Bagaimana hukum daging hewan yang disembelih tanpa membaca basmalah

Pertanyaan :

Assalmualakum Wr. Wb,

Saya punya pertanyaan yang butuh jawaban tuntas dari orang seperti pak Ustadz, yang saya anggap lebih banyak mengerti hukum syariah.

Bagaimana cara kita meyakini bahwa daging yang dijual orang benar-benar disembelih dengan membaca bismillah. Kalau ternyata tidak baca bismillah, apakah kita telah makan makanan yang haram?

Adakah pendapat yang membolehkan kita menyembelih tanpa baca basmalah? Dan apa dalilnya?

Sebelumnya saya ucapakan banyak terima kasih, semoga pak Ustadz selalu dalam lindungan Allah SWT.

Wassalamualikum Wr. Wb

Bagaimana hukum daging hewan yang disembelih tanpa membaca basmalah

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang sudah menjadi semacam pendapat umum di tengah umat Islam, baik di negeri kita maupun di mancanegara bahwa basmalah itu menjadi syarat sah penyembelihan. Walaupun sebenarnya kalau kita mau telusuri lebih dalam, ternyata pendapat ini bukan merupakan ijma' ulama.

Artinya, masalah keharusan membaca lafadz basmalah ini ternyata masalah khilafiyah, dimana sebagian ulama mengharuskannya, namun sebagian lainnya tidak mewajibkannya.

Dalam hal ini yang mewajibkan adalah jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah. Sedangkan mazhab Asy-syafi'iyah hanya mensunnahkan saja dan tidak sampai mewajibkan.

A. Jumhur ulama : Wajib

Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menetapkan bahwa membaca basmalah merupakan syarat sah penyembelihan.

Membaca lafadz basmalah (بسم الله) merupakan hal yang umumnya dijadikan syarat sahnya penyembelihan oleh jumhur ulama itu. Dalilnya adalah firman Allah:

وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)

Begitu juga hal ini berdasarkan hadis Rafi’ bin Khudaij bahwa Nabi SAW bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ

Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan. (HR. Bukhari)

Sehingga hewan yang pada saat penyembelihan tidak diucapkan nama Allah atau diucapkan basmalah, baik karena lupa atau karena sengaja, hukumnya tidak sah menurut jumhur ulama.

B. Mazhab As-Syafi'iyah : Sunnah

Namun lain lagi dengan pendapat mazhab Asy Syafi’iyah. Mazhab ini dan juga salah satu pendapat dari mazhab Al-Hanabilah menyatakan bahwa hukum membaca basmalah (tasmiyah) adalah sunah yang bersifat anjuran dan bukan syarat sah penyembelihan.

Sehingga sembelihan yang tidak didahului dengan pembacaan basmalah hukumnya tetap sah dan bukan termasuk bangkai yang haram dimakan. Meninggalkan basmalah baik disengaja atau tidak sengaja, tidak berpengaruh pada hasil sembelihan. Keduanya tetap menghasilkan sembelihan yang halal, syar'i dan boleh dimakan.

Mungkin buat kebanyakan kita, pendapat seperti agak aneh di telinga. Sebab yang umumnya kita tahu, basmalah itu mutlak diharuskan ketika menyembelih. Bahkan umumnya  para penceramah yang kita dengar di berbagai forum pengajian selalu mengingatkan kita untuk tidak makan sembelihan yang tidak dibacakan basmalah sebelumnya. Seolah-olah kewajiban membaca basmalah ini sudah menjadi ijma' yang bulat.

Ternyata justu mazhab As-Syafi'iyah sebagai mazhab mayoritas bangsa Indonesia malah mengatakan sebaliknya. Ternyata kita dibolehkan makan daging sembelihan yang tidak dibacakan basmalah. Yang penting penyembelihnya beragama Islam, atau sekurang-kurangnya termasuk ahli kitab.

