Bagaimana cara menggunakan stoikiometri dalam reaksi?

Hai, Sobat Zenius! Pasti di kelas 10 elo udah sering kan, mendengar tentang reaksi stoikiometri. Tapi, elo tahu nggak sih fungsi stoikiometri di dalam kehidupan sehari-hari? 

Sebenarnya, kita sering melihat produk-produk yang dihasilkan dari proses stoikiometri. Misalnya saja, sabun yang elo gunakan saat mandi. Pembuatan sabun membutuhkan ilmu stoikiometri agar sabun yang dihasilkan pun menjadi sempurna. Selain itu, proses pembuatan pupuk juga melalui proses stoikiometri juga, lho!

Oleh karena itu guys, ilmu stoikiometri ini sangat diperlukan. Soalnya, stoikiometri ini mempelajari hubungan kuantitas zat dalam suatu reaksi kimia. 

Secara umum, reaksi kimia itu terbagi menjadi dua yakni reaksi stoikiometri dan reaksi non stoikiometri. Yuk, simak penjelasannya!

1. Reaksi Stoikiometri

Reaksi stoikiometri merupakan suatu reaksi yang semua reaktannya habis bereaksi. Misalnya ada reaktan A dan reaktan B dengan jumlah masing-masing 5 mol. Nah, di akhir reaksinya itu akan sama-sama habis. 

Perbandingannya yakni sebagai berikut: 

Berikut ini adalah contoh reaksi stoikiometri nih, guys.

Bagaimana cara menggunakan stoikiometri dalam reaksi?
Contoh reaksi stoikiometri (Arsip Zenius)

Dari contoh reaksi stoikiometri di atas terlihat kalau pereaksi A dan pereaksi B habis. Maka, terbentuklah 0,9 mol C. 

Baca Juga: Sifat Periodik Unsur

2. Reaksi Non Stoikiometri

Reaksi non stoikiometri merupakan suatu reaksi yang salah satu reaktannya tidak habis bereaksi dan reaktan lainnya habis bereaksi. Misalnya nih, ada reaktan A dan reaktan B dengan jumlah masing-masing 5 mol. Kemudian, reaktan A bereaksi 5 mol sehingga sisanya 0. Sementara itu, reaktan B hanya bereaksi 3 mol saja sehingga sisa 2 mol. 

Nah, pereaksi yang habis disebut pereaksi pembatas (limiting reagent) nih, guys. Pereaksi pembatas merupakan pereaksi yang pertama kali habis apabila zat-zat yang direaksikan tidak ekivalen dan jumlah molnya lebih kecil dari reaktan lainnya. 

Sementara itu, pereaksi sisa merupakan pereaksi yang jumlahnya lebih besar daripada yang diperlukan untuk bereaksi dengan sejumlah tertentu pereaksi pembatas. 

Perbandingannya yakni sebagai berikut: 

Sekarang, coba deh elo lihat contoh reaksi non stoikiometri di bawah ini!

Bagaimana cara menggunakan stoikiometri dalam reaksi?
Contoh reaksi non stoikiometri (Arsip Zenius)

Dari contoh reaksi non stoikiometri di atas, kita bisa tahu kalau terdapat 0,2 mol A yang tersisa dan 1,2 mol C yang terbentuk.

Baca Juga: Pencampuran Larutan dan Pengenceran

Contoh Soal Stoikiometri dan Pembahasan

Bagaimana cara menggunakan stoikiometri dalam reaksi?
Ilustrasi. (Dok. Freepik)

  1. Apa yang dimaksud dengan reaksi pembatas …. 

A. Zat pereaksi yang habis lebih dahulu dalam suatu reaksi kimia

B. Reaksi yang semua reaktannya habis bereaksi

C. Reaksi yang salah satu reaktannya tidak habis bereaksi

D. Zat padat yang mengikat molekul air sebagai bagian dari struktur kristalnya

E. Tidak ada yang benar

Jawaban dan Pembahasan:

Reaksi pembatas merupakan zat yang habis pertama kali dalam suatu reaksi kimia. Maka jawaban yang tepat adalah A. 

