Bagaimana kedudukan MPR setelah amandemen UUD NRI Tahun 1945?

Salah satu hasil amandemen UUD 1945 adalah pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Perubahan ini mengisyaratkan bahwa MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak lagi menjadi pemegang kedaulatan rakyat. Perubahan tersebut menyebabkan wewenang MPR menjadi sangat berkurang, sebab lembaga ini tidak lagi berhak mengangkat presiden dan wakil presiden karena sudah dipilih langsung. MPR juga tidak berhak memecat langsung presiden dan wakil presiden, karena harus ada usulan dari DPR setelah Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutuskan bahwa presiden dan atau wakil presiden bersalah. Satu-satunya wewenang lama yang masih melekat pada MPR adalah mengbah dan menetapkan UUD. Gagasan mengurangi wewenang MPR mengisyaratkan adanya perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang berhak melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas politik dan pemerintahan adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan bertanggungjawab kepada rakyat. Secara kedudukan, maka MPR telah sama dengan lembaga negara yang lain. Tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara dan lembaga tinggi Negara. Sehingga dalam sistem Ketatanegaraan tidak ada lagi lembaga Negara yang lebih tinggi dari yang lain. MPR tidak bisa dikategorikan sebagai lembaga legislatif karena MPR tidak membuat peraturan perundang-undangan. Tetapi MPR masih bisa dikategorikan sebagai lembaga perwakilan rakyat. Karena susunan anggota MPR yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 menurut pasal 2 UUD 1945 setelah Perubahan Keempat adalah: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Jika dilihat dari komposisi anggota Majelis Permusywaratan Rakyat maka MPR dapat digolongkan sebagai lembaga parlemen. MPR juga masih memiliki kewenangan membuat Undang-Undang Dasar, memberhentikan presiden, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat dianggap institusi demokrasi perwakilan. Berdasarkan pernyataan di atas, maka MPR masih memiliki wewenang untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, sebab sebagai salah satu lembaga politik MPR masih memiliki wewenang yang cukup signifikan. Perbedaannya, saat ini MPR bukan merupakan lembaga satu-satunya yang berhak menjalankan kedaulatan tersebut, melainkan mesti berbagi dengan lembaga-lembaga poltik dan pemerintahan yang lain. Selain itu MPR memiliki kedudukan yang setara dengan lembaga negara lain seperti DPR, DPD dan Presiden. Lembaga negara yang mengeluarkan produk peraturan perundang-undangan maka kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Dan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga Negara yang mengeluarkan peraturan yang lebih tinggi. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga Negara yang lebih tinggi dari lembaga Negara yang lain. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tetap mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar. Hal ini berarti secara Ilmu Perundang-undangan lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat lebih tinggi dari lembaga Negara yang lain.

Kedudukan, Tugas, dan Wewenang

Bahasa Indonesia English Arabic Chinese

MPR adalah lembaga negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sekarang ini bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara. Ia adalah lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Dengan tidak adanya lembaga tertinggi negara maka tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara. Semua lembaga yang disebutkan dalam UUD 1945 adalah lembaga negara. 

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan lembaga pelaksana kedaulatan rakyat oleh karena anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah para wakil rakyat yang berasal dari pemilihan umum. MPR bukan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 ,perubahan ketiga bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Ketentuan mengenai keanggotaan MPR tertuang dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut:

Tugas dan Wewenang MPR

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih  lanjut dengan undang-undang.  MPR mempunyai tugas dan wewenang, yaitu :

  1. Mengubah dan menetapkan undang-undang dasar;
  2. Melantik presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR;
  3. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya setelah presiden dan atau wakil presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam sidang paripuma MPR;
  4. Melantik wakil presiden menjadi presiden apabila presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
  5. Memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan presiden apabila terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
  6. Memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;
  7. Menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR.

