompetensi kepribadian meliputi: (a)beriman dan bertakwa; (b)berakhlak mulia; (c)arif dan bijaksana; (d)demokratis; (e)mantap; (f)berwibawa; (g)stabil; (h)dewasa, (i)jujur; (j)sportif; (k)menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (i)secara objektif mengevaluasi kineerja sendiri; dan (m)mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan. Selanjutnya kompetensi sosaial meliputi: (a)berkomunikasi lisan, tulisan, dan/atau isyarat secara santun; (b)menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c)bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan; orang tua atau wali peserta didik; (d)bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku, dan (e)menerapkan prinsip persaudaraan sejari dan semangan kebersamaan.  Sedangkan kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya yang sekurang-kurannya meliputi penguasaan: (a)materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu; dan (b)konsep dan metode disiplin keilmuan, teknilogi, atu seni yang koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.  Dengan demikian terdapat empat kompetensi,  dan 28 kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap orang guru. Program Sertifikasi harus memastikan keadaan rincian kompetensi yang dimiliki oleh guru, dan berusaha memperbaiki, mengembangkan dan meningkatkannya, jika di antara kompetensi-kompetensi guru tersebut masih rendah. Dengan cara demikian, maka tugas urtama guru: mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dan dari kriteria kompetensi tersebut dengan jelas nampak, bahwa mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keguruan akan sulit atau tidak akan mampu melaksanakan tugas tersebut.

Dengan pengertian ini nampak dengan jelas tugas seorang guru, serta kemampuan yang harus dimiliki agar tugas tersebut dapat dilaksanakan. Namun demikian di sini perlu dingatkan kembali tentang tugas-tugas guru tersebut. Karena jangankan orang yang belum memahami kriteria guru profesional tersebut, orang yang sudah memahami, dan berlatar belakang pendidikan keguruan-pun hanya sampai batas memahami kriteria tersebut, sedangkan untuk mempraktekannya masih sulit dijumpai. Pada umumnya, seorang guru hanya mengajar, yakni memberikan pengetahuan yang bersifat wawasan atau pengetahuan yang bersifat kognitif. Sedangkan kegiatan mendidik yang terkait dengan membentuk sikap mental, kepribadian dan karakter misalnya sering dilupakan. Demikian kegiatan membimbinh, mengarahkan dan menilai yang diarahkan pada upaya menumbuhkan kebiasaan agar mendarah-daging dan mahir tidak pula dilakukan. Karena yang dikuasai hanya mengajar, maka dalam penilaiannyapun, hanya penilaian pengajaran dengan membuat pertanyaan benar-salah, pilihan ganda, atau uraian yang bersifat pengetahuan. Sedangkan evaluasi yang terkait dengan mendidik, membimbing, mengarahkan dan melatih dengan menggunakan berbagai teknik penilaian, tidak pula dilakukan.

Khusus untuk guru pendidikan agama Islam, tugas dan fungsi guru lebih dari itu. Ibn Khaldun misalnya mengatakan, bahwa bagi seorang guru muslim hendaknya melakukan komunukasi dan hubungan yang akrab dengan sesama guru dan para pekerja pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: (1)membentuk kelompok debat dan diskusi antara guru dan murid; (2)memilihkan satu bidang ilmu yang cocok bagi seorang murid; (3)membantu murid untuk mencapai tujuan pendidikannya dengan jelas; dan (3)memelihara kesanggupan peserta didik dan menolongnya agar memahami pelajaran.  Sementara itu Mohd.Athiyah al-Abrasyi menyebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang guru pendidikan agama Islam adalah: (1)zuhud, yakni tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari keridhaan Allah SWT semata; (2)senantiasa membersihkan diri, yakni bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwa, terhindar dari dosa besar, sifat ria (mencari nama), dengki, permusuhan, perselisihan dan lain-lain sifat tercela; (3)Ikhlas dalam pekerjaan, termasuk pula serang yang sesuai kata dengan perbuatan, melalukan apa yang ia ucapkan, dan tidak malu-malu mengatakan: “Aku tidak tahu,” bila ada yang tidak diketahuinya; (4)suka pema’af. Yakni suka memaafkan muridnya, sangguh menahan diri, menahan amarah, lapang hati, banyak sabar dan jangan marah karena sebab-sebab yang kecil; (5)seorang guru merupakan seorang bapak sebelum ia seorang guru. Yakni seorang guru harus mencintai murid-muridnya seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri, dan memikirkan keadan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya sendiri; (6)harus mengetahui tabi’at murid, yakni mengetahui tabiat pembawaan, adat kebiasaan, rasa dan pemikiran murid agar ia tidak kesasar di dalam mendidik anak-anaknya., serta (7)harus menguasai mata pelajaran.  Dari ketuju sifat tersebut sebagian besar berkaitan dengan kompetensi kepribadian. Sedangkan yang lainnya, yakni menguasai mata pelajaran termasuk kompetensi profesional, dan kompetensi pedagogik, yakni harus mengetahui tabi’at murid, agar dapat menyampaikan mata pelajaran sesuai dengan tabiat murid tersebut. Sementara itu, Ib Taimiyah berpendapat, bahwa seorang guru agama agar memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1)Senantiasa berpegang teguh kepada ajaran Rasulullah SW dalam segala bidang, dari berbagai aspek kehidupannya, perjalanan hidup dan akhlaknya, karena itu wajib baginya agar senantiasa tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Hal yang demikian sejalan dengan kedudukannya sebagai pewaris para nabi; (2)senantiasa menjadi contoh teladan yang baik bagi para muridnya dalam hal berkata yang benar (al-shidq), memegang teguh akhlak yang mulia dan melaksanakan syari’at Islam; (3)menyebar-luaskan ilmunya tanpa malas atau lalai, karena lalai dalam menyebarkan ilmu sama hanya dengan lalai daam  berjihad, Allah SWT akan menghukum orang yang menyembunyikan ilmu atau mengabdikannya untuk memperoleh kemewahan dunia, dan dipandang makruh orang yang menyembunyikan sedikit dari ilmu sehingga ia tidak dapat dipergunakan dalam berdebat. Seorang guru yang shalih adalah mereka yang mengajarkannya kepada orang lain; (4)senantiasa memelihara dan mengembangkan ilmunya dengan cara menghafal dan menambahnya dan tidak melupakannya. Demikian pula seorang ahli ilmu yang menghafalkannya kepada umat berupa al-Qur’an, al-Sunnah, baik dalam bentuk atau maknanya, disertai pandangan, bahwa menghafal ilmu itu farlu kifayah bagi umat pada umumnya. 

