Bagaimana peran penting kerajaan islam terhadap penyebaran islam di nusantara?

The Sultanates (Islamic kingdoms), have played a pivotal role in the spread of Islamic teachings throughout the Nusantara archipelago – the archipelago that was later to be known as Indonesia. This article tries to trace and explain the most significant contribution of the Sultanates in spreading Islamic teaching around the archipelago. With the use of documentary method, the article highlights some conclusions. First, the Sultantes played an important role in the process of Islamization in the Nusantare archipelago. Through their political authority or influences, most of Sultans involved proactively in the process of spreading Islam in Indonesia—at least by implementing policies for Islamic development. Second, doctrinarily, most of Nusantara (Indonesia) Sultanates developed a moderate Islam which was significantly able to be witnessed up to the present time. Any cultural capitals of the pre-Islamic society and the powerful authority of Sultanates in one side, and the characters of Islam itself as a universal religion in another side, a moderate Islamic teachings has significantly developed with its great influnces in a wider aspect of life in Indonesia today. Key words: sultanate, spread of Islam, radical Islam, moderate teachings, future Islam. Kesultanan memegang peranan sangat penting dan strategis dalam penyebaran Islam di Nusantara (Indonesia), terutama pada awal perkembangannya. Artikel ini mencoba untuk menelusuri, apa dan sejauhmana peranan yang dilakukan kesultanan atau kerajaan Islam dalam proses penyebaran dan penguatan Islam di Nusantara. Dengan menggunakan pendekatan studi dokumen ini, tulisan ini menggaris-bawahi sejumlah kesimpulan. Pertama, Kesultanan Nusantara memegang peran penting dan strategis dalam penyebaran, pengembangan Islam proses Islamisasi di wilayah Nusantara (baca: Indonesia). Melalui pengaruh politis otoritarian, Sultan atau raja, membantu percepatan penyebaran dan pengembangan ajaran Islam Indonesia. Kedua, secara doktrinal, sebagian besar kesultanan Nusantara mengembangkan ajaran Islam moderat. Modal kultural masyarakat Indonesias pra-Islam, dan peranan Kesultanan yang otoritatif di satu pihak dan karakteristik ajaran islam moderat yang masuk ke Indonesia pada saat itu di pihak lain, Islam moderat mengalami perkem¬bangan yang sangat cepat dan efektif sehingga pengaruhnya dapat dirasa-kan hingga dewasa ini pada berbagai aspek kehidupan. Kata Kunci: Kesultanan, penyebaran Islam, Islam radikal, ajaran moderat, Islam Masa depan.

KOMPAS.com - Jaringan keilmuan di nusantara terkait dengan kerajaan Islam sebagai pusat kekuasaan dan pendidikan. Tahukah kamu bagaimana peran kerajaan Islam dalam jaringan keilmuan di nusantara?

Peran kerajaan Islam dalam jaringan keilmuan di nusantara

Dikutip dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, sultan mendatangkan ulama pribumi maupun ulama mancanegara terutama Timur Tengah. Para sultan dan pejabat tinggi menimba ilmu dari para ulama yang berfungsi sebagai pejabat-pejabat negara.

Hubungan antarkerajaan Islam sangat bermakna dalam bidang budaya dan keagamaan, misal Samudera Pasai, Malaka dan Aceh. Ketiga kerajaan tersebut tersohor dengan sebutan Serambi Mekkah, menjadi pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam di nusantara.

Untuk mengintensifkan proses Islamisasi, para ulama telah mengarang, menyadur dan menerjemahkan karya-karya keilmuan Islam. Karya-karya susastra dan keagamaan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam.

Kerajaan-kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama yaitu Islam. Hal itu menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang erat.

Baca juga: Perkembangan Islam di Indonesia

Berikut ini penjelasan mengenai peran kerajaan (kesultanan) Islam dalam jaringan keilmuan di nusantara:

Peran Kerajaan Samudera Pasai

Ketika Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran di bidang politik, tradisi keilmuan tetap berlanjut. Samudera Pasai berfungsi sebagai pusat studi Islam di nusantara.

Ketika Kerajaan Malaka telah masuk Islam, pusat studi keislaman tidak lagi dipegang hanya Samudera Pasai.

Peran Kerajaan Malaka

Malaka juga berkembang sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Kemajuan ekonomi Kerajaan Malaka mengundang banyak ulama dari mancanegara berpartisipasi lebih intensif dalam proses pendidikan dan pembelajaran agama Islam.

Kerajaan Malaka giat melakukan pengajian dan pendidikan Islam. Dalam waktu singkat terjadi perubahan sikap dan konsepsi masyarakat terhadap agama, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Bagaimana peran penting kerajaan islam terhadap penyebaran islam di nusantara?

Bagaimana peran penting kerajaan islam terhadap penyebaran islam di nusantara?
Lihat Foto

Kemdikbud

Masjid Agung Palembang dibangun pada masa Kesultanan Palembang Darussalam dalam pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I selama 10 tahun (1738-1748 M).

Baca juga: Jaringan Keilmuan di Nusantara

Proses pendidikan sebagian berlangsung di kerajaan. Perpustakaan sudah tersedia di istana dan berfungsi sebagai pusat penyalinan kitab-kitab dan penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Melayu.

Karena perhatian kerajaan terhadap pendidikan Islam tinggi, banyak ulama mancanegara datang ke Malaka, seperti dari Afghanistan, Malabar, Hindustan dan terutama Arab.

Banyak ulama besar dari berbagai negara yang mengajar di Malaka telah menarik para penuntut ilmu dari berbagai kerajan Islam di Asia Tenggara untuk datang.

Dari Jawa, Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka. Setelah menyelesaikan pendidikan, mereka kembali ke Jawa dan mendirikan lembaga pendidikan Islam di tempat masing-masing.

