Apa kegiatan yang sering dilakukan Pak AR Fachruddin sebelum menjadi Pimpinan Muhammadiyah

Berbicara tentang sosok seorang pemimpin, tentunya menjadi pembahasan yang akan selalu terngiang-ngiang di telinga kita umat muslim. Menjadi pemimpin berarti memiliki tugas mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan warganya dengan tanggung jawab. Pada kali ini saya akan membahas bagaimana pentingnya memahami ilmu agama untuk menjadi pemimpin. Sebagai contoh lebih jelasnya, saya menghadirkan sosok seorang pemimpin Muhammadiyah, yaitu Pak AR Fachruddin.

Menjadi Pemimpin, Pak AR Berguru pada Ulama

Di dalam buku Haidar Musyafa ‘Pak AR dan Jejak-Jejak Bijaknya’, beliau menceritakan Pak AR Fachruddin pada waktu beliau menempuh pendidikan di Madrasah Muallimin. Beliau mengalami kekurangan biaya persekolahan. Di saat itulah Pak AR diajak pulang ke Bleberan untuk belajar agama kepadanya ayah beliau sendiri, Kiai Fachruddin.

Di perkampungan, beliau berguru pada banyak kiai yang ada di kampung itu. Tepatnya pada tahun 1929, beliau mulai mengaji dengan metode sorogan kepada Kiai Abdullah Rasyad, Kiai Abu Amar, dan kiai-kiai lain di Bleberan, Banaran, Kulon Progo. Beliau sendiri banyak mempelajari kitab, antara lain Matan Maqrib, Syarah Taqrib, Qotrul Ghaits, Jurumiah, Riyadhus Sholihin, dan Subulus-Salam.

Salah seorang guru ngaji Pak AR Fachruddin di pesantren adalah Kiai Sangidoe. Beliau mulai belajar tentang nahwu dan sharaf kepada kiai tersebut. Ketika usia beliau lima belas tahun, Beliau juga memperdalam ilmu filsafat dan akidah pada kiai karismatik yang terkenal di daerah Wonokrobo itu.

Berbagai kitab yang dipelajari Pak AR Fachruddin dari guru-guru beliau menjadi rujukan dalam berdakwah di kemudian hari. Selain memperdalam ilmu agama Islam dari kitab-kitab yang telah diajarkan oleh ayah beliau Kiai Fachruddin, Kiai Abu Amar, dan Kiai Abdullah Rasyad. Pak AR Fachruddin juga mempelajari Ihya Ulumuddin dan Kitab Tauhid karya Imam al-Ghazali. Dan beliau juga mempelajari kitab-kitab yang lainnya.

Baca Juga  KH. AR. Fachruddin, Sahaja dan Gembira dalam Dakwah

Pak AR Fachruddin juga mempunyai hubungan dekat dengan para kiai dan pengasuh pondok pesantren di Yogyakarta. Selain dekat dengan kiai di daerah Bresosot dan Wonokromo, Pak AR juga dekat dengan kiai-kiai yang yang ada di Pondok Pesantren di Krapyak, Yogyakarta.

Salah satu kiai yang dekat Pak AR Fachruddin adalah Kiai Munawir. Hubungan beliau dengan Kiai Munawir bisa dikatakan dekat karena pertalian hubungan keluarga. Salah satu putri dari kakak Kiai Fachruddin, Nyai Ilyas, yaitu Salimah, menikah dengan Kiai Munawir di Yogyakarta.

Dakwah Pak AR Berawal dari Keluarga

Kehidupan Pak AR adalah cerminan ajaran Islam yang sesungguhnya: teduh, menyejukkan, dan mengayomi. Beliau tidak pernah memaksa, tetapi berusaha mencontoh perikehidupan kanjeng Nabi Muhammad SAW. Beliau menjadi sosok yang lebih banyak memberikan teladan dalam melakukan amal kebaikan, daripada menyuruh orang lain berbuat baik tapi dirinya sendiri belum melakukannya.

Beliau sering memberikan nasihat kepada anak-anak beliau agar dalam menuntut ilmu dan mendakwahkan ajaran islam dilakukan dengan niat ikhlas, semata-mata mencari keridhaan Allah. Islam harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dengan ikhlas dan legawa, tanpa ada perasaan terpaksa.

Menurut Zahanah dan Muhammad Lutfhi Purnomo, putri ketiga dan putra ketiga dari beliau menegaskan bahwa ayah tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk hanya belajar agama saja dan menjadi santri di pesantren. Dalam artian, Pak AR tidak melarang mereka untuk  mempelajari ilmu apa saja asalkan tidak bertentangan dengan agama.

Beliau juga memotivasi anak-anak beliau dan warga Muhammadiyah agar senantiasa berdakwah menyebarkan ajaran islam. Beliau melarang mereka berputus asa dalam melaksanakan tugas-tugas persyarikatan. Karena, untuk mencapai suatu tujuan hal ini harus dilakukan dengan kerja keras dan kesungguhan ikhtiar. Upaya tersebut dikerjakan dengan memohon pertolongan kepada Allah SWT.

Baca Juga  Rosyad Sholeh, Pendiri IMM Sang Organisator Muhammadiyah Tulen

Beliau adalah sosok pembelajar sekaligus pengajar yang baik. Ilmu-ilmu yang sudah beliau dapatkan dari sekian banyak kiai, kian menjadikan beliau sebagai pendakwah sampai akhir hayat beliau di Muhammadiyah.

Urgensi Ilmu Agama Dalam Berdakwah

Sekitar tahun 1980-an, di Yogyakarta sedang menjamur penjualan daging kodok. Olahan daging hewan amfibi yang dirasa enak itu berhasil menarik minat masyarakat untuk mencobanya. Tak terkecuali umat Islam. Salah seorang jamaah Pak AR Fachruddin yang masih ragu mengenai kehalalannya bertanya kepada beliau tentang kehalalan daging tersebut. Dengan bahasa yang ringan, Pak AR justru memberikan jawaban yang mempertanyakan. Sehingga orang secara otomatis akan berpikir tentang kehalalan makanan tersebut.

Menurut Prof. Abdul Munir Mulkhan, Pak AR Fachruddin adalah sosok yang sangat cerdas dan tepat dalam memberikan solusi. Segala macam persoalan umat dengan ringan dan tepat dalam sasaran, bahkan disertai humor membuat orang menerima penjelasannya dengan gembira. Gaya ceramah dan pengajian Pak AR yang kerap disertai bahasa tubuh yang unik membuat jamaah menikmati tausiyah beliau dengan penuh nikmat.

Pak AR Fachruddin merupakan sosok pendakwah yang mempu menyentuh seluruh lapisan masyarakat, baik di kalangan para pemerintah, pengusaha, maupun rakyat biasa. Sebagai seorang pemimpin di Muhammadiyah, beliau tentu merasa berkewajiban mendakwahi warga Muhammadiyah khususnya dan umat Islam pada umumnya. Beliau merasa dakwah sudah menjadi tugas pada diri seorang yang menjadi pemimpin.

Menurut Pak Syukrianto, cara berdakwah menggembirakan ini sudah di mulai Pak AR sejak muda, sejak beliau masih menjadi pengurus Muhammadiyah di kampung halaman. Jenis dakwah ini terus beliau kembangkan hingga beliau menjadi pemimpin di Muhammadiyah. Menjadi pemimpin, selain memberikan solusi dalam berbagai permasalahan yang ada, tentu perlu pertimbangan yang matang dalam menjawab dan memutuskan.

Baca Juga  Islam itu Rasional (3): Akal Punya Porsi Besar dalam Agama!

Beliau selalu memperhatikan dan memahami kepada siapa beliau berbicara dalam memberikan sebuah jawaban. Hal ini bertujuan agar jawaban tersebut tidak menyinggung perasaan dari sasaran dakwah. Pada akhirnya strategi itu pun berhasil membawa Pak AR dalam kegiatan berdakwah.

Pentingnya Ilmu Agama untuk Menjadi Pemimpin

“Pada zaman sekarang ini, banyak orang tidak bersedia mengamalkan ajaran agamanya. Melihat kesulitannya saja mereka putus asa dan tidak berani. Itulah yang menjadikan bangsa ini sulit menelurkan pemimpin yang baik dan amanah, sekalipun banyak orang di negeri ini yang memiliki ilmu agama sangat tinggi.” (KH. AR Fachruddin)

Kata-kata itu terlihat sangat jelas dalam segi tujuannya, beliau menegaskan bahwa banyak sekali sosok pemimpin, kiai, ulama, mubaligh, hingga ustadz. Mereka enggan untuk menyampaikan dakwah Islam yang penuh kebenaran itu, akibatnya ilmu yang mereka miliki hanya berguna bagi mereka sendiri tidak bagi orang lain.

Menjadi pemimpin berarti melayani dan mengayomi warga-warganya agar tujuannya tercapai. Dia harus mampu memberikan solusi bagi setiap problem yang ada, tidak terlepas dari ketentuan syariat agama dan peraturan yang berlaku. Wallahu a’lam

Editor: Shidqi Mukhtasor

Apa kegiatan yang sering dilakukan Pak AR Fachruddin sebelum menjadi Pimpinan Muhammadiyah

K. H. Abdul Rozak Fachruddin (14 Februari 1915 – 17 Maret 1995) adalah Ketua Umum Muhammadiyah yang menjabat dari 1968 sampai tahun 1990.[1][2]

K.H. Abdul Rozak Fachruddin

Ketua Umum Muhammadiyah 11Masa jabatan
1968 – 1990PendahuluK.H. Faqih UsmanPenggantiK.H. A. Azhar Basyir Informasi pribadiLahir14 Februari 1916
Pakualaman, YogyakartaMeninggal17 Maret 1995(1995-03-17) (umur 80)
Solo, Jawa TengahSebab kematianSakit

Ia belajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pada tahun 1923, untuk pertama kalinya A.R. Fachruddin bersekolah formal di Standard School Muhammadiyah Bausasran. Setelah ayahnya tidak lagi menjadi penghulu dan usaha dagang batiknya juga jatuh, maka ia pulang ke Bleberan. Pada tahun 1925, ia pindah ke Sekolah Dasar Muhammadiyah Kotagede hingga tahun 1928 dan kemudian masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1934. Setelah belajar di Muallimin, dia pulang untuk belajar kepada beberapa kiai seperti K.H. Fachruddin, ayahnya sendiri.[1][2]

Karier

Pada tahun 1934, ia dikirim oleh Muhammadiyah untuk misi dakwah sebagai guru di sepuluh sekolah dan sebagai mubaligh di Talangbalai (sekarang Ogan Komering Ilir) selama sepuluh tahun.[2] Dan ketika Jepang datang, Ia pindah ke Muara Meranjat, Palembang hingga tahun 1944. Selama tahun 1944, Fachruddin mengajar di sekolah Muhammadiyah, memimpin serta melatih Hizbul Wathan, kemudian Ia pulang ke kampung halaman.[1]

Pada tahun 1944, ia masuk BKR Hizbullah selama setahun. Sepulangnya dari Palembang, berdakwah di Bleberan, menjadi pamong desa di Galur selama setahun. Selanjutnya, ia menjadi pegawai Departemen Agama.[2] Pada tahun 1950, ia pindah ke Kauman dan belajar kepada tokoh-tokoh awal Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Basyir Mahfudz, Badilah Zuber dan Ahmad Badawi.[1][3] Pengabdiannya bukan saja di lingkungan Muhammadiyah, tetapi juga di pemerintahan dan perguruan tinggi. Dia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama, Wates (1947). Tidak lama di jabatannya itu, dia ikut bergerilya melawan Belanda.

Antara tahun 1950-1959, ia menjadi pegawai di kantor Jawatan Agama wilayah Yogyakarta, kemudian pindah ke Semarang sambil merangkap dosen luar biasa bidang studi Islamologi di Unissula, FKIP Undip, dan Sekolah Tinggi Olahraga. Sedangkan di Muhammadiyah, dimulai sebagai pimpinan Pemuda Muhammadiyah (1938-1941). Ia menjadi pimpinan mulai di tingkat ranting, cabang, wilayah, hingga sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Jabatan sebagai ketua PP Muhammadiyah dipegangnya pada 1968 setelah di-fait a ccompli menggantikan KH Faqih Usman, yang meninggal. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujungpandang, Fachruddin terpilih sebagai ketua. Hampir seperempat abad ia menjadi pucuk pimpinan Muhammadiyah, sebelum digantikan oleh almarhum K.H. A. Azhar Basyir.

Akhir Hidup

Setelah dirawat di RS Islam Jakarta, Fachruddin tutup usia pada 17 Maret 1995, meninggalkan 7 putra dan putri.[4]

Fachruddin lahir di Pakualaman, Yogyakarta pada tanggal 14 Februari 1916. Ayahnya bernama K.H. Fachruddin adalah seorang lurah naib atau penghulu di Puro Pakualaman yang diangkat oleh kakek Sri Paduka Paku Alam VIII dan berasal dari Kulonprogo sementara ibunya bernama Maimunah binti K.H. Idris, Pakualaman.

  1. ^ a b c d "KH Abdur Rozak Fachdrudin (1971 - 1985)". Muhammadiyah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-26. Diakses tanggal 26 August 2012. 
  2. ^ a b c d Mohammad, Herry (2006). Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh abad 20. Jakarta: Gema Insani. ISBN 978-979-560-219-4. 
  3. ^ "Abdur Rozak Fachdrudin". Merdeka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-26. Diakses tanggal 26 August 2012. 
  4. ^ APA & SIAPA sejumlah orang Indonesia 1985-1986. Tempo (Jakarta, Indonésie) (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Grafiti Pers. 1986. ISBN 979-444-006-X. OCLC 37095471. 

Jabatan organisasi Islam
Didahului oleh:
K.H. Faqih Usman
Ketua Umum Muhammadiyah
1971 — 1990
Diteruskan oleh:
K.H. A. Azhar Basyir
 

Artikel bertopik biografi Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

 

Artikel bertopik biografi tokoh Islam ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Abdul_Rozak_Fachruddin&oldid=21293263"