Bagaimana Cara Suku Baduy bertahan hidup dengan alam?

Bagaimana Cara Suku Baduy bertahan hidup dengan alam?

Salah satu Kampung Suku Baduy Luar difoto dari ketinggian

Bagaimana Cara Suku Baduy bertahan hidup dengan alam?

Kami berfoto bersama beberapa orang dari Suku Baduy di Ciboleger

Bagaimana Cara Suku Baduy bertahan hidup dengan alam?

Rumah tempat kami menginap. Tidur hanya beralas sehelai tikar

Bagaimana Cara Suku Baduy bertahan hidup dengan alam?

Jembatan bambu diatas sungai Ciujung yang menghubungkan antar Kampung

Bagaimana Cara Suku Baduy bertahan hidup dengan alam?

Kaum perempuan bergotong royong menumbuk padi hasil panen

BERITA TERKAIT

BACA JUGA

Bagaimana Cara Suku Baduy bertahan hidup dengan alam?

Bagaimana Cara Suku Baduy bertahan hidup dengan alam?

Kajian strategi kehidupan dalam biologi menjelaskan bagaimana organisme mengalokasikan sumber daya untuk bertumbuh, melihara diri, reproduksi, pemeliharaan keturunan hingga mampu mandiri, dan menghindari kematian. Biaya yang dikeluarkan dalam strategi kehidupan direpresentasikan sebagai trade-off, yang memainkan peran penting dalam penghematan antara biaya yang harus dikeluarkan untuk bertahan hidup dan reproduksi di masa depan. Kehidupan merespons kendala lingkungan dan ketersediaan energi sehingga menghasilkan variasi lintasan pertumbuhan yang mencakup waktu kematangan seksual dan penuntasan pertumbuhan. Memahami pola pertumbuhan ukuran tubuh adalah salah satu cara terbaik untuk mengetahui variasi biologis dalam hal kelenturan fenotip, status kesehatan dan gizi, serta kualitas kehidupan. Lingkungan yang optimal dan gizi yang baik berkaitan dengan pertumbuhan yang cepat, badan yang tinggi, dan pubertas yang lebih muda. Selain itu, waktu kematangan seksual perempuan disesuaikan dengan lonjakan pertumbuhan massa tubuh dan tinggi badan di lingkungan optimal. Sebaliknya, kondisi kehidupan yang buruk mempengaruhi setiap tahap perkembangan sehingga memodulasi tingkat dan tahapan pertumbuhan yang menentukan ukuran dewasa dan usia menarke. Beberapa populasi skala kecil menunjukkan plastisitas fenotip, di mana lonjakan pertumbuhan tinggi badan terjadi jauh lebih awal dari pada usia menarke tetapi ini tidak diikuti oleh lonjakan berat badan di waktu awal pula. Di sisi lain, gizi yang tidak memadai juga berkontribusi pada fisik yang linier atau langsing. Sehingga, variasi bentuk tubuh pada individu dan populasi memantau perubahan fisik selama pertumbuhan manusia dan penuaan pada berbagai kondisi sosial budaya. Baduy adalah salah satu populasi tradisional yang menghuni kawasan yang terisolasi di hutan pegunungan di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Indonesia. Tradisi Baduy diajarkan melalui agama Sunda Wiwitan, yang menetapkan perilaku sosial budaya dan kewajiban yang dilakukan sehari-hari untuk melindungi keberlanjutan pertanian ladang berpindah di daerah yang miskin unsur hara dan beresiko erosi. Praktek pertanian mereka membatasi penggunaan alat mekanis hanya pada tongkat menggali, pisau potong, dan ani-ani. Sebagai pelengkap pelarangan teknologi pertanian modern, keyakinan agama juga menghalangi pengaruh eksternal dan melarang pendidikan formal. Isolasi sosiobudaya dan sistem pernikahan endogami membuat strategi kehidupan mereka unik, sehingga dengan mencatat pola pertumbuhan ukuran, bentuk, komposisi tubuh, dan kematangan seksual mereka, prinsip-prinsip alam yang mengatur adaptasi dalam mengalokasikan sumber daya dapat diungkap. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan massa tubuh, yaitu proporsi lemak dan berat total, mengikuti cara dan tempo yang sama dan usia saat laju pertumbuhan mereka mencapai puncak bertepatan dengan usia menarke. Sebaliknya, usia saat laju pertumbuhan tinggi badan mencapai puncak terjadi empat tahun lebih awal dibandingkan menarke. Kurva laju pertumbuhan linear tubuh berlawanan arah dengan massa tubuh. Fenomena ini mengungkap prinsip alometrika ontogenetik dalam mensinkronisasikan percepatan dan perlambatan pertumbuhan di mana pertumbuhan tinggi badan berfungsi untuk mencapai target ukuran tubuh dan untuk menyediakan kerangka untuk perkembangan massa tubuh dalam memicu kematangan seksual. Biaya metabolisme pertumbuhan dibagi-bagi untuk menyelenggarakan pertumbuhan kerangka tubuh sebelum beralih ke pertumbuhan berat badan dan kematangan reproduksi. Hasil ini menunjukkan bahwa sasaran ukuran tubuh ditentukan oleh tinggi badan ketika laju pertumbuhannya berhenti pada usia 21,5 tahun, lebih awal dibandingkan dengan lemak dan berat total yang terus berkembang sebelum berhenti pada usia 23,5 tahun dan 25,5 tahun. Panjangnya waktu untuk menuntaskan pertumbuhan terjadi karena lambatnya laju pertumbuhan beserta rendahnya lonjakan pertumbuhan remaja. Hal ini menghasilkan ciri khas gadis Baduy yang bertubuh kecil dengan kematangan seksual dan penuntasan pertumbuhan yang lambat. Prinsip alometrika ontogenetik berlangsung pada perubahan fisik perempuan dan laki-laki. Pengukuran antropometri dari somatotipe menilai bentuk dan komposisi tubuh yang dijelaskan oleh tiga komponen, yaitu endomorfi, mesomorfi, dan ektomorfi, yang mencerminkan kegemukan relatif, kekuatan otot rangka, dan linieritas atau kelangsingan tubuh. Pada perempuan, kenaikan komponen endomorfi somatotipe sesuai dengan mulainya waktu menarke. Usia ketika sinkronisasi percepatan dan perlambatan antara komponen endomorfi dan ektomorfi menunjukkan trade-off antara investasi untuk pertumbuhan dan untuk kematangan seksual. Sebaliknya, perkembangan seksual sekunder pada laki-laki Baduy ditunjukkan dengan peningkatan komponen mesomorfi. Sehingga usia saat sinkronisasi percepatan dan perlambatan antara komponen mesomorfi dengan ektomorfi mendeskripsikan trade-off pada laki-laki. Kondisi tubuh dengan komponen muskuloskeletal yang lebih baik sangat menguntungkan bagi orang Baduy untuk melakukan aktivitas pertanian ladang berpindah, yang memerlukan aktivitas fisik yang tinggi.

