- Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:
- tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
- tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
- Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan dalam:
- tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;
- tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hewan yang digolongkan sebagai hewan langka diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (selanjutnya disebut Permenlhk 20/2018).
Sesuai dengan pembahasan dalam artikel ini yaitu mengenai jual beli hewan langka pada dasarnya secara implisit tidak diperkenankan dalam Pasal 21 ayat (2) UU 5/1990 yang menyatakan sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang untuk:
- Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
- Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
- Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
- Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
- Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.”
Dalam Pasal 40 ayat (2) dan (4) juga dinyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 21 ayat (2) dapat dikenakan ancaman pidana sebagai berikut:
Pasal 40 ayat (2)
Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Pasal 40 ayat (4)
Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Namun, hal tersebut hanya berlaku terhadap hewan lindung yang berasal dari habitatnya, sedangkan terhadap anak hewan lindung yang berasal dari penangkaran dapat diperdagangkan berdasarkan ketentuan perizinan yang berlaku. Masyarakat umum dapat memelihara atau membeli hewan langka dengan cara membuat surat izin memelihara hewan langka dengan cara sebagai berikut:
- Mengajukan proposal izin menangkaran atau memelihara hewan yang diajukan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA);
- Salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk individu atau perseorangan serta akta notaris untuk badan usaha.
- Surat Bebas Gangguan Usaha dari kecamatan setempat. Surat ini berisi keterangan bahwa aktifitas penangkaran dan pemeliharaan hewan tidak mengganggu lingkungan sekitar.
- Bukti tertulis asal usul indukan.
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar (selanjutnya disebut Permenhut 19/2005) menyatakan bahwa penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
Pemanfaatan hasil perkembangbiakan diatur dalam ketentuan Pasal 17 sampai dengan Pasal 21 Permenhut 19/2005. Istilah-istilah keturunan dalam pengembangbiakan hewan langka diatur dalam Pasal 17 Permenhut 19/2005 yang menyatakan sebagai berikut:
- Pengembangbiakan satwa menghasilkan keturunan-keturunan (generasi) hasil pengembangbiakan yaitu generasi pertama (F1) dan generasi-generasi seterusnya.
- Spesimen generasi pertama (F1) merupakan anakan yang dihasilkan di dalam lingkungan terkontrol dari induk yang salah satu atau keduanya merupakan hasil tangkapan dari alam (W);
- Spesimen generasi kedua (F2) merupakan anakan yang dihasilkan di dalam lingkungan yang terkontrol dari induk yang keduanya merupakan generasi pertama (F1), atau generasi pertama (F1) dengan bukan hasil tangkapan dari alam (W);
- Spesimen generasi ketiga (F3) merupakan anakan yang dihasilkan di dalam lingkungan yang terkontrol dari induk yang keduanya merupakan generasi kedua (F2) atau generasi kedua (F2) dengan bukan generasi pertama (F1) atau dengan bukan hasil tangkapan dari alam (W);
- Induk dari generasi kedua (F2) atau generasi berikutnya yang dikembangbiakkan dengan induk lain dari hasil tangkapan dari alam (W) akan kembali menghasilkan generasi pertama (F1).
Artikel Terkait :