Apa kandungan dari ayat ke 4 surat an-nas

(Dari kejahatan bisikan) setan; setan dinamakan bisikan karena kebanyakan godaan yang dilancarkannya itu melalui bisikan (yang biasa bersembunyi) karena setan itu suka bersembunyi dan meninggalkan hati manusia bila hati manusia ingat kepada Allah.

Tafsir Surat An-Nas: 1-6 Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. Ketiga ayat yang pertama merupakan sebagian dari sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala yaitu sifat Rububiyah (Tuhan), sifat Al-Mulk (Raja), dan sifat Uluhiyyah (Yang disembah). Dia adalah Tuhan segala sesuatu, Yang memilikinya dan Yang disembah oleh semuanya. Maka segala sesuatu adalah makhluk yang diciptakan-Nya dan milik-Nya serta menjadi hamba-Nya. Orang yang memohon perlindungan diperintahkan agar dalam permohonannya itu menyebutkan sifat-sifat tersebut agar dihindarkan dari kejahatan godaan yang bersembunyi, yaitu setan yang selalu mendampingi manusia. Karena sesungguhnya tiada seorang manusia pun melainkan mempunyai qarin (pendamping)nya dari kalangan setan yang menghiasi perbuatan-perbuatan fahisyah hingga kelihatan bagus olehnya. Setan itu juga tidak segan-segan mencurahkan segala kemampuannya untuk menyesatkannya melalui bisikan dan godaannya, dan orang yang terhindar dari bisikannya hanyalah orang yang dipelihara oleh Allah subhanahu wa ta’ala Di dalam kitab shahih disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Tiada seorang pun dari kamu melainkan telah ditugaskan terhadapnya qarin (teman setan) yang mendampinginya. Mereka bertanya, "Juga termasuk engkau, ya Rasulullah?" Beliau ﷺ menjawab: Ya, hanya saja Allah membantuku dalam menghadapinya; akhirnya ia masuk Islam, maka ia tidak memerintahkan kepadaku kecuali hanya kebaikan. Dan di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Anas tentang kisah kunjungan Safiyyah kepada Nabi ﷺ yang saat itu sedang i'tikaf, lalu beliau keluar bersamanya di malam hari untuk menghantarkannya pulang ke rumahnya. Kemudian Nabi ﷺ bersua dengan dua orang laki-laki dari kalangan Ansar. Di saat melihat Nabi ﷺ, bergegaslah keduanya pergi dengan cepat. Maka Rasulullah ﷺ bersabda:Perlahan-lahanlah kamu berdua, sesungguhnya ia adalah Safiyyah binti Huyayyin. Maka keduanya berkata.Subhanallah, ya Rasulullah." Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya setan itu mengalir ke dalam tubuh anak Adam melalui aliran darahnya. Dan sesungguhnya aku merasa khawatir bila dilemparkan sesuatu (prasangka buruk) ke dalam hati kamu berdua. Al-Hafidzh Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami Addiy ibnu Abu Imarah, telah menceritakan kepada kami Ziyad An-Numairi, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Sesungguhnya setan itu meletakkan belalainya di hati anak Adam. Jika anak Adam mengingat Allah, maka bersembunyi; dan jika ia lupa kepada Allah, maka setan menelan hatinya; maka itulah yang dimaksud dengan bisikan setan yang tersembunyi. Hadits ini berpredikat gharib. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari ‘Ashim, bahwa ia pernah mendengar Abu Tamimah yang menceritakan hadits berikut dari orang yang pernah dibonceng oleh Nabi ﷺ Ia mengatakan bahwa di suatu ketika keledai yang dikendarai oleh Nabi ﷺ tersandung, maka aku berkata, "Celakalah setan itu." Maka Nabi ﷺ bersabda: Janganlah engkau katakan, "Celakalah setan. Karena sesungguhnya jika engkau katakan, "Celakalah setan, "maka ia menjadi bertambah besar, lalu mengatakan, "Dengan kekuatanku, aku kalahkan dia. Tetapi jika engkau katakan, "Bismillah, "maka mengecillah ia hingga menjadi sekecil lalat. Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sanadnya jayyid lagi kuat. Dan di dalam hadits ini terkandung makna yang menunjukkan bahwa hati itu manakala ingat kepada Allah, setan menjadi mengecil dan terkalahkan. Tetapi jika ia tidak ingat kepada Allah, maka setan membesar dan dapat mengalahkannya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al-Hanafi, telah menceritakan kepada kami Adh-Dhahhak ibnu Usman, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Sesungguhnya seseorang di antara kamu apabila berada di dalam masjid, lalu setan datang, lalu setan diikat olehnya sebagaimana seseorang mengikat hewan kendaraannya. Dan jika ia diam (tidak berzikir kepada Allah), maka setan berbalik mengikat dan mengekangnya. Abu Hurairah mengatakan bahwa kalian dapat menyaksikan hal tersebut. Adapun yang dimaksud dengan maznuq yakni orang yang diikat pada lehernya, maka engkau lihat dia condong seperti ini tidak berzikir kepada Allah. Adapun orang yang dikekang, maka ia kelihatan membuka mulutnya dan tidak mengingat Allah ﷺ hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid. Sa'id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: setan yang biasa bersembunyi. (An-Nas: 4) Bahwa setan bercokol di atas hati anak Adam. Maka apabila ia lupa dan lalai kepada Allah setan menggodanya; dan apabila ia ingat kepada Allah maka setan itu bersembunyi. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan Qatadah. Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa pernah diceritakan kepadanya, sesungguhnya setan yang banyak menggoda itu selalu meniup hati anak Adam manakala ia sedang bersedih hati dan juga manakala sedang senang hati. Tetapi apabila ia sedang ingat kepada Allah, maka setan bersembunyi ketakutan. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, Al-waswas, bahwa makna yang dimaksud ialah setan yang membisikkan godaannya; apabila yang digodanya taat kepada Allah, maka setan bersembunyi. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (An-Nas: 5) Apakah makna ayat ini khusus menyangkut Bani Adam saja sebagaimana yang ditunjukkan oleh makna lahiriah ayat, ataukah lebih menyeluruh dari itu menyangkut Bani Adam dan jin? Ada pendapat mengenainya, yang berarti makhluk jin pun termasuk ke dalam pengertian lafal an-nas secara prioritas. Ibnu Jarir mengatakan bahwa adakalanya digunakan lafal rijalun minal jin (laki-laki dari kalangan jin) ditujukan terhadap mereka, maka tidaklah heran bila mereka (jin) dikatakan dengan istilah an-nas. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dari (golongan) jin dan manusia. (An-Nas: 6) Apakah ayat ini merupakan rincian dari firman-Nya: yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (An-Nas: 5) Kemudian dijelaskan oleh firman berikutnya: dari (golongan)jin dan manusia. (An-Nas: 6) Hal ini menguatkan pendapat yang kedua. Dan menurut pendapat yang lainnya, firman-Nya berikut ini: dari (golongan) jin dan manusia. (An-Nas: 6) merupakan tafsir dari yang selalu membisikkan godaannya terhadap manusia, yaitu dari kalangan setan manusia dan setan jin. Sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu(manusia). (Al-An'am: 112) Dan semakna dengan apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad, bahwa: telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Al-Masudi, telah