Apa yang menyebabkan nama kota Jayakarta berubah menjadi Batavia



KONTAN.CO.ID - Jakarta adalah nama Ibu Kota Republik Indonesia. Sebelum bernama Jakarta, kota ini sudah beberapa kali mengalami perubahan nama. Pergantian nama Jakarta biasanya terkait dengan momen peristiwa sejarah yang berlangsung saat itu.  Dirangkum dari portal informasi Indonesia Indonesia.go.id, sebelum berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh-Pakuan di abad ke-12, nama kota ini adalah Sunda Kelapa. Meski demikian, konon, sejatinya eksistensi Jakarta telah ada sejak abad ke-5, ketika berada di bawah Kerajaan Tarumanagara. Selanjutnya, berdasarkan Prasasti Kebon Kopi (942 M), nama Sunda Kalapa diperkirakan baru muncul memasuki abad sepuluh. Kemudian, mengacu laporan yang disimpan di Torre de Tombo Lisabon, Jakarta disebut dengan nama Kalapa ketika orang Portugis pertama kali mengunjungi Kerajaan Galuh-Pakuan di 1511 (Adolf Heuken, 2001). Baca Juga: Jembatan Cikubang, jembatan kereta terpanjang di Indonesia dibangun era Belanda

Penggunaan nama Jayakarta

Namun, pada 22 Juni 1527, Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Untuk memperingati momen tersebut, maka nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta.  Sementara orang Barat yang singgah menyebut Jakarta dengan nama Jacatra. Sampai 1619, orang Belanda masih menyebut dengan nama itu. Tetapi, sejak Jan Pieterszoon Coen dengan membawa 1.000 pasukan menyerang Kerajaan Banten dan menghancurkan Jayakarta pada 1619, praktis kota ini dikuasai Belanda. Melalui kesepakatan De Heeren Zeventien (Dewan 17) dari VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), maka pada 4 Maret 1621 namanya diubah menjadi Batavia. Baca Juga: HUT ke-75 TNI pada 5 Oktober 2020, ini sejarah TNI Nama ini berasal dari nama etnis Jermanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein, dan dianggap sebagai nenek moyang bangsa Belanda dan Jerman, Bataf. Bangsa Belanda sangat mengagungkan nenek moyangnya sehingga mereka merasa perlu mengabadikan nama Batavia di negeri jajahannya, termasuk di Indonesia. Selain itu, Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar yang cukup besar buatan Belanda (VOC). Kapal tersebut dibuat pada 29 Oktober 1628 dan dinahkodai oleh Kapten Adriaan Jakobsz.  Meski demikian, tidak jelas sejarahnya, entah nama kapal tersebut yang merupakan awal dari nama kota Batavia. Atau, sebaliknya VOC yang menggunakan nama Batavia untuk menamai kapalnya.   Baca Juga: ​Sejarah Pizza Hut, kisah Frank & Dan Carney rintis restoran dari pinjam uang ibu

Apa yang menyebabkan nama kota Jayakarta berubah menjadi Batavia

Batavia atau Batauia[1] adalah ibu kota Hindia Belanda, yang wilayahnya kini kurang lebih menjadi Jakarta, ibu kota Indonesia. Batavia didirikan di pelabuhan bernama Jayakarta yang direbut dari kekuasaan Kesultanan Banten. Sebelum dikuasai Banten, bandar ini dikenal sebagai Kalapa atau Sunda Kelapa, dan merupakan salah satu titik perdagangan Kerajaan Sunda. Dari kota pelabuhan inilah VOC mengendalikan perdagangan dan kekuasaan militer dan politiknya di wilayah Nusantara.

Apa yang menyebabkan nama kota Jayakarta berubah menjadi Batavia

Batavia


1619–1949

Lambang

Semboyan: "Dispereert Niet" (Belanda: "Jangan berputus asa")

Apa yang menyebabkan nama kota Jayakarta berubah menjadi Batavia

Peta Batavia ca. 1914

StatusKoloni Belanda
Ibu kotaPemukiman utamaWeltevredenSejarah 

• Invasi VOC

28 Mei 1619

• Jeda kekuasaan Prancis dan Inggris

1806–1816

• Masa Pendudukan Jepang

1942–1945

• Konferensi Meja Bundar

27 Desember 1949 Luas

 - Total

182 km2[a]Mata uangGulden Hindia Belanda

Didahului oleh
Digantikan oleh
Apa yang menyebabkan nama kota Jayakarta berubah menjadi Batavia
Jayakarta
Jakarta
Apa yang menyebabkan nama kota Jayakarta berubah menjadi Batavia
Sekarang bagian dari
Apa yang menyebabkan nama kota Jayakarta berubah menjadi Batavia
 
Indonesia

Apa yang menyebabkan nama kota Jayakarta berubah menjadi Batavia

Detil perisai pada lambang kota Batavia

Nama Batavia dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai tahun 1942, ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. Sebagai bagian dari de-Nederlandisasi, nama kota diganti menjadi Djakarta.

Nama Batavia berasal dari suku Batavi, sebuah suku Jermanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein pada Zaman Kekaisaran Romawi. Bangsa Belanda dan sebagian bangsa Jerman adalah keturunan dari suku ini.

Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar tiang tinggi yang cukup besar asal Belanda yang dimililki perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC), dibuat pada 29 Oktober 1628, dinakhodai oleh Kapten Adriaan Jakobsz. Kapal tersebut kini berada di sebuah museum di Fremantle, Australia. Kapal tersebut akhirnya kandas di pesisir Beacon Island, Australia Barat. Dan seluruh awaknya yang berjumlah 268 orang berlayar dengan perahu sekoci darurat menuju kota Batavia ini.

 

Kastil Batavia, dilihat dari Kali Besar Barat oleh Andries Beeckman, sekitar tahun 1656-1658

Bukti tertua mengenai eksistensi permukiman penduduk yang sekarang bernama Jakarta adalah Prasasti Tugu yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara. Prasasti tersebut berkaitan dengan 4 prasasti lain yang berasal dari zaman kerajaan Hindu, Tarumanegara ketika diperintah oleh Raja Purnawarman. Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri diperkirakan baru muncul abad sepuluh.

Permukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kedatangan orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasai Malaka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis d'Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tomé Pires untuk menemui Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis. Diperkirakan, langkah ini diambil oleh sang raja Pakuan Pajajaran tersebut guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi ancaman Kesultanan Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu mempertahankan Sunda Kalapa.

Jayakarta

Pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Kesultanan Demak pada 1526, yang dipimpin oleh Fatahillah, Panglima Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan. Orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon.

Sampai Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Batavia

 

Bendera maritim yang pernah digunakan Batavia dari akhir abad ke-18 hingga abad ke-19

Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih merupakan pelabuhan kecil.

Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektare di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.

Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta.

Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun De Heeren Zeventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang orang Batavia.

Jan Pieterszoon Coen menggunakan semboyan hidupnya “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons” menjadi semboyan atau motto kota Batavia, singkatnya “Dispereert niet” yang berarti “Jangan putus asa”.

Pada 4 Maret 1621, pemerintah Stad Batavia (kota Batavia) dibentuk[1]. Jayakarta dibumiratakan dan dibangun benteng yang bagian depannya digali parit. Di bagian belakang dibangun gudang juga dikitari parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kuat. Selama 8 tahun kota Batavia sudah meluas 3 kali lipat. Pembangunannya selesai pada tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di selatan Kastil yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok dan dipotong-potong oleh banyak parit.

Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Kali Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628-1629) yang tidak mau pulang.

Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas.

Pada 1 April 1905 nama Stad Batavia diubah menjadi Gemeente Batavia. Pada 8 Januari 1935 nama kota ini diubah lagi menjadi Stad Gemeente Batavia[2].

Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi "Jakarta" oleh Jepang untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.

Orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, banyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (misalnya penduduk dalam kota dan Cina Benteng di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, misalnya: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak di antara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada kearaban mereka.

Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa.

Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel Jakarta. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota. Foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tionghoa di Mester atau Meester Cornelis sebutan Jatinegara pada zaman penjajahan Belanda dulu.

Penduduk Batavia yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi sebenarnya adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa.

# Potret Wali Kota Mulai jabatan Akhir jabatan Ket. Wakil Wali Kota
  Burgemeester Batavia
1   Mr.
G.J. Bisschop
Agustus 1916 Juni 1920 [ket. 1]
  Prof. Ir.
Hendrik van Breen
Juni 1920 7 Agustus 1920 [ket. 2]
2   Mr.
A. Meijroos
7 Agustus 1920 20 April 1933 [3]
3   Ir.
E. A. Voorneman
20 April 1933 1941 [4]
  Drs.
Archibald Theodoor Bogaardt
1941 1941 [ket. 2]
(3)   Ir.
E. A. Voorneman
1941 1942
  ジャカルタ特別市長  
  Bagindo Dahlan Abdullah Maret 1942 8 Agustus 1942 [ket. 3]
1 Sakae Tsukamoto
(塚本栄)
8 Augustus 1942 14 Juni 1943 [ket. 4]
2 Katsuyasu Yoshie
(吉江勝保)
14 Juni 1943 17 Juli 1944
3   Shigeo Hasegawa
(長谷川茂雄)
17 Juli 1944 23 September 1945 Suwiryo
Bagindo Dahlan Abdullah
  Burgemeester Batavia
4   Drs.
Archibald Theodoor Bogaardt
1 November 1946 28 Juni 1947 [6]
5 Elbert Marinus Stok 28 Juni 1947 26 Agustus 1948 [7]
6 Robert Thomas Praaning 26 Agustus 1948 20 April 1949 [8]
7   Sastromoeljono 20 April 1949 30 Maret 1950 [8]

  1. ^ Sebagai Batavia Burgemeester (Wali Kota Batavia)[2]
  2. ^ a b Waarnemend Burgemeester
    (Pejabat Wali Kota)[2]
  3. ^ Pelaksana Tugas[5]
  4. ^ Sebagai バタビア特別市長 (Wali Kota Istimewa Batavia) sebelum Desember 1942 dan ジャカルタ特別市長 (Wali Kota Istimewa Jakarta) setelah itu[5]

  1. ^ (Belanda) Institut voor taal-, land- en volkenkunde von Nederlandsch Indië, The Hague. Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië. 3. M. Nijhoff, 1855. hlm. 289. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  2. ^ a b "Decentralisatie-Jubilea: Batavia en Buitenzorg". De Indische Courant (dalam bahasa Belanda). 28 Maret 1940. 
  3. ^ "Mr. Meijroos Burgemeester van Batavia". De Telegraaf (dalam bahasa Belanda). 9 Agustus 1920. Diakses tanggal 19 November 2015. 
  4. ^ "Burgemeester van Batavia Ir. E.A. Voorneman benoemd". De Indische Courant (dalam bahasa Belanda). 20 April 1933. Diakses tanggal 19 November 2015. 
  5. ^ a b 秦郁彥, ed. (2001-11). 日本官僚制総合事典 1868-2000: 付主要企業トップ一覧 (dalam bahasa Jepang). 東京大学出版会. hlm. 140. ISBN 4130301217.  Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
  6. ^ "Rijswijks Scheidende Burgermeester Archibald Bogaardt: 'In de vijfde werk ik van de HBS gefflikker'". Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad (dalam bahasa Bahasa Belanda). 8 September 1973. Diakses tanggal 19 November 2015. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  7. ^ "Nieuwe wnd. burgemeester van Batavia". Leeuwarder courant. 26 June 1947. Diakses tanggal 15 December 2019. 
  8. ^ a b "NIEUWE BURGEMEESTER". Het dagblad. 26 August 1948. Diakses tanggal 15 December 2019. 

  • Jakarta
  • Sunda Kelapa
  • Gerbang Amsterdam
  • Batavia Air

  1. ^ Pada tahun 1926 sebagai Stadsgemeente Batavia

  • (Indonesia) VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie)
  • (Inggris) Foto Jakarta tahun 1890-an @ YouTube.com
  • (Inggris) Batavia Tahun 1919 @ YouTube.com

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Batavia&oldid=21303150"


Page 2

8 Januari adalah hari ke-8 dalam kalender Gregorian dengan 357 hari (atau 358 hari dalam tahun kabisat) menjelang akhir tahun.

1
2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21 22
23 24 25 26 27 28 29
30 31  
  • 1297 - Monako merdeka.
  • 1867 - Warga Afrika Amerika diberikan hak pilih di District of Columbia, Amerika Serikat.
  • 1912 - Kongres Nasional Afrika didirikan.
  • 1916 - Perang Dunia I: Tentara sekutu mundur dari Gallipoli.
  • 1918 - Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson mengumumkan "Program 14 Titik"-nya setelah Perang Dunia I.
  • 1926 - Abdul-Aziz bin Saud menjadi Raja Hejaz dan menamainya Arab Saudi.
  • 1989 - Musibah Kegworth menewaskan 47 orang di Britania Raya.
  • 1996 - Krisis sandera Mapenduma, militan OPM kelompok Kelly Kwalik menyandera 26 anggota Tim Ekspedisi Lorentz 95 di desa Mapenduma, Jayawijaya, Irian Jaya.
  • 1823 - Alfred Russel Wallace, ahli lingkungan dan biologi Britania (w. 1913)
  • 1935 - Elvis Presley, penyanyi dan gitaris Amerika (w. 1977)
  • 1942 - Stephen Hawking, fisikawan dan penulis Inggris (w. 2018)
  • 1974 - Rieke Diah Pitaloka, pesinetron Indonesia, anggota DPR-RI
  • 1979 - Donna Agnesia, aktris Indonesia
  • 1979 - Marsha Timothy, aktris Indonesia
  • 1983 - Kim Jong-un, Pemimpin Tertinggi Korea Utara
  • 1992 - Apostolos Vellios, pemain sepak bola Yunani
  • 1995 - Ravi Murdianto, penjaga gawang utama Tim nasional sepak bola U-19 Indonesia
  • 1324 - Marco Polo, petualang Italia (l. 1254)
  • 1642 - Galileo Galilei, astronom dan fisikawan Italia (l. 1564)
  • 1855 - Diponegoro (l. 1785)
  • 1941 - Robert Baden-Powell, pendiri Gerakan Kepanduan. (l. 1857)
  • 1942 - Joseph Franklin Rutherford, Presiden Lembaga Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania (l. 1869)
  • 1997 - Melvin Calvin, kimiawan Amerika Serikat, pemenang Hadiah Nobel tahun 1961 (l. 1911)
  • 2011 - Elfa Secioria, komposer Indonesia (l. 1959)
  • 1982 - Maulid Nabi Muhammad SAW 1402 Hijriah.
  • 2000 - Idul Fitri 1420 Hijriah.

7 Januari - 8 Januari - 9 Januari

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=8_Januari&oldid=20136957"