Alasan Orde Baru disebut Orde pembangunan

tirto.id - Pada akhir 1981, bersama sejumlah artis film yang baru menghadiri Festival Film Indonesia (FFI), Ali Moertopo selaku Menteri Penerangan berkunjung ke Jawa Timur. Kedatangannya disambut meriah oleh warga.

Pada kesempatan itu, di mana-mana terpancang spanduk bergambar hasil-hasil pembangunan serta lukisan wajah Presiden Soeharto, di bawah gambar tersebut terdapat tulisan “Bapak Pembangunan Nasional".

“Kesempatan ini digunakan masyarakat Jawa Timur dengan sebaik-baiknya. Mereka mengemukakan perasaan hatinya dengan tulisan (spanduk) dan lisan. Dengan cara itu pula rakyat mengemukakan penilaian dan harapannya tentang presiden," tulis Merdeka edisi 4 Desember 1981 seperti dikutip dalam buku Presiden RI ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita Jilid VI.

Masih dalam koran yang sama, dikabarkan bahwa di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Madura, masyarakat menitipkan pesan kepada Menteri Penerangan untuk diteruskan kepada lembaga tertinggi negara (MPR), agar Soeharto diakui sebagai “Bapak Pembangunan Nasional".

Laporan peristiwa itu oleh Merdeka ditambahi dengan membandingkan antara kondisi ekonomi di zaman Soeharto dengan era Sukarno, terutama dalam soal pemenuhan bahan pokok.

Zaman Orde Lama disebutkan bukannya tidak punya rencana pembangunan, tapi kondisi struktural dan personalnya dinilai mempunyai sejumlah kelemahan, sehingga nasib rakyat yang sudah sengsara akibat perang menjadi lebih sengsara.

Kelemahan-kelemahan itulah menurut Merdeka yang mampu diperbaiki oleh Soeharto dengan pemerintahan Orde Baru secara baik.

Laporan penuh pujian ini ditutup dengan sebuah pepatah asing yang entah menjumput dari mana yang bernada rendah hati, tapi pungkasannya tetap menyiratkan dukungan kepada Soeharto untuk diberi gelar tersebut.

“Walaupun ada pepatah asing yang mengatakan bahwa ’barang yang sudah baik tidak memerlukan pujian lagi’, namun kiranya penghargaan juga perlu diberikan kepada setiap orang yang berjasa," tulis Merdeka.

Daniel Dhakidae dalam Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) mencatat, sejak Oktober 1982 diedarkan lencana berbentuk bulat oleh para pemuda, bergambar Soeharto dengan latar belakang merah putih dan di pinggirnya terdapat tulisan “Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia".

Tak lama setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui TAP MPR RI Nomor V/MPR/1983 kemudian mengukuhkan Soeharto dengan gelar tersebut. Salah satu poin yang terdapat dalam ketetapan MPT itu berbunyi:

“Bahwa rakyat Indonesia setelah menyaksikan, merasakan, dan menikmati hasil-hasil pembangunan, secara tulus ikhlas telah menyampaikan keinginannya untuk memberi penghargaan kepada Jenderal TNI (Purnawirawan) Soeharto Presiden Republik Indonesia, sebagai Bapak Pembangunan Indonesia."

Baca juga: Ketika Soeharto Menangkapi Menteri-Menteri Loyalis Soekarno

Sudah cukupkah penghargaan kepada Soeharto atas jasa-jasanya dengan penetapan tersebut? Ternyata belum. Penyanyi kawakan Titiek Puspa yang telah wara-wiri di lingkungan istana sejak zaman Sukarno, membuat lagu untuk Soeharto yang sangat menor oleh puja-puji.

Bait pertama dibuka dengan menghaturkan sujud kepada Tuhan sebagai tanda terima kasih atas pelbagai karunia yang dilimpahkan kepada bangsa Indonesia, yakni sandang, pangan, dan pembangunan.

Setelah itu baru menyebut Soeharto dengan kalimat “seorang bapak yang telah Kau cipta", yang membimbing negeri dengan wibawa, dan senyumnya—ingat frasa the smiling general—disebut memberi cerah wajah Indonesia.

Lalu silakan resapi dua bait terakhirnya:

Kepadamu Bapak kami Soeharto

Terima kasih dari rakyat semua

Di belakangmu kami siaga

Demi Kejayaan Indonesia

Kepadamu Bapak kami Soeharto

Terima kasih dari rakyat semua

Di dadamu kami serahkan

Bapak Pembangunan Indonesia"

Pada kalimat “Terima kasih dari rakyat semua", sesuai dengan yang diberitakan oleh Merdeka, juga seperti yang termaktub dalam ketetapan MPR dalam pemberian gelar. Lagu yang dinyanyikan Titiek Puspa itu mengamplifikasinya sehingga gelar tersebut menjadi populer.

Sudah cukup? Lagi-lagi belum. Penghargaan yang konon keinginan rakyat itu hadir juga dalam uang pecahan lima puluh ribu bergambar Soeharto beserta hasil-hasil pembangunan, yang di bawahnya tertulis “Bapak Pembangunan Indonesia".

Baca juga: Soeharto, Jenderal Bintang Lima tapi Tak Pernah Menang Perang

Pembangunan untuk Legitimasi Kekuasaan

Rakyat, wakil rakyat, alat tukar, dan penyanyi terkenal, semuanya mendukung sang purnawirawan jenderal. Bagi Soeharto, lebih dari itu juga sebetulnya bisa saja, toh ia dengan kekuasaannya yang absolut dapat mengontrol semua lini kehidupan.

Kampanye pembangunan yang dikuatkan dengan gelar yang ia sandang, menurut Abidin Kusno dalam Di Balik Pascakolonial: Arsitektur, Ruang Kota dan Budaya Politik di Indonesia (2006) merupakan salah satu instrumen untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto.

Dalam pemikiran Orde Baru, pembangunan bukan hanya soal strategi ekonomi, tapi juga strategi budaya politik yang seolah memberikan kesempatan kepada Soeharto untuk mendorong dari belakang, bukan memimpin dari depan.

Ia tak menghendaki citra Sukarno yang diproyeksikan dengan pidatonya yang berapi-api di hadapan publik ataupun di radio, tapi ia dengan senyumnya yang khas hanya tampil di televisi, seolah hanya mendukung dan mengawasi anak-anaknya. Anak-anak dari seorang bapak pembangunan.

“[Namun dengan gambaran seperti itu] bagaimanapun, rakyat tahu bahwa ia juga sanggup untuk marah dan memobilisasi teror/ketakutan dari belakang," tulis Kusno.

undefined

Sementara Tod Jones dalam Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 hingga Era Reformasi (2015) menilai, konsep pembangunan yang digunakan Orde Baru adalah penggabungan dari sejarah semantik dan politik, baik pada tataran nasional maupun internasional.

Ia menambahkan, pembangunan merupakan rasionalitas pemerintahan yang siap diadopsi dalam negara otoritarian. Dalam kasus Orde Baru, pentingnya pembangunan salah satunya dihadirkan lewat gelar yang dilekatkan pada sosok Soeharto sebagai bapak pembangunan.

Pembangunan, tambahnya, memberikan alasan bagi pemerintah untuk mengintervensi penduduk sampai ke level individu, yang jelas sangat rentan melanggar kebebasan individu.

“[Dan] sentralitas pembangunan bagi rezim Orde Baru dapat dipahami melalui cara di mana rezim tersebut memberikan alasan bagi pembangunan, sekaligus melegitimasi penerapan dari bentuk-bentuk modern dari kekuasaan negara, yang memberikan dasar bagi rezim otoritarian Indonesia untuk ‘menormalisasi masyarakat’," imbuhnya.

Jadi, di balik semua “kenangan manis" tentang bapak pembangunan yang melekat pada Soeharto, yang diamplifikasi lewat sejumlah kanal kampanye, sejatinya terdapat tumpukan ketakutan rakyat yang tak mampu mengkritisi apalagi melawan. Seolah hidup berjalan normal dan baik-baik saja.

Dan “kehidupan yang normal" era rezim Orde Baru, kiwari masih menyisakan residu dengan bertebarannya kerinduan ganjil lewat kalimat “Piye kabare, penak zamanku toh?"

Baca juga artikel terkait ORDE BARU atau tulisan menarik lainnya Irfan Teguh
(tirto.id - irf/dra)


Penulis: Irfan Teguh
Editor: Suhendra

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Jakarta -

Masa jabatan Presiden Soeharto sebagai Presiden kedua Indonesia dikenal sebagai orde baru. Rentang waktu kekuasan pemerintahan orde baru berlangsung selama 32 tahun. Diawali surat perintah yang dikeluarkan pada 11 Maret 1966 hingga tahun 1998.

