Apakah bisa menikah tanpa izin orang tua?

Ilustrasi pasangan yang ingin menikah, bisakah menikah di KUA tanpa restu orangtua. Foto: Shutterstock.

Jakarta -

Umumnya pasangan akan lanjut ke jenjang pelaminan jika sudah memperoleh restu dari kedua orangtua sebagai wali nikah. Namun, ada beberapa pasangan yang menikah tidak direstui oleh kedua orangtua. Apakah bisa menikah di KUA tanpa restu orangtua?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, calon pengantin perlu mengetahui bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Pencatatan Pernikahan, setiap pasangan yang menikah harus menaati peraturan tersebut. Calon pengantin harus mengajukan pencatatan pernikahannya di KUA (Kantor Urusan Agama).

Dalam hal pencatatan pernikahan ini meliputi pendaftaran kehendak nikah. Pendaftaran kehendak nikah dilakukan di KUA kecamatan tempat akad nikah akan dilaksanakan. Pendaftaran kehendak nikah dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan pernikahan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Salah satu persyaratan administratif yang tertera dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 adalah saat membuat pendaftaran kehendak nikah, harus melampirkan izin tertulis orang tua atau wali bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun. Calon pengantin bisa mendapatkan izin dari pengadilan, hanya jika orang tua, wali, dan pengampu tidak ada.

Baca juga: Syarat Nikah di KUA 2022 Saat Pandemi Corona, Calon Pengantin Perlu Tahu!

Wali nikah sendiri diartikan sebagai orang yang berhak menikahkan anak perempuan dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihannya. Wali nikah terdiri atas wali nasab dan wali hakim.

Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai perempuan dari pihak ayah menurut ketentuan hukum Islam. Wali Hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.

Menikah di KUA Tanpa Restu Orangtua atau Wali Nikah, Bisakah?

Bagaimana jika calon pengantin menikah tanpa restu orangtua sehingga tidak ada yang bisa menjadi wali nikah? Bisakah menikah di KUA tanpa restu orangtua?

Menurut Kepala KUA Tebet, Jakarta Selatan, Achmad Syauki, SHI, calon pengantin bisa mengajukan permohonan wali Adhal atau Adhol.

Baca juga: Bisakah Menikah di KUA Saat Hamil? Ini Penjelasan dari Kepala KUA

"Dalam hal walinya tidak mau menikahkan maka calon pengantin perempuan berhak mengajukan permohonan wali Adhol ke pengadilan agama," ungkap Achmad Syauki kepada Wolipop.

Wali adhal adalah wali yang enggan (menolak) untuk menjadi wali nikah atas perkawinan seorang wanita yang berada di bawah perwaliannya.

"Setelah mendapatkan putusan pengadilan tentang wali Adhol maka kepala KUA bisa menikahkan calon pengantin tersebut kepada pasangannya secara wali hakim," tambah Achmad Syauki.

(gaf/eny)

syarat menikah di kua akad nikah di kua kua menikah tanpa restu orangtua nikah tanpa restu kedua orang tua menikah di kua tanpa restu orangtua

Bagaimana hukumnya menikah tanpa restu orang tua? Apakah jika bapak tidak mau menjadi wali nikah bisa digantikan dengan yang lain?

Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi):

Mayoritas ulama, yaitu mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali menetapkan bahwa seorang perempuan tidak sah menikahkan dirinya sendiri tanpa wali atau menikahkan orang lain (menjadi wali), baik gadis maupun janda. Jika ia menikah tanpa wali, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

Tidak ada nikah (yang sah) kecuali dengan wali (HR. Abu Dawud no. 2085; Imam Nawawi dan Imam Al-Hakim menilai hadis ini shahih).

Sementara menurut Imam Abu Hanifah, perempuan yang rasyidah (dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk, serta tidak memiliki gangguan kejiwaan) boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa melalui wali dan ia juga boleh menjadi wali bagi perempuan lainnya.

Dan sabda Rasulullah ﷺ:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا

Siapapun perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika laki-laki (yang menjadi suaminya) tersebut berhubungan badan dengannya, maka perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar sebab laki-laki tersebut menganggap halal kemaluannya (HR. Tirmidzi no. 1102; Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menilai hadis ini shahih).

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menambahkan bahwa jika seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki tanpa wali, yakni dengan cara ia menikahkan dirinya sendiri di hadapan dua orang saksi dan hakim tidak membatalkan pernikahan tersebut, lalu mereka berhubungan badan, maka suaminya tidak dikenakan had berzina. 

Namun, ia wajib memberi mahar mitsil (mahar yang nilainya disesuaikan dengan kedudukan sosial perempuan dan adat yang berlaku) kepada istrinya (perempuan tersebut). Selain itu, mereka harus dipisahkan.

Syaikh Al-Khathib Asy-Syirbini, ulama mazhab Syafii, menyebutkan bahwa ayah adalah wali paling utama. Jika ayah tidak ada, maka yang menjadi wali adalah kakek dari garis ayah. Sedangkan kakek dari garis ibu bukan wali. 

Selama ayah masih ada, maka kakek, saudara laki-laki, atau paman tidak bisa menjadi wali. Sehingga dibutuhkan restu dari orang tua calon istri, khususnya ayah, karena ayahlah yang akan melangsungkan akad nikah dengan mengucapkan kalimat ijab atau ia mewakilkan ijab-nya kepada orang lain. Adapun restu dari ibu, tidak menjadi syarat atau rukun nikah.

Jika calon istri adalah seorang janda, maka ayahnya juga harus terlebih dahulu meminta izinnya sebelum menikahkan. Jika anak perempuannya yang janda tersebut menolak dinikahkan, maka ayah tidak boleh dan tidak sah menikahkannya.

Bagaimana jika ayah menolak menjadi wali nikah?

Dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi disebutkan:

فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

Jika para wali berselisih, maka penguasa adalah walinya perempuan yang tidak memiliki wali (HR. Tirmidzi no. 1102; Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menilai hadis ini shahih).

Jika ayah sebagai wali menolak (‘adlal / عَضْل) menikahkan anak perempuannya, maka wali berpindah ke hakim. Inilah yang dimaksud dengan “para wali berselisih” dalam hadis di atas. Yang dimaksud dengan hakim adalah hakim yang bertugas di pengadilan atau pejabat yang diberi kewenangan dalam urusan akad nikah.

Syaikh Al-Khathib Asy-Syirbini menguraikan bahwa ayah sebagai wali nikah dianggap ‘adlal jika anak perempuannya yang telah baligh dan berakal memintanya untuk menikahkannya dengan laki-laki yang sederajat (se-kufu’) namun ia menolaknya. 

Jika anak perempuannya meminta dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sederajat, maka ayah boleh menolaknya. Ayah tidak boleh menolak dengan alasan mahar yang sedikit jika anak perempuannya telah rela dengan hal tersebut, karena mahar adalah hak istri.

Jika anak perempuannya mengklaim bahwa calon suaminya adalah orang yang sederajat, namun ayahnya menilai bahwa ia tidak sederajat, maka kasusnya dibawa ke pengadilan. 

Jika hakim memutuskan bahwa ia sederajat, maka ayah harus menikahkannya. Jika ia menolak menjadi wali, maka hakim yang menggantikannya menjadi wali nikah. Namun, jika hakim memutuskan bahwa calon suaminya tidak sederajat, maka ayah tidak wajib menikahkannya dan hakim tidak bisa menjadi wali.

Keputusan ‘adlal atau tidaknya seorang wali merupakan kewenangan hakim. Untuk itu, wali, calon istri, dan calon suami harus hadir di pengadilan. Jika hakim memutuskan bahwa wali harus menikahkannya, tetapi ia menolak atau tidak bersedia hadir, maka ia ‘adlal. Jika ‘adlal, maka hakim yang menikahkan. Inilah bentuk pernikahan tanpa restu orangtua yang sah.

Semua penjelasan mengenai wali di atas adalah wali dari calon istri. Sedangkan wali dari calon suami tidak menjadi rukun ataupun syarat nikah kecuali bagi calon suami yang belum baligh atau telah dewasa tetapi memiliki gangguan jiwa. 

Sehingga seorang laki-laki dewasa dan berakal yang menikah tanpa restu atau tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya adalah sah, selama rukun dan syarat lainnya terpenuhi.

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal 19 tertulis:

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Pasal 20 ayat (2) tertulis:

Wali nikah terdiri dari:

1. Wali nasab;

2. Wali hakim

Selanjutnya Pasal 23 tertulis:

1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Kesimpulan

Sahabat KESAN, salah satu rukun nikah adalah wali bagi perempuan. Wali nikah utama adalah ayah, jika ayah tidak ada maka walinya kakek dari pihak ayah, lalu saudara laki-laki, lalu paman dari pihak ayah.

Maka dari itu, restu dari ayah penting dalam pernikahan. Namun, jika ayah tidak merestui pernikahan dan tidak ingin menjadi wali, maka masalah tersebut dibawa ke pengadilan agama. 

Apabila hakim memutuskan bahwa calon pengantin laki-laki sederajat (se-kufu’), maka ayah harus menjadi wali nikah. Jika ayah masih menolak menjadi wali nikah, maka perwalian tersebut digantikan oleh wali hakim.

Adapun restu dari orang tua tidak berlaku bagi janda, karena janda berhak memutuskan untuk dirinya sendiri.

Wallahu A’lam bi Ash-Shawabi.

Referensi: Ensiklopedi Fiqih Islam Kuwait, Ibnu Hajar Al-Haitami; Tuhfah Al-Muhtaj, Al-Khathib Asy-Syirbini; Mughni Al-Muhtaj, Ash-Shan’ani; Subul As-Salam, Ibrahim Al-Baijuri; Hasyiyah Al-Baijuri ‘ala Syarh Ibn Qasim.

###

*Kamu punya pertanyaan lain seputar agama Islam yang mau dibahas lengkap? Coba share di kolom komentar ya, atau hubungi kami di sini: [email protected].

**Kalau kamu suka artikel di aplikasi KESAN, jangan lupa share ya! Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.

Apakah boleh menikah tanpa izin orang tua?

Perkawinan tanpa restu orang tua memang tidak termasuk ke dalam rukun nikah dalam syarat sah pernikahan. Syarat sah pernikahan adalah adanya ijab kabul, adanya mempelai wanita dan mempelai pria serta dua saksi dan wali.

Apakah perlu izin orang tua untuk menikah?

Yang seringkali luput dipahami dalam menimbang idealnya suatu usia perkawinan adalah ketentuan pada pasal 6 ayat 2 UU perkawinan, sambung Budi, pasal a quo mensyaratkan untuk orang yang menikah di bawah 21 tahun 'harus/wajib' mendapatkan izin dari orang tua.

Apakah boleh menikah tanpa restu ibu?

Pernikahan tanpa restu ibu atau restu orang tua (termasuk ayah), dibolehkan atau sah melalui mekanisme Wali 'Adhal.

Hukum anak laki

Sehingga seorang laki-laki dewasa dan berakal yang menikah tanpa restu atau tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya adalah sah, selama rukun dan syarat lainnya terpenuhi.