Dengan adanya sifat-sifat yang melekat pada seorang guru yang demikian itu, maka adalah wajar jika seorang guru mendapatkan penghormatan yang berbeda engan penghormatan yang diterima profesi lainnya. Imam al-Ghazali misalnya mengatakan, bahwa profesi guru merupakan pekerjaan yang paling mulia di antara seluruh pekerjaan yang dilakukan manusia di muka bumi. Ia berargumen dengan cara menganalogikan kedudukan profesi dengan objek yang dikerjakan. Seorang tukang emas lebih terhormat dibandingkan dengan tukang kulit, karena nilai emas melebihi nilai kulit. Barang yang wujud di permukaan bumi yang paling mulia adalah manusia, dan bagian yang paling mulia dari manusia adalah akal dan jiwanya. Sedangkan tugas seorang guru mengembangkan dan menyempurnakan akal dan jiwanya, menghiasi, menyucikan dan membimbingnya untuk dapat mendekati Allah Yang Maha agung dan Mahamulia. 

Senada dengan itu, Ibn Khaldun berpendapat, bahwa guru harus menjadi sosok yang pantas digugu dan ditiru. Ia mengutip pendapat Amr bin Utbah dalam sebuah pesan kepada salah seorang guru yang mengajar puteranya, dengan mengatakan:”Mulailah dalam upayamu memperbaiki anakku, dengan lebih dahulu memperbaiki sikap dan perilakumu sendiri. Sebab pandangan anak-anak itu terikat pada pandanganmu, maka apa yang engkau lakukan akan dianggap baik bagi mereka, dan apa yang engkau tinggalkan akan dianggap jelek bagi mereka. 

Dengan demikian, seorang guru adalah seorang yang pada dirinya terdapat sejumlah sifat, kepribadian, kecakapan, dan keutamaan lainnya yang dengannya ia dapat menolong, membantu, dan meningkatkan harkat dan martabat manusia dengan cara menumbuhkan, menggali, membina,  dan mengembangkan berbagai potensi peserta didik agar tumbuh dan nampak serta terbina dengan sempurna serta dapat menolong dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya. Seorang guru juga adalah mereka yang memelihara, meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, pengalaman dan keterampilannya untuk diberikan kepada para siswanya dan masyarakat pada umumnya. Semua peran dan fungsi ini dilaksanakan sebagai amanah, tanggung jawab, panggilan jiwa, dan ibadah semata-mata karena Allah SWT. Dengan demikian, sosok seorang guru itu adalah sosok yang khas, tidak dapat dimiliki oleh orang lain, serta menempati kedudukan yang terhormat, karena ia terkait langsung dengan upaya membina harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah SWT.

C. Guru yang Bermutu

Terdapat sejumlah pendapat yang dikemukakan para ahli tentang guru yang bermutu. Jika mengacu kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, maka guru yang bermutu adalah guru yang menguasai materi pelajaran dengan mahir, ahli dan mendalam; mampu menyampaikannya dalam kegiatan pembelajaran dengan efektif dan menyenangkan; memiliki kepribadian yang mulia dan mampu menularkannya kepada peserta  didik serta memiliki kemampuan berkomunikasi dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, wali siswa dan masyarakat pada umumnya.   

Kriterian guru yang ditetapkan dalam Undang-undang tersebut nampak sudah dianggap final, dan karena selalu dijadikan dan rujukan dalam menetapkan seorang guru yang profesional dan bermutu. Yaitu jika keempat kompetensi tersebut bermutu, maka guru yang profesional itu telah bermutu. Tentu saja, sikap itu sudah benar, namun belum lengkap. Kriterian guru profesional yang demikian itu masih berada dalam standar minimal. Sedangkan untuk standard maksimal kriteria tersebut masih dapat ditambahkan lagi dengan ciri-ciri sebagai berikut.