A. Zat pereaksi yang habis lebih dahulu dalam suatu reaksi kimia

B. Reaksi yang semua reaktannya habis bereaksi

C. Reaksi yang salah satu reaktannya tidak habis bereaksi

D. Zat padat yang mengikat molekul air sebagai bagian dari struktur kristalnya

E. Tidak ada yang benar

Jawaban dan Pembahasan:

Stoikiometri merupakan suatu reaksi yang semua reaktannya habis bereaksi. Maka jawaban yang tepat adalah B. 

  1. Berdasarkan reaksi:  2A + B → C

Apabila mula-mula mol A dan mol B adalah 1 mol, maka setelah reaksi berlangsung, adakah zat yang tersisa? Jika ada, zat apa dan berapa sisanya?

A. Tidak ada yang tersisa

B. Ada, 0,5 mol Zat A tersisa

C. Ada, 0,5 mol Zat B tersisa

D. Ada, 1, mol Zat A tersisa

E. Ada, 1 mol Zat C tersisa

Jawaban dan Pembahasan:

Perbandingan koefisien = perbandingan mol yang bereaksi

– Jika zat yang habis adalah zat B, maka 1 mol zat B bereaksi dan 2 mol zat A bereaksi. Sedangkan zat A hanya punya 1 mol.

– Jika zat yang habis adalah zat A, maka 1 mol zat A bereaksi dan 0,5 mol zat B bereaksi. Sehingga mula-mula zat B memiliki 1 mol, dipakai bereaksi 0,5 mol, tersisa 0,5 mol.

Maka, jawaban yang tepat adalah C. 

Baca Juga: Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit

Selesai juga nih pembahasan tentang reaksi stoikiometri dan non stoikiometri. Kalau elo mau penjelasan materi ini lebih lanjut, bisa tonton videonya melalui aplikasi Zenius, ya. Yuk, download aplikasinya dengan klik banner di bawah ini!

Bagaimana cara menggunakan stoikiometri dalam reaksi?

Dalam ilmu kimia, stoikiometri (/ˌstɔɪkiˈɒmɪtri/) adalah ilmu yang mempelajari dan menghitung hubungan kuantitatif dari reaktan dan produk dalam reaksi kimia (persamaan kimia). Kata ini berasal dari bahasa Yunani kuno στοιχεῖον stoicheion "elemen" dan μέτρον metron "pengukuran. Dalam bahasa Yunani patristik, kata Stoichiometria digunakan Nikephoros untuk merujuk pada jumlah baris dari Perjanjian Baru kanonik dan beberapa Apokrifa.

Bagaimana cara menggunakan stoikiometri dalam reaksi?

Sebuah diagram stoikiometris mengenai reaksi pembakaran metana.

Stoikiometri didasarkan pada hukum-hukum dasar kimia, yaitu hukum kekekalan massa, hukum perbandingan tetap, dan hukum perbandingan berganda. Stoikiometri diilustrasikan melalui gambar berikut, dengan persamaan reaksi setara:

CH4 + 2 O2CO2 + 2 H2O.

Di sini, satu molekul metana bereaksi dengan dua molekul gas oksigen untuk menghasilkan satu molekul karbon dioksida dan dua molekul air. Persamaan kimia khusus ini adalah contoh pembakaran sempurna. Stoikiometri mengukur hubungan kuantitatif ini, dan digunakan untuk menentukan jumlah produk dan reaktan yang diproduksi atau dibutuhkan dalam reaksi yang diberikan. Menggambarkan hubungan kuantitatif antara zat-zat ketika mereka berpartisipasi dalam reaksi kimia dikenal sebagai stoikiometri reaksi. Dalam contoh di atas, stoikiometri reaksi mengukur hubungan antara metana dan oksigen ketika mereka bereaksi membentuk karbon dioksida dan air.

