Bagaimana tanggapan raja Banten tentang sikap Belanda terhadap bangsa Indonesia

ULAMA- ULAMA REVOLUSIONER PERGERAKAN  BANTEN

Oleh Heryadi Bin Syarifudin

Pemerhati Sejarah Local Banten, The Journey Of Banten Pakidulan

Email:

“The most highly esteemed leaders of the intellectual movement originate in most cases from Banten”,

Sebagian besar asal para ulama paling dihormati, penggagas gerakan intelektual berasal dari Banten”

      (Snouck Hurgronje)

Bagaimana tanggapan raja Banten tentang sikap Belanda terhadap bangsa Indonesia

LATAR BELAKANG

Pandangan pergerakan ulama Banten , merupakan sebuah tantangan kolektif (collective challenge) dari ulama. Adanya tantangan yang mengharuskan dipilihnya perlawanan melalui aksi langsung terhadap pemegang otoritas, kelompok atau aturan kultural lainnya. Agenda tersebut merupakan cara untuk menarik perhatian konstituen, pihak ketiga atau pihak lawan. Ditambah adanya tujuan bersama (common purpose). Adanya klaim bersama untuk menentang pihak lawan, pemegang otoritas atau elit, merupakan tujuan berpartisipasinya masyarakat dalam gerakan. Ketiga, solidaritas sosial (social solidarity). Gerakan sosial akan terjadi jika pemimpin atau aktor menggali lebih dalam solidaritas sosial. Solidaritas yang dimiliki suatu kelompok dapat membentuk identitas yang biasanya bersumber dari nasionalisme, etnisitas, dan keyakinan agama. Keempat, memelihara interaksi (sustained interaction). Ciri ini menunjukkan pemeliharaan aksi kolektif dalam interaksi dengan pihak lawan. Pemeliharaan interaksi ini merupakan faktor penting yang menandai sebuah penentangan dan berubah menjadi gerakan sosial. Sedangkan ciri-ciri dari gerakan keagamaan di Indonesia secara singkat yaitu “messinaistic, millenaristic, nativistic, ramalan-ramalan, ide perang suci, kebencian kepada kebudayaan yang bersifat asing, megico-mysticism dan pujaan kepada nenek moyang”. Dengan teori tersebut di atas, terdapat pernyataan masalah (problem statement) dari tulisan ini bahwa kelahiran PERGERAKAN ULAMA DI BANTEN pada masa kolonial merupakan suatu bentuk gerakan sosial.

Penguasa Banten pertama kali menggunakan gelar Sultan ketika Banten muncul sebagai kekuatan besar di awal abad ketujuh belas, sekitar seratus tahun setelah berdirinya negara mereka. Tetapi selama periode ekspansi VOC perdagangan Banten menderita dan, pada abad kedelapan belas, Perusahaan VOC secara bertahap mengurangi kemerdekaan dan kedaulatan kesultanan Banten, sampai pada tahun 1752 Sultan Banten secara resmi mengakui kekuasaan VOC.    

Kemudian pada tahun 1808, H. W. Daendels, Gubernur Jenderal, mendeklarasikan Banten sebagai bagian dari wilayah pemerintahan, melakukan berbagai reformasi dan menempatkan Sultan dan pemerintahannya di bawah kendali ketat koloni nya. Sejak dekade sebelumnya banten telah menyaksikan perang suksesi dan banyak perselisihan internal, Sultan tidak dalam posisi untuk melawan. Dengan perluasan kendali Belanda, bangsawan lokal menghadapi kehilangan keuntungan mereka serta prospek niaga mereka, atas tindakan dari para pejabat VOC yang mereka sebuat kaum kafir., dan oposisi mereka membuat Batavia sulit beberapa tahun berikutnya. Dalam upaya untuk memperketat kontrol, Stanford Raffles, Letnan Gubernur Jawa Inggris, bahkan menghapuskan kekuasaan politik Kesultanan pada tahun 1813 dan mengkerdilkan  banten menjadikan  sebagai Karesidenan, meskipun Sultan tetap mempertahankan gelarnya dan menerima hadiah serta tunjangan yang berharga.

Bagaimana tanggapan raja Banten tentang sikap Belanda terhadap bangsa Indonesia

     Raet of Stadhuys/Townhall in Batavia.Source: Joan Nieuhof’s zee- en lantreize … Amsterdam, 1682

Dalam sebuah laporan berita Cina yang ditulis pada tahun 1430 (Shun  Peng Hsiang Sung) nama Banten disebut-sebut sebagai bagian dari beberapa rute pelayaran yang dibuat pada tahun 1421 oleh seorang pelaut Cina yang bernama Mao’ K’un.  Rute palayaran tersebut ialah Banten-Timor,  Banten-Demak,  Banten-Banjarmasin,  Kreung (Aceh)-Barus , Pariaman-Banten.

Sumber sejarah lainnya datang dari sorang Portugis, yaitu Tome Pires yang mengunjungi ke Banten sebagai bagian dari lawatannya ke Pasisir Utara pantai Jawa. Lawatan Tome Pires kemungkinan besar terjadi antara tahun 1512-1513.

Arsip VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) yang berupa Resolution Van Het Casteel Batavia, Daghregister Van Het Casteel Batavia, Corespondentie Buiten Kantoren/Gewestelijke Stukken Bantam. Arsip Pemerintah Inggris di Jawa, Arsip Pemerinrah Hindia-Belanda yang berupa Algemeen Secretarie, Departement Binnenlands Bestuur, Directie Cultures, Gewestelijke Stukken/Residentie Archieven, Residentie Archeiveb ”Pasar Ikan, dan Memorie van Overgrave.

DESERTASI AKADEMIK REVOLUSIONER BANTEN

Tiga buah tulisan ilmiah (disertasi) yang sangat berpengaruh dalam historiografi Indonesia, yaitu Hosein Djajadiningrat (1913) Chritische Beschouwing van de Sedjarah Banten: Bijdragen ter Kenstcheteing van de Javanaasche Geschiedshrijving. DK Baset (1965) The Factory of The English East India Company in Banten 1602-1682, dan Sartono Kartodirdjo Peasant Revolt of Banten in 1888; It Condition, Course, and Sequel: it Case Study of Social Movement Indonesia.

Kesultanan Banten tercatat dalam sejarah menjadi kerajaan yang disegani, tidak hanya di tataran nusantara tapi juga di dunia internasional. Kerajaan yang didirikan pada 1552 oleh Sultan Maulana Hasanuddin ini bahkan mampu berjaya hampir tiga abad lamanya. berdasarkan keterangan Ibnu Batutah yang pernah tinggal selama 15 hari di Samudera Pasai pada 1345. Dalam catatannya, al-Rihlat, Batutah menyebut fungsi mufti sangat penting dalam kesultanan. Sang mufti biasanya duduk dalam ruang pertemuan bersama dengan sekretaris, para pemimpin tentara, komandan, dan pembesar kerajaan.

Gambaran jelas keberadaan ulama di tengah politik kerajaan muncul pada abad 16. Salah satunya Hamzah Fansuri, ulama Melayu Nusantara yang peninggalannya relatif lengkap mencakup biografi dan karya keislaman. Selain itu, ulama terkemuka yang meninggalkan karya monumental antara lain Shamsuddin al-Sumaterani (1693), Nuruddin ar-Raniri (1658), Abdul Rau’f al-Sinkili (1693), dan Yusuf al-Makassari. Pada abad 18 muncul Abd. Samad al-Falimbani dan Syekh Daud al-Fatani . kehadiran ulama Melayu Nusantara sebagai bagian dari elite kerajaan lebih memperlihatkan gejala kota.

Mereka menjadi satu kelompok sosial yang termasuk elite kota dengan sejumlah keistimewaan karena pengetahuannya di bidang ilmu keislaman, para ulama senantiasa di samping raja untuk memberi nasihat spiritual sekaligus memberi legitimasi politik di tengah rakyatnya yang beralih menjadi muslim”.

3.            PENGKEBIRIAN KESULTANAN BANTEN

Meski akhirnya Kesultanan Banten runtuh pada 1813, kerajaan dengan corak islam ini juga telah menyumbang besar dalam syiar islam ke berbagai daerah. Terkait dengan stratifikasi sosial di Banten, para ahli berpendapat bahwa stratifikasi sosial baru tampak menonjol kuat di Banten pada era kekuasaan  Sultan Banten yang memperoleh pengaruh dari Sunda Cirebon dan Demak.

Dengan perluasan kendali Belanda, bangsawan lokal menghadapi kehilangan keuntungan mereka serta prospek yang tidak menyenangkan dari tuan-tuan kafir, dan oposisi mereka membuat Batavia sulit beberapa tahun berikutnya. Dalam upaya untuk memperketat kontrol, Raffles, Letnan Gubernur Jawa Inggris, menghapuskan kekuasaan politik Kesultanan pada tahun 1813 dan menjadikan Banten sebagai Karesidenan, meskipun Sultan tetap mempertahankan gelarnya dan menerima hadiah serta tunjangan yang berharga. Tetapi perseteruan dan intrik yang rumit dari politik istana terus berlanjut, dan pada tahun 1832, setelah episode yang sangat tidak menyenangkan, Sultan dikirim ke Surabaya sebagai tahanan.  Istana kemudian dihancurkan dan pusaka kerajaan (benda-benda suci, pusaka) dan koleksi Naskah Arab dipindahkan ke Batavian Society of Arts and Sciences. Dalam pandangan keluarga penguasa ini merupakan  sebagai upaya sengaja untuk mengurangi otoritas mereka dengan menghancurkan harta benda yang meningkatkan status dan kekuatan spiritual mereka. Terlepas dari semua ini, warisan Kesultanan tetap menjadi kekuatan yang kuat dalam politik dan masyarakat Banten. Kaum bangsawan yang memiliki hubungan keluarga dengan penguasa dan telah menjadi andalan pemerintahan kerajaan, didukung oleh ingatan populer tentang masa lalu yang merdeka, menghambat upaya Belanda untuk mengubah Banten menjadi Karesidenan yang tertib.