Pertama, memiliki motivasi  dan etos kerja yang unggul yang dapat menggerakan seorang guru untuk bekerja dengan penuh semangat di atas rata-rata kerja biasa. Hal yang demikian, karena kerja guru bukanlah kerja fisik, seperti petani atau tukang, melainkan kerja fisik dan non-fisik yang multi-dimensional. Seorang guru bukan hanya bertugas membina daya cipta (intelektual), melainkan juga daya rasa (emosional) dan karsa (keterampilan). Seorang guru bukan hanya bertugas membina aspek fisik, panca-indera dan akal pikiran, melainkan juga jiwa dan spiritualitas. Seorang guru bukan hanya membina kecerdasan intelektual, matematika, bahasa, melainkan juga kecerdasan spasial, kinestetis, etis, sosial, inter dan intra-personal. Seorang guru bukan hanya bertugas mentrasmisikan ajaran, nilai, pengetahuan,  sikap dan keterampilan, melainkan harus bertugas menggali berbagai potensi yang dimiliki peserta didik. Di hadapan guru, peserta didik tak ubahnya seperti lautan yang di dalamnya mengandung mutiara, dan berbagai barang yang berharga lainnya; atau ibarat tanah yang di dalamnya mengandung berbagai kekayaan alam. Untuk itu, seorang guru harus memiliki kekuatan fisik seperti raksasa, pancaindera seperti elang yang dapat terbang tinggi, otak seperti filosof dan hati seperti sufi dan malaikat. Untuk Mochtar Buchori berpendapat, bahwa guru yang baik adalah guru yang mampu melaksanakan inspiring teaching. Yaitu guru yang melalui kegiatan mengajarnya mampu mengilhami murid-muridnya. Melalui kegiatan mengajar yang memberikan ilham ini, guru yang baik menghidupkan gagasan-gagasan yang besar, keinginan yang besar pada murid-muridnya, dan bukan sebaliknya malah membonsai, mengkerdilkan dan membuat peserta didik menjadi pemalu, penakut, minder, rendah diri dan sebagainya.  Guna menumbuhkan sikap yang demikian itu, maka seorang guru harus memiliki pandangan yang mengandung etos yang tinggi. Jansen Sinamo misalnya mengusulkan 8 etos keguruan sebagai berikut: (1)Keguruan adalah rahmat:Aku mengajar dengan ikhlas penuh syukur; (2)Keguruan adalah amanah:Aku mengajar dengan benar dan penuh tanggung jawab; (3)Keguruan adalah panggilan:Aku mengajar tuntas penuh integritas; (4)Keguruan adalah aktualisasi diri:Aku mengajar dengan serius penuh semangat; (5)Keguruan adalah ibadah:Aku mengajar dengan cinta penuh dedikasi; (6)Keguruan adalah seni:Aku mengajar dengan cerdas penuh kreativitas; (7)Keguruan adalah kehormatan:Aku mengajar dengan tekun penuh keunggulan; dan (8)Keguruan adalah pelayanan:Aku mengajar sebaik-baiknya penuh kerendahan hati.  Ciri-ciri etos kerja keguruan yang demikian itu sangat cocok untuk seorang guru agama Islam, karena hampir semua ciri-ciri tersebut merupakan dari ajaran dasar dasar dan etika Islam. Keguruan sebagai rahmat misalnya, terkait dengan anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri. Kemampuan intelektual, keilmuan, keterampilan mengajar, kepribadian utama yang dimilikinya, serta kemampuan berkomunikasi sebagai anugerah dari Tuhan. Ajaran tentang rahmat ini misalnya mirip dengan hikmah yang pernah diberikan Tuhan kepada Luqman al-Hakim, dan Lukman kemudian mensyukuri nikmah hikmah tersebut dengan mengajarkan kepada anaknya.  Demikian pula keguruan sebagai amanah (sesuatu yang dititipkan untuk diberikan kepada pemiliknya) adalah ajaran agama. Fisik, pancaindera, akal, ilmu, keterampilan, dan lainnya yang dimiliki manusia pada hakikatnya adalah milik Tuhan, dan ketika seorang guru mengajarkannya, maka sesungguhnya ia menggunakan fasilitas Tuhan. Orang yang tidak menunaikan amanah termasuk salah satu ciri orang munafik. Agama memerintahkan manusia agar menyerahkan amanah kepada orang yang terpercaya, serta memiliki wawasan, ilmu dan keterampilan untuk melaksanakannya.  Demikian pula tugas keguruan sebagai ibadah juga adalah merupakan ajaran agama. Di dalam agama diajarkan bahwa ibadah bukan hanya yang bersifat makhdlah seperti mengerjakan ritual shalat, puasa, zakat dan haji, melainkan juga melaksanakan segala macam kebaikan atas dasar niat semata-mata karena Allah.  Demikian keguruan sebagai panggilan, aktualisasi diri, seni, kehormatan dan pelayanan juga sejalan dengan ajaran agama. Karena hal yang demikian ajaran agama, maka sudah sepantasnya jika guru-guru agamalah yang menampilkan etos kerja tersebut. Permasalahannya, adalah apakah delapan etos tersebut harus ada semuanya pada semua orang? Tidak cukupkan bila seorang guru mengambil beberapa sifat saja dari etos keguruan tersebut? Jawabnya adalah idealnya delapan etos tersebut harus dimiliki, karena antara satu dan lainnya saling berkaitan. Seorang guru memang harus berupaya untuk mencapai delapan etos tersebut sesuai dengan kesanggupannya. Etos keguruan tersebut jika didasarkan pada panggilan ibadah, maka akan terasa ringan.

Sejalan dengan Augusto Cury mendorong agar seorang guru bukan hanya berpredikat baik, melainkan juga mengagumkan, dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1)Guru yang baik pandai bicara, sedangkan gurtu yang mengagumkan tahu cara kerja pikiran; (2)Guru yang baik mempunyai metodologi, sedangkan guru yang mengagumkan mempunyai kepekanaan; (3)Guru yang baik mendidik kecerdasan logika, sedangkan guru yang mengagumkan mendidik emosi; (4)Guru yang baik menggunakan memori sebagai penyimpan informasi, sedangkan guru yang mengagumkan menggunakannya sebagai pendukung seni berfikir; (5)Guru yang baik adalah pemimpin sementara, sedangkan guru yang mengagumkan adalah pemimpin tak terlupakan; (6)Guru yang baik memperbaiki perilaku, sedangkan guru yang mengagumkan menyelesaikan konflik dalam ruang kelas; dan (7)Guru yang baik mengajar karena itu adalah pekerjaannya, sedangkan guru yang mengagumkan mengajar karena itulah tujuan hidupnya.  Selain itu seorang guru juga jangan melakukan tujuh dosa besar, yaitu (1)menegur di depan umum; (2)memperlihatkan otoritas secara agresif; (3)mengkritik secara berlebihan:menghambat masa kanak-kanak; (4)menghukum ketika Anda marah dan membuat batasan tanpa penjelasan; (5)menjadi tidak sabar dan putus asa dalam mendidik; (6)tidak menepati kata-kata, dan (7)menghancurkan harapan dan impian.  Kriteria guru yang baik (pandai bicara, mempunyai metodologi, kecerdasan logika, menyimpan informasi, pemimpin sementara, memperbaiki perilaku, mengajar karena pekerjaannya), dan guru yang mengagumkan (tahu cara kerja pikiran, mendidik emosi, mempunyai kepekaan, pendukung seni berfikir, pemimpin tak terlupakan, menyelesaikan konflik dalam kelas dan mengajar sebagai tujuan hidupnya) adalah sesuatu yang baik dan bermanfaat, dan karenanya merupakan sesuatu yang diperintahkan agama. Sebaliknya hal-hal yang dipandang sebagai dosa besar bagi guru, adalah sesuatu yang pada pokoknya merupakan hal-hal yang buruk, dan dilarang pula oleh agama.

Selain itu, guru yang bermutu juga bukan hanya memandang profesi sebagai pekerjaan yang didasarkan pada pendidikan yang relevan dengan pekerjaannya, dan bukan pula sebagai pekerjaan yang terus dikembangkan secara terus menerus, berpegang teguh pada kode etik profesi, bukan pekerjaan sambilan, melainkan sebagai pekerjaan utama sebagai sumber kehidupan ekonominya, melainkan profesi yang didasarkan pada panggilan agama. Di dalam agama, profesi juga terkait dengan sikap yang tidak mencampur-adukan antara urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Kekecewaan atau kebencian kepada seseorang misalnya, tidak boleh menyebabkan ia tidak memberikan pelayanan yang baik kepada orang tersebut. Sikap  Abu Bakar al-Shiddiq yang menghentikan gajih pembantunya yang bernama Misthah yang disebabkan karena Mishthah ikut-ikutan memfitnah Siti Aisyah, isteri Rasulullah SAW, yang puterinya Abu Bakar itu pernah berselingkuh dengan shahabat yang bernama Sofwan bin al-Mu’athhal. Abu Bakar ditegur oleh Tuhan dalam sebuah ayat yang artinya: “Janganlah kebencianmu pada seseorang menyebabkan kamu tidak berlaku adil kepada orang tersebut. Maka berlaku adillah, karena keadilan itu lebih mendekatkan kamu kepada ketakwaan. (Q.S. al-Nisa, ?). Seorang guru yang profesional juga adalah seorang guru yang berbasis pada riset. Yakni segala sesuatu yang diputuskannya itu didasarkan pada ilmu dan data yang dimilikinya. Hal ini juga masih terkait dengan Kasus Siti Aisyah tersebut. Rasulullah SAW tidak cepat-cepat menjatuhkan hukuman kepada istrinya. Beliau tidak mau terperangkap dalam fitnah dan gosif, melainkan lebih dahulunya mempelajarinya secara objektif dengan  mengumpulkan data yang lengkap dan akurat. Dan ternyata, langkah yang ditempuh Rasulullah SAW itu benar adanya. Siti Aisyah ternyata difitnah. Ia tidak melakukan perbuatan keji yang dituduhkannya itu. Inilah sikap profesional. Selanjutnya Islam tidak sepenuhnya sependapat dengan  ukuran yang bersifat material sebagai seorang profesional. Islam memandang, bahwa bekerja bukan hanya untuk uang, apalagi pekerjaan tersebut adalah mendidik atau mengajar. Logika masyarakat global  yang menilai kegiatan pendidikan sebagai bagian dari komoditas yang dipergagangkan, dan biaya pendidikan sebagai investasi tidaklah dapat sepenuhnya diterima. Mendidik dan mengajar atau tugas keguruan lebih merupakan amanah, ibadah, rahmat ilahi dan panggilan jiwa sebagaimana yang tersebut di atas. Tugas keguruan yang demikian itu telah diperlihatkan pada pendidikan di pesantren.