menceritakan kepada kami Abu Umar Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Ubaid Al-Khasykhasy, dari Abu Zaryang telah menceritakan bahwa ia datang kepada Rasulullah ﷺ yang saat itu berada di dalam masjid. lalu ia duduk. maka Rasulullah ﷺ bertanya, "Wahai Abu Dzar, apakah engkau telah shalat?" Aku (Abu Dzar) menjawab, "Belum." Rasulullah ﷺ bersabda, "Berdirilah dan salatlah kamu!" Maka aku berdiri dan shalat, setelah itu aku duduk lagi dan beliau ﷺ bersabda: Wahai Abu Dzar, mohonlah perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan setan jin. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah setan manusia itu ada?" Beliau ﷺ menjawab, "Ya ada." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan shalat?" Rasulullah ﷺ menjawab: Salat adalah sebaik-baik pekerjaan; barang siapa yang ingin mempersedikitnya atau memperbanyaknya (hendaklah ia melakukan apa yang disukainya dari salatnya itu). Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan puasa?" Rasulullah ﷺ menjawab: Amal fardu yang berpahala dan di sisi Allah ada tambahannya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan sedekah?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Pahalanya dilipatgandakan dengan kelipatan yang banyak." Aku bertanya, "Manakah sedekah yang terbaik, wahai Rasulullah?" Rasulullah ﷺ menjawab: Hasil jerih payah dari orang yang merasa sedikit atau yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi kepada orang yang fakir. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, nabi manakah yang paling pertama?" Beliau menjawab, "Adam." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dia seorang nabi?" Nabi ﷺ menjawab, "Ya, dia seorang nabi dan juga orang yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah subhanahu wa ta’ala" Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, ada berapakah para rasul itu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Tiga ratus belasan orang, jumlah yang cukup banyak." Di lain kesempatan beliau ﷺ bersabda, "Tiga ratus lima belas orang rasul." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, wahyu apakah yang paling besar yang pernah diturunkan kepada engkau?" Rasulullah ﷺ menjawab: Ayat kursi, yaitu, "Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).(Al-Baqarah: 255) Imam An-Nasai meriwayatkan hadits ini melalui Abu Umar Ad-Dimasyqi dengan sanad yang sama. Hadits ini telah diriwayatkan dengan sangat panjang lebar oleh Imam Abu Hatim ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui jalur Lain dan lafal Lain yang panjang sekali; hanya Allah-Iah Yang Maha Mengetahui. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan, dari Mansur, dari Dzar ibnu Abdullah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Syaddad, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya dalam hatiku timbul suatu pertanyaan yang tidak berani aku mengatakannya. Lebih aku sukai jikalau aku dijatuhkan dari atas langit daripada mengutarakannya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Nabi ﷺ bersabda: Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan hingga hanya sampai batas bisikan (belaka). Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai telah meriwayatkannya melalui hadits Mansur, sedangkan menurut riwayat Imam An-Nasai ditambahkan Al-A'masy, keduanya dari Dzar dengan sanad yang sama. " [Selesai Tafsir Al-Qur'anil ‘Adzhim yang popular dengan nama Tafsir Ibnu Katsir ini. Walhamdulillah]"