Karena hubungan mol yang diketahui dengan massa atom, rasio yang diperoleh dengan stoikiometri dapat digunakan untuk menentukan jumlah massa dalam suatu reaksi yang dijelaskan oleh persamaan yang setimbang. Hal ini disebut sebagai stoikiometri komposisi.

Stoikiometri gas berkaitan dengan reaksi yang melibatkan gas, di mana gas berada pada suhu, tekanan, dan volume yang diketahui dan dapat dianggap gas ideal. Untuk gas, rasio volume idealnya sama dengan hukum gas ideal, tetapi rasio massa dari reaksi tunggal harus dihitung dari massa molekul dari reaktan dan produk. Dalam praktiknya, karena keberadaan isotop, massa molar digunakan sebagai gantinya ketika menghitung rasio massa.

Suatu jumlah stoikiometris [1] atau rasio stoikiometris dari suatu pereaksi adalah jumlah atau rasio optimal di mana, dengan asumsi bahwa reaksi berlangsung sampai selesai:

  1. Semua pereaksi dikonsumsi (habis bereaksi)
  2. Tidak ada kekurangan pereaksi
  3. Tidak ada kelebihan pereaksi (sisa)

Di awal kimia, aspek kuantitatif perubahan kimia, yakni stoikiometri reaksi kimia, tidak mendapat banyak perhatian. Bahkan saat perhatian telah diberikan, teknik dan alat percobaan tidak menghasilkan hasil yang benar.

Salah satu contoh melibatkan teori flogiston. Flogistonis mencoba menjelaskan fenomena pembakaran dengan istilah “zat dapat terbakar”. Menurut para flogitonis, pembakaran adalah pelepasan zat dapat terbakar (dari zat yang terbakar). Zat ini yang kemudian disebut ”flogiston”. Berdasarkan teori ini, mereka mendefinisikan pembakaran sebagai pelepasan flogiston dari zat terbakar. Perubahan massa kayu bila terbakar cocok dengan baik dengan teori ini. Namun, perubahan massa logam ketika dikalsinasi tidak cocok dengan teori ini. Walaupun demikian flogistonis menerima bahwa kedua proses tersebut pada dasarnya identik. Peningkatan massa logam terkalsinasi adalah merupakan fakta. Flogistonis berusaha menjelaskan anomali ini dengan menyatakan bahwa flogiston bermassa negatif.

Filsuf dari Flanders Jan Baptista van Helmont (1579-1644) melakukan percobaan “willow” yang terkenal. Ia menumbuhkan bibit willow setelah mengukur massa pot bunga dan tanahnya. Karena tidak ada perubahan massa pot bunga dan tanah saat benihnya tumbuh, ia menganggap bahwa massa yang didapatkan hanya karena air yang masuk ke bijih. Ia menyimpulkan bahwa “akar semua materi adalah air”. Berdasarkan pandangan saat ini, hipotesis dan percobaannya jauh dari sempurna, tetapi teorinya adalah contoh yang baik dari sikap aspek kimia kuantitatif yang sedang tumbuh. Helmont mengenali pentingnya stoikiometri, dan jelas mendahului zamannya.

Di akhir abad 18, kimiawan Jerman Jeremias Benjamin Richter (1762-1807) menemukan konsep ekuivalen (dalam istilah kimia modern ekuivalen kimia) dengan pengamatan teliti reaksi asam basa, yakni hubungan kuantitatif antara asam dan basa dalam reaksi penetralan. Ekuivalen Richter, atau yang sekarang disebut ekuivalen kimia, mengindikasikan sejumlah tertentu materi dalam reaksi. Satu ekuivalen dalam netralisasi berkaitan dengan hubungan antara sejumlah asam dan sejumlah basa untuk mentralkannya. Pengetahuan yang tepat tentang ekuivalen sangat penting untuk menghasilkan sabun dan serbuk mesiu yang baik. Jadi, pengetahuan seperti ini sangat penting secara praktis.