Selain itu, seorang guru juga harus mememahami, menghayati dan mempraktekkan dasar-dasar pokok dalam pendidikan Islam. Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyebutkan dasar-dasar pokok atau kaidah-kaidah pendidikan itu sebanyak 7 macam. Yaitu (1)tidak ada pembatasan umum untuk mulai belajar; (2)tidak ditentukan lamanya seorang anak di sekolah; (3)berbedanya cara yang digunakan dalam memberikan pelajaran; (4)Dua ilmu jangan dicampur-adukan; (5)Memperhatikan pembawaan anak-anak alam beberapa bidang mata pelajaran sehingga mereka dengan mudah dapat mengerti ; (7)Mulai dengan pelajaran bahasa Arab setelah itu pelajaran al-Qur’an al-Karm; dan (8)Perhatian terhadap pembawaan dan instink anak-anak dalam pemililihan bidang pekerjaan.  Selain itu, juga harus memahami asas-asas yang melandasi kegiatan pendidikan, atau segala sesuatu yang dibutuhkan untuk keberlangsungan pendidikan, yait asas ekonomi, asas politik, asas psikologi, asas sosiologis, asa administrasi, asas historis, dan asas fisofofis. Hal ini didasarkan pada assumsi, bahwa pendidikan adalah sebuah disiplin ilmu yang membutuhkan keterlibatan ilmu-ilmu lainnya. 

Dengan demikian, secara keseluruhan tugas guru diabdikan bagi kepentingan pendidikan, pengajaran, pembinaan, bimbingan, pelatihan, dan pengarahan serta menilai hasilnya dengan seksama. Jika hal ini dapat dilaksanakan, maka itulah tugas guru yang sempurna, dan jika tugas-tugas tersebut dilaksanakan dengan kaidah-kaidah keguruan serta mendapatkan hasilnya yang bermutu pula, berupa lulusan yang unggul baik dari segi fisik, intelektual, keterampilan, sikap mental, kepribadian dan akhlaknya yang dibuktikan dengan kelulusan tepat waktu dengan  nilai yang tinggi, diterima di berbagai perguruan tinggi papan atas baik di dalam maupun luar negeri, serta diterima bekerja di berbagai perusahaan terkemuka dengan penghargaan dan gaji yang tinggi, serta dikagumi masyarakat, maka itulah guru yang bermutu.

D.Upaya Meningkatkan Mutu Guru

Selama ini sudah terdapat sejumlah langkah nyata baik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu guru. Peran pemerintah dalam meningkatkan mutu guru antara lain dilakukan melului peningkatan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan), pelatihan, workshop dan magang keguruan. Sedangkan yang dilakukan masyarakat polanya hampir sama dengan yang dilakukan pemerintah. Namun demikian, masih terdapat hal-hal yang perlu ditingkatkan.