4.            LAHIRNYA ULAMA -  ULAMA DI BANTEN

Pemerintah belanda dulu pernah membatasi peran politik ulama, berbagai undang-undang pemerintahan (regeering Regliment) dan undang-undang politik (Politieke Maatregel), dibuat untuk mengisolasi para ulama / tokoh agama dari berbagai kegiatan aktifitas yang dapat menimbulakan impilkasi politik (rust en orde – ketentraman dan ketertiban).

Masyarakat Banten , Struktur sosial masyarakatnya pada awalnya terutama pada masa Kesultanan Banten terbagi dua,  yakni strata menak (bangsawan) dan rakyat jelata . Sesuai dengan stratifikasi sosial itu, jawara, ulama, dan umaro di Banten merupakan elite lokal yang mempunyai pengaruh dan memegang peran penting bagi kehidupan masyarakat . Ulama dan jawara di Banten telah menjadi simbol ―karuhun /kokolot― yang dituakan dalam memimpin masyarakat baik dalam acara ritual kegamaan maupun acara kemasyarakatan yang lain.

Di lingkungan perdesaan Banten, ulama lebih banyak bertugas melayani penduduk dalam pelbagai peristiwa keagamaan, pembangunan (penyambung dengan pemerintah), bahkan berperan untuk merumuskan peraturan untuk suatu persoalan. Ulama ikut mewarnai keputusan di desa. Kedudukan seperti ini menempatkan ulama sebagai faktor integrasi, dan merupakan ―interface‖antara kepentingan masyarakat dan pemerintah.

Secara historis  Ulama sejak dahulu ketika jaman kejayaan Sultan Banten, telah menjadi salah satu elite dalam lingkungan kerajaan. Sistem sosial politik yang berpusat pada raja ini, semakin memperkuat otoritas kiai (ulama).  Kiai waktu itu, bertindak tidak saja sebagai penerjemah nilai-nilai Islam dalam masyarakat, tetapi sekaligus tampil sebagai elite kerajaan. Dalam kaitannya dengan kekuasaan, pemimpin agama dan kerajaan adakalanya berpusat pada satu orang. Hal ini terjadi misalnya dengan pemerintahan kesultanan Banten pada masa lalu.

Syarif Hidayatullah sebagai peletak Kesultanan Banten dikenal sebagai seorang kiai dan ulama,

Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati merupakan pilar utama penyebar agama Islam di banten dan Jawa Barat. Ia selain berfungsi sebagai seorang pemuka agama Islam, juga menjadi penguasa secara politis dengan mendirikan kesultanan banten pada masanya.        

Masuknya kalangan ulama ini pada struktur pemerintahan kesultanan  Banten, pada awalnya tidak terlepas dari peran Wali Songo yang diawali Sunan Ampel dan utamanya Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) yang berhasil mengislamkan masyarakat Banten dan menjadikan Sultan Hasanudin putranya sebagai Raja Banten pertama (1552-1570). 

Berbeda secara Pragmatisme , Jika di wilayah Jawa Tengah ini berarti memainkan peran priyayi yang halus sampai ke puncak, di Banten itu melibatkan pengabdian kepada Islam dan kesalehan yang mencolok:

Regent Soeta Angoen Angoen (bupati serang)  Misalnya, berbicara secara teratur di masjid. Namun meski ada perpecahan di dalam elit pemerintahan, namun tetap membentuk lingkaran ketat terhadap orang luar yang tidak diserapnya. Tidak ada identifikasi kuat yang sama antara Kabupaten tertentu dengan satu keluarga yang terjadi di tempat lain di Jawa, tetapi ada desakan umum agar Bupati, pertama, orang Banten, dan, kedua, bagian dari elit.

Kecenderungan priyayi untuk membentuk "lingkaran keluarga" merupakan kutukan bagi pemerintah Belanda, karena hal itu mendorong nepotisme dan mempersulit pemecatan pejabat yang tidak sesuai dan pengenalan bakat baru, meskipun dapat dikatakan bahwa realitas kolonial mendorong perkembangan seperti itu. pengelompokan pelindung. Karena kualitas pejabat pribumi di Banten sangat rendah dan kebanyakan priyayi berpendidikan rendah, pemasukan pejabat dari luar, seperti yang telah kita saksikan, cukup umum dilakukan. Dalam beberapa kasus mereka berhasil membangun diri dalam masyarakat Banten, tetapi dalam kasus lain tidak.

R.A. Karta Nata Negara (Bupati Lebak, 1837-65), Bupati pada masa  Max Havelaar menjadi resident lebak , dikisahkan sevagai bupati yang jahat, namun sangat populer dan dihormati di kabupatennya, dan tampaknya renent lebak ini cukup dikenal  Banten meskipun berasal dari Bogor, sementara R.A.A. Soeria Nata Negara (Bupati Lebak, 1880-1908), orang berasal dari Sunda Priangan, setelah sepuluh tahun menjabat, masih tetap dikenal sebagai Dalem Wetan, Bupati dari Timur.

5.            PERAN ULAMA DALAM PERGOLAKAN KESULTANAN BANTEN

Peran ulama menjadi penting. Pada jaman keemasan Sultan Banten berikutnya yang dipimpin Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) misalnya, orang-orang alim , (ulama) dari luar negeri seperti Mekah, Turki, dan Mesir banyak berdatangan ke Banten dalam  syiar Islam di wilayah tersebut. Bahkan Sultan Banten telah mengangkat Syekh Yusuf dari Makassar menjadi mufti / kadhi kesultanan Banten dan sekaligus menjadi penasehat dalam urusan pemerintahan. Bersama ulama dan rakyat Banten kemudian Syekh Yusuf berperang melawan Belanda.

Runtuhnya kesultanan Banten pada abad ke-19 dan memudarnya agama dalam sistem kolonial tidak menyurutkan peran ulama dalam masyarakat Banten, malah loyalitas masyarakat justru beralih pada ulama yang berseberangan dengan pemerintahan bentukan penjajah. Selain otoritas keagamaan, para kiai inipun menjadi tokoh independen yang mampu menyaingi para birokrat bentukan pemerintah kolonial, sehingga pengaruhnya meluas tidak hanya di kalangan lapisan bawah, tetapi juga pada kaum bangsawan Banten. Runtuhnya kesultanan Banten tidak mengakhiri eksistensi ulama, karena ketika itu para ulama tidak semata-mata berada dalam wilayah kekuasaan (Kesultanan Banten) menjadi penasehat atau kadi, melainkan tidak sedikit ulama yang berada di luar sistem kekuasaan kerajaan seperti mereka yang memimpin pesantren-pesantren yang independensinya demikian kuat. Para ulama di Banten pada masa kesultanan Banten terbagi dua yakni :

(1) ulama penghulu yang berada di lingkungan keraton dan menjadi bagian dari elite priyai jawa.

(2) ulama –pesantren yang berbasis di pesantren yang tersebar di pedalaman. Ulama corak ke dua ini lebih terkonsentrasi pada proses pembentukan umat yang berbasis di pondok-pondok pesantren dan tidak hilang seiring hilangnya kesultanan Banten.

Ulama di Banten termasuk di daerah Menes selain disegani karena otoritas keagamaannya, juga dikenal sebagai sosok guru, dan panutan yang mengayomi masyarakat. Dalam jaman pergerakan menentang penjajahan Belanda, ulama Ulama, Jawara dan Umaro.

Elite Ulama-Ulama Lokal Di Banten adalah pejuang di garis depan. Nama ulama yang hingga saat ini masih menjadi pembicaraan serta study kajian para akademisi antara lain,  Haji Wasid, Haji Abdul Karim, K.H.Tb Ismail, Haji Marzuki yang mengadakan pemberontakan di Cilegon (1888) terhadap kolonialisme Belanda , merupakan ulama kharismatik di Banten yang menakutkan Belanda, sehingga banyak melenturkan kebijakan Belanda dalam memperlakukan warga Banten, khususnya yang berkaitan dengan perasaan fanatisme keagamaannya.

Bahkan sebagaimana dikemukakan Abuya Hamka “ banyak diantara ulama besar Banten yang tertangkap Belanda dibuang ke berbagai daerah, dan malahan kemudian mereka membuat komunitas Islam di tempat pengasingannya”.

5.1. Haji Abdurrahman misalnya, dibuang ke Banda dan hingga kini kuburannya banyak diziarahi orang di Banda Naira.

5.2. Haji Arsyad Tawil dibuang ke Gorontalo dan meskipun dibebaskan Belanda, akhirnya pulang kembali ke Gorontalo demi panggilan murid-muridnya yang amat mencintainya.

5.3. Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, dan di sana disegani dan dihormati oleh warga masyarakat. Almarhum di Bukit Tinggi disebut Engku Syekh Banten dan diabadikan namanya menjadi sebuah jalan di Kota Bukit Tinggi.

Selain perjuangan ulama di Cilegon, TB. K.H.Achmad Chatib (menantu K.H.Asnawi Caringin) di Caringin Labuan Pandeglang, K.H.Abdul Hadi di Bangko Menes Pandeglang, K.H. Ali Yasin dan kiai-kiai lain telah mengadakan pemberontakan terhadap kolonilisme Belanda di Banten pada tahun 1926

Demikian pula pada zaman revolusi, sosok ulama di Banten memegang peran yang amat penting. Kiai Achmad Chatib pada tanggal 2 September 1945 menjadi residen Banten pertama dari kalangan ulama. Selain itu, beserta ulama lain seperti K.H. Syam’un beliau berdua menjadi tokoh BKR (Badan Kemanan Rakyat) di Banten.

6.            ABUYA SANG GURU PARA ULAMA BANTEN

Dalam sejarah perkembangan islam di banten, banyak kiyai dan ulama yang belajar pada syeh nawawi albantani, para guru islam ini lah yang membentuk karakter ulama banten, dengan panggilan ABUYA atau gurunya para kiyai dan ulama banten. sebagai penghormatan pada guru-guru besar mereka yang menjadi sebutan dan panggilan kehormatan atas perjuangan dan ilmu yang di turunkan pada ulama-ulama yang ada.

Pada saat kesultanan Banten dihapuskan Daendels pada abad ke-19, keadaan di Banten menjadi kacau dan seluruh tatanan sosial hampir ambruk. Dalam situasi seperti ini muncullah para pemimpin dari kalangan kiai dan elite perdesaan lainnya. Mereka secara radikal membangkitkan semangat perlawanan terhadap penguasa asing dan juga terhadap pamong praja.

Pada umunya di dalam gerakan keagamaan selama periode abad ke-19 dan 20 terdapat petunjuk adanya seuatu variasi yang luas dalam bentuk dan arah pertentangan dengan pranata-pranata yang telah berlaku, dan terdapat pula pertumbuhan sekte-sekte keagamaan yang baru, yang memuat tingkatan kepercayaan dan pandangan, baik tingkat kepercayaan Islam yang orthodox maupun tingkat ide-ide yang mencerminkan sikap yang bertentangan dengan Islam. 

Mengenai Banten dalam tahun 1880-an, dapat dikemukakan bahwa terekat-terekat telah berkembang menjadi golongan-golongan kebangkitan kembali yang paling dominan. Pada permulaanya tarekat- tarekat itu pada dasarnya merupakan gerakan-gerakan kebangkitan kembali agama, akan tetapi secara berangsur-angsur mereka berkembang menjadi badan-badan politik keagamaan.

Banten dikenal sebagai sebuah pusat Islam orthodox, di mana pengetahuan tentang agama dan cara hidup yang sesuai dengan ketentuan agama sangat

dihargai.  kebangkitan kembali di bidang agama, dan dengan sendirinya Pemerintah kolonial telah mencipatakan suatu struktur keagamaan yang institusional yang terdiri dari suatu hierarki pejabat- pejabat agama yang profesional, dengan fungsi-fungsi dan kekuasaan-kekuasaan yang diakui secara resmi.

Golongan pejabat agama resmi ini biasanya membiarkan diri dijadikan alat kebijaksanaan Kolonial Belanda untuk menindas manifestasi kegiatan dan perkumpulan agama pada umumnya. Mereka dibujuk untuk mengulangi atau membela ide-ide sekular yang dimasukan oleh pemerintah kolonial. Dengan adanya sekularisasi, kaum ulama sebagai eksponen-eksponen paling utama dari warisan agama Islam terpecah menjadi golongan “sakularis” dan golongan “ tradisional”.

Dalam membahas kondisi sosial keagamaan, kita tidak boleh lupa bahwa hal itu bisa dipahami dalam konteks gerakan sosial, gerakan sosial keagamaan ini telah melahirkan kepemimpinan yang karismatik, pengikut-pengikut yang militan, organisasi pencari anggota-anggota baru yang efektif dan ideologi yang memikat. Gerakan ini mulai menyebar sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya kegiatan keagamaan seperti  sholat, pendidikan agama bagi anak-anak muda, didirikannya pesantren, kegiatan ceramah, pergi haji dan lain sebagainya. Pada perkembnagan selanjutnya, pemerintah Belanda, sebagai penjajah yang kebertulan beragama Nasrani, mendapat perlawanan dari bangsa Indonesia khususnya rakyat Banten yang mayoritas penganut agama Islam. Masa perlawanan terhadap penjajah yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda yang berpusat di Serang ketika itu .

Sumber sejarah pertama yang menyebut tentang keberadaan Banten adalah laporan- laporan Snouck Hurgronje orientalis kebangsaan Belanda memuji ulama-ulama Banten  dengan ungkapan “The most highly esteemed leaders of the intellectual movement originate in most cases from Banten”,  yang artinya bahwa sebagian besar asal para ulama paling dihormati, penggagas gerakan intelektual berasal dari Banten.  Snouck juga mengungkapkan bahwa Tidak ada satu tempat pun di Nusantara menandingi daerah Jawa bagian Barat (Banten) yang keterwakilannya begitu lengkap karena keberadaan ulama dengan kualitas tingkat satu  dan keberadaan pelajar dari semua tingkatan usia.

7.            DESKREDISITAS KOLONIAL PADA ULAMA BANTEN.

Dalam laporan kolonial belanda, banten merupakan wilyah panas, dimana wilayah ini sejak kesultanan berdiri hingga di hancurkan oleh kolonial mejadi wilayah yang tidak pernah berhenti dari pemberontakan dan kerusuhan yang membuat kolonial merugi, bahkan para pejabat kolonial Banyak yang enggan bertugas di wilayah banten, terutama wilayah banten kidul dan tengah.

Hingga jika pejabat kolonial tidak bisa bekerja sama dengan pribumi banten, otomatis kondisi keamanan dan penugasannya sebgaia wakil kolonial di tanah banten akan sengsara.

Pejabat pribumi di Banten sering kali terisolasi dan tidak mampu memberikan ikatan antara orang dan rezim asing yang merupakan alasan utama mereka. Banyak desa memiliki wedana lepas (bekas wedana) yang penuh kebencian  akibat di berhentikan paksa oleh pemeringtah kolonial  Memang ada begitu banyak mantan priyayi pemerintahan di Banten sehingga mereka membentuk perkumpulan sendiri,”Story sarekat”.

Laporan Belanda sering mencatat bahwa priyayi pemerintah Banten tidak dipercaya oleh masyarakat, pada masa itu dikarenakan tabiat dan gaya hidupnya yang membuat rakyat ketakutan dan sengsara, dan rakyat banten biasanya lebih memilih untuk langsung menemui pejabat Eropa dengan masalah mereka.

Setidaknya pada akhir abad kesembilan belas, bagaimanapun, banyak orang Eropa di Banten tampaknya telah begitu dekat terlibat dalam intrik keluarga priyayi tinggi sehingga objektivitas mereka pasti terbuka untuk keraguan besar.

Posisi pengurus Pangreh Praja juga kerap sulit, apalagi setelah tuntutan pemerintahan yang "modern" mulai mengejar Banten. Hubungan Pangreh Praja dengan kelompok sosial lokal lainnya tampak tegang. Para guru Islam membenci dan tidak mempercayai hamba-hamba kafir nasrani belanda), kelompok "kriminal" jawara membenci mereka dan biasa membunuh kuda belanda  kolonial mereka, untuk menunjukkan perasaan mereka, sementara prestise para sultan dan bangsawan lama yang masih ada semakin memperumit masalah.

pada umumnya, Banten tidak populer dan pergantian pejabat Eropa berlangsung cepat Ketika para pejabat diberhentikan karena ketidakefisienan atau korupsi, mereka bergabung dengan kekuatan yang mempersulit kehidupan mantan rekan mereka. Seperti  JA Hardeman, misalnya, menolak diangkat menjadi Raad van Indie (Dewan bergengsi Hindia, badan penasehat Gubernur Jenderal) sehingga dia bisa tinggal di Banten dan berhasil memperpanjang masa jabatannya menjadi sebelas tahun yang luar biasa ( 1895-1906).

Penderogasian nama jawara oleh Belanda tersebut, tentunya, sangat bertentangan dengan konsep awal jawara sebagai santri dalam terminologi yang diintrodusir Tihami (1992: 99-100), sehingga

dapat dipahami pada masa ini jawara terpilah kepada dua bentuknya yaitu yang pertama adalah jawara yang memiliki jiwa patriotism sebagai didikan kiai dan berperan besar terhadap perjuangan pergerakan kemerdekaan dan kedua adalah jawara yang bertipikal pembelot perjuangan yang berlabel “bandit”, “perampok” atau “pelanggar hukum” sebagai bentukan Belanda untuk menderogasi citra patriotisme jawara yang sesungguhnya. Pelekatan citra negatif jawara ini dapat dipahami sebagai keberhasilan strategi hegemoni kolonialis.

Selain keberhasilan Belanda dalam menderogasi konsep jawara, seiring dengan dibumihanguskannya istana Kesultanan Banten, hancur pula puing-puing keulamaan Banten termasuk konsep ulama-umaronya

sehingga kaum ulama terpinggirkan ke pedesaan. Ketika kaum ulama (termasuk jawara) terpinggirkan di pedesaan, maka kepemimpinan pedesaan pun beralih dari para jaro kepada kaum ulama. Untuk itulah peran politik ulama lebih banyak bermain dalam tataran pedesaan. Dari rangkaian peran politik ulama yang dijalankannya, yang terpenting adalah perannya dalam kepemimpinan gerakan-gerakan perlawanan terhadap kaum penjajah. Gerakan inilah yang digambarkan secara apik oleh Kartodirdjo (1984: 305-316) tentang keterpaduan kaum ulama, jaro, dan segenap unsur masyarakat pedesaan Banten saat itu dalam proses gerakan perlawanan tersebut melalui formula pemberontakan petani (masyarakat pedesaan). Keterpinggiran ulama ke level pedesaan ini, meskipun dari aspek politik semakin terdegradasi, namun dalam syiar keislamansangat diuntungkan karena masyarakat pedesaan semakin dekat hubungannya dengan para ulama, terutama kaum ulama

bangsawan yang pada masa kolonialis relative terkungkung dalam dunia pemerintahan saja. Kedekatan hubungan inilah yang memberikan peluang besar kaum ulama untuk menanamkan gerakan kesadaran perjuangan untuk menggulingkan kaum penjajah.

Dalam situasi seperti ini, perampokan, penyamunan, pembegalan terjadi di mana-mana. Malahan dalam perkembangannya kemudian sekitar tahun 1880-an muncul perampok dan bandit tulen yang tidak ada kaitannya dengan perlawanan. Mereka merampok dan melakukan penggarongan tanpa pilih bulu. Mereka inilah yang membuat nama jawara menjadi cemar. Kemudian hal itu dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk meruntuhkan citra para pejuang yang sesungguhnya, dengan cara mencap atau memberi label bahwa semua kaum jawara Banten adalah bandit, sehingga perlawanan dalam bentuk gerakan sosial yang bermaksud melawan penjajah seperti perlawanan Ki Wasid (1888), dianggap sebagai ONLUSTEN (keonaran), ONGEREGELDHEDEN (pemberontakan), COMPLOT (komplotan), WOELINGEN (kekacauan), dan ONRUST (ketidakamanan) .

Pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani  itu benar-benar mengguncang Belanda karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Menurut Martin van Bruneissen, para pemberontak yang melawan penjajah itu adalah pengikut Tarekat Qadiriyah yang dipimpin oleh Syekh Abdul Karim dan KH Marzuki. Belanda dibuat keteteran oleh gerakan kaum sufi itu.

8.            PERSAMAAN KEBATHINAN ULAMA DAN JAWARA

Penguasa kolonial Belanda merasa repot dalam menghadapi kelompok jawara yang sering melakukan sabotase terhadap kepentingan Belanda. Melalui kolaborasi dengan kekuatan para santri yang dikomando kiai, para jawara menjadi salah satu kunci konsistensi,

kontinuitas perjuangan masyarakat Banten dalam melawan kolonialisme bangsa kulit putih. memberikan kebijaksanaan dalam masalah keagamaan, mereka memberikan kebebasan dibidang agama dalam arti sempit, mendukung perkumpulan di bidang sosial kemasyarakatan. Namun, mewaspadai dan menindak tegas setiap gerakan yang bisa mengarah pada timbulnya pemberontakan.

Snouck Hurgronje pada tahun 1915 memberikan saran, agar pemerintah Belanda melarang ibadah haji pada tahun itu. Saran ini diberikan dengan alasan karena waktu itu Turki bersama Jerman, sedang merencanakan perang suci. Karena pemerintah Belanda menganggap orang-orang yang pergi haji setibanya di daerahnya masing-masing akan menjadi pemberontak, hal ini terjadi, karena adanya hasutan dari oleh orang-orang Mekkah dalam  tanggapan mereka. Yang lebih buruk lagi dari sudut pandang kolonial adanya perubahan yang radikal dalam pandangan ibadah haji mengenai bangsa-bangsa Barat.

Pemerintah Belanda bagaimana pun juga tidak dapat menghentikan kebiasaan naik haji itu, karena adanya tradisi yang sangat kuat yang berasal dari awal masa Kesulatanan Banten. Perlu diketahui bahwa kondisi sosial keagamaan diSerang merupakan suatu fenomena yang tersebar luas dalam bagian akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dari tahun 1880 hingga tahun 1940-an. Di mana masyarakat menampakan sikap lebih taat dalam menjalankan ibadah dan mematuhi syariat yang bertujuan untuk memperbesar kekuataan agama mereka.

9.            PESANTREN KAWAH CANDRADIMUKA NYA KAUM ULAMA

Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke-16. Sejak permulaan abad ke-16 di Indonesia telah banyak dijumpai pesantren yang besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi, dan tasawuf, dan mejadi pusat-pusat penyiaran Islam. Lembaga pesantren telah mendapat kekuatan dan daya tarik baru dikalangan masyarakat dalam kondisi yang diciptakan oleh kebangunan agama. Dalam pertengahan abad ke-19 berlangsung suatu proses saling memperkuat di antara berbagai aspek gerakan keagamaan. Dalam tahun 1860-an jumlah pesantren di pulau Jawa semakin meningkat terutama di Banten, karena Banten dikenal dengan masyarakatnya yang religious pendidikan di pesantren, sering kali terjadi perubahan-perubahan fundamental struktur kepribadian mereka, satu hal yang paling menonjol di abad ke-19 hingga awal abad ke-20 adalah banyaknya haji menjadi kyai dan mendirikan pesantren mereka sendiri. Hal ini disebabkan karena banyaknya haji yang bermukim di Mekkah selama bertahun-tahun, mereka memperdalam berbagai ilmu pengetahuan tentang Islam. Oleh karena itu, selama beberapa tahun, di Keresidenan Banten khususnya Serang dan pandeglang  sebagai  kota fanatic  terdapat peningkatan fanatisme dikalangan pesantren, dan satu sikap yang bermusuhan dan agresif ditanamkan pada diri setiap santri terhadap orang-orang asing. Hal ini menyebabkan pejabat-pejabat Belanda menyadari bagaimana rakyat memusuhi mereka, dan pemerintah kolonial tidak bisa melihat bahwa pesantren merupakan alat pengendalian ideologis yang berguna dan bahwa pengajaran yang diberikan disana dijadikan alat kepentingan elit agama. Pesantren merupakan satu-satunya sistem pendidikan yang menghasilkan kelompok orang terpelajar juga sarana utama juga meningkatkan gerakan sosial kegamaan, tidak heran, jika pesantren menjadi pelaku penting dalam pengembangan kehidupan sosial. Membicarakan hukum Islam samalah artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Benarlah apa yang dikatakan oleh Joseph Sacht, tidak mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam. Ini menunjukanbahwa hukum sebagai sebuah institusi agama memiliki kedudukan sangat signifikan.

10.          FUNDAMENTAL STRUKTUR KEPRIBADIAN  ULAMA

Legitimasi Kekuasaan

Tak hanya sebagai penasihat raja, para ulama juga menjadi penerjemah Islam ke dalam sistem budaya Indonesia.  “Dalam tugas itu, ulama berkontribusi dalam memberi legitimasi pada budaya politik Melayu berorientasi kerajaan,” Karya intelektual para ulama menjadi sumber legitimasi bagi kerajaan. Salah satunya Ar-Raniri yang memiliki pandangan lebih rinci tentang hubungan ulama-raja. Lewat karyanya, Bustan us-Salatin yang ditulis sekira 1630-an dan didedikasikan kepada Iskandar Thani, dia menjabarkan cara seorang ulama neo-sufi berhadapan dengan isu politik kerajaan.

Ar-Raniri menekankan untuk mematuhi raja sebagai sebuah kewajiban agama. Kepatuhan pada raja sama saja dengan mengikuti perintah Tuhan.  “Dengan cara ini, para raja diberikan otoritas politik yang sah, yang harus diakui oleh umat Islam,” Islam telah memberi sumbangan bagi pembentukan kerajaan absolut di dunia Melayu-Indonesia prakolonial. Semakin mapan ulama dalam elite kerajaan, makin mantap Islam sebagai ideologi politik kerajaan.

DOGMATIS PESANTREN SANG ULAMA

Sejak permulaan abad ke-16 di Indonesia telah  banyak dijumpai pesantren yang besar yang mengajarkan  berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi, dan  tasawuf, dan mejadi pusat-pusat penyiaran Islam.   Lembaga pesantren telah mendapat kekuatan dan daya  tarik baru dikalangan masyarakat dalam kondisi yang  diciptakan oleh kebangunan agama.  Dalam pertengahan  abad ke-19 berlangsung suatu proses saling memperkuat di  antara berbagai aspek gerakan keagamaan. Dalam tahun 1860-an jumlah pesantren di pulau Jawa semakin meningkat  terutama di Banten, karena Banten dikenal dengan  masyarakatnya yang religius.  Sesungguhnya, selama berlangsungnya pendidikan di pesantren, sering kali terjadi  perubahan-perubahan fundamental struktur kepribadian  mereka, satu hal yang paling menonjol di abad ke-19 hingga  awal abad ke-20 adalah banyaknya haji menjadi kyai dan  mendirikan pesantren mereka sendiri. Hal ini disebabkan  karena banyaknya haji yang bermukim di Mekkah selama  bertahun-tahun, mereka memperdalam berbagai ilmu pengetahuan tentang Islam Oleh karena itu, selama beberapa tahun, di Keresidenan  Banten khususnya Serang sebagai ibu kota terdapat peningkatan fanatisme dikalangan pesantren, dan satu sikap yang bermusuhan dan agresif ditanamkan pada diri setiap santri terhadap orang-orang asing. Hal ini menyebabkan  pejabat-pejabat Belanda menyadari bagaimana rakyat  memusuhi mereka, dan pemerintah kolonial tidak bisa  melihat bahwa pesantren merupakan alat pengendalian  ideologis yang berguna dan bahwa pengajaran yang  diberikan disana dijadikan alat kepentingan elit agama.

Snouck Hurgronje mengatakan pada akhir abad ke-19 hingga  awal abad ke-20 penduduk Banten secara keseluruhan lebih taat  dibandingkan dengan orang Jawa lainnya dalam melaksanakan  berbagai kewajiaban keagamaan, seperti berpuasa selama bulan Ramadhan dan membayar zakat.

11.          “ADATRECHT” HUKUM ISLAM DI BANTEN

Meskipun hukum Islam di Banten khususnya di Serang masih mendapat pertentangan dari pemerintah kolonial Belanda dengan cara mengawasi sistem hukum tersebut. Kesadaran Masyarakat Terhadap Hukum Adat (hukum asli)  Istilah hukum adat berasal dari terjemahan dari perkataan “adatrecht” yang pertama kali diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje   seorang   ahli   pengetahuan   Islam yang  pada tahun 1893 ,  menyebutkan Bahwa hukum adat sebagai adats ‘die recht gevolgenhebben’ artinya adat yang mempunyai sanksi hukum (sepaham dengan daerah Aceh ,sebagai wilayah yang memiliki fanaatisme islam yang kuat).

11.1 KADHI / KADI / PENGHULU

Menurut sumber kesaksian Belanda, kadi mengurus masalah hukum di Kesultanan Banten paling tidak sejak 1596 M. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1695) kadi mendapatkan gelar khusus: Kiyahi Peqih Najamuddin. Gelar Kiyahi Peqih Najamuddin, pertama kali diberikan kepada Enthol Kawista pada 1651. Gelar itu baru dipakai ketika seorang kadi berkuasa. Gelar itu dipakai sampai 1855-1856 saat kadi terakhir, Haji Muhammad Adian, wafat. “Selama 200 tahun institusi hukum di bawah kadi dilestarikan Kesultanan Banten. Ada 13 orang bertanggung jawab dengan gelar kadi agung atau yang menyandang Kiyahi Peqih Najamuddin.

