Bagaimana sikap kita terhadap orang yang terkena musibah

Salah satu sikap seorang muslim ketika menghadapi suatu musibah adalah tetap beprasangka baik kepada Allah swt.  Mereka yakin bahwa apapun yang Allah swt. Tetapkan kepadanya adalah sesuatu yang baik di sisiNya. Dalam arti untuk kebaikan hamba itu sendiri. Dalam alqur’an Allah swt ., banyak menyinggung tentang musibah-musibah yang Dia timpakan kepada hamba-hambaNya yang durhaka. Misalnya dalam Q.S al-Zukhruf : 76 …

"Dan Kami tidak menzhalimi mereka, tetapi merekalah yang menzhalimi diri mereka sendiri"

Di ayat lain, Allah Swt berfirman : …..Dan Allah tidak menyukai perbuatan zhalim (kezhaliman) kepada hamba-hambaNya.

Yang jadi pertanyaan adalah, kalau memang Allah swt. Sayang makhlukNya “mengapa harus memberikan musibah?” ibarat pepatah ‘kalau benar mencintai, mengapa harus menyakiti?”. Sebagai jawaban, penulis menganalogikan seorang ayah atau ibu yang melihat anaknya melakukakan perbuatan yang dapat membahayakan dirinya, maka pasti dia akan menegur anaknya dan memberikan pengajaran bahwa tindakannya itu salah dan berbahaya bagi dirinya dan mungkin juga orang lain. Lalu anak tersebut mengulangi kesalahannya, maka orang tuanya pasti menegurnya dengan lebih keras lagi dari yang pertama. Kemudian anaknya tetap mengulang kesalahannya, maka orangtuanya akan memberikan tindakan tegas, bahkan boleh jadi disertai dengan tindakan pisik. Lantas apakah orang tua seperti ini tidak sayang kepada anaknya????... insyaAllah pasti mereka sayang. Maka demikianlah Allah terhadap hamba-hambNya, ketika Dia mendatangkan musibah di tengah-tengah mereka.

Tanpa disadari bahwa sesungguhnya Allah swt. Dengan penuh kasih sayang mengingatkan hamba-hambaNya akibat yang akan terjadi bila melanggar aturanNya dan menjanjikan balasan yang luar biasa baik bila mengikuti aturanNya.

Bila aturan Allah swt. Disalahgunakan oleh manusia, maka sebagai bentuk komunikasi kepada hamba-hambaNya adalah mendatangkan musibah. Yang dapat dimaknai sebagai ujian atau peringatan dan atau adzab. Bagi orang yang beriman, isyarat ini akan cepat direspon dan menyadari kesalahannya, selanjutnya bertaubat dengan mohon ampun kepadaNya. Selanjutnya bagi orang-orang tidak beriman maka mereka menganggap bahwa itu adalah kejadian alami yang biasa terjadi. Sehingga tidak perlu ada koreksi terhadap dirinya dan lingkungannya.

Patutlah kita prihatin bila musibah yang datang silih berganti, namun tidak mampu menangkap nasehat yang dibawa oleh musibah tersebut. Inilah yang selalu disindir oleh Allah  “ Mengapa kamu tidak berpikir?,” Mengapa kamu tidak melihat?”., “Mengapa kamu tidak mendengar?” dan mengapa-mengapa yang lain.

Sekali lagi penulis tekankan bahwa musibah yang menimpa kita adalah cara Allah berkomunikasi kepada makhlukNya agar segera tersadar dari kesalahan yang diperbuatnya. Sebagai contoh, musibah covid-19 yang marak saat ini. Hemat penulis, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pembelajaran; pertama, Allah Swt. Ingin memperlihatkan kekuaasaanNya kepada seluruh makhlukNya, yang “banyak” merasa sok jagoan, sok kuat, sok menguasai segala sesuatu baik secara individu maupun komunitas bangsa dan negara.  Sesungguhnya Allah Swt. Berkata kepada makhlukNya yang sombong “ Hei jangan kalian merasa bisa mengalahkan semuanya, makhluk yang kecil (virus) saja kamu merasa takut dan tak dapat kamu kalahkan, apalagi makhlukKu yang lebih besar. Kedua, seakan-akan Allah swt., berkomunikasi pada makhluknya “ Hei kalian, Aku telah berikan kamu bentuk fisik yang baik, lingkungan yang seimbang, maka jagalah dan peliharalah kesehatanmu dengan memakai masker, rajinlah cuci tanganmu. Ketiga, sungguh Allah berkata kepada makhluknya yang sangat sibuk dengan aktivitasnya di luar rumah sehingga tidak punya waktu untuk keluarganya “ Hei kalian! kamu punya keluarga yang harus kamu perhatikan.  sisihkan waktumu sebagaian untuk anak isterimu. Mereka butuh kehadiranmu, kehangatanmu, canda tawamu, dan seterusnya. Maka dengan musibah ini kita punya waktu yang cukup, untuk  bercengkeramah dengan keluarga.

Apa yang penulis utarakan tersebut, hanyalah sebagain kecil dari hikmah suatu musibah, covid-19 khususnya. Sungguh kalau masing-masing mau mengambil pelajaran, sangat banyak yang bisa dijadikan pembelajaran. Yang dikhawatirkan, jangan sampai musibah datang silih berganti menimpamu sementara kamu tidak mengambilnya sebagai pelajaran atau peringatan. Ingat, salah satu firman Allah swt.

 Dan hendaklah kamu cegah datangnya fitnah, yang jika Allah datangkan musibah (karena fitnah) itu, tidak hanya menimpah pelakunya saja dianatara kamu …..

Oleh karenya alqur’an juga memerintahkan kita semua untuk menjadi penyeruh kepada yang ma’ruf dan mencegah melakukan yang mungkar. QS.al Imran :

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." (QS. 3:104)

 Begitupun sabda nabi Muhammad Saw. “ Barangsiapa yang melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya. Jika tidak sanggup maka hendaklah cegah dengan lisannya (menasehati). Dan jia tidak sanggup, maka hendaklah dengan hatinya (doa), dan itulah iman yang paling lemah. (al-Hadits).  Wallahu a’lam bissawab

Penulis :  Sage Albana, S.Ag., M.Pd.

Sebagai hamba Allâh Ta’ala, semua manusia dalam kehidupan di dunia ini tidak akan luput dari berbagai macam cobaan, baik berupa kesusahan maupun kesenangan. Hal itu merupakan sunnatullâh yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir.

Allâh Ta’ala berfirman:

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs al-Anbiyâ’/21:35)

Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:

“(Makna ayat ini) yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.[1]

KEBAHAGIAAN HIDUP DENGAN BERTAKWA KEPADA ALLAH TA’ALA

Allâh Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan hikmah-Nya yang Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama-Nyalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat.

Allâh Ta’ala berfirman:

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu
yang memberi (kemaslahatan)[2] hidup bagimu (Qs al-Anfâl/8:24)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:

“(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanya didapatkan dengan memenuhi seruan Allâh Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Maka, barang siapa tidak memenuhi seruan Allâh Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik) meskipun fisiknya hidup, sebagaimana binatang yang paling hina. Jadi, kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang dengan memenuhi seruan Allâh Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam secara lahir maupun batin”[3].

Allâh Ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (Qs Hûd/11:3)

Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:

“Dalam ayat-ayat ini Allâh Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat. [4]

SIKAP SEORANG MUKMIN DALAM MENGHADAPI MASALAH

Seorang Mukmin dengan ketakwaannya kepada Allâh Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan keimanannya yang kuat kepada Allâh Ta’ala membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allâh Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya.

Dengan keyakinannya ini pula Allâh Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allâh Ta’ala dalam firman-Nya:

Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allâh; barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qs at-Taghâbun/64:11)

Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:

“Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta’ala, kemudian dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta’ala tersebut, maka Allâh Ta’ala akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allâh Ta’ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya.”[5]

Inilah sikap seorang Mukmin yang benar dalam menghadapi musibah yang menimpanya.

Meskipun Allâh Ta’ala dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allâh Ta’ala dalam menghadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang Mukmin.

Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:

“Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allâh Ta’ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.

Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisâb. Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan).

Sungguh Allâh Ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya yang artinya:

”Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allâh apa yang tidak mereka harapkan” (Qs an-Nisâ/4:104).

Jadi, orang-orang Mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang Mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allâh Ta’ala.”[6]

HIKMAH COBAAN

Di samping sebab-sebab di atas, ada lagi faktor lain yang bisa meringankan semua kesusahan yang dialami seorang Mukmin di dunia ini, yaitu merenungi dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allâh Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang terjadi pada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Dengan merenungi hikmah-hikmah tersebut, seorang Mukmin akan semakin yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah kebaikan bagi dirinya, untuk menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allâh Ta’ala.

Semua ini, di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allâh Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya.

Dengan sikap ini, Allâh Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allâh Ta’ala memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi yang artinya:

“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku”.[7]

Maknanya: Allâh Ta’ala akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allâh Ta’ala.[8]

Di antara hikmah yang agung tersebut adalah:

1.

Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya. Kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allâh Ta’ala. Jadi musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allâh Ta’ala[9].

2.Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin kepada-Nya, karena Allâh Ta’alamencintai hamba- Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang.[10]Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :

“Sungguh mengagumkan keadaan seorang Mukmin, semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang Mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.”[11]

3.Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allâh Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia Allâh Ta’ala menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti.[12]Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :

”Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.”[13]

PENUTUP

Sebagai penutup, ada sebuah kisah yang disampaikan oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullâh tentang gambaran kehidupan guru beliau, imam Ahlus sunnah wal jama’ah di jamannya, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya seorang Mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allâh Ta’ala takdirkan bagi dirinya. Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:

“Dan Allâh Ta’ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah rahimahullâh). Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allâh Ta’ala), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi di sisi lain (aku mendapati) beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta paling tenang jiwanya.

Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Dan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah rahimahullâh), jika ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat).

Dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.”[14]

[1]

Tafsîr Ibnu Katsîr (5/342- cet Dâru Thayyibah).

[2]Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (4/34).
[3]Kitab Al-Fawâ-id (hal 121- cet. Muassasatu Ummil Qura’)
[4]Al-Wâbilush Shayyib (hal 67- cet. Dârul Kitâbil ‘Arabi).
[5]Tafsîr Ibnu Katsîr (8/137)
[6]Ighâtsatul Lahfân (hal 421-422 – Mawâridul Amân)
[7]HR al-Bukhâri (no 7066- cet. Dâru Ibni Katsîr) dan Muslim (no 2675)
[8]Lihat kitab Faidhul Qadîr (2/312) dan Tuhfatul Ahwadzi (7/53)
[9]Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul Lahfân (hal 422 – Mawâridul Amân)
[10]Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Ighâtsatul Lahfân (hal 424 – Mawâridul Amân)
[11]HR Muslim (no 2999)
[12]Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul lahfân (hal 423 – Mawâridul amân), dan imam Ibnu Rajab dalam Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam (hal 461- cet. Dâr Ibni Hazm).
[13]HR al-Bukhâri (no. 6053)
[14]Kitab Al-Wâbilush Shayyib (hal 67- cet. Dârul Kitâbil ‘Arabi)

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

Artikel www.muslim.or.id

🔍 Surga Untuk Istri, Al Mulk Sebelum Tidur, Niat Iktikaf, Arti Musyrik