Pertama, dengan meningkatkan mutu LPTK. Peningkatan mutu LPTK ini dilakukan mulai dari merekrut mahasiswa calon guru yang bermutu kecerdasannya, ilmu-ilmu dasarnya, motivasi dan kepribadiannya. Untuk guru agama misalnya dapat direkrut calon mahasiswa yang hafal al-Qur’an dan hadis, berwawasan luas tentang ilmu agama Islam, memiliki track record akhlak yang baik, siswa yang berprestasi di sekolah, sepuluh terbaik lulusan ujian nasional, pernah menjuarai berbagai perlombaan, serta memiliki motivasi dan panggilan jiwa yang kuat untuk jadi guru yang dilaksanakan melalui psiko tes yang valid. Selain itu, sejak di SMU atau Aliyah sudah mulai ditelesuri bakat dan minat siswa yang akan menjadi guru, dengan cara memberikan orientasi umum tentang profesi guru, dan ilmu-ilmu dasar tentang keguruan. Dengan cara demikian, ketika siswa tersebut sudah menjadi mahasiswa prgram keguruan sudah lebih siap. Dengan demikian, mahasiswa calon guru bukanlah mahasiswa yang asal-asalan atau lulus pas-pasan, serta tidak diketahui dengan jelas motivasi dan panggilan jiwanya untuk jadi guru. Calon mahasiswa yang unggul ini disertai pula dengan proses pembelajarannya yang unggul pula. Yaitu dengan merubah pola pembelajalan lama-convensional yang mengandalkan pada guru yang aktif (active teacher), atau Teacher Centred, kepada model pembelajaran yang 80 % memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar mandiri secara terarah dan terbimbing, memiliki pengalaman melakukan sesuatu pekerjaan dalam suasana yang menginspirasi, mengimajinasi, menantang dan menyenangkan. Intinya adalah dengan menggunakan based practice dengan menggunakan model pembelajaran active learning, cooperative learning, dan inter-active learning melalui Contextual Teaching Learning, Problem Based Learning, Project Based Learning, inquiri, eskperimen, saintific learning, dan semacamnya. Proses pembelajaran ini juga disertai dengan model penilaian yang bukan hanya aspek kognitif saja, melainkan juga aspek apetif dan psikomotorik, melalui portofolio, continous observation, autentic assesment, penugasan, laporan dan sebagainya. Kegiatan pembelajaran ini juga ditopang oleh sarana dan prasarana belajar yang memadai, seperti tersedianya lab school, laboratorium micro teaching, media pembelajaran yang lengkap dan modern. Selain itu, para mahasiswa ini diajak untuk mengobservasi, yakni mengamati, menyaksikan dan mencatat  secara seksama kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh para guru senior yang sudah ahli dalam bidangnya, sebagai bahan perbandingan. Setelah itu mereka melakukan kegiatan real-teaching, yakni mengajar dengan cara yang sesungguhnya pada sekolah-sekolah yang ditentukan, atau melakukan magang untuk mempraktekan berbagai keterampilan mengajar sesuai yang direncanakan, seperti kegiatan membuat persiapan mengajar,  tata cara dan etika masuk kelas, membuka pelajaran, mengecek daftar hadir, melakukan appersepsi, menguraikan dan menjelaskan mata teri ajar secara sistematik, cara menulis di papan tulis, menggunakan volumen dan intonasi bahasa, membagi perhatian, mengelola kelas, memotivasi para siswa, mendorong peserta didik mengajukan pertanyaan, memberikan jawaban, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, memberikan laporan, mengevaluasi, menyimpulkan dan menutup pelajaran. Selain itu sebaiknya, para mahasiswa calon guru tersebut diwajibkan tinggal di Asrama dalam rangka membentuk kepribadiannya melalui proses interaksi dengan sesama manusia dan pembimbing, membiasakan shalat berjama’ah, membaca al-Qur’an, berdo’a, membiasakan berbicara bahasa asing, mempermahir penguasaan teknologi pembelajaran, berdiskusi, membaca, menulis dan sebagainya. Sementara itu evaluasi yang dilakukan dengan menggunakan autentik assesment melalui penugasan, portofolio, countinous observasion, yang dituangkan dalam bentuk deskripsi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Khusus untuk pendidikan profesi keguruan, diusahakan agar dicari lulusan program strara 1 (S1) dari lulusan terbaik rangking 1 sampai dengan 10 orang. Mereka yang berasal dari lulusan LPTK seperti Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, agar lebih diperkuat dari aspek kompetensi akademik dan kepribadinannya; sedangkan mereka yang berasal dari lulusan non-LPTK seperti Fakultas non-Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, agar lebih diperkuat dari aspek kompetensi pedagogik, kepribadian dan kompetensi sosialnnya, sehingga beban SKS (Satuan Kredit Smester) dan waktu tempuhnya juga agar lebih lama lagi. Sedangkan dari segi sarana prasarana, pendekatan, metode dan lainnya sama dengan yang digunakan pada mahasiswa LPTK sebagaimana tersebut di atas. Khusus yang terkait dengan dosen yang mengajar pada pendidikan profesi keguruan diutamakan para dosen yang memiliki pengalaman sebagai guru di sekolah. Dengan cara demikian, ia dapat memberikan wawasan dan pengamalannya sebagai guru, dan kegiatan pembelajaran tidak hanya sebatas berteori, tentang juga berdasarkan pada pengalaman. Seorang dosen pendidikan profesi keguruan yang tidak memiliki pengalaman keguruan akan terasa kurang pas, atau seperti “jeruk makan jeruk.” 

Kedua, guna meningkatkan mutu guru yang sudah mengikuti sertifikasi, hendaknya diupayakan pembinaan secara berkelanjutan. Misalnya dengan cara menyediakan forum kajian ilmiah, diskusi dan workshop secara periodik. Dalam satu semester misalnya, setiap guru wajib membaca satu buku yang terkait dengan bidang keilmuannya. Hasil bacaan tersebut selanjutnya dibawa ke dalam forum diskusi, seminar, dan sebagainya. Untuk itu kepada setiap guru wajib diberikan satu buku tiap semester, atau diberikan dana untuk pembelian buku sesuai dengan bidang ilmu yang diajarkannya. Selain setiap guru juga wajib mengadakan pelatihan yang terkait dengan tugasnya, misalnya penelitian tindakan kelas, penelitian kurikulum, penelitian hasil belajar, dan lain sebagainya. Hasil penelitian ini selanjutnya dituangkan dalam makalah imiah yang siap dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah. Guna mendukung kegiatan ini, maka kepada setiap guru wajib disediakan dana untuk pengadaan buku, dan waktu untuk membaca, menulis, berdiskusi dan sebagainya. Oleh sebab itu, hendaknya dalam satu minggu diberikan satu hari untuk tidak mengajar, melainkan untuk meningkatkan profesi keguruannya.

Ketiga, guna meningkatkan mutu guru, dapat pula dilakukan dengan cara memberikan wawasan tentang paradigama baru yang berkaitan dengan berbagai aspek pendidikan, terutama tentang PBM (Proses Belajar Mengajar). Model pembelajaran yang menggunakan pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific approach) pada kurikulum tahun 2013 misalnya harus diberikan. Yaitu model pembelajaran yang mendorong para peserta didik untuk aktif mengambil bagian dalam kegiatan belajar mengajar, dengan cara mengamati (observasi),  menanya (questioning), mengerjakan (doing), menganalisa (analysing), menyimpulkan (conlution), dan menciptakan (creating). Untuk berbagai model pembelajaran seperti active learning, cooperative learning, contextual teaching learning (CTL), problem based learning (PBL), project based learning (PBL), Quantum Teaching Learning (QTL), Role Playing, dan sebagainya harus dikuasai baik secara konseptual, maupun praktikal. Untuk itu pada setiap semester, setiap guru diminta membuat sebuah disain pembelajaran dengan menggunakan berbagai model dan pendekatan pembelajaran tersebut di bawah bimbingan seorang tenaga ahli, tutor atau instruktur yang berpengalaman. Sejalan dengan itu, setiap orang guru juga agar dilatih untuk menyelenggarakan pendidikan yang berbasis pada alam (sekolah alam), kegiatan outbond, dan moveable school, home schooling, hipno teaching dan sebagainya. Caranya adalah dengan melalui magang pada berbagai kegiatan tersebut, atau dengan cara learning by doing (belajar sambil melakukan sesuatu).

Keempat, guna meningkatkan mutu tenaga guru dapat pula diberikan pelatihan tentang model belajar sistem training dengan cara memberikan latihan sebagai tenaga instruktur yang mampu mengintertaint. Keterampilan sebagai tenaga instruktur atau motivator dengan menggunakan konsep-konsep tertentu yang diciptakannya sendiri. Sebagai contoh intruktur atau motivator pada pembelajaran nilai-nilai kepemimpinan, seperti memahami masalah, merencanakan, merumuskan, mensosialisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasinya, dengan cara tertentu. Dalam hal ini dijumpai berbagai model pelatihan yang dikemukakan para ahli. Mislanya pelatihan instruktur dengan menggunakan konsep The Sixt Hate System (Sistem Enam Topi). Caranya disediakan enam buah topi masing berwarna putih, merah, hijau, kuning, hitam dan biru. Pada setiap warna diberikan arti yang spesifik. Warna putih misalnya melambangkan ketulusan, objektifitas, positif thingking, dan pikiran jernih. Sedangkan warna merah melambang keberanian, kesungguhan, berani menempuh resiko yang mengandung bahaya, dan pantang menyerah. Selanjutnya warna hijau melambangkan kebenaran, keadilan, ketenangan, kedamaian, dan keharmonisan. Sedangkan warna kuning melambangkan keceriaan, kebahagian, rela berbagi kesuksesan, berpenampilan ceria, dan senantiasa gembira. Selanjutnya warna hitam melambangkan tindak kesungguhan, kedalaman makna, ketegaran dan keteguhan berpegang pada prinsip kebenaran. Sedangkan warna biru melambangkan kedalaman makna, keluasan pengalaman, dan kesediaan untuk berbagi pengalaman. Makna dari setiap warna tersebut kemudian dihubungkan dengan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pimpinan. Pada tahap selanjutnya perlu diajukan sejumlah pertanyaan atau permasalahan yang membutuhkan pemecahan segera dengan menggunakan berbagai pemikiran yang terdapat dalam warna topi-topi tersebut. Misalnya diajukan pertanyaan: “Bagaimanakah cara mengatasi perparkiran di kampus?” Masing-masing peserta menjawab pertanyaan tersebut dengan menggukan warna topi tersebut. Apakah dengan pikiran yang terdapat dalam warna merah, hitam, kuning atau warna lainnya. Hasil jawaban mereka kemudian dituliskan dalam jurnal atau lembar yang telah disediakan dan dipresentasikan di hadapan para peserta untuk dimintakan alasan, argumentasi atau reasoning dari jawaban tersebut.

Kelima,  peningkatan mutu guru dapat dilakukan dengan cara menghidupkan kembali Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 Tahun untuk menghasilkan tenaga guru Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar; Pendidikan Guru Agama  tingkat Atas (PGAA) atau PGA 6 tahun untuk menghasilkan tenaga guru agama untuk Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Lanjutan Pertama (SLP), dan Program Strata 1 (S1) untuk Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Madrasah Aliyah/Sekolah Lanjutan Atas (SLA). Dengan cara demikian, seorang calon guru sudah memiliki dasar-dasar ilmu pendidikan yang memadai dari sejak tingkat Sekolah Lanjutan Pertama. Hal ini berbeda dengan calon guru tamatan Program Strata 1 (S1) yang dasar-dasar pengetahuannya tentang ilmu pendidikannya tidak begitu kuat, mengingat mereka tidak memiliki dasar ilmu pendidikan Islam pada tingkat menengah pertama dan tingkat menengah atas.

E.Penutup

Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat dikemukakan catatan penutup sebagai berikut.

Pertama, bahwa guru merupakan komponen atau unsur pendidikan yang paling utama dibandingkan dengan komponen atau unsur pendidikan lainnya. Seandainya komponen atau unsur pendidikan lainnya tidak ada, seperti tidak ada sillabus atau gedung sekolah, namun masih ada guru, maka kegiatan pendidikan akan tetap berjalan.

Kedua, sejalan dengan posisi guru yang demikian strategis dalam kegiatan pendidikan, maka upaya peningkatan mutu pendidikan harus dimulai dengan peningkatan mutu guru, sebagaimana yang ditempuh oleh Pemerintah melalui program sertifikasi, pendidikan profesi keguruan dan lain sebagainya, agar menjadi guru yang profesional.

