Bagaimana peran pemerintah dalam menghadapi PERDAGANGAN bebas antar negara

Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional

Gedung Utama lantai 8. Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta 10110, +62 23 528600 Ext. 36900 Fax. (021) 23528610

Copyright 2017

Jakarta, Gatra.com - Pemerintah terus menjaga kinerja perdagangan internasional sekaligus memperkuat permintaan domestik, mengingat kondisi perekonomian Indonesia diproyeksikan masih akan melalui beberapa tantangan secara global maupun domestik. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memaparkan upaya mengatasi tantangan tersebut.

Ia mengatakan, pertama pemerintah tetap fokus meningkatkan ekspor dengan merevitalisasi industri manufaktur, yang diharapkan dapat meningkatkan diversifikasi, nilai tambah dan daya saing dari produk ekspor non-komoditas. Kedua, pemerintah memperkuat investasi, yang pertumbuhannya ditargetkan lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi.

Untuk mencapai target ini, menurutnya, investasi asing dan domestik harus didorong melalui berbagai kebijakan yang menimbulkan kemudahan berinvestasi di negara ini. Upaya tersebut termasuk relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), program fasilitasi investasi, pemberian tax holiday, peningkatan performa Ease of Doing Business (EoDB), serta penyusunan omnibus law untuk membangun ekosistem investasi.

Kemudian, Airlangga menuturkan, langkah ketiga yaitu pemerintah mempersiapkan rencana pembangunan jangka menengah yang mengedepankan transformasi struktur ekonomi. Transformasi tersebut fokus memperbaiki sektor industri manufaktur, mendorong ekspor, menjaga impor, serta menciptakan lapangan kerja baru. Pasalnya, hal ini merupakan solusi penting untuk mengatasi jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap), agar Indonesia mampu menjadi negara berpendapatan tinggi.

“Untuk memajukan industri manufaktur, Indonesia telah berkomitmen mempercepat implementasi Revolusi Industri 4.0. Kami percaya dengan mempercepat itu, maka akan berpengaruh signifikan terhadap produktivitas tenaga kerja, daya saing global, dan market share ekspor dunia,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, di Jakarta, Selasa (12/11).

Menurut Ketua Umum Partai Golkar ini, pada tahap awal, fokus Indonesia lebih kepada lima sektor industri, yang salah satunya adalah industri otomotif. Pemerintah sedang berusaha membuka pasar baru dan membentuk supply chain yang kuat untuk industri otomotif ini. Hal ini didorong oleh pasar domestik yang kuat dan investasi dari beberapa perusahaan otomotif ternama. Indonesia sedang berada dalam jalurnya untuk menjadi negara produsen mobil terbesar di ASEAN.

“Saat ini, Indonesia merupakan eksportir otomotif kedua terbesar di ASEAN. Maka itu, kami sadar akan adanya tantangan tertentu di industri ini, karena produksi kendaraan masih sangat bergantung kepada impor bahan mentah, seperti logam, bahan kimia, juga komponen eletronik lainnya,” ujarnya

Jumlah total kendaraan listrik di pasar global pada 2018 adalah sekitar 2 juta unit, dan Indonesia sangat bertekad menjadi bagian dari pasar kendaraan listrik tersebut. Di 2025, ditargetkan sebanyak 20% mobil yang beroperasi di Indonesia adalah mobil listrik. Maka itu, Indonesia akan fokus mengembangkan industri kendaraan listrik (electric vehicles).

Guna mendukungnya, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019, tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicles) untuk Transportasi Jalan, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 73 Tahun 2019 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

“Tujuan dari aturan itu adalah mendukung pengembangan industri otomotif berteknologi tinggi dan menyediakan solusi untuk mengurangi ketergantungan kepada bahan bakar fosil. Setelahnya, defisit neraca perdagangan diharapkan akan berkurang, sehingga ke depannya akan bisa meningkatkan kualitas lingkungan kita sebagai hasil pengurangan emisi karbon,” ia menjelaskan.

Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah secara aktif juga mendukung pabrikan kendaraan dari luar negeri untuk memproduksi kendaraan listrik di negara ini. “Kami mendorong perusahaan-perusahaan tersebut dan akan menyediakan kemudahan akses untuk mewujudkan cita-cita kami menjadi pusat produsen kendaraan listrik di ASEAN, Asia, dan dunia,” tutupnya.

JAKARTA - Globalisasi pasar bebas memang memiliki dampak positif dan negatif, utamanya terkait dengan perdagangan internasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya peran negara untuk membatasi pasar.

"Melalui intervensi dalam bentuk regulasi, dapat menjadi katalisator dalam upaya peningkatan kehidupan ekonomi, individu, dan anggota masyarakat,  sehingga tidak hanya tergantung pada peranan pasar," jelas Asisten SKP Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Eddy Cahyono, seperti dilansir dari Setkab, Minggu (1/3/2014).

Dia menjelaskan, peran pemerintah dan mekanisme pasar, yakni interaksi permintaan dan penawaran pasar, merupakan hal yang bersifat komplementer dan bukan substitusi, dengan pelaku ekonomi lainnya.

"Pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi (rumah tangga pemerintah), memiliki fungsi penting dalam perekonomian sebagai stabilisasi, alokasi, dan distribusi," jelasnya.

Menurutnya, belajar dari suksesnya pembangunan ekonomi di banyak negara, intervensi pemerintah tampaknya menjadi faktor determinan dalam menentukan suksesnya pembangunan ekonomi yang dituju, intervensi pemerintah baik langsung maupun tidak langsung, memainkan peran strategis dalam perekonomian untuk mengurangi dari kegagalan pasar (market failure).

"Mekanisme pasar tidak dapat berfungsi tanpa keberadaan aturan yang dibuat pemerintah. Aturan ini memberikan landasan bagi penerapan aturan main, termasuk pemberian sanksi bagi pelaku ekonomi yang melanggarnya," tutur dia.

Peranan pemerintah terbukti menjadi semakin penting karena mekanisme pasar saja tidak dapat menyelesaikan semua persoalan ekonomi. "Untuk menjamin efisiensi, pemerataan dan stabilitas ekonomi, peran dan fungsi pemerintah mutlak diperlukan dalam perekonomian sebagai pengendali mekanisme pasar," tutupnya.

(mrt)

Ilmu ekonomi lahir karena adanya kondisi kelangkaan (scarcity), yaitu suatu kondisi dimana kebutuhan masyarakat tidak terbatas namun sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas. Pada awalnya, konsep ekonomi yang berkembang adalah bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut dengan menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Hal ini tentunya berimplikasi pada terbatasnya intervensi tangan pemerintah.

Pada tahun 1776, Adam Smith, seorang ekonom klasik, menerbitkan buku yang berjudul The Wealth of Nations, dimana salah satu prinsip yang ditawarkan adalah kebebasan pasar. Smith menyatakan bahwa dengan mengimplementasikan pasar bebas justru akan mendorong teralokasinya sumber daya dengan efektif dan efisien. Permintaan dan penawaran pasar adalah “tangan tak terlihat” (invisible hand) yang akan menstimulus pasar menunju kesetimbangannya. Prinsip ini menolak campur tangan pemerintah, karena justru akan mengganggu mekanisme pasar itu sendiri. Prinsip ini juga sering dikenal dengan laissez-faire (let it be). Konsep ini berkembang pesat dan klimaksnya adalah munculnya revolusi industri.

Namun ternyata, mekanisme pasar tidaklah selalu efektif dan efiesien. Mengapa? Pertama, karena informasi yang dibutuhkan konsumen dan supplier tidaklah selalu tersedia, sehingga adakalanya menimbulkan kelebihan atau kekurangan persediaan dalam pasar. Informasi kebutuhan konsumen tidak selalu dapat ditangkap oleh supplier, dan sebaliknya. Kedua, kompetisi juga tidaklah selalu efektif, persaingan yang tidak sehat seperti adanya monopoli akan sangat menganggu keseimbangan pasar. Ketiga, lahirnya dampak buruk industri seperti isu lingkungan. Keempat, akan muncul kebutuhan masyarakat yang tidak bisa disediakan oleh pasar, seperti fasilitas-fasilitas publik. Contoh dari kegagalan pasar tersebut adalah terjadinya Great Depression pada tahun 1930.

Pada tahun 1930s, John Maynard Keynes, perintis ilmu makroekonomi, mengeluarkan buku yang berjudul The General Theory of Employment, Interest, and Money. Melalui buku inilah, Keynes mengeluarkan gagasan tentang perlunya kebijakan intervensi pemerintah. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh peristiwa Great Drepession yang membuat tingkat pengangguran luar bisa tinggi.

Keynes menyatakan bahwa cara terbaik untuk mengeluarkan suatu negara dari kondisi resesi (kondisi permintaan dan penawaran di bawah kapasitas optimal) adalah dengan melibatkan pemerintah terutama untuk mendorong kembali posisi permintaan dan penawaran dalam pasar melalui kebijakan belanja dan investasi. Selain itu, untuk mengendalikan dampak sosial dan lingkungan, pemerintah juga harus mulai menekan produk-produk yang membahayakan sosial dan lingkungan dengan kebijakan pajak. Pemerintah juga harus mengambil peranan dalam penyediaan barang-barang publik yang tidak diminati oleh sektor privat, sehingga tentunya membutuhkan sumber-sumber penerimaan. Kebijakan terkait pengeluaran dan penerimaan pemerintah inilah yang sekarang kita kenal dengan istilah kebijakan fiskal.

Gagasan yang dikeluarkan oleh Keynes merupakan pijakan yang menyadarkan para pelaku ekonomi akan pentingnya peranan pemerintah dalam perekonomian. Kebijakan intervensi pemerintah dalam ekonomi pun berkembang, yang tentunya semakin menyesuaikan dengan kondisi pasar. Mengutip pernyataan Mike Moffat dalam artikelnya “The Government’s Role in Economy (2017), “In the narrowest sense, the government's role in the economy is to help correct market failures, or situations where private markets cannot maximize the value that they could create for society. This includes providing public goods, internalizing externalities, and enforcing competition. That said, many societies have accepted a broader role of government in a capitalist economy.” Moffat menyatakan bahwa peran pemerintah dalam ekonomi sejatinya dibagi menjadi tiga hal, yaitu 1) untuk mengatasi adanya kegagalan pasar akibat pemenuhan kebutuhan pasar yang tidak optimal, termasuk didalamnya penyediaan barang publik, 2) mengendalikan eksternalitas seperti munculnya dampak lingkungan akibat industri, serta 3) mendorong kompetisi/persaingan pasar yang sehat.

Di dunia ilmu makroenomi modern, intervensi pemerintah sangat tergantung pada kondisi masing-masing negara. Tidak terdapat teori yang secara khusus digunakan untuk memutuskan sejauh apa intervensi pemerintah dalam perekonomian. Sebagai contoh, New Zealand memposisikan pemerintahnya sebagai regulator, pengumpul pajak, pemilik (dhi. aset), dan penyedia (dhi. layanan publik), sementara Amerika, memposisikan pemerintahnya sebagai penyedia (dhi. layanan publik), regulator dan pengawas, dan penggerak pertumbuhan dan stabilitas. Pemerintahan New Zealand memiliki intervensi lebih banyak jika dibandingkan dengan Amerika, terutama terkait dengan pengelolan aset. Berdasarkan praktik yang ada, secara umum, intervensi pemerintah dapat diklasifikasikan dua kelompok, yaitu 1) adakalanya cukup sebagai regulator dan supervisor dan 2) adakalanya harus bertindak sebagai penyedia dan pengelola (provider dan manajer). Khusus untuk penyedia dan pengelola dibagi menjadi dua fungsi, yaitu 1) penyedia layanan dan barang publik dan 2) penyedia kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh pasar.

Intervensi pemerintah sebagai penyedia dan pengelola sangat tergantung dengan kondisi pasar. Apabila pasar sudah efektif, maka intervensi pemerintah cenderung rendah. Pada umumnya pemerintah hanya akan memposisikan dirinya sebagai regulator dan supervisor, sementara untuk penyediaannya diserahkan kepada pasar (sektor privat). Namun apabila pasar belum efektif (misal, masih ada gap antara permintaan masyarakat dan suplainya), maka mau tidak mau pemerintah harus masuk sebagai market player, baik turun langsung maupun melalui institusi yang dibentuk, seperti BUMN. Efektif tidaknya suatu pasar pun akan berubah seiring dengan perkembangan ekonomi, maka tingkat intervensi pemerintah juga harus adaptif.