Istilah stoikiometri pertama kali digunakan oleh Richter pada tahun 1792 ketika volume pertama Stoichiometry or the Art of Measuring the Chemical Elements karangan Richter diterbitkan.[2]

Pada saat yang sama Lavoisier menetapkan hukum kekekalan massa, dan memberikan dasar konsep ekuivalen dengan percobaannya yang akurat dan kreatif. Jadi, stoikiometri yang menangani aspek kuantitatif reaksi kimia menjadi metodologi dasar kimia. Semua hukum fundamental kimia, dari hukum kekekalan massa, hukum perbandingan tetap sampai hukum reaksi gas semua didasarkan stoikiometri. Hukum-hukum fundamental ini merupakan dasar teori atom, dan secara konsisten dijelaskan dengan teori atom. Namun, menarik untuk dicatat bahwa, konsep ekuivalen digunakan sebelum teori atom dikenalkan.

Stoikiometri tidak hanya digunakan untuk menyeimbangkan persamaan kimia tetapi juga digunakan dalam konversi, misalnya, mengubah dari gram ke mol menggunakan massa molar sebagai faktor konversi, atau dari gram ke mililiter menggunakan kerapatan (densitas). Misalnya, untuk menentukan jumlah NaCl (natrium klorida) dalam 2 gram senyawa ini, maka dapat dikonversi dengan jalan:

2.00  g NaCl 58.44  g NaCl mol − 1 = 0.034   mol {\displaystyle {\frac {2.00{\mbox{ g NaCl}}}{58.44{\mbox{ g NaCl mol}}^{-1}}}=0.034\ {\text{mol}}}  

Dalam contoh di atas, ketika dituliskan dalam bentuk pecahan, satuan gram membentuk identitas multiplikatif, yang setara dengan satu (g/g = 1), dengan jumlah yang dihasilkan dalam mol (unit yang dibutuhkan), seperti yang ditunjukkan pada persamaan berikut,

( 2.00  g NaCl 1 ) ( 1  mol NaCl 58.44  g NaCl ) = 0.034   mol {\displaystyle \left({\frac {2.00{\mbox{ g NaCl}}}{1}}\right)\left({\frac {1{\mbox{ mol NaCl}}}{58.44{\mbox{ g NaCl}}}}\right)=0.034\ {\text{mol}}}  

Stoikiometri sering digunakan untuk menyeimbangkan persamaan kimia (stoikiometri reaksi). Sebagai contoh, dua gas diatomik, hidrogen dan oksigen, dapat bergabung untuk membentuk cairan, air, dalam reaksi eksotermik, seperti dijelaskan oleh persamaan berikut ini:

H2 + O2 → 2 H2O

Stoikiometri reaksi menggambarkan perbandingan molekul hidrogen, oksigen, dan air 2: 1: 2 dalam persamaan di atas.

Rasio molar memungkinkan konversi antara satu mol zat dan mol lainnya. Misalnya dalam reaksi

CH3OH + 3 O2 → 2 CO2 + 4 H2O

jumlah air yang akan dihasilkan oleh pembakaran 0.27 mol CH3OH diperoleh dengan menggunakan rasio molar antara CH3OH dan H2O dari 2 menjadi 4.

( 0.27  mol  C H 3 O H 1 ) ( 4  mol  H 2 O 2  mol  C H 3 O H ) = 0.54   mol  H 2 O {\displaystyle \left({\frac {0.27{\mbox{ mol }}\mathrm {CH_{3}OH} }{1}}\right)\left({\frac {4{\mbox{ mol }}\mathrm {H_{2}O} }{2{\mbox{ mol }}\mathrm {CH_{3}OH} }}\right)=0.54\ {\text{mol }}\mathrm {H_{2}O} }  

Istilah stoikiometri juga sering digunakan untuk proporsi molar unsur-unsur dalam senyawa stoikiometris (stoikiometri komposisi). Misalnya, stoikiometri hidrogen dan oksigen dalam H2O adalah 2:1. Dalam senyawa stoikiometris, the molar proportions are whole numbers.

Stoikiometri juga digunakan untuk menemukan jumlah yang tepat dari satu reaktan untuk "sepenuhnya" bereaksi dengan reaktan lain dalam reaksi kimia – yaitu, jumlah stoikiometris yang akan menghasilkan tidak ada reaktan sisa ketika reaksi berlangsung. Contoh ditunjukkan di bawah ini menggunakan reaksi termit,

Fe2O3 + 2 AlAl2O3 + 2 Fe

Persamaan ini menunjukkan bahwa 1 mol besi(III) oksida dan 2 mol aluminum akan menghasilkan 1 mol aluminium oksida dan 2 mol besi. Maka untuk tepat mereaksikan 85.0 g besi(III) oksida (0.532 mol), 28.7 g (1.06 mol) aluminium dibutuhkan.

m A l = ( 85.0  g  F e 2 O 3 1 ) ( 1  mol  F e 2 O 3 159.7  g  F e 2 O 3 ) ( 2  mol Al 1  mol  F e 2 O 3 ) ( 26.98  g Al 1  mol Al ) = 28.7  g {\displaystyle m_{\mathrm {Al} }=\left({\frac {85.0{\mbox{ g }}\mathrm {Fe_{2}O_{3}} }{1}}\right)\left({\frac {1{\mbox{ mol }}\mathrm {Fe_{2}O_{3}} }{159.7{\mbox{ g }}\mathrm {Fe_{2}O_{3}} }}\right)\left({\frac {2{\mbox{ mol Al}}}{1{\mbox{ mol }}\mathrm {Fe_{2}O_{3}} }}\right)\left({\frac {26.98{\mbox{ g Al}}}{1{\mbox{ mol Al}}}}\right)=28.7{\mbox{ g}}}  

  1. ^ What’s in a Name? Amount of Substance, Chemical Amount, and Stoichiometric Amount Carmen J. Giunta Journal of Chemical Education 2016 93 (4), 583-586 doi:10.1021/acs.jchemed.5b00690
  2. ^ Richter, J.B. (1792). Anfangsgründe der Stöchyometrie … (in 3 vol.s) [Rudiments of Stoichiometry …] (dalam bahasa German). vol. 1. Breslau and Hirschberg, (Germany): Johann Friedrich Korn der Aeltere. hlm. 121. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link) From p. 121: "Die Stöchyometrie (Stöchyometria) ist die Wissenschaft die quantitativen oder Massenverhältnisse … zu messen, in welchen die chemischen Elemente … gegen einander stehen." (Stoichiometry (stoichiometria) is the science of measuring the quantitative or mass relations in which the chemical "elements" exist in relation to each other.) [Catatan: pada hlm. 3–7, Richter menjelaskan bahwa "elemen" adalah zat murni, dan bahwa "elemen kimia" (chymisches Element (Elementum chymicum)) adalah zat yang tidak dapat diurai menjadi zat lain dengan cara fisik atau kimia yang dikenal. Jadi, misalnya, aluminium oksida adalah "unsur kimia" karena pada zaman Richter, senyawa tersebut tidak dapat diselesaikan lebih lanjut menjadi unsur-unsur penyusunnya.]

  • Zumdahl, Steven S. Chemical Principles. Houghton Mifflin, New York, 2005, pp 148–150.
  • Internal Combustion Engine Fundamentals, John B. Heywood
  • (Inggris) Engine Combustion primer dari Universitas Plymouth
  • (Inggris) Free Stoichiometry Tutorials dari Carnegie Mellon's ChemCollective
  • (Inggris) Stoichiometry Add-In for Microsoft Excel untuk perhitungan berat molekul, koefisien reaksi dan stoikiometri.
  • (Inggris) Reaction Stoichiometry Calculator kalkulator stoikiometri reaksi daring gratis yang komprehensif.
  • (Inggris) Stoichiometry Plus kalkulator stoikiometri dan lainnya untuk Android.
  • (Indonesia) Konsep Perhitungan Stoikiometri

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Stoikiometri&oldid=18624598"