11.2 MANGKUBUMI “BUMI”

"Bumi" merujuk pada pejabat bergelar mangkubumi. Dalam struktur politik di Kesultanan Banten, pejabat hukum, selain kadi, dipegang oleh mangkubumi. Mangkubumi ada dua: dalam dan luar. Mangkubumi dalam mengurus kasus-kasus terkait keluarga kerajaan yang tinggal di dalam kawasan keraton. Sementara mangkubumi luar mendampingi kasus hukum bagi keluarga kerajaan yang ada di luar tembok keraton. 

Dalam catatan sejarah kesultanan banten “Bumi “ (mangkubumi) selalu dikaitkan dengan pengadilan untuk keluarga kerajaan. Di berbagai kasus-kasus yang tercatat oleh para kadhi, itu pelakunya antara lain para pejabat kesultanan seperti :  abdi ngabehi, pembesar kerajaan ,  Maka dia diadili “bumi”  walaupun kasusnya masih dicatat Kiyahi Peqih Najamuddin, ” dan kebanyakan hukuman atau Sanksi denda paling sering ditemukan dalam menindak terpidana.  Hukuman lain yang sering dipakai adalah kerja sosial berupa sistem sorogan alias menjadi  penjaga dan mencarikan makan bintang kuda tunggangan sultan  , dan yang paling berat adalah hukuman ini antara lain bisa “ mengambil batu karang satu sampai 20-an perahu dan cara mengambilnya harus masuk ke laut. Batu karang ini untuk membangun kota, istana dan lain-lain.

Ini yang paling lazim,”Sepanjang data yang ada, selama tiga abad Kesultanan Banten berdiri hanya sekali hukuman kejam: Menurut sumber kesaksian Belanda, kadi mengurus masalah hukum di Kesultanan Banten paling tidak sejak 1596 M. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1695) potong tangan bagi pencuri perhiasan permaisuri Sultan Ageng Tirtayasa. “berdasarkan laporan utusan diplomatik asing yang ke Banten. (untuk hukaman qisos ini merupakan hukuman terberat ) karena pencuri menyentuh milik permaisuri sultan. Ini umum dilakukan penguasa saat itu. Ini hukum sultan. selain Kesultanan Banten, yang memiliki lembaga pengadilan kadi adalah Kesultanan Aceh. Namun hanya Kesultanan Banten yang meninggalkan catatan hukum secara tertulis. Dokumen ini pun menjadi penting sebagai warisan bagi bangsa Indonesia bahkan Asia Tenggara.

12.          ADATRECHT (HUKUM ADAT) SEBAGAI BENTUK PERLAWANAN PADA KOLONIAL

Rijckloff van Goens diberikan mandate untuk menghancurkan kesultanan Banten ( Rijklof van Goens  lahir di Rees, Jerman, 24 Juni 1619 – meninggal di Amsterdam, Belanda, 14 November 1682 pada umur 63 tahun) adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke 13. Ia memerintah antara tahun 1678 – 1681.

Pada 4 Januari 1678, Rijckloff van Goens ditunjuk sebagai pengganti Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker kemudian pada 31 Januari 1679 Rijckloff van Goens menulis surat kepada pemerintah Belanda, dia menuliskan bahwa

“yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita (Belanda) ialah penghancuran dan penghapusan Banten, Banten harus ditaklukan atau kompeni akan lenyap”

Kelahiran panjang mulud awalnya menjadi alat perjuangan melawan penjajahan kolonial sekitar tahun 1870 Saat itu, sejumlah tokoh seperti Syaikh Nawawi, Ki Wasid, dan Syaikh Abdul Karim mengumpulan dana perang untuk melawan kolonial dengan mengumpulkan barang-barang yang bisa dijual semisal kelapa dan buah lainnya dan berkeliling dari satu masjid ke masjid lainnya. Hasil penjualan itu selain digunakan untuk perang juga untuk keperluan lain seperti membangun masjid.

Menentang penjajah adalah perbuatan mulia dan wajib dilakukan setiap orang Islam, dan bahwa “mencintai tanah air adalah sebagian dari iman”. Maka apabila mati dalam peperangan melawan kesewenang-wenangan, dia mati sahid yang balasannya hanya surga. Keyakinan semacam ini tertanam pada setiap muslim yang taat kepada agamanya. Dengan demikian wajarlah apabila Banten yang dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa sebelah barat tidak pernah sepi dari pada perlawanan kepada penjajah. Dan benarlah bahwa nasionalisme Indonesia dimulai dengan nasionalisme Islam.

Pada masa awal kesultanan sampai dengan masa Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa selalu bergabung dengan para ulama. Sehingga seluruh kebijaksanaan pemerintah mendapat dukungan penuh dari rakyat.

Semenjak kompeni Belanda dapat menguasai politik pemerintahan Banten, maka untuk keamanan diri dan keluarganya, kaum elit birokrasi sedikit demi sedikit menjauhi kaum agama.

Merupakan satu kegembiraan tersendiri apabila mereka tidak dimasukkan kepada kelompok “fanatik”, yaitu orang-orang yang memakai “ukuran agama” dalam setiap tindakannya, dan, karenanya orang “fanatik” inilah yang dianggap berbahaya oleh penjajah.

Bagi para pejabat (yang sudah dipengaruhi “kuasa” penjajah), kesejahteraan rakyat tidaklah begitu diperhatikan, mereka hanya berlomba-lomba menyenangkan tuannya dengan memeras rakyat. Sehingga sangat jarang sekali perlawanan bersenjata tumbuh dari kalangan birokrasi ini. Hal demikian memang disengaja oleh pemerintah penjajah, untuk mengadu-domba pimpinan pribumi.

Penjajah merangkul penguasa-penguasa yang rakus dengan kekuasaan dan dengan dalih mempertahankan adat istiadat nenek moyang mereka bekerjasama membendung pengaruh agama Islam. Dengan keadaan ini maka hanya kepada para ulamalah tumpuan rakyat untuk mengakhiri penderitaan mereka.

Meski pun akhirnya Belanda berhasil mengontrol sebagian besar daerah Banten, namun perlawanan rakyat yang dipimpin para ulama terus meningkat; bahkan pada abad ke-19 perlawanan bersenjata ini lebih meningkat lagi, sehingga dikatakan bahwa sepanjang abad ke-19 ini Banten sebagai tempat persemaian “kerusuhan” dan “pemberontakan”. Tidak ada satu pun distrik di Banten yang sepi dari perlawanan rakyat menentang penjajah Belanda.

Pengaruh Syekh Nawawi al-Jawi al-Banteni ini sangat terasa dalam pergerakan nasional menentang penjajahan Belanda di Indonesia. Melalui murid-muridnya yang datang ke Mekah, sewaktu ibadah haji, Syekh Nanawi memompakan semangat perjuangan. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah: K.H. Wasid (Cilegon), K.H. Khalil (Madura), K.H. Syekh Nanawi Hasyim Asyhari (Jombang), dan K.H. Tb. Asnawi (Caringin).

13.          SYEKH NANAWI AL-BANTANI SANG MENTOR KAUM JAWAH

jamaah haji dari Banten ini banyak yang mukim di Mekah untuk memperdalam pengetahuan keislaman, dan akhirnya mereka pun banyak yang menjadi tokoh terkemuka mukmin asal Nusantara ─ dikenal dengan nama masyarakat Jawah. Melalui jamaah haji, yang merupakan orang pilihan di daerahnya ─ kaum Jawah “memompakan” semangat perjuangan kebangkitan keagamaan dan politik, yang kemudian disebarkan kepada rakyat Banten. Dengan kenyataan ini Snouck Hurgronye menyatakan bahwa dari Mekah inilah perlawanan rakyat Nusantara dikontrol dan dimotori. Salah seorang “kaum Jawah” yang terkenal dan berpengaruh asal Banten adalah Syekh Nawawi al-Jawi al-Bantani. Menurut tradisi, Nawawi adalah keturunan langsung dari Pangeran Sunyararas, putra Maulana Hasanuddin.  Mulai dari usia 5 tahun, ia belajar ilmu-ilmu agama dari ayahnya, K.H. Umar, di daerah asalnya yakni di desa Tanara, Tirtayasa, Serang. Sepuluh tahun kemudian, setelah ayahnya meninggal, Nawawi melanjutkan belajar pada K.H. Sahal, seorang ulama terkenal di daerah Banten. Kemudian bertiga dengan saudaranya (Tamim dan Ahmad), mereka pergi ke Purwakarta untuk belajar pada Raden Haji Yusuf.

Untuk menjaga dari pengaruh-pengaruh ajaran agama dan kebudayaan yang dibawa kolonial Belanda, para guru agama mendirikan pesantren, yaitu lembaga pendidikan agama, yang umumnya didirikan di tempat-tempat jauh dari keramaian kota. Di pesantren inilah para santri dididik untuk cinta agama dan semangat membela tanah air. Dalam beberapa dasawarsa, di Banten terdapat peningkatan fanatisme di kalangan masyarakat pesantren, dengan satu sikap bermusuhan dan agresif yang ditanamkan pada diri para santri terhadap penguasa kolonial beserta dan kaum priyayi yang dianggap sebagai antek penjajah.

Ketimpangan sosial, penderitaan rakyat, dan perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah dan antek-anteknya ini menimbulkan kebencian yang mendalam kepada penjajah. Alasan inilah yang memudahkan timbulnya banyak api pemberontakan di Banten walaupun dalam skala yang berlainan. Kerusuhan-kerusuhan kedaerahan terus bermunculan silih berganti, dan beberapa di antaranya berkembang menjadi pemberontakan yang sesunguhnya.