Baca juga: Pengaruh Islam di Indonesia

Peran Kerajaan Aceh

Sultan Iskandar Muda adalah raja yang sangat memperhatikan pengembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam.

Sultan Iskandar Muda mendirikan Masjid Raya Baiturrahman dan memanggil Hamzah Al Fanzuri dan Syamsuddin as Sumatrani sebagai penasihat.

Syekh Yusuf al Makassari ulama dari Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan pernah menuntut ilmu di Aceh Darussalam sebelum melanjutkan ke Mekkah.

Melalui pengajaran Abdur Rauf as Singkili muncul ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor pendidikan Islam di Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al Garuti yang berjasa menyebarkan pendidikan Islam di Jawa Barat.

Baca juga: Teori Masuknya Islam di Nusantara

Peran Kerajaan Banten

Di Banten, fungsi istana sebagai lembaga pendidikan sangat mencolok. Pada abad ke-17 Banten sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam di Pulau Jawa. Para dari berbagai negara menjadikan Banten sebagai tempat untuk belajar.

Martin van Bruinessen menyatakan, pendidikan agama cukup menonjol ketika Belanda datang pertama kali pada 1596 dan menyaksikan orang-orang Banten memiliki guru-guru dari Mekkah.

Peran Kerajaan Palembang

Di Palembang, istana juga berfungsi sebagai pusat sastra dan ilmu agama. Banyak sultan Palembang yang mendorong perkembangan intelektual keagamaan. Seperti Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) dan Sultan Muhammad Baha'uddin (1774-1804).

Pada masa pemerintahan mereka, telah muncul banyak ilmuwan asal Palembang yang produktif melahirkan karya-karya ilmiah keagamaan seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, tasawuf, tarekat, tarikh, dan Al-Qur'an.

Perhatian sultan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam tercermin pada keberadaan perpustakaan keraton yang memiliki koleksi cukup lengkap dan rapi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Islam diperkirakan masuk ke Indonesia pertama kali pada tahun 30 hijriyah / 651 Masehi. Ketika itu, Khalifah Usman bin Affan mengirimkan utusan ke Tiongkok untuk memperkenalkan negara Islam yang baru saja berdiri. Dalam kesempatan tersebut, utusan Islam beberapa kali mampir ke daratan Nusantara hingga mampu membangun relasi perdagangan di pantai Sumatra bagian barat pada tahun 674 Masehi. 

Sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Nur Kholis, S. Ag., S.E.I., M.Sh.Ec dalam webinar Culture Session : Understanding Indonesia Islam and Its Culture in Indonesia sebagai bagian dari pengenalan Indonesia kepada mahasiswa asing UII tahun akademik 2021/2022 pada Sabtu (21/8).

Nur Kholis menuturkan Aceh menjadi daerah pertama kunjungan tersebut. Hal ini kemudian dibuktikan dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di daerah tersebut bernama Samudra Pasai. Catatan penjelajah Marco Polo juga menyatakan bahwa terdapat banyak orang Arab menyebarkan agama Islam di Pasai pada tahun 692 Hijriyah/1292 Masehi. 

Sementara itu, Ibnu Battutah, seorang penjelajah dari Maroko, dalam laporannya juga mencatat bahwa terdapat sekolah Syafi’I di Aceh pada tahun 746 Hijriyah / 1345 Masehi. Makam Fatimah binti Maimun di Gresik yang bertuliskan tahun 475 Hijriyah / 1082 Masehi juga menjadi bukti kehadiran orang Arab dan Islam di Pulau Jawa pada masa tersebut. Masuknya Islam ke tanah Jawa tidak lepas dari peran besar Wali Songo yang mampu menyebarkan Islam dengan menggunakan pendekatan budaya sehingga bisa diterima dengan mudah oleh penduduk lokal.

“Islamisasi massal terjadi di Indonesia pada abad ke 9 Hijriyah yang didukung oleh kemunculan kekuatan politik Islam dengan berdirinya kesultanan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon dan Ternate.” Ungkap Nur Kholis. Ia menambahkan bahwa proses Islamisasi bersamaan dengan memudarnya pengaruh kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara seperti keruntuhan Majapahit, Sriwijaya, dan Sunda. 

“Islam datang dengan cara yang berbeda dengan Portugis dan Spanyol yang datang ke Indonesia sebagai penakluk, sedangkan Islam hadir dengan cara yang damai dan menyebarkan semangat rahmatan lil ‘alamin.” Tukas Nur Kholis.

Ia juga membandingkan kehadiran Islam di Indonesia sebagai Islam Wasathiyah melalui organisasi Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Berbeda dengan metode penyebaran Islam di kawasan Asia Selatan yang kental dengan konflik. Banyak sekte keagamaan dan tidak adanya keseimbangan yang mampu menghadirkan wasatiyyah Islam. Hal yang hampir sama juga hadir di kalangan Muslim Barat melalui Islamophobia, konflik antar Muslim yang memiliki latar belakang negara dan mazhab yang berbeda hingga konflik yang berlandaskan tendensi intelektual.

Meskipun menjadi negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia menganut sistem demokrasi alih-alih teokrasi Islam. Selain itu, Nur Kholis juga menegaskan bahwa level toleransi di Indonesia cukup tinggi yang salah satunya ditunjukkan melalui hubungan Islam dan Pancasila. Pancasila sendiri  merupakan sebuah ideologi Indonesia yang cukup mengakomodasi berbagai aspek keagamaan. Tokoh-tokoh Muslim menerima Pancasila yang dijadikan sebagai bagian dari kalimah al-sawa dan penengah antara pemikiran sekuler dan negara Islam. (AP/ESP)