MAULANA MALIK

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan Lembaga Negara Tertinggi sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana diketahui dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan bahwa, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat mempunyai mempunyai kekuasaan yang tertinggi, dimana kekuasaan itu berpuncak pada MPR. Dengan demikian MPR mendelegasikan kekuasaannya kepada lembaga-lembaga negara lain dibawahnya. Setelah amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR mengalami pergeseran kedudukan dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara, serta tidak lagi melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen) menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”. MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya. MPR yang pada awalnya membagi-bagikan kedaulatan atau kekuasaannya secara vertikal-strukural, sekarang kedaulatan atau kekuasaan itu ada pada Lembaga Tinggi Negara secara horizontal-fungsional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan pergeseran kedudukan MPR pasca amandemen, membawa konsekuensi pula terhadap kewenangan yang dimiliki. Kewenangan MPR dalam memilih Presiden dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai acuan kerja pemerintah sudah tidak ada lagi, karena Presiden dan Wakil Presiden sekarang dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen), sehingga tidak ada lagi pertanggungjawaban Presiden kepada MPR karena Presiden langsung bertanggungjawab kepada pemilihnya yaitu rakyat. Oleh karena itu pergeseran xiii kedudukan MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dengan lembaga negara yang lain, membuat kewenangan yang dimiliki juga ikut berkurang. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis memandang perlu untuk mencari solusi atas permasalahan yang tengah terjadi dengan mengangkat sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul: “Pergeseran Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: Apa akibat hukum pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta apakah alasan tetap dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui akibat pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk mengetahui apa alasan tetap dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif (legal research) dengan pendekatan masalah melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach) dengan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, serta bahan non hukum kemudian dilanjutkan dengan analisa bahan hukum. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah: Pertama, sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 MPR berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dalam kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara membawa konsekuensi atau akibat bahwa kekuasaan dalam negara terbagi secara vertikal yang berpuncak xiv pada MPR. Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, hubungan MPR dengan lembaga negara lainnya berupa: (1) MPR mengatur dan menetapkan kekuasaan lembagalembaga tinggi negara lainnya (Presiden, DPR, MA, BPK, dan DPA) melalui penetapan dan perubahan UUD; (2) MPR membuat pedoman lebih rinci untuk menjadi acuan bagi Lembaga Tinggi Negara dalam menjalankan kekuasaannya, dalam bentuk Ketetapan MPR; (3) MPR mengawasi pelaksanaan kekuasaan Lembaga Tinggi Negara, apakah sudah sejalan dengan UUD dan Tap MPR, konsekuensinya adalah Lembaga Tinggi Negara wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada MPR. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kedudukan MPR tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara melainkan sebagai Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Sehingga akibat hukum pergeseran MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara menurut Bagir Manan adalah: (1) MPR tidak lagi ditafsirkan sebagai satu-satunya pelaksana kedaulatan rakyat; (2) MPR tidak lagi ditafsirkan mempunyai kekuasaan tak terbatas; (3) MPR tidak lagi disebut sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang membawahi lembaga negara lainnya; (4) MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara lima tahunan; (5) MPR tidak lagi sebagai tempat Presiden mempertangungjawabkan jalannya pemerintahan. Presiden tidak lagi ditafsirkan sebagai mandataris MPR yang bertanggungjawab kepada MPR. Presiden tidak lagi “untergeordnet” terhadap MPR, Presiden “neben” terhadap MPR; (6) MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden; (7) Susunan keanggotaan MPR tidak lagi terdiri atas anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Selain itu, MPR tidak dapat lagi mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang bersifat mengatur (regeling). Kedua, MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengalami perubahan kewenangan, baik karena sifat kewenangannya yang tidak tetap, serta insidentil, bahkan menurut Deny Indrayana MPR telah mengurangi sendiri kekuasaannya melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun demikian, MPR tetap ada sebagai lembaga yang diatur secara eksplisit dalam xv konstitusi pasca amandemen, karena alasan yang pertama “keunikan” lembaga tersebut, bahkan menurut Jimly Asshiddiqie lembaga seperti ini tidak ada di negara manapun di dunia, yang kedua karena lembaga MPR merupakan perwujudan kata “Permusyawaratan” dalam sila keempat Pancasila. Saran-saran yang dapat diberikan adalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kelima diperlukan untuk mempertegas kewenangan MPR sebagai salah satu lembaga negara yang diatur secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengingat kewenangan MPR yang sekarang bersifat tidak tetap serta insidentil. MPR harus menunjukkan bahwa lembaga tersebut merupakan lembaga yang benar-benar mencerminkan perwujudan dari kata “Permusyawaratan” dalam sila keempat Pancasila yang mengutamakan prinsip musyawarah mufakat demi mencapai tujuan