4-6. Aku berlindung kepada-Nya dari kejahatan bisikan setan yang bersembunyi pada diri manusia dan selalu bersamanya layaknya darah yang mengalir di dalam tubuhnya, yang membisikkan kejahatan dan kesesatan ke dalam dada manusia dengan cara yang halus, lihai, licik, dan menjanjikan secara terus-menerus. Aku berlindung kepada-Nya dari setan pembisik kejahatan dan kesesatan yang berasal dari golongan jin, yakni makhluk halus yang tercipta dari api, dan juga dari golongan manusia yang telah menjadi budak setan. 4-6. Aku berlindung kepada-Nya dari kejahatan bisikan setan yang bersembunyi pada diri manusia dan selalu bersamanya layaknya darah yang mengalir di dalam tubuhnya, yang membisikkan kejahatan dan kesesatan ke dalam dada manusia dengan cara yang halus, lihai, licik, dan menjanjikan secara terus-menerus. Aku berlindung kepada-Nya dari setan pembisik kejahatan dan kesesatan yang berasal dari golongan jin, yakni makhluk halus yang tercipta dari api, dan juga dari golongan manusia yang telah menjadi budak setan.

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan manusia agar berlindung kepada Allah Rabbul-'Alamin dari kejahatan bisikan setan yang senantiasa bersembunyi di dalam hati manusia. Bisikan dan was-was yang berasal dari godaan setan itu bila dihadapkan kepada akal yang sehat mesti kalah dan orang yang tergoda menjadi sadar kembali, karena semua bisikan dan was-was setan yang akan menyakiti manusia itu akan menjadi hampa bila jiwa sadar kembali kepada perintah-perintah agama. Begitu pula bila seorang menggoda temannya yang lain untuk melakukan suatu kejahatan, tetapi temannya itu berpegang kuat dengan perintah-perintah agama niscaya akan berhenti menggoda dan merasa kecewa karena godaannya itu tidak berhasil namun ia tetap menunggu kesempatan yang lain.

SURAH AN-NAAS

(MANUSIA)

SURAH KE-114, 6 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH


Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.


Ayat 1

“Katakanlah." -wahai utusan-Ku, dan ajarkan jugalah kepada mereka yang percaya- “Aku berlindung dengan Pemelihara manusia." (ujung ayat 1)

***


Ayat 2

“Penguasa manusia." (ayat 2)


Ayat 3

“Tuhan bagi manusia." (ayat 3)

Di dalam surah yang terakhir dalam susunan Al-Qur'an yang 114 surah ini, disebutkanlah ajaran bagaimana caranya manusia berlindung kepada Allah dari sesama manusia. Saya sendiri dan saudara yang membaca karangan ini adalah manusia. Dan kita pun hidup di tengah-tengah manusia. Selain dari hubungan kita dengan Allah, kita pun selalu berhubungan dengan sesama manusia. Tidak ada di antara kita yang dapat membebaskan diri dari ikatan dengan sesama manusia. Hablun Minallah dan Hablun Minan Naas. Agama sendiri pun, selain dari mengatur tali perhubungan dengan Allah, juga mengatur tali perhubungan dengan sesama manusia.

Maka diajarkanlah pada surah yang terakhir ini bagaimana cara kita menghadapi dan hidup di tengah-tengah manusia. Kita dengan ajaran melalui Nabi ﷺ disuruh berlindung diri kepada Allah! Karena Allah itulah Rabbun Naas, Pemelihara Manusia; Malikun Naas, Penguasa Manusia; dan Ilahun Naas, Sesembahan bagi manusia.

Allah adalah Rabbun Naas; Pemelihara manusia. Tidak dibiarkan terlantar, dipelihara- Nya lahir dan batinnya, luar dan dalamnya, jasmani dan ruhaninya, makanan dan minumannya. Dia adalah pula Malikun Naas, Penguasa dari seluruh manusia. Kalau kata malik itu dibaca tidak dipanjangkan bacaan pada mim (tidak dengan madd), berartilah dia Penguasa atau Raja. Pemerintah tertinggi atau sultan. Tetapi kalau maalik dibaca dengan dipanjangkan dua alif pada mim, berarti dia “yang empunya" (yang memiliki). Dipanjangkan membaca mim ataupun dibaca tidak dipanjangkan, namun pada kedua bacaan itu memang terkandung kedua pengertian: Allah itu memang Raja, atau Penguasa yang mutlak atas diri manusia, Allah Mahakuasa menakdirkan dan mentadbirkan, sehingga mau tidak mau, kita manusia mesti menurut peraturan yang telah ditentukanNya, yang disebut Sunnatullah. Oleh sebab hanya Dia Pemelihara dan hanya Dia Penguasa, maka hanya Dia pulalah Ilah itu, hanya Dia sajalah yang Tuhan, yang wajar buat disembah dan dipuja. Kepada-Nyalah kembali segala persembahan dan pemujaan.