Lalu timbul pertanyaan berikutnya, yaitu apa dalil dari kebolehan memakan daging yang disembelih tanpa basmalah? Adakah ayat atau hadits yang menjelaskan kebolehannya?

Tentu saja para ulama mazhab Asy-syafi'iyah punya banyak sekali dalil-dalil yang menyatakan kebolehan sembelihan tanpa basmalah. Setidaknya ada tiga alasan mengapa mazhab ini tidak mensyaratkan basmalah sebagai keharusan dalam penyembelihan.

1. Pertama

Para ulama mazhab Asy-syafi'iyah berdalil dengan hadis shahih riwayat Ummul-Mukminin ‘Aisyah radhiyallahuanha :

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِىِّ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ : سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ . قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى عَهْدٍ بِالْكُفْرِ .

Ada satu kaum berkata kepada Nabi SAW, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi SAW mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.(HR. Bukhari)

Hadits ini tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlalu peduli apakah hewan itu disembelih dengan membaca basmalah atau tidak oleh penyembelihnya. Bahkan jelas sekali beliau memerintahkan untuk memakannya saja, dan sambil membaca basamalah.

Seandainya bacaan basmalah itu syarat sahnya penyembelihan, maka seharusnya kalau tidak yakin waktu disembelih dibacakan basmalah apa tidak, Rasulullah SAW melarang para shahabat memakannya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, beliau SAW malah memerintahkan untuk memakan saja.

2. Kedua

Mazhab ini beralasan bahwa dalil ayat Quran yang melarang memakan hewan yang tidak disebut nama Allah di atas (ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه), mereka tafsirkan bahwa yang dimaksud adalah hewan yang niat penyembelihannya ditujukan untuk dipersembahkan kepada selain Allah.

Maksud kata "disebut nama selain Allah" adalah diniatkan buat sesaji kepada berhala, dan bukan bermakna "tidak membaca basmalah".

3. Ketiga

Halalnya sembelihan ahli kitab yang disebutkan dengan tegas di dalam surat Al-Maidah ayat 5.

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

Dan sembelihan ahli kitab hukumnya halal bagimu. (QS. Al-Maidah : 5)

Padahal para ahli kitab itu belum tentu membaca basmalah, atau malah sama sekali tidak ada yang membacanya. Namun Al-Quran sendiri yang menegaskan kehalalannya.

Sumber Rujukan : Kitab Mazhab Asy-Syafi'iyah

Anda mungkin akan balik lagi bertanya, apa benar mazhab Asy-syafi'iyah punya pendapat seperti itu? Dari mana sumber rujukannya? Atau jangan-jangan ini cuma mengada-ada saja.

Jawabnya tentu pasti ada rujukannya. Sebab ketika kita menyebutkan bahwa seseorang atau suatu mazhab tertentu berpendapat dengan pendapat tertentu, kita wajib merujuk ke sumber-sumber literaturnya. Agar jangan sampai disebut sebagai pemalsu atau mudallis.

Salah satu kitab rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'i dan banyak digunakan oleh para ulamanya adalah kitab Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj karya Muhammad bin Abi Al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin Ar-Ramli. Beliau lebih sering disebut sebagai Al-Imam Ar-Ramli saja. Beliau termasuk ulama yang lumayan banyak dijadikan rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah.

Silahkan buka kitab beliau yang satu ini, khususnya pada  jilid 8 halaman 112. Disana disebutkan masalah ketidak-harusan basmalah ketika kita menyembelih hewan. Perhatikan redaksi yang digunakan oleh penulis kitabnya, Ar-Ramli sebagai berikut  :

فَلَوْ تَرَكَهَا وَلَوْ عَمْدًا حَلَّ لأَنَّ اللَّهَ أَبَاحَ ذَبَائِحَ أَهْلِ الْكِتَابِ بِقَوْلِهِ { وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ } وَهُمْ لا يَذْكُرُونَهَا

Seandainya (basmalah) itu ditinggalkan, baik secara sengaja, hukumnya halal. Karena Allah SWT telah menghalalkan sembelihan ahli kitab dengan firmannya (Dan sembelihan ahli kitab halal untukmu). Padahal mereka tidak membaca basmalah.

