Peristiwa kecil pagi itu mau tak mau membawa kembali pada kenangan saat sekolah dahulu. Selalu disetiap jenjang pendidikan ada guru favorit, guru yang baik hati dan dicintai muridnya. Lamat-lamat teringat pada sebuah nama, Pak Tahir, itu guru saat SD dulu. Rasanya sulit mencari guru seperti dia saat ini. Betapa tidak, kehidupan murid-muridnya di luar sekolah juga menjadi perhatiannya. Saat liburan panjang, dikunjungi rumah semua muridnya. Dan diam-diam kami semua menangis ketika suatu saat dia harus berpindah tempat tugas.
Guru, konon berarti di “Gugu” dan “ditiRU” yang kurang lebih dipercaya, didengar dan diteladani. Dengan demikian bicara guru bukan sekedar menyangkut pengetahuan dan cara mengajar belaka. Bicara guru juga bicara kemampuan ‘menyentuh’ muridnya secara manusiawi, menumbuhkan nilai-nilai dan kwalitas manusia dalam diri anak didiknya.
Menjadi guru berarti seseorang diberi hak (kuasa) dan dinyatakan berkompeten untuk mengajar (magisterium). Namun dibalik itu semua adalah sebuah panggilan hati, sebuah opsi untuk mengabdi pada pemanusiaan dan pemerdekaan anak-anak didiknya. Oleh karena relasi antara guru dan peserta ajar bukanlah relasi kekuasaan, melainkan relasi yang fasilitatif dan animatif. Diri anak didik bukanlah kertas kosong, setiap anak membawa bibit kwalitas masing-masing yang perlu dikenali untuk ditumbuhkan dengan cara yang khas.
Salah satu yang paling mengesankan dari para guru di sekolah dulu adalah semangat untuk menjaga kesederhanaan. Klop dengan pandangan atau gambaran yang tertanam dalam benak muridnya. Maka jika ada seorang guru yang tampil ‘lebih’ akan segera jadi gunjingan. Saat di SMP ada beberapa guru yang berangkat dan pulang ke sekolah dengan jalan kaki, berbaur bersama murid-muridnya. Ketika di SMA, ada guru yang tetap setia mengendarai sepeda. Ada pula guru yang menggunakan kendaraan umum dan tak pernah terlambat seperti kebanyakan muridnya. Kesederhanaan yang tulus dan dilakoni terus menerus akan selalu memenangkan hati. Meski mata pelajarannya dibenci, tapi sang guru dihormati.
Kesederhanaan adalah sebuah pilihan. Sederhana berarti mampu membedakan mana kebutuhan, mana keinginan dan
Nasi kuning, itulah bekal favorit yang kerap dibawa anakku. Meski tidak selalu dihabiskan tapi saat ditanya apa yang akan dibawa besok lebih sering nasi kuning yang diingininya. Rupanya hal ini diperhatikan oleh gurunya. Hari Sabtu adalah hari dimana murid tidak membawa bekal karena sudah disediakan di sekolah. Dan kalau kebetulan sekolah menyediakan nasi kuning, pada saat pulang sang guru memberi sebungkus pada anakku untuk dibawa pulang.
Sangkaan sang guru bahwa anakku begitu menggemari nasi kuning sesungguhnya tidak benar. Namun perhatian kecilnya mampu menyentuh hati anakku. Maka ketika dirumah dilihat ada sesuatu yang berlebih, mengerakkan dirinya untuk membawa guna diberikan pada gurunya. Dan hari itu tanpa diajari, dia telah belajar tentang balas budi. Terbukti kebaikan hati merupakan pelajaran tanpa kata-kata yang bisa dimengerti oleh siapa saja.
Photo credit: sukabumitoday.com.blogbintang.com
Bacalah teks berikut dengan saksama untuk menjawab soal nomor 1-6.
Bubur Ayam Terakhir
Nenekku meninggal tiga tahun yang lalu. Setiap ingat peristiwa itu, aku memendam penyesalan yang dalam. Penyesalan itu muncul karena kejadian yang akan kukisahkan berikut ini.
Hari itu, nenekku yang sedang sakit ingin sekali makan bubur ayam buatanku. Aku memang senang memasak. Banyak yang bilang kalau masakanku enak. Bahkan, nenekku sangat menyukai bubur ayam buatanku. Oleh karena itu, saat Beliau tidak selera makan, ibuku akan menyuruhku membuatkan bubur ayam. Seperti hari itu, nenekku tidak mau makan. Dia hanya mau makan bubur ayam buatanku.
Padahal, hari itu aku sedang malas memasak. Aku sedang asyik membaca novel yang baru saja kubeli. Ibu mendesakku untuk memasak. "Ayolah Sinta, sebentar saja...demi Nenek," kata Ibu. "Ibu bantu mengaduknya," sambung Ibu lagi.
"Dibelikan di warung Pak Amat saja, Bu, Sinta sedang belajar nih, besok ulangan bahasa Indonesia," kataku berbohong kepada Ibu.
"Baiklah, Sin, kamu belajar saja. Biar Ibu saja yang memasak untuk Nenek." lbuku pun berlalu dari kamarku.
Sepeninggal ibuku, aku meneruskan membaca novel sambil tiduran. Akhirnya, aku ketiduran. Aku terbangun pukul tiga sore dan keluar kamar. Rumah tampak sepi. Aku mencari Ibu di dapur, tetapi yang kutemui hanya Bik Surti.
"Bik, Ibu di mana?" tanyaku.
"Ibu ke rumah sakit, Non. Nenek kritis sehingga tadi dibawa ke rumah sakit," jawab Bik Surti.
"Hah?!" aku terkejut sekali. "Kenapa aku tidak dibangunkan?"
"Tadi terburu-buru, Non. Setelah mereka berangkat Bibik membereskan rumah sehingga kelupaan membangunkan Non," kata Bik Surti.
Aku segera mandi dan bersiap-siap menyusul ke rumah sakit. Belum sempat berangkat, kakakku menelepon. Kakakku mengabarkan kalau sebentar lagi mereka akan pulang sehingga aku tidak perlu menyusul. Aku lega karena berpikir kondisi Nenek sudah membaik. Betapa kagetnya aku, ternyata rombongan keluargaku pulang dengan membawa jenazah Nenek. Ternyata Nenek tidak tertolong. Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku dipenuhi penyesalan karena menolak membuatkan bubur untuk Nenek. Padahal, pemintaan Nenek itu tidaklah berat. Permintaannya untuk yang terakhir kali.
Sejak itu, aku selalu mengerjakan apa yang diminta ibuku. Aku selalu berpikir, bahwa kita tidak pernah tahu seberapa lama waktu yang kita miliki untuk melakukan sesuatu bagi orang yang kita cintai. Oleh karena itu, aku berusaha untuk tidak mengecewakan orang-orang yang kucintai. Sebelum waktunya terlambat. Bubur ayam terakhir yang diminta Nenek telah membuatku menyadari hal ini.
Amanat yang disampaikan dalam cerita tersebut adalah berikut ini, kecuali ....
Penyesalan itu tiada guna
Jangan menunda melakukan sesuatu yang baik karena kita tidak pernah tahu seberapa lama waktu yang kita miliki
Jangan malas melakukan perbuatan yang baik
Hendaknya bersabar jika ingin makan sesuatu