14.          MODERNISASI SISTEM HUKUM AGAMA DI BANTEN

sejak pendirian Keresidenan Banten tahun 1808 dapat dijadikan indikasi akan keberadaan sekolah untuk Bangsa Eropa.Banten dalam tahun 1880-an, dapat dikemukakan  bahwa terekat-terekat telah berkembang menjadi golongan-golongan  kebangkitan kembali yang paling dominan. Pada permulaanya tarekat- tarekat itu pada dasarnya merupakan gerakan-gerakan kebangkitan kembali agama, akan tetapi secara berangsur-angsur mereka  berkembang menjadi badan-badan politik keagamaan. Banten dikenal sebagai sebuah pusat Islam orthodox, di mana pengetahuan tentang  agama dan cara hidup yang sesuai dengan ketentuan agama sangat  dihargai.

Gerakan  ini mulai menyebar sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, hal  ini dapat dilihat dengan meningkatnya kegiatan keagamaan seperti sholat, pendidikan agama bagi anak-anak muda, didirikannya  pesantren, kegiatan ceramah, pergi haji dan lain sebagainya. Pada perkembnagan selanjutnya, pemerintah Belanda, sebagai  penjajah yang kebertulan beragama Nasrani, mendapat perlawanan dari  bangsa Indonesia khususnya rakyat Banten yang mayoritas penganut  agama Islam. Masa perlawanan terhadap penjajah yang dilakukan oleh umat Islam ini, secara kebetulan berbarengan dengan periode  kebangkitan umat Islam. Sehingga perjuangan bangsa Indonesia  melawan penjajah waktu itu terjadi seperti “identik” dengan perjuangan  bangsa Indonesia (yang mayoritas penganut agama Islam) untuk  mengusir orang-orang Belanda yang beragama Nasrani.

15.          PERGERAKAN ULAMA BANTEN 1800- 1920 “PERANG PANDEGLANG”

G.           KIYAI MAS NURIMAN “SULTAN KANOMAN”

Dalam tahun 1808 dan 1809 terjadi pemberontakan oleh “bajolaut” (firates of sunda strait) di Teluk Merica / lada  dan di muara Cibungur menentang kerja paksa dan pembuatan pelabuhan di Ujung Kulon (ci boom)  yang diberlakukan Daendels atas penduduk negeri. Di afdeling caringin dan afdeling pandeglang terjadi pemberontakan oleh kiyai / ulama dari kerabat / keluarga kesultanan banten Di daerah  Cibungur, dan Caringin, timbul huru-hara, disambung dengan pemberontakan Pasir Peuteuy, Pandeglang, di bawah pimpinan Nuriman (sultan Kanoman) ,yang tidak terima dengan sikap kolonial menghancurkan istana surosowan dan membubarkan kesultanan banten. Hal ini memicu kemarahan para abdi dalam kesultanan banten yang selamat dari serangan kolonial pada kerajaan kesultanan banten.

Sultan kanoman atau lebih dikenal dengan sebutan kiyai permas nuriman, merupakan salah satu kadhi / dan mufti di kesultanan banten yang berhasil Selamat, bersama dengan beberapa kerabat kesultanan banten lainnya, ke daerah pakidulan seperti gunung pulosari dan gunung karang pandeglang. Yang akhirnya melakukan perlawanan untuk menegakan kembali kesultanan banten.

H.           KIYAI MAS JAKARIA “BAPAK JAWARA BANTEN”

Kekacauan ini memaksa pemerintah kolonial pada tahun 1810 menobatkan kembali Sultan, dengan harapan dapat meredam pemberontakan yang dianggap karena ketidakpuasan rakyat terhadap pembubaran kesultanan ini; walaupun akhirnya tidak berhasil, dan pemberontakan rakyat terus berkobar. Bahkan pada tahun 1811 para pemberontak yang dipimpin oleh Kiyai PerMas Jakaria, yang juga merupakan keluarga kesultanan banten, juga merupakan salah satu ulama keraton kesultanan banten,  dapat menguasai hampir seluruh kota Pandeglang. Melalui pertempuran hebat akhirnya Mas Jakaria ini tertangkap dan dipenjarakan, tapi dalam bulan Agustus 1827 ia dapat melarikan diri untuk kembali menyusun kekuatan.

I.             PEMBERONTAKAN NGABEHI / MUFTI SULTAN

Pada 1827 , yang dalam tahun itu juga ia kembali menyerbu kota Pandeglang. Kerusuhan yang dipimpin oleh Ngabehi Adam, Haji Yamin, Ngabehi Utu dan Ngabehi Ikram, menimbulkan kerusakan dan kekacauan besar. Taktik gerilya yang dilancarkan pemberontak menyebabkan pasukan pemerintah kolonial benar-benar tidak berdaya. Pada tahun 1815 terjadi serangan besar dan pengepungan pada keraton Sultan di Pandeglang, dipimpin oleh Mas Bangsa, Pangeran Sane dan Nuriman atau dikenal dengan nama Sultan Kanoman. Meski pun pasukan pemerintah akhirnya dapat memukul mundur mereka, namun sebagian pasukan pemberontak dapat melarikan diri, yang kemudian menyusun kekuatan untuk mengadakan penyerangan kembali.  Situasi alam yang berbukit-bukit dan berhutan lebat mempersulit pasukan kolonial menumpastuntas perlawanan ini, apalagi rakyat pandeglang selalu membela mereka.

J.             PEMBERONTAKAN KIYAI DAN HAJI DI LEBAK, 1818-1833

Pada tahun 1818 dan awal 1819, Haji Tassin, Moba, Mas Haji dan Mas Rakka memimpin pemberontakan di Banten Selatan, dengan mengadakan perusuhan-perusuhan dan berhasil membunuh beberapa pejabat pamongpraja di Lebak.  Demikian juga pada tahun 1820, 1822, 1825 dan 1827 yang dipimpin oleh Mas Raye, Tumenggung Muhammad dari Menes dan Mas Aria dibantu oleh beberapa pemuka agama. Walau akhirnya pemberontakan ini dapat dipadamkan namun sebagian dari mereka dapat mengobarkan pemberontakan baru. Demikian juga terjadi pemberontakan pada tahun 1832 dan 1833.

K.            PEMBERONTAKAN NYAI GAMPARAN (GUMAPARO) DAN KIYAI GEDE  (RATU BAGUS ALI)  1836 - 1840

Pada tahun 1836 terjadi lagi pemberontakan yang dipimpin oleh Nyai Gumparo (Nyai Gamparan). Meski pun pemberontakan ini dapat dipadamkan, namun pengikut-pengikutnya yang dapat meloloskan diri, tetap berusaha kembali meneruskan perlawanan. Tahun 1839 terjadi persiapan pemberontakan yang dipimpin oleh Ratu Bagus Ali (pada pemberontakan tahun 1836 dikenal dengan nama Kiyai Gede), Pangeran Kadli dan Mas Jabeng, putra Mas Jakaria. Atas usaha Bupati Serang, usaha pemberontakan itu dapat digagalkan.

L.             KIYAI PERMAS JAMIN 1840 -1845

Tahun 1840 Mas Jamin dan pengikutnya, yang sebagian besar pernah ikut dalam pemberontakan tahun 1836 dan 1839, kembali mengadakan perlawanan bersenjata. Dan walau pun akhirnya Mas Jamin dapat ditangkap pemerintah kolonial, para pengikutnya tetap meneruskan perlawanan. Pada tahun 1842, mereka berhasil membunuh seorang Belanda pemilik perkebunan kapol di Pandeglang. Tetapi mereka pun akhirnya dapat ditangkap dan di hukum buang. Namun ketika Mas Anom, Mas Serdang dan Mas Adong ─ yang kesemuanya anak Mas Jakaria ─ bergabung dengan sisa pasukan ini, maka pemberontakan berkobar lagi pada tahun 1845 yang dikenal sebagai Peristiwa Cikande Udik (Arsip Nasional, 1973: lvii).

M.          CIKANDE UDIK “TIGA ULAMA BERSOUDARA BIN MAS JAKARIA”

Peristiwa itu bermula pada tanggal 13 Desember 1845 di mana kaum perusuh merebut rumah tuan tanah di Cikande Udik dan kemudian membunuh tuan tanah Kamphuys beserta istri dan kelima anaknya kecuali tiga anak lainnya diselamatkan oleh Mas Gusti Sarinten, salah seorang kepala perusuh, sedangkan semua orang Eropa di sekitarnya dibunuh. Jumlah perusuh bertambah sekitar 600 orang. Untuk menumpas pemberontakan itu, Residen segera meminta bantuan tentara dari Batavia. Mendengar akan adanya penyerangan penumpasan di Cikande ini, para pemberontak di daerah lain segera bangkit mengadakan perlawanan dan segera menguasai pos-pos militer di Warunggunung, Pandeglang dan Caringin. Beberapa pemimpin pemberontakan yang dikenal dalam peristiwa ini ialah: Mas Endong, Mas Rila dari Cikupa dan Mas Ubid dari Kolle (kemenakan dan menantu Mas Jakaria), Kiyai Gede, Samini, Pangeran Amir dari Bayuku, Raden Yintan, Pangeran Lamir, dan seorang wanita bernama Sarinem. Peristiwa Cikande ini dapat dikatakan merupakan awal dari pemberontakan bersenjata yang terkoordinir dengan mengikutsertakan beberapa kelompok penentang di hampir seluruh daerah Banten.

N.           FREDUEUR (PEMBOHONG) BESTUUR DAN ABMTENAR

Berhubung dengan banyaknya pemberontakan yang dilakukan rakyat Banten itu, pemerintah Belanda, di samping menyelesaikannya dengan cara kekerasan dan penuntutan-penuntutan di pengadilan kolonial, tetapi juga secara politik. Untuk mencegah jangan sampai meletus lagi perlawanan rakyat itu, pemerintah kolonial berusaha mengadakan perbaikan-perbaikan kehidupan sosial masyarakat.

Perbaikan-perbaikan yang dilakukan pemerintah di Keresidenan Banten dari tahun 1846 hingga 1848 antara lain: menambah jumlah pegawai pribumi; menghapuskan jabatan asisten residen di Anyer; membentuk kabupaten baru, yaitu Kabupaten Pandeglang (tahun 1848 ini lah kabupaten pandeglang di bentuk, bukan pada tahun 1874) ; memperluas saluran- irigasi; menyatukan kampung-kampung yang tersebar untuk memudahkan pengawasan; menghapuskan wajib tanam dan wajib kerja di perkebunan-perkebunan Eropa, terutama di daerah-daerah miskin.

O.           PERGANTIAN REGENT MENAK AFDELING 

Pada tahun 1839 Bupati Serang, Raden Adipati Jayakusumaningrat, dipensiunkan, dan diganti oleh Raden Adipati Mandura raja Jayanegara, Bupati Caringin. Karena di Banten tidak ada pembesar pribumi yang dianggap “cakap” oleh pemerintah Belanda, maka yang diangkat sebagai pengganti Bupati Caringin ialah Raden Aria Tumenggung Wiriadiyahya, seorang jaksa kepala di Bogor. Di Pandeglang, yang ditunjuk sebagai Bupati adalah Raden Tumenggung Ario Condronegoro, juga bukan bangsawan dari keturunan asli Banten.

P.            PEMBERONTAKAN CILEGON “KIYAI WAKHIA SANG ULAMA KAUM JAWAH” 1850

Pada tanggal 24 Pebruari 1850 telah terjadi pula pembunuhan terhadap Demang Cilegon dan stafnya yang sedang mengadakan inspeksi di Rohjambu. Kerusuhan ini dipimpin oleh Raden Bagus Jayakarta, Tubagus Suramarja, Tubagus Mustafa, Tubagus Iskak, Mas Derik, Mas Diad, Satus, Nasid, Asidin, Haji Wakhia dan Penghulu Dempol. Di antara mereka Haji Wakhia-lah yang terkenal perjuangannya, ia sudah sejak tahun 1850 selalu mengadakan huru-hara menentang kolonial Belanda. Haji Wakhia adalah penduduk kampung Gudang Batu, orang kaya dan dianggap ulama besar.

Haji Wakhia, atas ajakan Tubagus Iskak dan dengan dukungan penuh dari penduduk Gudang Batu, terus mengobarkan perjuangan menentang politik kolonial Belanda dan mengajak mengadakan “perang sabil”; dan persiapan-persiapan untuk itu dilakukan terus menerus di bawah pimpinan Penghulu Dempol. Pusat kerusuhan lainnya ialah Pulomerak, di sana dapat dihimpun orang-orang Lampung di bawah pimpinan Mas Diad.

Dalam strategi pertahanan “pemberontak Wakhia” ini, pasukan dibagi dalam tiga kelompok besar; kelompok yang dipimpin Mas Derik dan Nasid berada di pegunungan sebelah timur Pulomerak, kelompok pimpinan Mas Diad dan Tubagus Iskak di distik Banten, dan kelompok pimpinan Haji Wakhia dan Penghulu Dempol bergerak di sebelah barat bukit Simari Kangen; yang ketiga daerah tersebut dilingkungi oleh hutan dan pegunungan yang sulit ditembus.

Dalam beberapa kali penyerbuan, pasukan kolonial akhirnya dapat memukul mundur pemberontak ini. Pertempuran di Tegal papak pada tanggal 3 Mei 1850, beberapa pemimpin pejuang dapat ditawan dan dibunuh. Haji Wakhia dan Tubagus Ishak dapat meloloskan diri ke Lampung, dan kemudian ia bergabung dalam perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Singabranta dan Radin Intan. Dalam satu pertempuran akhirnya Haji Wakhia dapat ditangkap dan dihukum mati pada tahun 1856.

Setelah pemberontakan Haji Wakhia berakhir, maka muncul pulalah peristiwa pemberontakan lain seperti “Peristiwa Usup” (1851), “Peristiwa Pungut” (1862), “Kasus Kolelet” (1866), serta “Kasus Jayakusuma” (1868).

G. GERAKAN KIYAI MUDIN - PERISTIWA USUP - 1851

Peristiwa Usup ialah terjadinya pembunuhan terhadap Mas Usup, Jaro Tras Daud dengan keluarganya oleh orang yang tak dikenal pada tanggal 15 April 1851. Pejabat pemerintah telah mendengar adanya pertemuan yang diselenggarakan oleh para pemberontak di Tegalpapak, yang kemudian terjadi percobaan pembunuhan terhadap Residen.

Semua peristiwa ini dipelopori oleh Ki Mudin, yang meramalkan bahwa pemerintahan kolonial sudah akan ambruk. Gerakan Mudin ini dibantu oleh Kamud dan Nur. Pemerintah kolonial akhirnya berhasil menangkap 20 orang pemberontak, dan mereka dibuang.

Tahun 1862, Mas Pungut dan kawan-kawannya melakukan huru-hara dan pemberontakan lagi. Dengan mengaku sebagai anggota keluarga sultan dan anak Mas Jakaria, ia berhasil menarik simpati rakyat untuk menjadi pengikut-pengikutnya.

Pada tanggal 19 September 1862, diketahui oleh pemerintah kolonial, bahwa ia sedang berada di hutan Cilanggar. Ketika Mas Pungut sedang singgah di rumah Usip   (salah seorang pengikutnya) di desa Ciora, ia dengan 25 orang pengikutnya tertembak dalam perlawanan yang seru. Namun pada tahun 1866 muncul lagi gerakan perlawanan yang lebih besar, dikabarkan mereka akan menyerang dan menghancurkan kota Pandeglang, dan mengirimkan surat ancaman kepada para pejabat terutama Residen dan Bupati.

Pemerintah kolonial berhasil menangkap Asmidin, dan dua orang yang diduga terlibat yaitu Mas Sutadiwirya, bekas Demang di Baros dan R.A.A. Natadiningrat, bekas Bupati Pandeglang. Para pemberontak ini berjumlah 30 orang yang berasal dari Kolelet, Cikande dan Kramatwatu, semuanya itu bekas pemimpin kerusuhan terdahulu Pada masa Kevakuman Kesultanan Banten.

rakyat Banten di bawah pimpinan para Ulama secara seporadis kerap melakukan perlawanan kepada pemerintah Hindia Belanda. Banyak perjuangan yang menyuarakan spirit kesultanan Banten dan keislaman, yang paling menonjol adalah peristiwa Geger Cilegon tahun 1888.

H, TRAGEDI PEMBERONTAKAN  1926 - KOMUNIS PKI VS ULAMA

pemberontakan  ulama dan jawara di Banten, pada bulan November tahun 1926, merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Inilah pemberontakan pertama kaum republikan dalam mendirikan Republik Indonesia.

Banten abad ke-19 merupakan daerah yang sangat terbelakang dan miskin. Perkembangan sosial ekonomi yang terjadi di Jawa pada masa itu, tak berpengaruh di Banten. Hingga tahun 1920 an,  Banten tetap tidak memiliki pabrik. Tidak adanya pekerjaan, membuat banyak penduduk Banten yang pergi meninggalkan tanah kelahirannya untuk menjadi buruh di Jakarta, dan Sumatera.

Namun begitu, tidak sedikit yang memilih tetap berada kampung, merawat ternak dan sawah.

Ketimpangan antara daerah Jawa dengan Banten, mengakibatkan adanya ketidak puasan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Namun, bukan hanya Banten yang merasakan kekecewaan itu, tetapi juga seluruh jajahan Hindia Belanda.

Memasuki awal abad ke-20 , Organisasi Serikat Islam  (SI) masuk ke wilayah Banten. Tokoh SI pusat yang  kharismatik saat itu hadir di alun-alun kota pandeglang,  Haji Oemar Said (HOS)  Tjokroaminoto  pada rapat terbuka datang dalam rapat akbar di Pandeglang,  sebagai pembicara utama.

Kedatangan Tjokroaminoto membawa kesan mendalam bagi rakyat Banten. Sejak saat itu, cabang SI Banten pun didirikan. Banyak tokoh agama, keturunan bangsawan, jawara, dan masyarakat umum yang menjadi anggota gerakan pembaharuan ini. Masuknya rakyat ke dalam SI, membawa harapan yang sangat besar. Namun gerakan SI yang reformis mengecewakan rakyat Banten.

Hal ini dimanfaatkan kubu merah dalam SI. Karen PKI saat itu tahu benar posisi ulama banten yang sangat di jadiikan panutan oleh rakyat banten. Bahwa suara ulama akan selalu diikuti oelh rakyat banten yang sangat menghormati dan tunduk pada perintah ulama. Beberapa tahun setelah kedatangan tokoh serikat islam ,  HOS Tjokroaminoto,  Semaun juga datang ke Banten, berbicara dalam rapat umum. Kedatangan Semaun ke Banten, disusul tokoh komunis lainnya, seperti  Alimin dan Musso.  PKI cabang Banten pun akhirnya resmi berdiri, pada tahun 1923. 

Pada awalnya, para ulama di Banten enggan bergabung dengan PKI, karena filsafat materialismenya. Namun, itu hanya sementara. Program-program yang dimajukan PKI, serta kesungguhan partai itu membangun gerakan massa, mengubah sudut pandang mereka. Hingga akhirnya, banyak tokoh dan anggota SI yang bergabung dengan PKI.

Para ulama yang bergabung dengan PKI Banten antara lain Tubagus KH Achmad Chatib, Tubagus H Abdul hamid, KH Mohammad Gozali, Tubagus KH Abdul Hadi, Puradisastra (kakak Sukaesih), Alirachman (Aliarcham), dan Tubagus Hilman.

Masuknya para ulama Banten dalam PKI, membuat para petani di Banten ikut bergabung dengan PKI dan meninggalkan SI. Mereka mengikuti pemimpinnya, dan ingin mencapai kemerdekaan Indonesia segera, sesuai dengan program PKI.

Setelah berhasil menarik simpati ulama dan petani di Banten, para pemimpin  Partai Komunis Indonesia  (PKI) mulai merekrut kelompok jawara.  Kelompok ini ditarik karena memiliki massa yang besar. Para jawara dikenal dengan kepandaiannya dalam ilmu bela diri, dan memainkan senjata tajam,  seperti golok dan parang.

Untuk  pertama kalinya dalam sejarah,  jawara memiliki peran penting dalam revolusi. Keberhasilan PKI merekrut jawara, sebenarnya akibat dari berhasilnya  PKI dalam menarik para ulama menjadi anggota mereka. Para  jawara sangat menghormati ulama, dan melihat mereka sebagai guru spiritualnya.

Sebelum pecah pemberontakan PKI banten ,  pada 12 November 1926, sejumlah  ulama  pemimpin pemberontakan ditangkap polisi kolonial Belanda.  Penangkapan itu juga diwarnai dengan intimidasi terhadap petani. Di sinilah jawara  memainkan perannya yang utama. Mereka berhasil mengambil alih kepemimpinan ulama yang ditangkap bersama dengan ulama yang berhasil meloloskan diri untuk melanjutkan pergerakan.

Pemberontakan ulama dan jawara di Banten, pecah di Labuan, Menes, Serang, dan Pandeglang. Para ulama memimpin ratusan orang jawara dan petani, menyerang rumah bupati, polisi, dan orang Belanda.

Di Labuan, para pemberontak berhasil menahan Asisten Wedana Wiriadikoesoema dan anggota keluarganya. Seorang polisi yang saat itu menjaga rumah dan melakukan perlawanan, terbunuh.

Sedangkan di Menes, para pemberontak menyerang rumah Wedana Raden Partadininata, Pengawas Kereta Api Benjamins, dan petugas kepolisian. Beberapa pemberontak tewas tertembak di sini.

Sementara Benjamin, orang Belanda satu-satunya yang menjadi sasaran penyerangan dibunuh, dan mayatnya mutilasi. Dua orang polisi juga tewas di sini. Begitupun dengan wedana.

Setelah beberapa hari melakukan pemberontakan, sejak tanggal 12 November hingga 14 November 1926, polisi kolonial mulai melakukan pembalasan. Pembersihan dilakukan hingga 18 November 1926.

Serangan balik kolonial Belanda berhasil. Dalam waktu singkat, para pemberontak berhasil dilumpuhkan. Sebanyak 1.300 anggota PKI dan simpatisannya di Banten ditangkap, empat di antaranya dihukum mati.

Beberapa ulama yang dibuang ke Boven Digoel adalah H Chatib, H Asgari, H Emed, H Mohammad Arif, H Abdul Hamid (adik H Chatib), H Artadjaja, H Soeeb, H Abdul Hadi, H Akjar, dan H Sentani.

Perbedaan lain dari pemberontakan tahun 1926 adalah sifatnya yang nasional. Pemberontakan itu bukan hanya terjadi di Banten, tetapi juga di beberapa wilayah yang menjadi basis massa PKI di Indonesia.

Beberapa di antaranya adalah Jakarta, Solo, Boyolali, Tasikmalaya, Kediri, Pekalongan, Ciamis, Banyumas, Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan.

Dari semua daerah itu, pemberontakan di Banten lah yang terhebat. Hal ini terasa wajar, karena para ulama, jawara, dan petani di Banten sudah terkenal dengan pemberontakan-pemberontakannya.

Di antara pemberontakan yang pernah terjadi di Banten, dan cukup dikenal sebelum tahun 1926 adalah Pemberontakan Cilegon tahun 1888 yang dilatari oleh pelecehan agama Islam oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Alasan  itu jugalah yang membuat ulama – ulama banten melakukan pergerakan melwan kolonialisme di banten, walupun latar belakang dari pergerakan ulama tersebut   membedakan terjadinya pemberontakan di tahun 1926  dengan tahun 1888.  Pemberontakan 1926  dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat, dan keinginan untuk segera merdeka dari penjajahan Belanda.

setelah mengetahui busuknya propaganda dan niat kaum komunis untuk menguasai ulama dan sepenuh nya memaksakan kehendak akan  ajaran  paham marxisme mereka pada ulama dan rakyat banten, akhirnya para ulama banten sadar dan mulai berbalik haluan melawan PKI di banten, di mana Islam dan komunisme ibarat air dan minyak.

Banyak pejabat awal diambil dari bangsawan lama, karena Banten sangat rentan terhadap pemberontakan sehingga dianggap perlu untuk menenangkan kelas atas yang sudah mapan dan menggunakan prestise mereka untuk memenangkan penerimaan populer atas dominasi kolonial. Namun demi efisiensi, sejumlah pejabat yang lahir rendah hati direkrut secara lokal atau diperkenalkan dari daerah tetangga, khususnya Priangan. Jadi dikatakan bahwa beberapa Bupati di Banten adalah laki-laki yang tidak memiliki jabatan, tetapi diangkat menjadi Bupati hanya karena mereka berkenan kepada Belanda.

PERGERAKAN UTLAMA MENJELANG KEMERDEKAAN 1900-1945

Pilar penting ulama sebagai umaro masih kental dalam periode awal kemerdekaan. Hal ini diindikasikan dengan diangkatnya K.H. Tubagus Ahmad Chatib sebagai residen pertama Banten dan juga Kolonel K.H. Sjam’unn sebagai pimpinan Brigade Tirtayasa Hal yang sama sebenarnya juga terjadi untuk kabupaten-kabupaten yang ada di Banten termasuk Pandeglang dimana saat itu yang bertindak sebagai bupatinya adalah K.H. Abdul Halim. Bahkan tidak hanya bupati, jabatan-jabatan dibawahnya pun yaitu para wedana, camat dan kepala kesatuan kepolisian, didominasi oleh kaum ulama (Suharto, 2001: 125).

Menurut Suharto (2001: 125), tampilnya ulama dalam politik lokal Banten merupakan usaha yang telah lama mereka perjuangkan setelah kedudukannya dimusnahkan olehkolonialisme Belanda. Pada kondisi lain,rakyat menghendaki tampilnya para ulama sebagai amirul mukminin, sehingga adanya kekosongan pemerintahan pada masa awal kemerdekaan merupakan kesempatan paling baik bagi kaum ulama untuk tampil kembali sebagai umaro.

1.            ULAMA REGENT “ABUYA TB. ABDUL HALIM”

Pandeglang adalah salah satu wilayah di Banten yang dijuluki kota seribu ulama sejuta santri. Hal ini karena di Pandeglang terdapat banyak ulama yang berkiprah di dunia pesantren dengan jumlah jumlah santri yang cukup banyak. Salah satu ulama yang memiliki peran yang strategis di Pandeglang adalah  KH. Tb. Abdul Halim dari Kadu Peusing, Pandeglang yang menjadi Bupati Pandeglang pertama yang berasal dari kalangan ulama.

Abuya Tb. Abdul Halim juga merupakan salah satu tokoh penting dalam gerakan sosial, politik, dan keagamaan di Pandeglang. Abuya Tb. Abdul Halim adalah ulama kharismatik yang lahir sekitar tahun 1885 di Desa Kadu Peusing,  Kelurahan Kabayan, Kecamatan Pandeglang. Ia lahir di lingkungan keluarga yang agamis dan taat beragama.  Ayahnya juga seorang ulama terkemuka di Pandeglang,  yaitu KH. Tb. Muhammad Amien yang silsilahnya sampai kepada Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

Setelah Indonesia merdeka Abuya Tb. Abdul Halim ditunjuk sebagai Bupati Pandeglang  oleh Residen Banten pertama KH. Ahmad Chotib.  Berita pengumuman aparat pemerintah daerah disampaikan oleh perwakilan Dewan Rakyat kepada Abuya sekitar pukul 03.00 WIB. Saat itu Abuya sedang mengajar santri-santrinya di Kadu Peusing.   Abuya hendak menolaknya tetapi karena ini adalah amanah dari rakyat dan Residen Banten Abuya , akhirnya menerimanya. Setelah pengumuman itu Abuya diangkat menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Pandeglang.  Selama menjadi bupati maka pengajaran di pesantren Kadu Peusing dipercayakan kepada menantunya yaitu KH. As’ad. Walaupun Abuya menjadi bupati  tetapi urusan umat tak pernah ditinggalkan malah ia membawa sendiri pengajian-pengajian masyarakat ke Pendopo Kabupaten.

DATA BASE RUJUKAN

materi dari file yang mencakup bertahun-tahun: MvO. dari F. K. Over-duyn (Residen Banten, 1906-11) dalam Vb. 9-2-1912, tidak. 15; MvO. dari H. L. C. B. van Vleuten (Residen Banten, 1913-16) di Vb. 28-8-1916, tidak. 38; MvO. J. Hardeman (Residen Banten, 1895-1906) dalam Vb. 16-6-1907, tidak. 30. Tentang Islam di Banten, lihat MNota over de positie de Penghulu, "oleh Penasihat Urusan Pribumi (1937-42) GF Pijper, di mailrapport (selanjutnya Tuan, arsipkan di Arsip Kolonial) no. 252/39, dan MvO. dari CWA van Rinsum (Residen Banten, 1911- 13), Vb. 28-6-1913, no. 34. Rincian tentang penduduk tahun 1930 diberikan dalam sensus, Volkstelling 1930, III, Imheemsche Bevolking van West Jawa (Batavia: Landsdrukkerij, 1935). Serang waktu itu 61,27% orang Jawa, 38,17% Sunda; Lebak 98,63% Sunda; Pandeglang      (yang menyerap sebagian besar Caringin tahun 1906) 92.94% Sunda.

Sartono, The Peasants ’Revolt, hal 70-74; L. W. C. van den Berg, De Inlandsche Rangen en Titels op Java en Madoera (Batavia: Landsdrukkerij, 1887), hlm. 61-64.

Van den Berg, Rangen en Titels, hal. 61-64.

Zainalfattah, Sedjarah tjaranja pemerintahan di daerah-daerah di kepulauan Madura dengan hubungannja (Pamekasan: n.p., n.d. [1951?]), Hal. 168.