Baduy adalah suku yang mendiami perkampungan di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Terdapat dua perkampungan yang sering dikunjungi oleh wisatawan, yaitu Kampung Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Salah satu yang termasuk ke dalam perkampungan Baduy Dalam adalah Kampung Cibeo, sedangkan Kampung Marenggo merupakan perkampungan Baduy Luar. Kampung Marenggo ini telah menjadi Kampung Wisata Baduy Luar. Banyak wisatawan dari berbagai daerah yang yang sering mengunjungi kampung ini dan akhirnya menginap di sini untuk mengetahui bagaimana cara hidup Suku Baduy Dalam.

Banyak yang terkesima dengan cara hidup mereka yang sangat menjaga alam tempat mereka menggantungkan hidup. Mereka juga menjaga lingkungan perkampungannya dengan baik agar selalu bersih. Apa lagi yang bisa kita pelajari dari Suku Baduy Dalam ini? Berikut lima hal yang bisa kita lihat dari cara mereka menjaga lingkungan.

1. Menjaga Alam Dengan Baik

Untuk menuju Kampung Wisata Marenggo, kamu harus hiking yang dimulai dari Terminal Ciboleger. Hal yang pertama kali terlihat ketika kamu akan memasuki kampung ini adalah air sungainya yang sangat jernih. Ditambah lagi, tidak adanya sampah plastik menjadikan sungai ini semakin bersih dan enak dilihat.

Penggunaan kemasan berbahan plastik yang berlebihan memang dilarang di Kampung Marenggo yang ditinggali Suku Baduy Dalam ini. Para wisatawan yang membawa kemasan berbahan plastik ke kampung ini, harus membawanya kembali ke luar perkampungan ketika akan pulang. Hal ini agar Kampung Wisata Marenggo tidak tercemari oleh sampah-sampah yang membahayakan alam tersebut.

Makanya, saat akan memasuki perkampungan awal Baduy, di gapura Ciboleger bertuliskan “Bawa Kembali Sampah ke Luar Baduy”.

2. Tidak Menggunakan Produk Berbahan Kimia

Untuk memasak, orang Suku Baduy Dalam hanya membumbui masaknnya dengan garam atau gula. Tidak terlalu banyak menambahkan penyedap rasa ataupun bumbu-bumbu lainnya, apalagi bumbu-bumbu tersebut dikemas dengan menggunakan bungkus plastik.

Penggunaan peralatan mandi pun tidak menggunakan sabun, pasta gigi, sampo, dan sejenisnya. Mereka mandi dengan bahan-bahan alami yang bersifat membersihkan dan tentunya tidak mencemari lingkungan, seperti tanaman kecombrang sebagai pengganti sabun dan sampo, serta mengganti sikat gigi dengan sabut kelapa.

Untuk mencuci pakaian, mereka hanya mengucek dan membilasnya saja dengan air sungai. Jadi, tidak ada yang namanya deterjen di sini. Sedangkan, untuk mencuci peralatan rumah tangga cukup menggosoknya dengan menggunakan sabut kelapa dan abu gosok.

Makanya, sungai yang menjadi sumber air utama sangat bersih, tidak tercemar oleh bahan-bahan yang mengandung zat kimia yang dapat mengotori air sungai atau menjadikan rasa dan aroma air menjadi tidak enak untuk dikonsumsi.

3. Memanfaatkan Sumber Daya Alam

Rangka rumah panggung Suku Baduy terbuat dari kayu, lantai dan dindingnya terbuat dari bambu, dan atap yang menaungi rumah tersebut terbuat dari susunan daun kelapa. Semuanya diambil dari hasil alam sekitar.

Bukan hanya rumahnya, tapi peralatan lain juga diambil dari sumber-sumber yang tersedia di alam, seperti tas atau jinjingan yang sering mereka gunakan untuk menyimpan barang terbuat dari akar, batang, dan kulit pohon.

Bahkan, pakaian khas laki-laki dan perempuan Suku Baduy Dalam terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang dan kemudian ditenun menjadi pakaian dan sarung. Pakaian khas laki-laki Suku Baduy bernama Jamang Sangsang, sedangkan untuk perempuan hanya menggunakan baju model kebaya dan kain.

4. Tidak Menggunakan Alat Tranpsortasi dan Teknologi

Itulah kenapa, kamu akan sering melihat orang-orang Suku Baduy Dalam dengan ciri khas baju putih dan sarung loreng hitam ini berjalan di sekitar Banten bahkan sampai ke luar kota, seperti Jakarta. Karena, mereka memang hanya mengandalkan kaki untuk melakukan perjalanan. Tidak digunakannya alat transportasi menjadi aturan hidup yang mereka jalani.

Begitupun dengan alat komunikasi, seperti handphone, mereka dilarang untuk menggunakannya. Bahkan, ketika kamu menginap di rumah Suku Baduy Dalam di Kampung Marenggo, penggunaan kamera tidak diijinkan. Tetapi, mereka tidak menutup diri bagi siapa saja yang ingin berfoto atau membagikan cara hidupnya ketika berada di perkampungan Baduy Luar.

5. Padi Huma Sebagai Makanan Pokok

Bercocok tanam adalah cara utama Suku Baduy untuk memenuhi kebutuhan pangan. Mereka menanam padi huma di ladang. Padi huma berbeda dengan padi sawah, karena tidak membutuhkan pengairan. Padi huma yang mereka hasilkan ini tidak dijual, melainkan disimpan di lumbung padi atau biasa disebut Leuit.

Selain padi huma, mereka juga menanam singkong, pisang, cabai, sayur-sayuran dan tanaman lainnya untuk sebagai sumber pangan tambahan. Cara menanam tanaman ini sama seperti menanam padi huma, yaitu dengan cara berpindah-pindah agar lahan tetap subur.

Walaupun cara membuka lahan dengan cara tebang dan bakar. Tapi hal ini telah mereka pikirkan agar tidak merusak alam. Dan, ternyata sisa-sisa pembakaran ladang tersebut bisa dijadikan pupuk organik yang dipercaya dapat menyuburkan lahan pertanian.

Itulah 5 hal positif yang dapat kamu pelajari dari cara hidup Suku Baduy Dalam. Sebenarnya ada banyak hal yang dapat kamu pelajari dengan mengunjungi atau menginap di Kampung Wisata Marenggo ini. Kamu akan mendapatkan banyak pelajaran hidup yang sangat berharga. Bahkan, banyak wisatawan yang datang dan menginap berkali-kali untuk lebih mengetahui hal-hal positif lainnya yang selalu mereka lakukan.