Ayat 4

“Dari kejahatan bisik-bisikan dari si pengintai peluang." (ayat 4)

Ialah orang yang selalu mengintai kalau ada peluang. Yang selalu menunggu moga- moga kita terlengah. Maka saat kita terlengah itulah, peluang yang baik baginya untuk mem- bisik-bisikkan sesuatu!

Ayat 5

“Yang membisik-bisikkan di dalam dada manusia." (ayat 5)

Dia berbisik-bisik, bukan berterang-terang. Dia masuk ke dalam dada manusia secara halus sekali. Dia menumpang dalam aliran darah, dan darah berpusat ke jantung, dan jantung terletak dalam dada. Maka dengan tidak disadari bisikan yang dimasukkan melalui jantung yang di balik benteng dada itu, dengan tidak disadari terpengaruhlah oleh bisik itu. Bisikan dalam hati yang menghasilkan ragu-ragu itu sangatlah menurunkan mutu kita sebagai manusia. Dan perasaan yang dibisikkan oleh sesuatu di dalam dada itu telah diberi nama dalam ayat-ayat ini sebagai Waswas. Siapa yang memasukkan waswas ini ke dalam dada kita?


Ayat 6

Dia terdiri “Daripada jin dan manusia." (ayat 6)

Al-Hasan menegaskan, “Keduanya sama-sama setan. Setan yang berupa jin memasukkan waswas ke dalam dada manusia. Adapun setan yang berupa manusia memasukkan waswas secara kasar."

Tafsir dari al-Ustadz Syekh Muhammad Abduh lebih menjelaskan lagi. Kata beliau, “Yang membisik-bisikkan (waswas) ke dalam hati manusia itu adalah dua macam.

Pertama ialah yang disebut jin itu, yaitu makhluk yang tak tampak oleh mata dan tidak diketahui mana orangnya tetapi terasa bagaimana dia memasukkan pengaruhnya ke dalam hati, membisikkan, merayukan.

Dan satu lagi ialah perayu yang kasar, yaitu manusia-manusia yang mengajak dan menganjurkan kepada jalan yang salah."

Imam Ghazali memberikan bimbingan, “Apabila engkau membaca a'udzu billahi minasy syaithanir-rajim, hendaklah engkau ingat bahwa musuh besarmu itu (setan), selalu mengintipmu, dan jika engkau lengah niscaya dipalingkannya hatimu dari ingat akan Allah." Maka banyaklah keterangan dari Rasulullah ﷺ sendiri tentang bagaimana pentingnya kedua surah ini, yang selalu disebut Mu'awwidzataini (Dua Surah Perlindungan) untuk dijadikan bacaan pengukuh iman, penguat jiwa, penangkis bahaya.

Maka tersebutlah di dalam sebuah hadits shahih, dirawikan oleh Bukhari, yang beliau terima dengan sanadnya daripada Ibu orang-orang Mukmin, Aisyah -semoga Allah ridha kepadanya-bahwa junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ apabila hendak masuk ke dalam tempat tidurnya setiap malam, di- kumpulnya kedua telapak tangannya, kemudian dibacanya Qul Huwallaahu Ahad, Qul A'udzu Bi Rabbit Falaq, sesudah itu Qul A'udzu Bi Rabbin Naasi, yang ditampungkannya sambil membaca itu dengan kedua telapak tangannya itu. Setelah selesai, maka dibalurkannya kedua telapak tangannya itu pada bagian-bagian yang dapat dicapai oleh kedua telapak tangannya itu, dengan dimulai dari kepalanya dan mukanya, terus kepada seluruh badannya sampai ke bawah. Diperbuatnya demikian sampai tiga kali." Dan ketika penulis tafsir ini masih kecil, cara pelaksanaan hadits ini telah diajarkan kepadaku oleh ayahku dan guruku. Dan dalam perjalanan-perjalanan musafir ketika saya mengiringkan beliau, jaranglah aku tidak melihat beliau melakukan demikian. Demikianlah adanya. Semoga Allah selalu merahmati. Amin.