Ketiga, dalam pendidikan agama Islam, seorang guru yang profesional, bukanlah hanya sekedar memiliki empat kompetensi profesional sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang kompetensi akademik, pedagogik, kepribadian dan sosial, melainkan juga harus memiliki misi kenabian, menjadi contoh dan teladan yang baik, zuhud, ikhlas, pema’af, memiliki sifat penyayang dan kebapakan, senantiasa menambah ilmu, sabar, dan memperhatikan perbedaan bakat dan minat peserta didik.

Keempat, guna mencapai sifat-sifat tersebut, dapat ditempuh dengan cara antara lain:meningkatkan mutu pendidikan LPTK, meningkatkan mutu pendidikan profesi keguruan, memberikan wawasan tentang paradigma baru model pembelajaran (scientific approach), pelatihan guru yang mampu mengintertaint, motivator, tutor dan instruktur, kemungkinan menghidupkan kembali pendidikan keguruan sejak tingkat sekolah menengah pertama (PGA) dan menengah atas (PGAA).

Daftar Pustaka

Al-Abrasyi, Mohd. Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (terj.) Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, dari judul asli al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta:Bulan Bintang, 1974), cet. II.

Abu al-Ainain, Ali Khalil, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah di al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr al-Araby, 1980), cet. I.

Al-Ahwany, Ahmad Fu’ad, al-Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Ma’arif,  tp.th.).

Cury, Augusto, Briliant Parents Fascinating Teachers Kiat Membentuk Generasi Muda yang Cerdas dan Bahagia, (Jakarta:Gramadia Pustaka Utama,, 2007).

Buchori, Mochtar, Ilmu Pendidikan & Praktek Pendidikan dalam Renungan, (Jakarta:IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994),

Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis, (Jakarta:Rineka Cipta, 2005), cet. III.

Fadjar, A.Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:Fadjar Dunia, 1999), cet. I.

Falah, Saiful, Guru adalah Ustadz adalah Guru, Catatan Seorang Pendidikan dengan Lebih dari 10.000 Anak Didik, (Jakarta:Republika, 2012), cet. I.

Mahmud, Ali Abd al-Halim, al-Tarbiyah al-Islamiyah di al-Madrasah, (Mesir:Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1425 H./2004 M.), cet. I.

-----------, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi Surah al-Azhaab, ((Mesir:Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah,  1996) 1425 H./2004 M.), cet. I.

------------, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi Surah al-Anfaal, (Mesir:Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah,  1996) 1425 H./2004 M.), cet. I.

------------, al-Tarbiyah al-Diniyah (al-Ghaibah), (Mesir:Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah,1421 H./2000 M.), cet. I.

------------, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Mujtama’, ( Mesir:Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah,  1426 H./2005 M.), cet. I.

------------, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Bait, ( Mesir:Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah,  1426 H./2005 M.), cet. I.

Muthahhari, Ayatullah Murtadha, Dasar-dasar Epistimlogi Pendidikan Islam, (Jakarta:Sadra International Institut, 2011), cet. I

Al-Naqib, Abd al-Rahman Abd al-Rahman, Kaifa Nu’allimu Auladana al-Islam bi Thariqah Shahihah,  (Mesir:Dar al-Salam lith-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’ wa al-Tarjamah, 1428 H./ 2007 M.), cet. II.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, (Jakarta:Novinco Pustaka Mandiri, 2009), cet. I.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 200 9 tentang Dosen, (Jakarta:Novinco Pustaka Mandiri, 2009), cet. I.

Kailany, Majid Irsan, al-Fikr al-Tarbawiy in Ibn Taimiyah, (al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah Dar al-Turats,  tp.th.).

Khayyat, Muhammad Jamil, al-Nadzariyat al-Tarbawy fi al-Islam Dirasah Tahililiyah, (Makkah al-Mukarramah:Jami Umm al-Qura, 1986).

Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1987), cet. I.

Rooijakkers, AD. Mengajar dengan Sukses Petunjuk untu Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran, (Jakarta:Grasindo, 1991).

Saleh, M.Nurul Ikhsan, Peace Education, Kajian Sejarah, Konsep, & Relevansinya dengan Pendidikan Islam, (Jakarta:AR-RUZZ MEDIA, 2012), cet. I.

Sinamo, Jansen, 8 Etos Keguruan, (Bogor: Institut Darma Mahardika, 2010), cet. I.

Syams al-Din, Abd al-Amir, al-Fir al-Tarbawiy ind Ibn Khaldun wa Ibn al-Azraq, (Libanon: Dar Iqra, 1404 H./1984 M.) cet. I.

Sucipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta:Rineka Cipta, 2002), cet. I.

Susanta, Agustinus, Merancang Outbond Training Profesional, (Yogyakarta:Andi Yogyakarta, 2008), cet. I.

Tafsir, Ahmad, (ed.), Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung:Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995).

Yudho, Winarno, (ed.), Sosok Guru Ilmuwan Yang Kritis dan Konsisten,  (Jakarta:ELSAM, HUMA dan WALHI, 2002), cet. I.

Undang-undang Nomor 20 tentang  Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional),(Bandung:Fokusmedia, 2010), cet. I.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Jakarta:Novindo Pustaka Mandiri, 2009), cet. I.

Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1997), cet. VII