Melalui Tap MPR No. XXXIII/MPRS/1967, masa orde baru yang dipimpin Presiden Soeharto mulai memimpin negara. Pemerintahan berusaha segera pulih usai berakhirnya era kepemimpinan Presiden Soekarno.

Dikutip dari Modul Sejarah Indonesia Kelas XII yang disusun Nansy Rahman, orde baru adalah tatanan kehidupan bangsa dan negara yang dikembalikan pada Pancasila dan UUD 1945. Di orde sebelumnya sempat terjadi penyelewengan dan penyimpangan prinsip utama.

Di masa pemerintahannya, Soeharto melakukan koreksi total sehingga penerapan Pancasila semakin kuat. Lebih lengkapnya, simak latar belakang kelahiran, sistem pemerintahan, hingga jatuhnya pemerintahan orde baru.

A. Latar Belakang Lahirnya Orde Baru

Lahirnya orde baru ditandai TRITURA atau Tri Tuntutan Rakyat yang merupakan ide perjuangan Angkatan 66/KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). TRITURA terdiri dari tiga tuntutan yaitu pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, dan penurunan harga.

TRITURA semakin panas karena sikap Presiden Soekarno yang bertolak belakang dengan aksi-aksi mereka. Hingga terjadi peristiwa G30S/PKI yang membuat rakyat Indonesia menurunkan kepercayaannya terhadap pemerintahan Soekarno.

Peristiwa G30S/PKI adalah salah satu penyebab menurunnya kredibilitas Soekarno dan membuatnya mengeluarkan Surat Perintah kepada Letjen Soeharto yang disebut Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Dalam Surat Perintah tersebut Soekarno menunjuk Soeharto untuk melakukan segala tindakan demi keamanan, ketenangan, dan stabilitas politik. Supersemar menjadi titik awal berkembangnya kekuasaan Orde Baru.

B. Sistem Pemerintahan pada Masa Orde Baru

Pemerintahan orde baru menggunakan konsep Demokrasi Pancasila. Visi utama pemerintahan orde baru adalah menerapkan nilai Pancasila dan UUD 1945, secara murni serta konsekuen dalam aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

Di masa orde lama, komunisme dan gagasan yang bertolak belakang dengan Pancasila sempat meluas. Hal ini membuat Soeharto di masa jabatannya melakukan indoktrinasi Pancasila. Beberapa metode indoktrinasi yang dilakukannya yaitu:

  • Menerapkan pengajaran P4 (Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di sekolah
  • Soeharto mengizinkan masyarakat membentuk organisasi dengan syarat menggunakan asas pancasila
  • Melarang kritikan yang menjatuhkan pemerintah dengan alasan stabilitas negara.

Sistem pemerintahan pada masa orde baru adalah presidensial dengan bentuk pemerintahan Republik dan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi yang berlaku. Dalam periode masa orde baru, terjadi banyak perubahan-perubahan politik dan ekonomi.

Ekonomi Indonesia berkembang pesat walaupun dibarengi dengan praktik korupsi yang merajalela. Lewat beberapa kebijakannya, politik dan ekonomi negara juga semakin kuat. Namun kondisi ini menurun ketika di tahun 1997 saat terjadi krisis moneter.

Krisis inilah yang membuat pemerintah kehilangan kepercayaan rakyat sehingga Soeharto sebagai presiden mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 yang mengakhiri kekuasaan Orde Baru.

C. Penyebab Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru

Meski selama masa tersebut perekonomian Indonesia melaju pesat dan pembangunan infrastruktur yang merata untuk masyarakat, namun perkembangan tersebut diikuti dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Hal ini menyebabkan kurangnya kepercayaan terhadap Presiden Soeharto dan memicu aksi demo mahasiswa dan masyarakat umum. Demonstrasi semakin gencar setelah pemerintah menaikkan harga BBM di tanggal 4 Mei 1998.

Belum lagi terjadi Tragedi Trisakti yaitu tertembaknya 4 mahasiswa di depan Universitas Trisakti yang semakin mendorong masyarakat menentang kebijakan pemerintah. Tahun 1997-1998 merupakan periode orde baru yang menjadi masa kelam bagi rakyat Indonesia.

Perekonomian yang tadinya melesat langsung mengalami penurunan disusul dengan berakhirnya rezim orde baru. Besarnya gelombang demonstrasi di berbagai daerah, membuat Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. Setelah tiga dasawarsa lebih menjabat, orde baru ambruk akibat krisis ekonomi yang melanda negeri sejak tahun 1997.

Simak Video "Deretan Tahun Paling Mengerikan dalam Sejarah Manusia"



(row/row)