bersama. xvi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan Lembaga Negara Tertinggi sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana diketahui dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan bahwa, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat mempunyai mempunyai kekuasaan yang tertinggi, dimana kekuasaan itu berpuncak pada MPR. Dengan demikian MPR mendelegasikan kekuasaannya kepada lembaga-lembaga negara lain dibawahnya. Setelah amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR mengalami pergeseran kedudukan dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara, serta tidak lagi melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen) menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”. MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya. MPR yang pada awalnya membagi-bagikan kedaulatan atau kekuasaannya secara vertikal-strukural, sekarang kedaulatan atau kekuasaan itu ada pada Lembaga Tinggi Negara secara horizontal-fungsional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan pergeseran kedudukan MPR pasca amandemen, membawa konsekuensi pula terhadap kewenangan yang dimiliki. Kewenangan MPR dalam memilih Presiden dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai acuan kerja pemerintah sudah tidak ada lagi, karena Presiden dan Wakil Presiden sekarang dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen), sehingga tidak ada lagi pertanggungjawaban Presiden kepada MPR karena Presiden langsung bertanggungjawab kepada pemilihnya yaitu rakyat. Oleh karena itu pergeseran xiii kedudukan MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dengan lembaga negara yang lain, membuat kewenangan yang dimiliki juga ikut berkurang. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis memandang perlu untuk mencari solusi atas permasalahan yang tengah terjadi dengan mengangkat sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul: “Pergeseran Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: Apa akibat hukum pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta apakah alasan tetap dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui akibat pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk mengetahui apa alasan tetap dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif (legal research) dengan pendekatan masalah melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach) dengan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, serta bahan non hukum kemudian dilanjutkan dengan analisa bahan hukum. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah: Pertama, sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 MPR berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dalam kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara membawa konsekuensi atau akibat bahwa kekuasaan dalam negara terbagi secara vertikal yang berpuncak xiv pada MPR. Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, hubungan MPR dengan lembaga negara lainnya berupa: (1) MPR mengatur dan menetapkan kekuasaan lembagalembaga tinggi negara lainnya (Presiden, DPR, MA, BPK, dan DPA) melalui penetapan dan perubahan UUD; (2) MPR membuat pedoman lebih rinci untuk menjadi acuan bagi Lembaga Tinggi Negara dalam menjalankan kekuasaannya, dalam bentuk Ketetapan MPR; (3) MPR mengawasi pelaksanaan kekuasaan Lembaga Tinggi Negara, apakah sudah sejalan dengan UUD dan Tap MPR, konsekuensinya adalah Lembaga Tinggi Negara wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada MPR. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kedudukan MPR tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara melainkan sebagai Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Sehingga akibat hukum pergeseran MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara menurut Bagir Manan adalah: (1) MPR tidak lagi ditafsirkan sebagai satu-satunya pelaksana kedaulatan rakyat; (2) MPR tidak lagi ditafsirkan mempunyai kekuasaan tak terbatas; (3) MPR tidak lagi disebut sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang membawahi lembaga negara lainnya; (4) MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara lima tahunan; (5) MPR tidak lagi sebagai tempat Presiden mempertangungjawabkan jalannya pemerintahan. Presiden tidak lagi ditafsirkan sebagai mandataris MPR yang bertanggungjawab kepada MPR. Presiden tidak lagi “untergeordnet” terhadap MPR, Presiden “neben” terhadap MPR; (6) MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden; (7) Susunan keanggotaan MPR tidak lagi terdiri atas anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Selain itu, MPR tidak dapat lagi mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang bersifat mengatur (regeling). Kedua, MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengalami perubahan kewenangan, baik karena sifat kewenangannya yang tidak tetap, serta insidentil, bahkan menurut Deny Indrayana MPR telah mengurangi sendiri kekuasaannya melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun demikian, MPR tetap ada sebagai lembaga yang diatur secara eksplisit dalam xv konstitusi pasca amandemen, karena alasan yang pertama “keunikan” lembaga tersebut, bahkan menurut Jimly Asshiddiqie lembaga seperti ini tidak ada di negara manapun di dunia, yang kedua karena lembaga MPR merupakan perwujudan kata “Permusyawaratan” dalam sila keempat Pancasila. Saran-saran yang dapat diberikan adalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kelima diperlukan untuk mempertegas kewenangan MPR sebagai salah satu lembaga negara yang diatur secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengingat kewenangan MPR yang sekarang bersifat tidak tetap serta insidentil. MPR harus menunjukkan bahwa lembaga tersebut merupakan lembaga yang benar-benar mencerminkan perwujudan dari kata “Permusyawaratan” dalam sila keempat Pancasila yang mengutamakan prinsip musyawarah mufakat demi mencapai tujuan bersama. xvi

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA