Apa saja 6 saluran Islamisasi di Indonesia?

TRIBUNNEWS.COM -  Berikut ini cara penyebaran agama Islam di Indonesia, mulai dari perdagangan, perkawinan, kesenian, hingga Tasawuf.

Perkembangan agama Islam di Indonesia tidak terjadi secara spontan, melainkan melalui suatu proses penyebaran agama secara damai, responsif, dan proaktif.

Penyebaran agama Islam di Indonesia dilakukan mulai dari perdagangan, perkawinan, kesenian, hingga Tasawuf.

Baca juga: Kehidupan Masyarakat Indonesia Pada Masa Islam dari Bidang Politik hingga Aristektur

Baca juga: Asal-Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia Menurut Pendapat Para Ahli Sejarah

Mengutip dari Buku Modul pembelajaran SMA Sejarah Indonesia kelas X yang disusun oleh Mariana, M.Pd, berikut ini 6 cara penyebaran agama Islam di Indonesia.

1. Perdagangan

Saluran perdagangan merupakan tahap yang paling awal dalam tahap Islamisasi, yang diperkirakan dimulai pada abad ke-7 M dan  melibatkan pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India.

Menurut Thome Pires, sekitar abad ke-7 sampai abad ke-16 lalu lintas perdagangan yang melalui Indonesia sangat ramai.

Dalam agama Islam siapapun bisa sebagai penyebar Islam, sehingga hal ini menguntungkan karena mereka melakukannya sambil berdagang.

Pada saluran ini hampir semua kelompok masyarakat terlibat mulai dari raja, birokrat, bangsawan, masyarakat kaya, sampai menengah ke bawah.

Proses ini dipercepat dengan runtuhnya kerajan-kerajaan Hindhu-Budha.

2. Perkawinan

Tahap perkawinan merupakan kelanjutan dari tahap perdagangan.

Para pedagang yang datang lama-kelamaan menetap dan terbentuklah perkampungan yang dikenal dengan nama pekojan.

Tahap selanjutnya, para pedagang yang menetap ada yang membentuk keluarga dengan penduduk setempat dengan cara menikah, misalnya Raden Rahmat (Sunan Ampel) dengan Nyai Manila.

Mengingat pernikahan Islam dengan agama lain tidak sah, maka penduduk lokal yang akan dinikahi harus memeluk Islam terlebih dahulu.

Penyebaran agama Islam dengan saluran ini berjalan lancar mengingat akan adanya keluarga muslim yang menghasilkan keturunan-keturunan muslim dan mengundang ketertarikan penduduk lain untuk memeluk agama Islam.

Dalam beberapa babad diceritakan adanya proses ini, antara lain :

a. Maulana Ishak menikahi Putri Blambangan dan melahirkan Sunan Giri

b. Babad Cirebon diceritakan perkawinan antara Putri Kawunganten dengan Sunan Gunung Jati

c. Babad Tuban menceritakan perkawinan antara Raden Ayu Teja, Putri Adipati Tuban dengan Syekh Ngabdurahman

3. Pendidikan

Para ulama, kiai, dan guru agama berperan penting dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam.

Para tokoh ini menyelenggarakan pendidikan melalui pondok pesantren bagi para santri-santrinya.

Dari para santri inilah nantinya Islam akan disosialisasikan di tengah masyarakat.

Pesantren yang telah berdiri pada masa pertumbuhan Islam di Jawa, antara lain Pesantren Sunan Ampel di Surabaya dan Pesantren Sunan Giri di Giri.

Pada saat itu, terdapat berbagai kiai dan ulama yang dijadikan guru agama atau penasihat agama di kerajaan-kerajaan.

Lihat Foto

Kemendikbud RI

Ilustrasi Masuknya Islam di Nusantara

KOMPAS.com - Proses Islamisasi Nusantara berlangsung secara bertahap dalam rentang waktu yang panjang.

Penyebaran agama Islam di Nusantara dilakukan dengan cara yang damai dan fleksibel. Islam di Nusantara lebih mudah diterima karena menggunakan dakwah yang bersifat adaptif terhadap karakteristik masyarakat nusantara.

Berikut merupakan saluran-saluran Islamisasi di Nusantara:

Saluran perdagangan merupakan saluran utama penyebaran Islam di Nusantara. Dalam buku Arkeologi Islam Nusantara (2009) karya Uka Tjandrasasmita, pembawa dan penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang.

Pada sekitar abad 7-16 Masehi, Kepulauan Nusantara merupakan kawasan perdagangan Internasional yang ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang internasional, termasuk pedagang dari Arab, Persia dan Gujarat.

Baca juga: Kerajaan Islam di Kalimantan

Ramainya aktivitas perdagangan Nusantara menjadi faktor penting dalam kesuksesan Islamisasi Nusantara melalui jalur perdagangan.

Islamisasi di Nusantara semakin berkembang pesat ketika para ulama, guru agama dan raja turut menyebarkan agama Islam melalui pendidikan.

Para Ulama dan guru agama mendirikan pondok pesantren sebagai tempat pengajaran Islam dan keterampilan hidup bagi masyarakat nusantara.

Jaringan keilmuan Islam Nusantara juga dapat terbentuk melalui perkembangan pesantren di Nusantara.

Saluran perkawinan merupakan salah satu cara yang mudah dan efektif dalam Islamisasi Nusantara. Pedagang Islam banyak yang melakukan perkawinan dengan kaum perempuan pribumi dari kalangan bangsawan hingga anggota kerajaan.

Baca juga: Kerajaan Islam di Jawa

Proses islamisasi di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung sejak abad ke-11 Masehi. Sejak itu sampai abad ke-13 dan seterusnya––terutama setelah kerajaan Majapahit mencapai kejayaanya, proses islamisasi di daerah pesisir terus berlangsung.

Dari fenomena ini kemudian muncul kerajaan-kerajaan bercorak islam, yaitu Demak, kemudian diikuti kerajaan Cirebon, dan Banten.

Di sini posisi kerajaan Demak berhasil menggantikan kerajaan Majapahit yang telah mengalami kemunduran, kemudian dilanjutkan kerajaan Pajang, dan Mataram Islam. Peran Walisongo/ sembilan wali, sangat berpengaruh dalam proses islamisasi Indonesia––utamanya di Jawa.

1. Saluran Perdagangan

Saluran islamisasi di Indonesia perode pertama adalah melalui jalur perdagangan. Hal ini didasarkan pada kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 sampai abad ke-16 perdagangan antara negeri-negeri di bagian Barat, Tenggara dan Timur benua Asia dan di mana pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, India) menggambil bagiannya di Indonesia.

Saluran islamisasi melalui jalur perdagangan itu sangat menguntungkan. Hal ini menimbulkan jalinan di antara masyarakat Indonesia dan pedagang.

Agama islam yang dibawa oleh para pedagang menyebar dan berkembang mengikuti jalur-jalur pelayaran darn perdagangan. Proses islamisasi melalui saluran perdagangan ini dilancarkan oleh situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan, di mana pada masa itu adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang mengalami kemunduran.

Menurut Uka Tjandrasasmita (dalam Latifa Annum, 2016), para pedagang muslim banyak yang bermukim di pesisir pulau berhasil mendirikan tempat ibadah berupa masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak.

Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, hal ini dikarenakan faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang muslim. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat-tempat tinggalnya.

2. Saluran Perkawinan

Saluran perkawinan merupakan salah satu dari saluran-saluran Islamisasi yang paling memudahkan. Hal ini dikarenakan ikatan perkawinan merupakan ikatan lahir batin, tempat mencari kedamaian di antara dua individu.

Kedua individu  yauitu suami-istri membentuk keluarga yang justru menjadi inti masyarakat. Dalam hal ini berarti membentuk masyarakat muslim.

Para pedagang muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada penduduk pribumi, sehingga penduduk pribumi––terutama puteri-puteri bangsawan––tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar.

Sebelum kawin, mereka diislamkan––syahadat––terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah mayoritas muslim.

Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat wanita muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan––tentu saja setelah yang terakhir ini masuk Islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja, karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses islamisasi.

Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ngampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan puteri Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak), dan lain-lain.

3. Saluran Tasawuf

Secara lughawiletimologis ( kebahasaan) sebagian ada yang berpendapat kata tasawuf atau sufi diambil dari kata shaff, yang berarti saf atau baris.

Ada yang mengatakan tasawuf berasal dari shafa yang berarti bersih. Karena hatinya selalu dihadapkan kepada Tuhan. Ada juga kata tasawuf berasal dari kata shufah (kain dari bulu). Dan ada yang berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata shifah (sifat).

Hakikatnya yang dimaksud tasawuf adalah suatu cara/ usaha membersihkan jiwa, memperbaiki akhlak dan mendekatkan kepada Tuhan. Dan dapat disimpulkan bahwa dasar dari sufisme/tasawuf adalah penyucian hati dan menjaga dari penyakit hati dan hasil akhirnya adalah hubungan baik dengan Tuhan atau penciptanya.

Jadi seorang sufi adalah seorang yang selalu dekat kepada Tuhanya seolah-olah tidak ada sekat yang menghalanginya, karena hatinya terjaga dan hidupnya sepenuhnya untuk Tuhanya.

Tasawuf merupakan salah satu saluran yang penting dalam proses Islamisasi. Tasawuf termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia yang meninggalkan bukti-bukti yang jelas  pada tulisan-tulisan antara abad ke-13 dan ke-18. hal itu berkaitan langsung dengan penyebaran islam di Indonesia.

Dalam hal ini para ahli tasawuf––Sufi––hidup dalam penuh kesederhanaan atau tarekat. Para ahli tasawuf biasanya memiliki keahlian untuk menyembuhkan penyakit dan lain-lain. Jalur tasawuf, yaitu proses islamisasi dengan mengajarkan teosofi dengan mengakomodir nilai-nilai budaya bahkan ajaran agama yang ada  yaitu agama Hindu ke dalam ajaran Islam, dengan tentu saja terlebih dahulu dikodifikasikan dengan nilai-nilai Islam sehingga mudah dimengerti dan diterima.

Pernyataan paling dasar untuk membuktikan bahwa ada pengaruh Persia dalam budaya Islam Indonesia adalah pandangan bahwa masuknya Islam ke Indonesia adalah melalui Persia, atau dari Gujarat India yang sudah terpengaruh oleh Persia.

Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 M dan pembawanya berasal dari Persia. Dasar teori ini adalah beberapa kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia. Pendukung teori ini antara lain adalah P. A. Hoessein Djajadiningrat.

Menurut Hoesein Djajadiningrat, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Djajadiningrat beralasan, peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Ḥusain bin ‘Ali bin Abi Ṭālib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syi’ah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala.

4. Saluran Pendidikan

Dalam saluran islamisasi melalui pendidikan, para da’i/ ulama penyebar ajaran islam menggunakan sarana pondok pesantren. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri. Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang  terbuat dari bambu. Disamping itu, kata pondok berasal dari bahasa Arab  “Funduq” yang berarti Hotel atau Asrama.

Sedangkan menurut Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.

Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berartitempat tinggal para santri. Profesor Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yangg berarti guru mengaji.

Sedang C.C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa india, orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku suci,buku-buku agama atau buku buku tentang ilmu pengetahuan.

Di pesantren atau pondok itu calon ulama, guru agama dan kyai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka akan pulang ke kampung halaman masing-masing untuk berdakwah atau pergi ke daerah tertentu untuk menyebarkan ajaran islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel, Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.

5. Saluran Seni dan Budaya

Media seni dan budaya menjadi saluran islamisasi yang paling fenomenal dan bisa dirasakan sampai saat ini––terutama di masyarakat Jawa. Hal ini tidak terlepas dari peran Walisongo yang mengajarkan ajaran islam melalui media seni dan budaya. Pada masa itu media yang terkenal pada masyarakat jawa adalah wayang.

Para wali menggunakan media wayang untuk mengajarkan nilai-nilai ajaran islam. Yang menjadi ciri pengaruh Islam dalam pewayangan yaitu kesamaan derajat manusia di hadapan Allah dengan dimasukan tokoh-tokoh punakawan––Semar, Gareng, Petruk, Bagong.

Menurut cerita, Sunan Kalijaga merupakan tokoh yang mahir dalam mementaskan wayang. Beliau tidak pernah meminta upah saat pertunjukan wayang, sebagai gantinya beliau meminta penonton hanya untuk ikut mengucapkan kalimat syahadat.

Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari Mahabarata dan Ramayana, namun sedikit demi sedikit nama tokohnya diganti dengan pahlawan Islam. Nama panah Kalimasada, suatu senjata paling ampuh, dalam lakon wayang dihubungkan dengan kalimat syahadat, ucapan yang berisi pengakuan kepada Allah dan Nabi Muhammad. Kalimat syahadat merupakan tiang utama dari lima rukun Islam.

Para wali juga mengubah lagu-lagu tradisional daerah menjadi langgam islami yang juga menyimpan nilai-nilai islam.

Selain itu, saluran islamisasi juga melalui kesenian seperti seni bagunan, seni tari, seni pahat atau seni ukir, seni musik, dan seni sastra. Bisa dilihat bangunan-bangunan islam kuno, seperti masjid Demak, Sendang Dhuwur Agung Kasepuhan di Cirebon, mesjid Agung Banten, Baiturra Beberapa mesjid kuno seni bangunannya mirip candi, menyerupai bangunan pada masa Indonesia-Hindu.

Saluran dan cara Islamisasi melalui seni bangunan dan seni ukir sesuai pula dengan saluran dan cara melalui seni tari, seni musik, sastra dan yang lainnya.

Dalam upacara-upacara keagamaan, seperti Maulid Nabi sering dipertunjukkan seni tari dan atau musik tradisional, misalnya gamelan yang disebut sekaten yang terdapat di keraton Cirebon dan Yogyakarta dibunyikan pada perayaan Grebeg Maulud.

6. Saluran Politik

Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat efektif membantu tersebarnya islam di daerah ini. Pada abad ke-10 di Maluku memang sudah ramai perniagaan rempah-rempah yang dilakukan oleh para pedagang Arab dan Persia.

Karena pengaruh pedagang yang sangat erat akhirnya Raja Gafi di Maluku menerima islam dan namanya berganti Sultan Zaenal Abidin, dari masuknya islam raja inilah kemudian rakyat juga mengikuti rajanya untuk memeluk ajaran agama islam.

Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam masuk Islam.

Berdasarkan penjelasan tersebut tentang proses islamisasi di Indonesia dilakukan melalui pendekatan dan penyesuaian dengan unsur-unsur kepercayaan yang telah ada sebelumnya, maka kehidupan keagamaan rakyat masih menunjukkan unsur-unsur percampuran dengan unsur kepercayaan sebelumnya.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA