Apakah akibat dari cuaca yang berubah-ubah bagi pertanian

Jika kita membicarakan tentang sampah tentu tidak akan ada habisnya, karena sampah

Lingkungan hidup alami adalah lingkungan hidup yang terbentuk karena proses alam dan

Baik disadari maupun tidak, aktivitas yang dilakukan oleh manusia dapat mencemari lingkungan.

Sampah adalah hal yang tidak pernah lepas dari kehidupan rumah tangga, baik

(Sumber gambar : //www.classzone.com/books/earth_science/terc/content/investigations/esu601/images/esu601_p2_circulationas_b.gif)

Akhir-akhir ini perubahan iklim menjadi suatu pokok bahasan yang cukup kompleks di berbagai sektor terutama pertanian. Perubahan iklim merupakan dampak dari peristiwa pemanasan global.  Peristiwa ini terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer yang menyebabkan efek gas rumah kaca. Selain itu perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim, yaitu suhu, curah hujan, kelembapan, evaporasi, arah dan kecepatan angin serta awan. Hal tersebut dapat berdampak terhadap sistem pertanian. Dimana tanaman pangan (semusim) relatif rentan terhadap perubahan iklim pada kondisi kekurangan dan kelebihan air.

Salah satu kontributor terhadap emisi gas rumah kaca berasal dari sektor pertanian yaitu gas CO2, CH4 dan N2O. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan merupakan salah satu faktor penyebab penurunan kualitas lingkungan. Sehingga harus ada tindakan yang dapat dilakukan terhadap perubahan iklim diantaranya yaitu mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Adaptasi merupakan upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya. Sedangkan untuk tindakan mitigasi merupakan upaya dalam mengatasi penyebab perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan gas rumah kaca. Tindakan yang dapat dilakukan untuk penurunan emisi di sektor pertanian terutama pada tanaman pangan semusim (padi) yaitu dengan penerapan metode budidaya padi SRI (System of Rice Intensification). Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, metode SRI mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2, CH4 dan N2O) dan dapat meningkatkan produktifitas.

Upaya adaptasi yang dapat dilakukan oleh petani untuk menghadapi perubahan iklim diantaranya :

  • Memperoleh pengetahuan dan informasi terkait perubahan iklim, peringatan dini dan sistem informasi iklim
  • Menyesuaikan kalender tanam dan jenis komoditas yang akan ditanam
  • Memilih dan mengembangkan jenis dan varietas tanaman yang tahan terhadap perubahan iklim diantaranya tahan kekeringan, tahan genangan dan tahan terhadap air payau
  • Menerapkan teknologi hemat air, sistem irigasi berselang dan efisiensi penggunaan air seperti irigasi tetes dan pemberian mulsa
  • Melakukan penanaman lebih dari satu jenis tanaman (tumpang sari)
  • Mengembangkan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk meningkatkan daya adaptasi tanaman
  • Mengembangkan sistem integrasi tanaman-ternak (crop livestock system atau CLS) untuk mengurangi resiko dan optimalisasi penggunaan sumber daya lahan
  • Mengembangkan sistem perlindungan usaha tani dari kegagalan akibat perubahan iklim atau crop weather insurance (Nugroho, 2016).

Adanya upaya adaptasi ini diharapkan dapat mengatasi ancaman perubahan iklim terhadap sekotor pertanian diantaranya yaitu kegagalan panen yang berakibat pada penurunan produktifitas dan ancaman lingkungan seperti peningkatan emisi gas rumah kaca.

