Prasasti Talang Tuo di temukan di Palembang oleh L.C. Westenenk pada tanggal 17 November 1920 yaitu di sebelah barat Palembang atau wilayah Talang Tuo tidak jauh dari Bukit Siguntang. Prasasti ini ditemukan dipermukaan tanah dengan kondisi tertelungkup ke tanah dengan kondisi fisiknya baik (Coedes, 2014). Show
Prasasti Talang Tuo ini terdapat 14 baris dengan tulisan aksara Palawa dan berbahasa Melayu Kuno dan sekaligus tertulis tahun 606 Saka atau 684 Masehi. Isi Prasasti Talang TuoAdapun isi dari keempat belas parasasti Talang Tuo dan terjemaahannya menurut Coedes diantaranya adalah (Coedes, 2014).
Terjemahan
Gambar Lokasi ditemukannya Prasasti Talang Tuo Pernyataan P.J. Zoetmulder yang dikutip Kartakusuma, menekankan pentingnya peranan agama dalam kebudayaan dan tidak ada satupun kebudayaan di dunia yang lepas dari pengaruh agama. Oleh sebab itu peninggalan-peninggalan kehidupan manusia yang ditinggalkan sebagian terbesar dari hasil kebudayaan yang disaksikan kini umunya dikususkan bagi tujuan keagamaan. Hal ini menunjukan bahwa hasil kebudayaan yang mencermikan agama lebih bertahan dari hasil kebudayaan yang mencerminkan kehidupan sehari-hari. Kondisi dan kenyataan ini berlaku pula bagi sejarah perkembangan kebudayaan masa Sriwijaya termasuk perkembangan agama Budha dan corak kerajaan di Sriwijaya. Peninggalan kerajaan Sriwijaya memang tidak ada habisnya, semakin hari temuan-temuan berupa manik-manik, barang keramik, prasasti, arca dan masih banyak yang lainnya dapat ditemukan disekitar wilayah Palembang sendiri. Berdasarkan tinggalan prasasti Talang Tuo yang tertera 14 baris dan mengandung makna yang mulya bagi raja Sriwijaya yang telah memberikan gambaran kepemimpinan raja yang bijaksana, adil, tegas dan sekaligus pemimpin yang melindungi agama serta taat dalam menjalankan ajaran agama Budha. Gambar Perkiraan daerah Taman Sriksetra di Prasasti Talang Tuo Dalam kultur dan pemahaman penganut agama Hindu-Budha bahwa raja dianggap sebagai wakil dewa di dunia kepercayaan itu disebut kultus dewaraja. Begitu halnya yang terdapat isi pada prasasti Talang Tuo merupakan pernyataan kultus individu dari Dapunta Hiyang Sri Jayanasa. Ajaran Budha kemungkinan manusia mencapai tingkat kedewaan pada saat masih hidup adalah aliran Tantra atau Budha Mahayana. Ajaran Tantrayana di Nusantara terdapat dalam Budha Mahayana merupakan hasil sintese mantrayana (mengutamakan semadi/yoga) dan paramitayana (ilmu pengetahuan tertinggi). Pembuatan prasasti Talang Tuo oleh raja Sriwijaya telah menggambarkan sebuah kepemimpinan yang sangat religius dalam agama Budha dan sekaligus pemimpin yang adil dan bijaksana kepada rakyatnya. Prasati Talang Tuo adalah usaha Dapunta Hiyank Sri Jayanasa yang bertujuan untuk mensejahterakan pemerintahan dan rakyatnya tertib, teratur sesui dengan dharma sekaligus menyelamatkan rakyatnya dari samsara atau penderitaan dunia. Usaha itu dilakukan pada saat Dapunta Hiyank Sri Jayanasa telah mampu atau dianggap telah mencapai tingkat kedeawaan (sebagai dewa di dunia) dalam masa pemerintahannya. Proses pendewaan ini secara normatif diperoleh melalui Tantra, sebagai dewaraja ia dapat menjangkau pengertian yang luas dalam usaha menyelamatkan segala makhluk atas penderitaannya, dan seluruh wujud usaha itu antara lain adalah pembuatan Taman Sriksetra. Taman Sriksetra dibuat pada tahun 606 Saka (684 M), dapat dipahami karena saat itu Dapunta Hiyank Sri Jayanasa baru beberapa waktu mejalani pemerintahannya, sehingga ia perlu mengadakan kultus individu sebagai dewaraja sebagaimana syarat yang harus dipunyai seseorang raja. Uraian Talang Tuwo memang mencerminkan seseoarang yang telah paham dan menghayati ajaran Budha. Pada masa itu Dapunta Hiyank Sri Jayanasa telah menjadi seseorang dewa, sedangkan masa sebelumnya ia belum sampai taraf sedemikian tinggi seperti pernyataan Satyawati Suleiman tahun 1985. Dengan demikian prasasti Talang Tuwo adalah bukti tertulis yang sengaja dibuat sehubungan kepentingan legitimasi dan wujud kultus dewaraja melalui ajaran Budha dari Dapunta Hiyank Sri Jayanasa. Sumber : Kabib Sholeh, Prasasti talang tuo peninggalan kerajaan sriwijaya sebagai materi ajar sejarah indonesia di sekolah menengah atas, Pendidikan Sejarah Universitas PGRI Palembang Prasasti Talang Tuwo Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (residen Palembang kontemporer) pada tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang, dan diketahui sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Keadaan fisiknya sedang adil dengan aspek datar yang ditulisi berukuran 50cm × 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuna, dan terdiri dari 14 baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan mengalihaksarakan prasasti tersebut adalah van Ronkel dan Bosch, yang dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, dengan nomor D.145. Inti prasastiBerikut adalah tulisan yang mempunyai pada Prasasti Talang Tuwo: Alih aksara
Alih bahasaBerikut ini adalah inti dan terjemahan prasasti tersebut, sebagaimana diterjemahkan oleh George Cœdès.
Kosa kata Melayu kunaBerikut adalah beberapa kosa kata bahasa Melayu kuna yang disebutkan dalam prasasti ini dan sampai kini sedang dapat ditemukan dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Dapat ditemukan banyak persamaan dan sedikit perubahan, selang lain awalan di- dahulu adalah ni-, awalan me- dahulu adalah mar- atau ma-, sedangkan imbuhan belakang -nya dahulu adalah -na. Lihat juga
edunitas.com Page 2Prasasti Talang Tuwo Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (residen Palembang kontemporer) pada tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang, dan diketahui sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Keadaan fisiknya sedang adil dengan aspek datar yang ditulisi berukuran 50cm × 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuna, dan terdiri dari 14 baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan mengalihaksarakan prasasti tersebut adalah van Ronkel dan Bosch, yang dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, dengan nomor D.145. Inti prasastiBerikut adalah tulisan yang mempunyai pada Prasasti Talang Tuwo: Alih aksara
Alih bahasaBerikut ini adalah inti dan terjemahan prasasti tersebut, sebagaimana diterjemahkan oleh George Cœdès.
Kosa kata Melayu kunaBerikut adalah beberapa kosa kata bahasa Melayu kuna yang disebutkan dalam prasasti ini dan sampai kini sedang dapat ditemukan dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Dapat ditemukan banyak persamaan dan sedikit perubahan, selang lain awalan di- dahulu adalah ni-, awalan me- dahulu adalah mar- atau ma-, sedangkan imbuhan belakang -nya dahulu adalah -na.
Lihat juga
edunitas.com Page 3Prasasti Talang Tuwo Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (residen Palembang kontemporer) pada tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang, dan diketahui sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Keadaan fisiknya sedang adil dengan aspek datar yang ditulisi berukuran 50cm × 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuna, dan terdiri dari 14 baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan mengalihaksarakan prasasti tersebut adalah van Ronkel dan Bosch, yang dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, dengan nomor D.145. Inti prasastiBerikut adalah tulisan yang mempunyai pada Prasasti Talang Tuwo: Alih aksara
Alih bahasaBerikut ini adalah inti dan terjemahan prasasti tersebut, sebagaimana diterjemahkan oleh George Cœdès.
Kosa kata Melayu kunaBerikut adalah beberapa kosa kata bahasa Melayu kuna yang disebutkan dalam prasasti ini dan sampai kini sedang dapat ditemukan dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Dapat ditemukan banyak persamaan dan sedikit perubahan, selang lain awalan di- dahulu adalah ni-, awalan me- dahulu adalah mar- atau ma-, sedangkan imbuhan belakang -nya dahulu adalah -na.
Lihat juga
edunitas.com Page 4Prasasti Talang Tuwo Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (residen Palembang kontemporer) pada tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang, dan diketahui sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Keadaan fisiknya sedang adil dengan aspek datar yang ditulisi berukuran 50cm × 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuna, dan terdiri dari 14 baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan mengalihaksarakan prasasti tersebut adalah van Ronkel dan Bosch, yang dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, dengan nomor D.145. Inti prasastiBerikut adalah tulisan yang mempunyai pada Prasasti Talang Tuwo: Alih aksara
Alih bahasaBerikut ini adalah inti dan terjemahan prasasti tersebut, sebagaimana diterjemahkan oleh George Cœdès.
Kosa kata Melayu kunaBerikut adalah beberapa kosa kata bahasa Melayu kuna yang disebutkan dalam prasasti ini dan sampai kini sedang dapat ditemukan dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Dapat ditemukan banyak persamaan dan sedikit perubahan, selang lain awalan di- dahulu adalah ni-, awalan me- dahulu adalah mar- atau ma-, sedangkan imbuhan belakang -nya dahulu adalah -na. Lihat juga
edunitas.com Page 5Prasasti Telaga Batu Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935.[1] Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang berisi tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti.[2] Pada tahun-tahun sebelumnya ditemukan semakin dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada suatu batu andesit yang sudah diwujudkan sebagaimana layaknya suatu prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di anggota atasnya terdapat alat berselok tujuh ekor kepala ular kobra, dan di anggota bawah tengah terdapat semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan air pembasuh. Tulisan pada prasasti berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Lawas. Penafsiran prasastiTulisan yang dipahatkan pada prasasti cukup panjang, namun secara garis akbar pokoknya tentang kutukan terhadap siapa saja yang melaksanakan kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak taat untuk perintah dātu. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang dinamakan pada prasasti ini merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi sebagai melawan untuk kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.[3] Dituturkan orang-orang tersebut mulai dari putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata (vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), abdi raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji). Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang paling lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga pusat Sriwijaya itu tidak kekurangan di Palembang dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya bertempat-tinggal di ibukota kerajaan.[4] Soekmono berpendapat berdasarkan prasasti ini tidak mungkin Sriwijaya tidak kekurangan di Palembang karena telah tersedianya keterangan ancaman kutukan untuk siapa yang durhaka untuk kedatuan,[5] dan mengajukan usulan Minanga seperti yang dinamakan pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan tidak kekurangan di sekitar Candi Muara Takus sebagai ibukota Sriwijaya.[6] Lihat juga
Referensi
edunitas.com Page 6Prasasti Telaga Batu Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935.[1] Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang berisi tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti.[2] Pada tahun-tahun sebelumnya ditemukan semakin dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada suatu batu andesit yang sudah diwujudkan sebagaimana layaknya suatu prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di anggota atasnya terdapat alat berselok tujuh ekor kepala ular kobra, dan di anggota bawah tengah terdapat semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan air pembasuh. Tulisan pada prasasti berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Lawas. Penafsiran prasastiTulisan yang dipahatkan pada prasasti cukup panjang, namun secara garis akbar pokoknya tentang kutukan terhadap siapa saja yang melaksanakan kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak taat untuk perintah dātu. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang dinamakan pada prasasti ini merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi sebagai melawan untuk kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.[3] Dituturkan orang-orang tersebut mulai dari putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata (vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), abdi raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji). Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang paling lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga pusat Sriwijaya itu tidak kekurangan di Palembang dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya bertempat-tinggal di ibukota kerajaan.[4] Soekmono berpendapat berdasarkan prasasti ini tidak mungkin Sriwijaya tidak kekurangan di Palembang karena telah tersedianya keterangan ancaman kutukan untuk siapa yang durhaka untuk kedatuan,[5] dan mengajukan usulan Minanga seperti yang dinamakan pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan tidak kekurangan di sekitar Candi Muara Takus sebagai ibukota Sriwijaya.[6] Lihat juga
Referensi
edunitas.com Page 7Tags (tagged): center of studies, unkris, prasasti, tri, tepusan, prasasti tri, tepusan prasasti dari, zaman kerajaan, mataram, kuno, pada tahun, 842 m, menganugerahkan, tanahnya desa tri, suci kamulan, i, bhumisambhara kemungkinan besar, nama, foto, dari, prasasti tersimpan dalam, museum candi, center, of studies kategori, tersembunyi rintisan, bertopik, arkeologi edunitas prasasti, tri tepusan Page 8Tags (tagged): center of studies, unkris, prasasti, tri, tepusan, prasasti tri, tepusan prasasti dari, zaman kerajaan, mataram, kuno, pada tahun, 842 m, menganugerahkan, tanahnya desa tri, suci kamulan, i, bhumisambhara kemungkinan besar, nama, foto, dari, prasasti tersimpan dalam, museum candi, center, of studies kategori, tersembunyi rintisan, bertopik, arkeologi edunitas prasasti, tri tepusan Page 9Tags (tagged): pusat ilmu pengetahuan, unkris, prasasti, tri, tepusan, prasasti tri, tepusan prasasti dari, zaman kerajaan, mataram, kuno, pada tahun, 842 m, menganugerahkan, tanahnya desa tri, suci kamulan, i, bhumisambhara kemungkinan besar, nama, foto, dari, prasasti tersimpan dalam, museum candi, pusat, ilmu pengetahuan kategori, tersembunyi rintisan, bertopik, arkeologi edunitas prasasti, tri tepusan Page 10Tags (tagged): pusat ilmu pengetahuan, unkris, prasasti, tri, tepusan, prasasti tri, tepusan prasasti dari, zaman kerajaan, mataram, kuno, pada tahun, 842 m, menganugerahkan, tanahnya desa tri, suci kamulan, i, bhumisambhara kemungkinan besar, nama, foto, dari, prasasti tersimpan dalam, museum candi, pusat, ilmu pengetahuan kategori, tersembunyi rintisan, bertopik, arkeologi edunitas prasasti, tri tepusan Page 11Prasasti Telaga Batu Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935.[1] Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang mengandung tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti.[2] Pada tahun-tahun sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit yang sudah diproduksi sebagaimana layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di ronde atasnya telah tersedia adunan tujuh ekor kepala ular kobra, dan di ronde bawah tengah telah tersedia semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan cairan pembasuh. Tulisan pada prasasti berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Lawas. Penafsiran prasastiTulisan yang dipahatkan pada prasasti cukup panjang, namun secara garis besar intinya tentang kutukan terhadap siapa saja yang melaksanakan kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tak taat kepada perintah dātu. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.[3] Diceritakan orang-orang tersebut mulai dari putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), mahir senjata (vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), hamba raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji). Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang sangat lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga pusat Sriwijaya itu telah tersedia di Palembang dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya bertempat-tinggal di ibukota kerajaan.[4] Soekmono berpendapat berdasarkan prasasti ini tak mungkin Sriwijaya telah tersedia di Palembang karena telah tersedianya keterangan ancaman kutukan kepada siapa yang durhaka kepada kedatuan,[5] dan mengajukan usulan Minanga seperti yang disebut pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan telah tersedia di sekitar Candi Muara Takus sbg ibukota Sriwijaya.[6] Lihat juga
Referensi