وَأَمَّا قوله تعالى { وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ } فَالْمُرَادُ مَا ذُكِرَ عَلَيْهِ غَيْرُ اسْمِ اللَّهِ : يَعْنِي مَا ذُبِحَ لِلأَصْنَامِ بِدَلِيلِ قوله تعالى { وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ }

Sedangkan firman Allah (Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah), maksudnya adalah hewan yang ketika disembelih dibaca nama selain Allah, yaitu dipersembahkan untuk berhala sebagaimana dalilnya (Dan yang disembelih untuk selain Allah).

وَسِيَاقُ الآيَةِ دَلَّ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ قَالَ { وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ } وَالْحَالَةُ الَّتِي يَكُونُ فِيهَا فِسْقًا هِيَ الإِهْلالُ لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى { أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ } وَالإِجْمَاعُ قَامَ عَلَى أَنَّ مَنْ أَكَلَ ذَبِيحَةَ مُسْلِمٍ لَمْ يُسَمِّ عَلَيْهَا لَيْسَ بِفِسْقٍ

Dan dari sisi retorika bahasa memang menunjukkan hal itu.  Sebab firman Allah menyebutkan (karena hal itu fasik). Dan keadaan yang bisa membuat orang menjadi fasik adalah menyembelih untuk berhala selain Allah. Dan secara ijma' telah disepakati bahwa orang yang memakan sembelihan seorang muslim tidak akan disebut fasik. Namun demikian, mazhab Asy-Syafi'iyah tetap memakruhkan orang yang menyembelih hewan bila secara sengaja tidak membaca lafadz basmalah. Tetapi walau pun sengaja tidak dibacakan basmalah, tetap saja dalam pandangan mazhab ini sembelihan itu tetap sah.

Itulah ketentuan sah atau tidak sahnya sebuah penyembelihan yang sesuai dengan syariah. Ketentuan lain merupakan adab atau etika yang hanya bersifat anjuran dan tidak memengaruhi kehalalan dan keharaman hewan itu.

Mana Pendapat Yang Benar?

Pertanyaan seperti ini menjadi ciri khas para penanya. Setelah diterangkan sekian banyak perbedaan pendapat para ulama beserta dalil-dalilnya, maka pertanyaan pamungkasnya adalah : mana yang paling benar, mana yang paling kuat dan mana yang paling rajih.

Dan jawabannya sebagaimana umumnya jawaban-jawaban lainnya, bahwa kami tidak berada pada posisi sebagai 'tukang menyalahkan' atau 'tukang membenarkan' pendapat para ulama. Sebab kedudukan mereka sangat tinggi, jauh di atas kemampuan kita sebagai orang awam.

Apalah hak kita yang awam dan sama sekali tidak mengerti ilmu istimbath hukum, kok bisa merasa 'sok pintar' dan 'sok jago' dibandingkan para ulama itu. Seorang Ibnu Rusydi yang derajatnya keilmuannya sangat tinggi sekalipun 'tidak berani' membuat tarjih dengan menyalahkan suatu pendapat atau membenarkan pendapat lain. Semua itu bukan karena beliau tidak berilmu, melainkan karena beliau adalah seorang alim dan mujtahid yang amat sangat berakhlak mulia dan menjunjung tinggi para ualma.

Kalau seorang Ibnu Rusyd yang sangat kawakan saja masih punya sopan santun untuk tidak mentarjih, maka apatah lagi kami sebagai orang awam, tentu saja jadi sangat kurang-ajar kalau berani menyalahkan suatu pendapat yang keluar dari mulut para ulama.

Jadi jawabannya, kami tidak akan menyalahkan salah satunya. Semua hasil ijtihad para fuqaha itu benar, karena sudah melewati proses ijtihad yang panjang yang dilakukan oleh para ekspert di bidangnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA