Apa yang dimaksud dengan sistem ijon

Oleh: Fitra Haris, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Praktik Ijon dalam pemungutan pajak menjadi satu hal yang menarik. Secara implisit, ijon memang bertentangan dengan asas kepastian hukum. Namun, belum ada satupun peraturan yang melarang praktik ijon secara eksplisit. Hanya ada larangan secara lisan dari Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani, untuk melakukannya. Larangan Menteri Keuangan bukannya tidak berdasar karena praktik ijon selain merupakan tindakan yang tidak adil, namun juga mendatangkan dampak buruk bagi DJP dan penerimaan negara. Ijon memang seolah-olah dapat memberikan keuntungan kepada DJP dari sisi penerimaan pajak. Namun dalam jangka yang lebih panjang ijon merupakan racun yang bisa merusak harapan-harapan yang selama ini sudah dibangun. Keuntungan semu itulah yang membuat kemungkinan dilakukannya praktik ijon masih terbuka.

Sebelum membahas praktik ijon dalam pemungutan pajak, terlebih dahulu kita akan melihat apa itu ijon secara umum. Ijon lebih dulu dikenal di dunia pertanian. Menurut KBBI, ijon memiliki 2 arti. Pertama, ijon adalah pembelian padi dan sebagainya sebelum masak dan diambil oleh pembeli sesudah masak. Kedua, ijon adalah kredit yang diberikan kepada petani, nelayan, atau pengusaha kecil, yang pembayarannya dilakukan dengan hasil panen atau produksi berdasarkan harga jual yang rendah. Dari kedua pengertian di atas dapat diartikan bahwa ijon adalah jalan yang terpaksa dilakukan petani walaupun akan mendatangkan kerugian.

Bukan rahasia lagi bahwa banyak petani kita berada dalam kelas ekonomi bawah. Petani sering kali tidak memiliki modal untuk menanam di awal musim tanam sehingga memerlukan pinjaman. Di sejumlah tempat, belum terdapat lembaga seperti bank ataupun koperasi yang dapat meminjamkan modal. Kalaupun tersedia lembaga pinjaman seperti bank dan koperasi, proses pinjamannya dianggap rumit sehingga petani lebih memilih pinjaman yang prosesnya lebih cepat. Di sinilah praktik ijon oleh tengkulak mendapat tempat. Pinjaman yang diberikan kepada petani harus dikembalikan setidaknya dengan 2 syarat.

Pertama, harus dikembalikan dengan bunga yang tinggi. Kedua, petani harus menjual hasil tanamannya sebelum masa panen tiba kepada tengkulak dengan harga yang murah dan biasanya di bawah harga pasar ketika panen. Bagi petani, ini bukan pilihan yang menguntungkan, namun mereka tidak punya pilihan lain. Ditambah lagi, jika petani terdesak dalam hal ekonomi sementara mereka belum memasuki masa panen sehingga tidak mempunyai uang, ijon kembali menjadi pilihan dengan segala kerugian yang akan menimpa di kemudian hari. Bagi tengkulak, bukan hanya berprinsip “tidak ada makan siang yang gratis”, namun mereka juga akan mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempedulikan nasib petani. Tidak jarang, praktik ijon ini membuat tanah-tanah petani tergadai ke tengkulak.

Dalam pemungutan pajak, ijon tidak sama persis seperti yang terjadi pada petani, namun memiliki beberapa kemiripan dan perbedaan. Dalam praktiknya, ijon adalah meminta wajib pajak untuk menyetor di tahun ini kewajiban perpajakan yang terutang di tahun depan. Atau pajak yang dibayar di depan, begitu kira-kira agar mudah memaknainya. Praktik tersebut menyalahi asas kepastian hukum berkenaan dengan kapan seharusnya pajak terhutang dan wajib disetorkan.

Terkait asas kepastian hukum, sebenarnya semua Undang-Undang tentang perpajakan tidak mangatur tentang asas. Namun kita dapat melihat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagai dasarnya. Mengapa kita dapat menggunakan UU Administrasi Pemerintahan sebagai dasar? Karena hukum pajak berada dalam ranah hukum administrasi pemerintahan. Pasal 5 UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa penyelenggaraan administrasi pemerintahan berdasarkan asas salah satunya Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Asas kepastian hukum termasuk ke dalam AUPB menurut Pasal 10 UU Administrasi Pemerintahan. 

Ijon menjadi pilihan yang salah dalam meningkatkan penerimaan pajak. Dari segi dampak yang dapat ditimbulkan, ijon dapat mendatangkan kerugian dan efek buruk bagi penerimaan pajak terutama di tahun-tahun yang akan datang. Kantor-kantor pelayanan pajak yang sedang dikejar target penerimaan membuat wajib pajak lebih leluasa menghitung pajak yang seharusnya terhutang menjadi sekecil mungkin. Ini asas mutualisme yang tidak baik.

Di satu sisi wajib pajak terkesan membantu pencapaian target penerimaan pajak tahun berjalan, dan di sisi lain tentunya wajib pajak tidak mau dirugikan dengan penghitungan pajak terhutang yang besar. Bahkan tidak tertutup kemungkinan wajib pajak memanfaatkan kesempatan ini dengan menyetorkan pajak yang baru akan terhutang tahun depan dengan angka yang lebih kecil dari yang seharusnya jika dihitung tahun depan. Kasus ini agak mirip dengan tengkulak/ rentenir yang membeli padi/ tanaman yang masih muda dengan harga yang lebih rendah jika dibandingkan harga setelah panen nanti. Ingat prinsip “tidak ada makan siang yang gratis”? 

Praktik ijon juga dapat merusak basis data pajak. Target pajak tahun depan, yang salah satunya dihitung berdasarkan realisasi penerimaan tahun ini dengan memasukkan variabel pertumbuhan ekonomi, akan menjadi sulit dicapai karena potensi penerimaan yang telah dihitung untuk tahun depan ternyata telah disetorkan pada tahun sebelumnya. Ini merupakan potensial lost bagi penerimaan pajak. Semakin besar angka setoran pajak yang diperoleh dari praktik ijon di tahun berjalan, maka semakin besar pula beban potensi penerimaan pajak yang hilang di tahun depan.

Sebagai contoh, sebuah perusahaan memiliki potensi pajak yang seharusnya terhutang di tahun 2019 senilai 1 Triliun. Potensi ini telah diperhitungkan sebagai target penerimaan di tahun 2019. Namun oleh perusahaan, disetorkan pada akhir tahun 2018.  Otomatis target penerimaan pajak yang telah dihitung sebesar 1 Triliun pada tahun 2019 menjadi lost karena telah disetorkan pada akhir tahun 2018. Praltik ijon akan membuat realisasi penerimaan pajak pada bulan-bulan awal di tahun yang akan datang akan mengalami pertumbuhan negatif. Lebih baik kondisi penerimaan pajak tahun berjalan apa adanya sehingga kita dapat menghitung target dan potensi penerimaan pajak dengan benar untuk tahun berikutnya.

Tidak seperti praktik ijon pada petani di mana petani tidak punya pilihan, sebaliknya DJP punya pilihan yang menjanjikan dalam pemungutan pajak. Salah duanya adalah Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak.  Berikut hitung-hitungan kasarnya. 

Ibu Sri Mulyani, sewaktu menjabat sebagai Managing Director di Wold Bank, menetapkan standar ideal Tax Ratio sebuah negara sebesar 15%. Sementara Indonesia pada tahun 2017 memiliki Tax Ratio sebesar 10,78%. Itu artinya masih ada gap sebesar 4,22% dari PDB yang seharusnya menjadi penerimaan pajak namun belum tergali. Dengan PDB Indonesia pada tahun 2017 sebesar Rp13.588,8 triliun,  maka penerimaan pajak yang belum tergali pada tahun tersebut adalah sebesar Rp573,4 triliun. Dengan memasukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 sebesar 5% saja, maka potensi penerimaan pajak yang bisa digali melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak akan menjadi sangat besar. Dengan demikian tentunya kita tidak akan tergoda lagi dengan praktik ijon yang menawarkan keuntungan semu. 

Sebuah langkah kecil dalam rantai perjuangan menuju Indonesia sebagai High Income Countries tidak boleh diabaikan. Karena mengabaikan langkah kecil berarti memutus rantai. Rantai yang terputus tidak akan pernah bisa sama lagi walaupun jika sudah disambung sedemikian rupa. Menolak praktik ijon adalah langkah kecil tersebut. Usaha terakhir untuk menutup kemungkinan praktik ijon adalah dengan membuat regulasi yang tegas melarang praktik tersebut. Imbauan baik secara lisan maupun tulisan mungkin memang akan membantu, namun selama tidak ada peraturan yang tegas yang memuat sanksi, maka sebuah larangan tidak akan berlaku efektif. Maka dari itu memalui tulisan ini saya mendorong untuk diterbitkannya aturan yang tegas melarang praktik ijon dalam pemungutan pajak. Demi negara kita yang lebih baik. Demi terbebas dari jebakan “tidak ada makan siang yang gratis”. 

Tulisan ini bukan berarti atas dasar kejadian sebenarnya di DJP. Saya mencoba menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang masih bisa terjadi di masa yang akan datang. Boleh jadi sekarang DJP sudah terbebas dari praktik ijon, namun celah-celah kemungkinannya masih terbuka lebar. Tulisan ini adalah ajakan untuk menutup celah-celah tersebut. Basis data yang benar akan membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan yang benar. Sebaliknya basis data yang salah juga akan membuat sebuah kebijakan semakin jauh dari kebenaran. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.

Apa yang dimaksud dengan sistem ijon

Jakarta, Kemendikbud --- Pendidikan vokasi dianggap berhasil jika keterserapan di dunia industri maupun dunia kerja sudah tinggi. Hal ini dianalogikan seperti sistem "ijon" yang biasanya merugikan para petani karena tengkulak membeli padi dengan harga murah saat padi masih belum siap panen. Tapi untuk kasus di vokasi, sistem “ijon” diadopsi karena lulusan SMK sudah mendapatkan tempat bekerja bahkan sebelum mereka mendapatkan ijazahnya.

 

Sistem inilah yang saat ini sedang dibangun di Kawasan Industri Kendal (KIK). Menurut  Direktur Jenderal Vokasi Wikan Sakarinto, hal tersebut selaras dengan strategi dasar link and match. “Ini yang dilakukan bersama oleh satuan pendidikan vokasi dengan IDUKA,” demikian disampaikan Wikan ketika memberikan keterangan pers secara virtual di Jakarta, pada Senin (14/9/2020).

 

Strategi link and match yang dimaksud mencakup sinkronisasi kurikulum, kehadiran guru/dosen tamu dari kalangan expert/industri minimal 50 jam/prodi/semester, ketersediaan program magang/prakerin minimal satu semester di IDUKA, serta adanya uji kompetensi/sertifikasi kompetensi bagi seluruh lulusan vokasi, dan bagi guru dan dosen vokasi.

 

Wikan meyakini, lulusan-lulusan yang benar-benar match dengan kebutuhan IDUKA, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa. “Semoga perjuangan kompak dan cerdas seluruh pihak dan stakeholder ini, akan mempercepat lahirnya jutaan lulusan vokasi yang kompeten dan unggul secara signifikan,” harapnya.

 

Sistem ijon merupakan perwujudan konsep cerdas dan taktis yang merangkum minimal empat strategi dasar link and match. Sistem ini diharmonisasikan dengan pemaknaan "Local Wisdom" agar mudah dipahami dan dicerna oleh seluruh pihak dan stakeholder. Harapannya, link and match akan menguntungkan seluruh pihak, khususnya pihak IDUKA, serta masa depan dan karir lulusan di dunia kerja.

 Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, pada kesempatan berbeda mengatakan, KIK merupakan proyek prioritas nasional kerja sama antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Singapura. Kerja sama ini dilakukan dalam dua fase, di mana fase pertama dengan membangun kawasan industri di atas lahan 1.000 ha dan fase kedua di atas lahan 1.200 yang akan menampung 1.800 perusahaan dari dalam dan luar negeri. Diperkirakan dalam kurun 5 tahun akan mampu menyerap lebih dari 20.000 tenaga kerja terampil. 

Pada saat ini Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah melakukan perjanjian kerja sama dengan 15 perusahaan di wilayah KIK.  Perusahaan tersebut di antaranya Dae Yong Texstile, Eclat Texstile dan Lianfa Textile, Master Kids,  D&V Medika Gemilang, Maju Bersama Gemilang, Aurie Steel Metalindo, Borine Technology, Maxindo Karya Anugrah, Inmas Surya Makmur, Sinar Harapan Plastik, United Power, APP Timber dan Kendal Eko Furido. Seluruhnya telah bekerja sama dengan 80 SMK di wilayah Kendal, Batang, dan Kota Pekalongan.(Denty A./Aline)

Sumber :

Apa yang dimaksud dengan sistem ijon

 

Penulis : pengelola web kemdikbudEditor :

Dilihat 4874 kali