Apabila kita tidak mampu mengendalikan diri sendiri maka akan timbul mudarat yang besar yaitu

Imam Al-Ghazali mengingatkan tentang bahaya tak menjaga lisan.

Jumat , 07 Feb 2020, 23:41 WIB

Youtube

Imam Al-Ghazali mengingatkan tentang bahaya tak menjaga lisan.Zikir (ilustrasi)

Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Sekali lagi tentang bahaya akibat tidak menjaga lisan. Islam menekankan pentingnya menjaga lisa. 

Baca Juga

''Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia mengucapkan perkataan yang benar atau (lebih baik) diam.'' (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazali, mengemukakan ada 14 macam bahaya lidah yang harus diperhatikan manusia. Pertama, perkataan yang tidak bermanfaat yang bisa membuat hati kasar. 

Kedua, mereka yang banyak omong, maka ia banyak bohong. Ketiga, omong kosong. Padahal ciri-ciri orang beriman (QS 23:3) adalah mereka yang senantiasa menghindarkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.

Keempat, menyebabkan pertengkaran dan dendam kesumat. Kelima, banyak bicara akan menimbulkan permusuhan antarkelompok dan golongan. Keenam, mereka yang berbohong dengan mengaku sebagai pakar suatu bidang. Ketujuh, ucapan yang mengandung hujatan dan cacian. 

Kedelapan, ucapan yang mengutuk seseorang atau satu golongan. Kesembilan, ungkapan syair atau nyanyian porno yang membangkitkan nafsu kebinatangan seseorang. 

Kesepuluh, senda gurau dengan memperolok-olok orang lain. Rasulullah bersabda: ''Sesungguhnya mereka yang menertawakan teman-temannya, mereka akan jatuh ke dalam neraka, lebih jatuh dari bintang surya.''

Kesebelas, mengejek orang lain. Allah berfirman: ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan (menertawakan) kaum yang lain. Boleh jadi (yang ditertawakan itu) lebih baik dari mereka (yang menertawakan). Jangan pula sekelompok wanita menertawakan kelompok wanita yang lain, boleh jadi (yang diperolok-olok itu) lebih baik dari mereka dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk,'' (QS 49: 11).

Kedua belas, membuka rahasia orang lain. Ketiga belas, berjanji palsu. Keempat belas, bersumpah palsu. Semua itu akan merusak nilai-nilai amanah. Rasulullah bersabda: ''Waspadalah terhadap pembohong! Sebab pembohong dan orang-orang yang dzalim sama-sama dalam neraka.'' (HR Ibnu Majah)

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah: ''Apa penyebab terbesar orang masuk neraka?'' Nabi menjawab: ''Karena lidah dan kemaluannya.'' (HR Turmudzi). Mudah-mudahan kita semua dapat mengendalikan diri.

  • lisan
  • adab menjaga lisan
  • bahaya lisan
  • tuntunan lisan

sumber : Harian Republika

DERO.NGAWIKAB.ID – Di Era globalisasi ini, tatanan kehidupan masyarakat banyak mengalami perubahan. perubahan ini terjadi dalam segala bidang, yaitu bidang politik, keamanan, pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya. nah untuk mengatasi perubahan di era globalisasai di mulai dari kita sendiri yaitu dengan Pengendalian diri.

Dalam bahasa umum Pengendalian diri adalah “Tindakan Menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan dirinya sendiri di masa kini maupun di masa yang akan datang. Kerugian itu bermacam macam seperti sakit badan, sakit hati, bangkrut, gagal dalam menggapai cita-cita.

Adapun dalam bahasa Agama pengendalian diri adalah upaya untuk menjaga diri dan perbuatan perbuatan yang di larang oleh agama. Allah memerintahkan kita untuk menjaga diri kita dan keluarga kita dari api neraka.

Dalam melakukan pengendalian diri awal yang harus kita lakukan adalah hendaknya kita mampu mengendalikan hati kita, karena hati sangat berkuasa atas wawasan, pikiran, tindakan, seseorang sebagi contoh; ketika kemarahan memuncak, suasana hati sering kali bergolak tak terkendali . tekanan yang kian menumpuk terus membengkak hingga mencapai titik batas, dan terus bertumpuk, emndekati titik kritis yang tak tertahankan. Akibatnya persoalan kecil yang biasanya tidak menimbulkan masalah apa-apa , akan berubah menjadi masalah serius yang sangat mengesalkan hati dan membuat kita sangat resah atau gusar dan Puasa adalah cara melatih diri untuk mengendalikan diri kita.

Tujuan utama pengendalian diri adalah untuk memperoleh keberhasilan, kemajuan dan kebahagiaan. Di lihat dari sudut agama tujuan pengendalian diri adalah menahan diri dalam arti yang luas. Menahan diri dari belenggu nafsu duniawi yang berlebihan dan tidak terkendali, atau nafsu batiniah yang tidak seimbang.


Berikut ini adalah strategi Pengendalian diri:

  • Ingat selalu kepada Allah SWT yang senantiasa mengatur diri kita, yang selalu mengawasi perbuatan kita.
  • Berfikir terlebih dahulu dengan menggunakan akal yang jernih keuntungan dan kerugian bagi diri kita sebelum melakukan sesuatu
  • Bertanya pada hati ruhani kita yang paling dalam ketika akan melakukan perbuatan
  • Bersabar ketika terkena musibah
  • Bersabar dalam mengerjakan sesuatu yang di perintahkan oleh Allah SWT

Pengendalian diri adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya sendiri secara sadar agar menghasilkan perilaku yang tidak merugikan orang lain, sehingga sesuai dengan norma sosial dan dapat diterima oleh lingkungannya.[1] Pengendalian diri juga didefinisikan sebagai kapasitas manusia untuk mengendalikan respon terutama dalam fungsinya untuk beradaptasi dengan norma ideal, moral, ekspektasi sosial, dan pencapaian jangka panjang.[2] Pengendalian diri berkairan erat dengan internal locus of control[3] dan efikasi diri.[4]

Konsep awal pengendalian diri telah dimulai pada bidang ilmu psikologi sejak tahun 1977 dengan istilah efikasi diri.[1] Pada tahun tersebut, Bandura mengatakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan diri seseorang untuk melakukan perilaku tertentu. Efikasi diri menentukan seseorang untuk memunculkan perilaku tertentu.[4] Mengacu pada definisi tersebut, pada tahun 1980 seorang tokoh psikologi bernama Rosenbaum memperkenalkan istilah pengendalian diri dan mengoperasionalkan konsep awal tentang pengendalian diri lewat skalanya Self-Control Schedule. Rosenbaum menganggap bahwa pengendalian diri dapat dipelajari dan perlu adanya keyakinan bahwa ia mengontrol perilakunya sendiri tanpa bantuan dari luar dirinya.[5] Hasil penelitian Rosebaum menunjukkan bahwa pengendalian diri berhubungan dengan internal locus of control, yaitu kecenderungan seseorang menganggap penguatan atau hasil dari perilaku berasal dari perilaku mereka sendiri dan karakteristik personal. Di masa ini, konsep awal pengendalian diri merupakan bagian dari internal locus of control yang dicetuskan oleh Julian B. Rotter pada tahun 1990.[3]

Tahun 1990 - 2010

Hampir satu dekade setelahnya, Baumeister dan Heatherton memulai penelitian yang mengacu pada konsep awal pengendalian diri oleh Bandura dengan istilah regulasi diri. Mereka menganalisis tiga aspek dari pengendalian diri dan mengatakan bahwa regulasi diri merupakan sumber daya yang terbatas, misalnya ketika seseorang sedang kelelahan maka ia akan mudah kehilangan regulasi diri. Hal itu berdasarkan asumsi bahwa impuls yang muncul memiliki kekuatan, dan regulasi diri harus memiliki kekuatan yang lebih besar agar individu dapat mengontrol dan menahan impuls tersebut; hal itu juga yang membuat seseorang akan kesulitan meregulasi beberapa impuls dalam satu waktu[6].
Pada penelitian selanjutnya pada tahun 2002, Baumeister mengatakan bahwa pengendalian diri dan regulasi diri mengacu pada hal yang sama, yaitu kapasitas seseorang untuk mengendalikan perilaku dirinya yang muncul secara tiba-tiba dan mengganti perilaku tersebut dengan perilaku lain yang lebih sesuai. Perilaku tersebut dapat berbentuk pikiran (menolak pikiran buruk dan berusaha berkonsentrasi), mengubah emosi (melepaskan perasaan yang tidak menyenangkan), meregulasi impuls (bertahan terhadap godaan), dan meningkatkan performansi kerja.[7] Kapasitas tersebut memampukan individu untuk hidup dan bekerja bersama dalam sistem budaya yang ada dan memberikan manfaat bagi semua manusia yang ada dalam sistem tersebut.[8] Penelitian selanjutnya yang lebih berfokus pada dampak pengendalian diri mendefinisikan istilah pengendalian diri sebagai kemampuan untuk mengendalikan dan mengubah respon diri, termasuk mencegah impuls perilaku yang tidak diinginkan dan menahan diri untuk tidak melakukannya.[9] Hal itu membuat pengendalian diri yang rendah disebut sebagai impulsivitas dan ketidaksabaran seseorang untuk memuaskan keinginan secepatnya[10].
Baumeister, Vohs, dan Tice (2007) melihat pengendalian diri merupakan kapasitas manusia untuk mengendalikan respon terutama dalam fungsinya untuk beradaptasi dengan norma ideal, moral, ekspektasi sosial, dan pencapaian jangka panjang. Namun berbeda pada penelitian sebelumnya, mereka mengatakan bahwa pengendalian diri lebih mengacu pada perilaku yang disadari dan membutuhkan usaha untuk melakukannya, sedangkan regulasi diri lebih dipandang sebagai proses homeostatis seperti mempertahankan suhu tubuh.[2]

Baumister (2002 dalam Gandawijaya, 2017) mengatakan paling tidak terdapat tiga aspek utama dalam pengendalian diri. Standar-standar, pengawasan, dan kapasitas untuk berubah, merupakan tiga aspek utama untuk mengendalikan perilaku seseorang. Jika salah satu dari tiga aspek itu hilang, maka akan berakibat pada berkurangnya pengendalian diri. Dapat disimpulkan bahwa ketiga aspek tersebut membentuk kemampuan seseorang untuk melakukan pengendalian diri.[1]

Standar-standar

Standar-standar mengacu pada adanya tujuan-tujuan, persepsi-persepsi ideal, norma-norma yang ada, dan pedoman lainnya yang akan menentukan secara spesifik respon perilaku yang diinginkan. Standar-standar tersebut biasanya sesuai dan tidak berkonflik dengan lingkungan sosialnya. Seseorang yang memiliki standar-standar dan tidak berkonflik dengan lingkungan sosialnya mengetahui secara pasti apa yang ia inginkan, sehingga tidak akan mudah jatuh pada perilaku impulsif. Orang tersebut akan berusaha mengendalikan perilakunya untuk mengejar standar-standar yang tinggi dan sesuai dengan lingkungannya. Hal yang berbeda akan terjadi jika seseorang tidak memiliki standar-standar. Ia akan mudah mengikuti impuls yang muncul dalam dirinya tanpa ada kemauan untuk mengendalikan keinginan tersebut karena ia tidak memiliki tujuan-tujuan, persepsi ideal, norma-norma, atau standar yang ada. Begitu pula ketika individu memiliki standar-standar, tetapi terdapat konflik antara standar diri dan standar lingkungan sosialnya. Standar diri yang berkonflik dengan standar lingkungan sosial akan membuat tujuan seseorang menjadi tidak jelas.

Pengawasan

Pengawasan mengacu pada bagaimana seseorang menjaga perilakunya sesuai dengan standar-standar yang telah ia miliki. Seseorang yang memiliki pengawasan terhadap perilakunya akan mampu memperkirakan secara tepat konsekuensi dari perilaku yang ia lakukan. Seseorang yang kehilangan acuan, lupa akan standar-standar yang telah ia miliki, atau tidak tepat dalam memperkirakan konsekuensi dari perilakunya, akan menurunkan pengendalian diri dan jatuh dalam perilaku impulsif. Salah satu hal yang mampu membuat seseorang melepaskan pengawasan terhadap perilakunya adalah konsumsi alkohol. Seseorang yang mabuk alkohol akan berhenti mengawasi perilakunya dari menghabiskan uang, makan-makan, merokok, bahkan untuk minum lagi.

Kapasitas untuk berubah

Kapasitas untuk berubah merupakan aspek yang penting dari kedua aspek sebelumnya. Kapasitas ini mengacu pada kemampuan untuk mengumpulan kekuatan yang dibutuhkan untuk mengganti atau membatasi perilaku yang tidak sesuai. Tanpa kapasitas untuk berubah, maka kedua aspek sebelumnya tidak berarti. Walaupun seseorang memiliki standar-standar dan pengawasan yang tinggi, tetapi jika ia tidak mampu melakukan hal-hal yang dibutuhkan untuk mencapai tujuannya, maka dapat dikatakan bahwa pengendalian dirinya menurun.

Berbagai penelitian telah menunjukkan peran pengendalian diri dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang memiliki pengendalian diri yang tinggi akan berdampak pada peningkatan performansi kerja, pengendalian impuls yang baik, penyesuaian dan stabilitas harga diri, hubungan interpersonal yang baik, dan kurangnya perilaku agresi. Pada sisi lain, pengendalian diri yang rendah akan berdampak pada penurunan performansi kerja, impulsivitas, ketidakmampuan melakukan penyesuaian psikologis, stabilitas harga diri yang rendah, kurangnya hubungan interpersonal, dan meningkatnya perilaku agresi.[1]

Peningkatan performansi

Penelitian yang dilakukan oleh Tangney, Baumister, dan Boone menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki pengendalian diri yang tinggi juga memiliki IPK yang lebih baik daripada seseorang yang memiliki pengendalian diri rendah. Hal itu terjadi karena pengendalian diri membuat seseorang memiliki kedisiplinan diri dan menghindari prokrastinasi, sehingga berdampak pada peningkatan performansi akademis maupun performansi kerja.[9]

Pengendalian impuls

pengendalian diri juga memiliki kontribusi terhadap pengendalian impuls. Seseorang yang memiliki pengendalian diri rendah akan mudah berperilaku impulsif dan difungsional. Tochkov juga menyebutkan bahwa kurangnya pengendalian diri ini disebut impulsivitas, yaitu ketidaksabaran seseorang untuk memuaskan keinginannya.[9] Seseorang yang impulsif akan lebih memilih penghargaan yang kecil namun langsung dapat diterima daripada penghargaan yang besar namun tidak langsung diberikan. Kurangnya pengendalian diri menyebabkan berbagai perilaku bermasalah seperti perilaku makan berlebihan, konsumsi alkohol, diskriminasi, dan kekerasan.[2]

Penyesuaian psikologis

Seseorang yang memiliki pengendalian diri akan mampu melakukan penyesuaian psikologis, memiliki harga diri, dan stabilitas harga diri. pengendalian diri yang rendah berhubungan dengan kecemasan, permusuhan, kemarahan, ketakutan, dan pikiran paranoid. pengendalian diri juga berhubungan dengan penghargaan diri dan kemampuan untuk mempertahankan harga diri.[9]

Hubungan interpersonal

pengendalian diri yang tinggi juga berkorelasi dengan hubungan interpersonal yang lebih baik dibandingkan seseorang dengan pengendalian diri rendah. Hal ini terindikasi dari keakraban keluarga yang tinggi dan konflik keluarga yang rendah pada orang dengan pengendalian diri tinggi. Selain itu, orang dengan pengendalian diri tinggi lebih memiliki kelekatan aman dan tingkat empati yang optimal.[9]

Pereda agresivitas

Penelitian yang dilakukan oleh Denson, DeWall, dan Finkel menunjukkan bahwa pengendalian diri menjadi salah satu hal yang menghambat perilaku agresi. Penelitian tersebut mengulas hasil penelitian-penelitian sebelumnya tentang mekanisme pengendalian diri dan hubungannya dengan agresi. Dari hasil ulasan tersebut disimpulkan bahwa mengurangi pengendalian diri akan meningkatkan agresi, dan meningkatkan pengendalian diri akan mengurangi agresi.[11]

  1. ^ a b c d Gandawijaya, L.E. (2017) The correlation between Self-Control and Electronic Aggression on Social Media users in Emerging Adulthood. Thesis: Psychology Departement, Sanata Dharma University. doi:10.13140/RG.2.2.34270.74568.
  2. ^ a b c Baumeister, R. F., Vohs, K. D., & Tice, D. M. (2007). The Strength Model of Self-Control. Current Directions in Psychological Science, 16(6), 351-355. doi:10.1111/j.1467-8721.2007.00534.x
  3. ^ a b Rotter, J. B. (1990). Internal Versus External Control of Reinforcement: A Case Hosti. American Psychologist, 45(4), 489-493. doi:10.1037/0003-066X.45.4.489
  4. ^ a b Bandura, A. (1977). Self-efficacy: Toward a unifying theory of behavioral change. Psychological Review, 84(2), 191-215. doi:10.1037/0033-295X.84.2.191
  5. ^ Rosenbaum, M. (1980). A Schedule for Assessing Self-Control Behaviors: Peliminary Findings. Behavior Therapy, 11(1), 109-121. doi:10.1016/S0005-7894(80)80040-2
  6. ^ Baumeister, R. F., & Heatherton, T. F. (1996). Self-Regulation failure: An Overview. Psychological Inquiry, 7(1), 1-15. doi:10.1207/s15327965pli0701_1
  7. ^ Baumeister, R. F. (2002). Yielding to Temptation: Self-Control Failure, Impulsive Purchasing, and Consumer Behavior. The Journal of Consumer Researcch, 28(4), 670-676. doi:10.1086/338209
  8. ^ DeWall, C. N., Baumeister, R. F., Stillman, T. F., & Gailliot, M. T. (2007). Violence Restrained: Effects of self-regulation and its depletion on aggression. Journal of Experimental Social Psychology, 43, 62-76. doi:10.1016/j.jesp.2005.12.005
  9. ^ a b c d e Tangney, J. P., Baumeister, R. F., & Boone, A. L. (2004). High Self-Control Predicts Good Adjustment, Less Pathology, Better Grades, and Interpersonal Success. Journal of Personality, 72(2), 271-322. doi:10.1111/j.0022-3506.2004.00263.x
  10. ^ Tochkov, K. (2010). Self Control Deficits and Pathological Gambling. International Journal of Psychological Studies, 2(2), 65-69. doi:10.5539/ijps.v2n2p65
  11. ^ Denson, T. F., DeWall, C. N., & Finkel, E. J. (2012). Self-Control and Aggression. Psychological Science, 21(1), 20-25. doi:10.1177/0963721411429451

 

Artikel bertopik psikologi ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pengendalian_diri&oldid=19510235"

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA