Apakah yang akan terjadi jika Indonesia terus menjadi penyumbang sampah Terbanyak di dunia

Oleh Liputan6.com pada 18 Feb 2021, 19:30 WIB

Diperbarui 18 Feb 2021, 19:30 WIB

Apakah yang akan terjadi jika Indonesia terus menjadi penyumbang sampah Terbanyak di dunia

Perbesar

Pekerja menggunakan alat berat membersihkan sampah dan sampah plastik saat pembersihan pantai Kuta dekat Denpasar di pulau wisata Bali (6/1/2021). (AFP/Sonny Tumbelaka)

Liputan6.com, Jakarta Pencemaran plastik di laut semakin mengkhawatirkan. Studi terkini menunjukkan kebocoran sampah plastik ke laut mencapai 8 juta ton per tahun. Bahkan 5 dari 10 negara penyumbang terbesar kebocoran plastik berasal dari negara-negara di Asia Tenggara.

"Lima dari 10 negara penyumbang kebocoran plastik tersebut berasal dari Asia Tenggara termasuk Indonesia,"kata Teknikal Advisor Research Management UNDP Indonesia, Abdul Wahid Situmorang dalam Peluncuran Tas Belanja Guna Ulang secara virtual, Jakarta, Kamis (18/2/2021).

Meski begitu, Abdul mengatakan saat ini pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian lebih dalam penanganan sampah plastik di laut. Tercermin dari dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2019 tentang Penanganan Sampah Laut.

Lahirnya regulasi tersebut membuat pemerintah daerah, pengusaha hingga masyarakat akar rumput mulai bergerak mendukung program pengurangan sampah plastik hingga 70 persen di tahun 2025. Hal terpenting dalam ini mengubah pandangan masyarakat untuk membuat sampah yang tidak memiliki nilai ekonomi menjadi nilai yang efisien.

"Kita perlu dan harus apresiasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, KLHK dan lembaga lainnya yang tidak lelah untuk melakukan terobosan mengatasi ini," kata dia.

Scroll down untuk melanjutkan membaca

Apakah yang akan terjadi jika Indonesia terus menjadi penyumbang sampah Terbanyak di dunia

Perbesar

Sampah termasuk sampah plastik terlihat saat pembersihan pantai Kuta dekat Denpasar di pulau wisata Bali, Indonesia (6/1/2021). Tahun 2021 baru berjalan, tapi masalah sampah kembali terjadi di Indonesia, terutama di Pantai Kuta di Badung, Bali. (AFP/Sonny Tumbelaka)

Dalam hal ini, pemerintah bersama para pihak yang terlibat mengkampanyekan penggunaan tas belanja guna ulang. Konselor Kedutaan Norwegia, Bjornard Dahl menilai inovasi tersebut merupakan terobosan yang baik. Terlebih dampaknya bukan hanya untuk lingkungan tetapi juga pada sektor perekonomian nasional.

"Penggunaan tas pakai ulang perwujudan inovasi produk dan distribusi sebagai upaya merubah paradigma masyarakat dalam penggunaan plastik sekali pakai," kata Bjornard.

Selain itu, dia juga menghargai program ini karena melibatkan penyandang disabilitas sebagai pembuat tas guna ulang. Inisiatif ini juga menumbuhkan kesadaran sosial dan mendukung pelibatan usaha umkm dalam proses produksi tas guna ulang.

"Saya berharap kolaborasi dan inovasi ini sebagai usaha kita mengurangi sampah di laut," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓

Apakah yang akan terjadi jika Indonesia terus menjadi penyumbang sampah Terbanyak di dunia

Firda Dwi Muliawati 01/09/2021 21:05 WIB

Berdasarkan data yang dipaparkan The Economist Intelligence Unit tahun 2017, Indonesia menyandang gelar penyumbang sampah terbesar kedua di dunia.

Indonesia Penyumbang Sampah Terbesar Kedua di Dunia, Limbah Makanan Mendominasi (Dok.MNC Media)

IDXChannel – Mengutip program 1st Session Closing IDX Channel, Rabu (1/9/2021), berdasarkan data yang dipaparkan The Economist Intelligence Unit tahun 2017, Indonesia menyandang gelar penyumbang sampah terbesar kedua di dunia. Dimana bila dirata-ratakan, setiap individu menyumbang 300 kg sampah.

Hal lain yang perlu jadi perhatian adalah limbah makanan. Faktanya, menurut data pengolahan sampah tahun 2017/2018, Sistem  Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) limbah makanan menyumbang sebesar 46,75% dari total sampah di Indonesia.

Keadaan ini dipandang miris, melihat tingkat kelaparan di ndonesia yang masih tinggi. Dimana, nyatanya angka limbah makanan tersebut dapat menghidupi sekitar 28 juta jiwa atau sebanyak 11% penduduk di Indonesia.

Fakta yang tidak bisa dihindari pula, nyatanya limbah makanan terbesar bukan berasal dari supermarket ataupun pasar tradisianal. Penyumbang terbesar limbah makanan berasal dari rumah tangga yang tidak terlepas dari kebiasaan dan masing-masing individu, seperti melebihi porsi makan yang tidak akan dihabiskan, membuat makanan dalam porsi besar, dan membeli makanan yang tidak disukai.

Gaya hidup dan perasaan gengsi untuk menghabiskan makanan di tempat umum juga menjadi salah satu pemicu banyaknya limbah makanan di Indonesia.

Untuk diketahui, sampah makanan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih serius lagi. Terbentuknya air lindi yang merupakan air hujan yang masuk dalam tumpukn sampah dan menghasilkan air yang mengandung logam berat berbahaya bagi tanah. 

(IND) 

Beberapa hari ke belakang, hujan terus mengguyur banyak daerah Indonesia. Seperti yang sudah berkali-kali terjadi, musim hujan akan dibarengi dengan berita-berita tentang banjir yang tak pernah berubah tiap tahunnya. Tentunya banyak faktor yang membuat suatu wilayah terjadi banjir, seperti kurangnya penyerapan air, hingga sampah yang juga dipermasalahkan.

Meski begitu, isu sampah jarang sekali dilirik oleh banyak pihak. Padahal, berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia sudah mencapai 64 juta ton/ tahun, di mana sebanyak 3,2 juta ton plastik itu terbuang ke laut.

Bahkan, dalam sebuah penelitian telah menemukan fakta bahwa negara-negara Asia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar yang ada di laut saat ini. Dalam penelitian yang dipimpin Profesor Jenna Jambeck dari Universitas of Gergia, mencatat bahwa Indonesia adalah negara kedua penyumpang sampah terbesar di dunia.

Maka tak heran, ada seekor paus sperma yang ditemukan mati terdampar di perairan Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada Senin, 19 November 2018 kemarin. Kabar memilukan itu ternyata menyimpan fakta yang cukup miris, bahwa di dalam perut paus tersebut ditemukan enam kilogram plastik dan sandal jepit.

"Lima koma sembilan kilogram sampah plastik ditemukan di dlm perut paus malang ini! Sampah plastik yaitu: plastik keras (19 pcs, 140 gr), botol plastik (4 pcs, 150 gr), kantong plastik (25 pcs, 260 gr), sandal jepit (2 pcs, 270 gr), didominasi o/ tali rafia (3,26 kg) & gelas plastik (115 pcs, 750 gr)," demikian dalam cuitan di akun lembaga WWF Indonesia saat merinci apa saja yang ditemukan di dalam perut bangkai paus sperma.

Lalu, siapakah yang harusnya bertanggung jawab dengan permasalahan sampah di negeri tercinta ini? Mengapa di Indonesia sampah terlihat seperti persoalan yang sepele?

UU yang Mengatur Sampah Hanya Secara Umum

Di Tanah Air ini, masalah sampah diatur dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Sayangnya, regulasi tersebut tidak dapat menjawab satupun persoalan tentang sampah yang tiap tahunnya bertambah.

Contohnya saja, dalam Pasal 29 yang mengatur segala hal larangan yang berkaitan dengan sampah. Namun, pemberian sanksi ataupun ketentuan lebih lanjut mengenai larangan itu tidak tertulis dalam UU. Sehingga ketentuan lebih lanjut harus disesuaikan dengan peraturan pemerintah ataupun peraturan daerah kabupaten/kota.

Regulasi Tentang Pengelolaan Sampah Plastik Belum Disahkan

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sampah plastik paling sulit diurai dan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk mengurainya. Namun, di Indonesia sendiri belum ada regulasi tentang pengelolaan sampah plastik, termasuk pembatasan plastik di industri.

Whaling Commision atau badan global untuk konservasi ikan paus Rebecca Lent pernah mengungkapkan bahwa di Kenya, pemerintahnya sudah melarang penggunaan kantong plastik. Jika ada warga yang ketahuan membuat, menjual, atau membawa kantong plastik, pemerintah Kenya akan menghukumnya dengan denda sebesar Rp506 juta atau hukuman penjara hingga empat tahun.

Sayangnya, sebagai negara berkembang, Indonesia cukup jauh dalam melakukan perubahan-perubahan yang sifatnya tentang lingkungan. UU tentang pengelolaan sampah plastik itupun sampai saat ini masih berbentuk rancangan dan tentunya akan memakan waktu yang cukup lama untuk mengesahkannya.

Kesadaran Kolektif yang Sulit Muncul

Jika pemerintah masih belum gerak cepat dalam menangani sampah, mungkin masyarakat Indonesia bisa memulai dari diri sendiri. Namun tentunya, perubahan itu tak akan terjadi jika hanya diikuti oleh segilintir orang saja. Butuh sebuah kesadaran kolektif demi bisa meminimalisir permasalahan sampah yang sudah terjanjur menggunung.

Sayangnya hal itu tidak mudah. Beberapa orang justru bisa memberikan reaksi marah ketika ada yang mengingatkan tentang larangan membuang sampah sembarang. Masih banyak masyarakat yang kita temui tanpa rasa malu membuang sampah sembarangan di jalanan, sungai, hingga laut.

Isu yang Jarang Diangkat Dalam Pemilu

Satu hal yang tentunya membuat para pegiat lingkungan cukup mengelus dada adalah jarangnya para peserta Pemilihan Umum (Pemilu) mengangkat isu tentang penyelmatan lingkungan. Baik itu calon anggota legislatif, calon presiden dan wakil presiden, jarang sekali memberikan kampanye tentang kesadaran pengelolaan sampah.

Mereka yang berpesta demokrasi lebih suka memainkan isu-isu identitas, baik itu suku, agama, ataupun ras. Sehingga membuat para peserta Pemilu lupa, bahwa kini keseimbangan lingkungan mulai terancam.