edunitas.com Page 12Prasasti Telaga Batu Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935.[1] Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang mengandung tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti.[2] Pada tahun-tahun sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit yang sudah diproduksi sebagaimana layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di ronde atasnya telah tersedia adunan tujuh ekor kepala ular kobra, dan di ronde bawah tengah telah tersedia semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan cairan pembasuh. Tulisan pada prasasti berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Lawas. Penafsiran prasastiTulisan yang dipahatkan pada prasasti cukup panjang, namun secara garis besar intinya tentang kutukan terhadap siapa saja yang melaksanakan kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tak taat kepada perintah dātu. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.[3] Diceritakan orang-orang tersebut mulai dari putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), mahir senjata (vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), hamba raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji). Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang sangat lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga pusat Sriwijaya itu telah tersedia di Palembang dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya bertempat-tinggal di ibukota kerajaan.[4] Soekmono berpendapat berdasarkan prasasti ini tak mungkin Sriwijaya telah tersedia di Palembang karena telah tersedianya keterangan ancaman kutukan kepada siapa yang durhaka kepada kedatuan,[5] dan mengajukan usulan Minanga seperti yang disebut pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan telah tersedia di sekitar Candi Muara Takus sbg ibukota Sriwijaya.[6] Lihat juga
Referensi
edunitas.com Page 13Prasasti Telaga Batu Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935.[1] Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang mengandung tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti.[2] Pada tahun-tahun sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit yang sudah diproduksi sebagaimana layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di ronde atasnya telah tersedia adunan tujuh ekor kepala ular kobra, dan di ronde bawah tengah telah tersedia semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan cairan pembasuh. Tulisan pada prasasti berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Lawas. Penafsiran prasastiTulisan yang dipahatkan pada prasasti cukup panjang, namun secara garis besar intinya tentang kutukan terhadap siapa saja yang melaksanakan kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tak taat kepada perintah dātu. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.[3] Diceritakan orang-orang tersebut mulai dari putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), mahir senjata (vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), hamba raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji). Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang sangat lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga pusat Sriwijaya itu telah tersedia di Palembang dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya bertempat-tinggal di ibukota kerajaan.[4] Soekmono berpendapat berdasarkan prasasti ini tak mungkin Sriwijaya telah tersedia di Palembang karena telah tersedianya keterangan ancaman kutukan kepada siapa yang durhaka kepada kedatuan,[5] dan mengajukan usulan Minanga seperti yang disebut pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan telah tersedia di sekitar Candi Muara Takus sbg ibukota Sriwijaya.[6] Lihat juga
Referensi
edunitas.com Page 14Prasasti Telaga Batu Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935.[1] Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang mengandung tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti.[2] Pada tahun-tahun sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit yang sudah diproduksi sebagaimana layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di ronde atasnya telah tersedia adunan tujuh ekor kepala ular kobra, dan di ronde bawah tengah telah tersedia semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan cairan pembasuh. Tulisan pada prasasti berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Lawas. Penafsiran prasastiTulisan yang dipahatkan pada prasasti cukup panjang, namun secara garis besar intinya tentang kutukan terhadap siapa saja yang melaksanakan kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tak taat kepada perintah dātu. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.[3] Diceritakan orang-orang tersebut mulai dari putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), mahir senjata (vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), hamba raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji). Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang sangat lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga pusat Sriwijaya itu telah tersedia di Palembang dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya bertempat-tinggal di ibukota kerajaan.[4] Soekmono berpendapat berdasarkan prasasti ini tak mungkin Sriwijaya telah tersedia di Palembang karena telah tersedianya keterangan ancaman kutukan kepada siapa yang durhaka kepada kedatuan,[5] dan mengajukan usulan Minanga seperti yang disebut pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan telah tersedia di sekitar Candi Muara Takus sbg ibukota Sriwijaya.[6] Lihat juga
Referensi
edunitas.com |