Daerah tropis merupakan daerah yang sangat cocok untuk perkembangan pertanian, dibandingkan dengan daerah lain di dunia. Hal tersebut dikarenakan daerah tropis memiliki dua musim, yaitu penghujan dan kemarau, sehingga dengan keadaan iklim yang seperti itu dapat diatur kapan musim tanam yang baik untuk tanaman pertanian, dengan harapan dapat menghasilkan produk pertanian yang memuaskan. Namun yang disayangkan, karena perubahan musim yang tidak teratur di daerah tropis, menyebabkan pertanian di daerah tropis kalah saing dengan pertanian di daerah subtropis, maupun daerah lainnya. Seperti halnya yang terjadi di Thailand, jumlah curah hujan yang rendah pada musim penghujan menyebabkan tidak mencukupi tampungan air untuk pertanian sepanjang tahun, selain itu kualitas air yang buruk di kolam penampungan juga mempengaruhi kualitas pertanian di daerah tropis, khususnya di Thailand. Hal tersebut diungkapkan Dr Arunee Promkhambut, selaku dosen Khon Kaen University Thailand, pada Selasa (1/12) dalam acara Internasional Seminar and Summer School of Tropical Farming (ITFSS) yang diselenggarakan oleh Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Produksi pertanian di daerah tropis tidak stabil, salah satu penyebabnya yaitu pada musim panas, tampungan air hujan yang tersedia tidak dimanfaatkan oleh para petani dengan maksimal. Hal ini menyebabkan kekeringan yang berkepanjangan ketika musim panas, dengan keterbatasan air untuk melakukan pengairan pertanian, sehingga menyebabkan produksi pertanian yang tidak memuaskan, bahkan jumlah produksinya pun mengalami penurunan. “Karena itu, butuh penanganan air yang baik untuk daerah tropis jika tidak ingin kalah saing dengan kualitas produksi di daerah-daerah subtropis dan daerah lainnya. Padahal seharusnya, daerah tropis yang memiliki dua musim ini dapat memanfaatkan musim tersebut untuk produksi pertanian yang berkualitas dan maksimal, namun kenyataannya bertolak belakang,” ungkap Dr Arunee.

Hal senada juga diungkapkan Prof. Dr. Ir. Edhi Martono, M.Sc, dosen pertanian UGM, Prof. Edhi mengungkapkan, daerah pertanian sekitar 40-45% di dunia adalah di tanah tropis, sehingga pertanian di daerah tropis cukup membawa pengaruh terhadap pertanian di dunia. Namun yang disayangkan karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhi sehingga menyebabkan kualitas pertanian di tanah tropis tidak sebaik di daerah subtropis dan daerah lainnya. Salah satu faktor yang cukup mempengaruhi kondisi tersebut yaitu perubahan musim di daerah tropis yang tidak menentu.

Karena itu, menurut Prof. Edhi, ada berbagai hal yang dapat dilakukan oleh petani dan juga masyarakat yang berada di daerah tropis untuk menghadapi perubahan musim yang dapat berubah-rubah tersebut yaitu, dengan menggunakan sumber daya yang ada secara bijaksana dan efisien, pengurangan gas rumah kaca, dan menggandakan pangsa sumber daya terbarukan dari energi primer untuk pembangkit listrik. “Jangan hanya laju pertumbuhan pembangunan saja yang ditingkatkan. Tapi laju pertumbuhan lahan pertanian juga sudah seharusnya lebih ditingkatkan lagi. Karena pada dasarnya dengan meningkatnya populasi dunia, aspek yang dapat mempengaruhinya adalah bidang pertanian. Karena tidak ada aktivitas manusia lainnya sejauh ini yang mampu memberi makan populasi dunia, selain melalui bidang pertanian,” ungkapnya.

Terlepas dari hal tersebut, seperti diungkapkan Chandra Kurnia Setiawan, SP, M.Sc, selaku Ketua Acara ITFSS mengungkapkan, terselenggaranya Internasional Seminar dan Summer School tersebut merupakan bentuk dukungan internasionalisasi UMY sebagai kampus berstandar World Class University. Untuk tema yang diangkat pada acara tersebut yaitu terkait dengan Tropical Farming, tujuan diangkatnya tema tersebut untuk melihat lebih jauh dampak dan faktor yang mempengaruhi daerah-daerah Asia sebagai daerah tropis terhadap perkembangan kualitas dan kuantitas pertaniannya. “Kita ketahui Indonesia merupakan salah satu daerah tropis, sehingga terdapat berbagai kelebihan dan kekurangan yang mempengaruhi hal tersebut terhadap kondisi pertanian di daerah tropis, yang salah satunya yaitu musim yang dimiliki daerah tropis hanya dua, yaitu musim panas, dan musim penghujan,” ungkapnya.

Dalam kegiatan summer school ITFSS tersebut diikuti oleh 5 negara di Asia, yaitu terdiri dari negara Thailand, Malaysia, Korea Selatan, China, dan juga Indonesia. Acara tersebut akan berlangsung mulai dari tanggal 1 hingga 9 Desember 2015 di UMY. (adam)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA