Bagaimana upaya muhammadiyah dalam mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa indonesia?

IBTimes.ID – Muhammadiyah memiliki peran yang besar dalam kemerdekaan Indonesia. Di antara peran Muhammadiyah dalam kemerdekaan adalah membentuk dan bergabung dengan laskar, membuat dapur umum, dan membentuk palang merah. Hal tersebut disampaikan oleh Kevin W Fogg, Asociate Director Carolina Asia Center, The University of North Carolina dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah, Jumat (12/11).

“Tokoh-tokoh Muhammadiyah mengajarkan kepada masyarakat dan murid-muridnya bahwa mereka harus merebut kemerdekaan Indonesia. Hal ini dianggap sebagai kewajiban agama. Seluruh warga Muhammadiyah ikut dalam memperjuangkan kemerdekaan. Mereka melawan dengan cara apapun,” ujar Kevin.

Di beberapa tempat seperti Sumbawa dan Kalimantan Selatan, kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah otomatis berubah menjadi laskar perang ketika penjajah masuk ke daerahnya.

Di HW, imbuh Kevin, selain diajarkan cinta tanah air juga diajarkan bahwa gugur dalam perjuangan membela tanah air mendapatkan gelar sebagai syahid. Tak ayal, maka kaum perempuan pun juga banyak yang bergabung dengan HW untuk ikut berjuang.

Di Payakumbuh misalnya, Kevin mengungkapkan bahwa perempuan tidak hanya menyiapkan logistik bagi para pejuang laki-laki, tapi ikut memainkan muslihat untuk membunuh para penjajah.

“Di beberapa daerah, peran HW dianggap cukup strategis dalam menguatkan pertahanan daerah tersebut sehingga tidak jatuh kembali dalam kekuasaan penjajah. Muhammadiyah sebagai organisasi jadi paling penting dalam menahan serangan Belanda,” imbuhnya.

Namun, ia menyayangkan sumbangsih Muhammadiyah tidak terlalu dilihat sebagai sebuah jasa yang besar.

“Yang bikin saya heran, kok sumbangan umat Islam yang begitu besar tidak begitu didalami, dihargai sebagai dasar yang kuat bagi perjuangan Indonesia dalam masa revolusi,” ujar Kevin.

Dewasa ini, kita menyematkan istilah pahlawan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi kemerdekaan Indonesia. Gelar itu diberikan secara resmi oleh negara. Padahal, ketika terjadi pertempuran Surabaya, semua pejuang yang ikut berperang mempertahankan kemerdekaan disebut sebagai pahlawan. Bung Karno dan Bung Hatta juga menyebut seluruh pejuang waktu itu sebagai pahlawan. Gelar Pahlawan Nasional baru muncul pada tahun 1957.

Baca Juga  Azra: Muhammadiyah Sudah Amalkan Moderasi Beragama

Menurutnya, Bung Tomo sebagai salah satu pahlawan menjadikan Islam sebagai spirit melawan Belanda dan Inggris. Setiap malam, ia mengakhiri siaran di radio dengan takbir. Hal itu bertujuan agar masyarakat menyadari bahwa memperjuangkan kemerdekaan sama dengan memperjuangkan agama. Sehingga harus diperjuangkan oleh seluruh umat beragama.

Reporter: Yusuf

Bagaimana upaya muhammadiyah dalam mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa indonesia?

MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA– Pada peringatan 76 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, peran Muhammadiyah sebagai organisasi maupun kader-kadernya yang berbuat untuk kemerdekaan tidak bisa dikecilkan.

Demikian disampaikan oleh Prof. Dadang Kahmad, ketua PP Muhammadiyah dalam Catatan Akhir Pekan TVMU pada (19/8). Menurutnya, sejak awal berdirinya Muhammadiyah selalu ingin memperbaiki bangsa.

KH. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah, beserta amal usaha lain tidak lain dan bukan adalah untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Prof. Dadang menyebut, keinginan Muhammadiyah mendirikan itu semua untuk perubahan dan perbaikan bangsa di tengah penjajahan.

“Apalagi waktu itu bangsa kita tidak diperhatikan oleh penjajah, bahkan diperas diambil sumber daya alam dan manusianya,” tuturnya

Usaha mencapai kemerdekaan bukan hanya dilakukan oleh Muhammadiyah secara organisasi, tapi juga melalui tokoh-tokohnya yang aktif bersinergi dan berjuang untuk kemerdekaan. Ia juga menegaskan bahwa, setelah kemerdekaan pun Muhammadiyah tetap berbuat yang terbaik untuk bangsa Indonesia.

Menurutnya, meski secara de jure Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945, namun keadilan belum dirasakan merata oleh seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dirinya mengajak kepada seluruh warga – bangsa, termasuk yang tergabung dalam organisasi masyarakat supaya ikut serta mencapai keadilan yang dicita-citakan.

“Di sinilah kerja keras kita semua, singkirkanlah perbedaa-perbedaan yang melahirkan konflik dan permusuhan sehingga menghambat terhadap pembangunan, terhadap kemajuan bangsa ini,” ajaknya.

Prof. Dadang menyebut pesan persatuan yang ia serukan ini adalah sebuah usaha untuk menghadapi persoalan besar yang dihadapi banga ini. Berkaca dari sejarah, estafeta kepemimpinan di Indonesia sering terjadi melalui jalan yang terjal.

Dalam pembacaannya, pergantian kepemimpinan yang tidak ‘soft’ di tubuh bangsa Indonesia sejak zaman penjajahan sampai dengan era reformasi terus membekas di benak bangsa ini. Sehingga menciptakan watak atau karakter yang dilihat dan dirasakan pada medan politik Indonesia selama 10 tahun terakhir.

Jum'at, 21 Agustus 2020 - 06:05 WIB

Dahnil Anzar Simanjuntak

Dahnil Anzar SimanjuntakWakil Ketua LHKP Pimpinan Pusat Muhammadiyah

DALAM banyak kesempatan diskusi yang saya ikuti bersama kawan-kawan muda, saya menemukan fakta anak muda saat ini agak berjarak dengan sejarah. Literasi sejarah yang rendah adalah buah rendahnya minat baca anak muda Indonesia. Sosial media telah ikut mengubur pelan-pelan tradisi baca. Anak muda berani berpendapat dengan modal informasi dan bacaan terbatas. Membaca defisit, bicara disosial media surplus. Sehingga, seringkali gagal memahami identitas dan watak keIndonesiaan yang sesungguhnya yang telah dibangun para founding father and mother Indonesia.

18 Agustus 2020 yang lalu, Institute Indonesia, yang dipimpin oleh Muhammad Iqbal, PhD, meminta saya bersama tokoh lain yang berasal dari NU, AL-Irsyad dan Persatuan Umat Islam (PUI) untuk bicara menelusuri jejak Ormas-ormas Islam menuju Kemerdekaan Indonesia, bertepatan dengan hari konstitusi, dimana hari yang bersejarah disepakatinya pembukaan UUD 1945 sebagai produk hasil dialog yang Panjang dan penuh dinamika, ada tersimpan kekecewaan didalam proses dialog tersebut, baik ketika di BPUPKI, maupun PPKI. Namun, dengan besar hati semua tokoh yang berasal dari berbagai elemen agama, suku dan latarbelakang tersebut bersepakat dan menerima seluruh isi Pembukaan UUD 1945, seperti yang saat ini kita ketahui.

Seperti diketahui latarbelakang saya sebagai Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, maka saya diminta untuk menjelaskan jejak-jejak Muhammadiyah dan tokoh-tokohnya dalam upaya Kemerdekaan Indonesia. Bagi saya ini bukanlah upaya untuk menguatkan peran satu kelompok tertentu, namun sekedar memberikan pemahaman sejarah bahwa semua kelompok berkontribusi terhadap upaya mewujudkan Indonesia merdeka, tidak ada yang paling berjasa.

Oleh: M Sukriyanto AR

Untuk mengetahui peran Muhammadiyah dan orang-orangnya dalam memperjuangkan dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perlu ditegaskan siapa saja orang-orang Muhammadiyah itu. Secara umum orang Muhammadiyah itu ialah mereka yang mengikuti ajaran dan Sunah Nabi Muhammad saw.

Secara khusus yang dimaksud orang Muhammadiyah adalah mereka yang bergabung dalam organisasi dan terlibat aktif dalam gerakan Muhammadiyah atau mereka yang pernah terlibat dalam kegiatan Muhammadiyah dan menyatakan diri sebagai anggota seperti Ir Sukarno. Bisa juga berasal dari keluarga Muhammadiyah dan terlibat aktif dalam amal usaha Muhammadiyah (AUM) seperti Ir Djuanda atau yang pernah terlibat di organisasi otonom dan AUM seperti Panglima Besar Jend Sudirman. Bisa juga yang pernah mengikuti pendidikan di Muhammadiyah dan banyak memberi kontribusi bagi Muhammadiyah seperti Jendral Suharto.

Rintisan Membangun NKRI

Jika dilihat sejak berdirinya, maka peran Muhammadiyah dalam membangun NKRI baru terlihat sejak tahun 1912. Akan tetapi kalau dimulai sejak KHA Dahlan meletakkan dasar-dasar kultural kemasyarakatan yang merupakan infrastruktur sosial budaya sekaligus infrastruktur kebangsaan maka peran Muhammadiyah sudah terlihat ketika KHA Dahlan di usia 29 tahun meluruskan arah kiblat (1897) dan menyelenggarakan Pengajian Wal-`Ashri (1904).

Ketika meluruskan arah kiblat itu sudah berarti KHA Dahlan mengajak masyarakat untuk dapat berpikir secara kritis, ilmiah, bukan hanya ikut-ikutan. KHA Dahlan sudah mengajak masyarakat untuk “melek peta” geografi agar bisa melihat di mana posisi Indonesia dalam relasinya dengan Ka’bah sebagai arah kiblat, bukan asal mengarah ke barat.

Ketika mengajarkan Wal-`Ashri selama sekitar delapan bulan KHA Dahlan menekankan pentingnya “melek waktu”, menghargai waktu dan mengisinya dengan amal saleh. Kemajuan seseorang, masyarakat atau bangsa, sangat ditentukan oleh bagaimana orang, masyarakat atau bangsa itu memanfaatkan waktu. Orang atau kelompok masyarakat yang bisa memanfaatkan waktu dengan baik, maka orang atau masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang maju dan unggul. Waktu itu selalu berjalan maju dan tidak pernah mundur. Karena itulah maka KHA Dahlan mengharapkan agar murid-muridnya dapat menjalankan agama sesuai dengan kemajuan zaman, yaitu Islam yang berkemajuan.

KHA Dahlan juga mendorong kaum perempuan untuk “melek kebebasan”, membebaskan kaum perempuan (1914) dari kultur sumur, dapur dan kasur serta dari konco wingking pada kesejajaran dan mendorong mereka agar peduli pada kaum dhu’afa dan tolong-menolong (spirit Al-Ma`un, semangat berbagi, semangat welas asih) dan lain-lain.

Pembebasan (dan emansipasi) kaum perempuan ini sudah dimulai di tahun 1914, sejak KHA Dahlan mendirikan perkumpulan Sopo Tresno dan di tahun 1917 dikembangkan menjadi `Aisyiyah.

Penyejajaran perempuan itu merupakan langkah mendasar (radikal) dalam mewujudkan infrastruktur sosial budaya untuk menjadi bangsa merdeka.

Sejak tahun 1912 peran Muhammadiyah semakin jelas dengan mendirikan sekolah yang mendorong masyarakat “melek huruf”, “melek ilmu” dan “melek politik”, yaitu kemauan untuk merdeka. Berpuluh-puluh sekolah dibangun untuk mencerdaskan bangsa.

KHA Dahlan juga mengajak bangsanya untuk “melek kemerdekaan”, dengan mendirikan kepanduan Hizbul Wathan (HW) tahun 1918. Berdirinya HW sangat dimotivasi keinginan untuk merdeka. Hizbul Wathan (golongan pecinta tanah air) kemudian dijadikan wadah untuk memupuk nasionalisme dan patriotisme generasi muda. Penanaman ideologi kebangsaan sangat sarat dalam pendidikan di HW. Di HW diajarkan disiplin, sifat ksatria, keterampilan fisik, dsb. Kepanduan HW telah melahirkan ribuan pecinta tanah air, yang menonjol antara lain: Sudirman (Jendral Besar), Sarbini (Letnan Jendral), Sudirman (Bojonegoro, Letnan Jendral), Suharto (Jendral Besar, Presiden), Suhardiman (Letnan Jendral), Daryatmo (Letnan Jendral), Subroto (Prof. DR), dll.

Dalam melepas pasukan HW ketika akan mengikuti upacara pelantikan HB VIII, KHA Dahlan menyatakan: “mudah-mudahan tongkat-tongkat yang kamu pikul sekarang suatu saat bisa menjadi bedil (senjata) untuk kepentingan bangsa”.

Bagaimana upaya muhammadiyah dalam mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa indonesia?
Drum Band Hizbul Wathan Kota Surakarta (Baruno Nasution)

KRH Hadjid tokoh yang mencetuskan nama Hizbul Wathan, selalu mengajarkan lagu kemerdekaan Prancis (Marsaille), yang liriknya diganti dengan Para Prajurit (wahai para tentara) selalu mengobarkan semangat jihad, semangat perlawanan terhadap penjajah (gempur panguwoso, cegah laku murko). Terinpirasi spirit kemerdekaan inilah Bung Dirman (Jendral Sudirman) memberi nama tentara yang dibentuknya dengan nama pembela tanah air (PETA) sebagai terjemahan dari Hizbul Wathan.

Para Pendiri Bangsa

Ir. Sukarno, Ki Bagus Hadikusumo, KH Abdul Kahar Mudzakir dan Mr. Kasman Singodimedjo adalah orang-orang Muhammadiyah yang terlibat intensif dalam meletakkan dasar-dasar ideologi negara dan konstitusi Republik ini di BPUPKI dan PPKI. Kemudian Ir. Sukarno dan KH Mas Mansur (Ketua PP Muhammadiyah) yang bersama-sama Drs. M. Hatta dan Ki Hadjar Dewantara terlibat dalam Empat Serangkai memperjuangkan kemerdekaan.

Secara faktual yang memproklamasikan Indonesia itu adalah anggota Muhammadiyah, Ir. Sukarno. Bung Karno dalam peringatan setengah abad Muhammadiyah di Jakarta menyatakan “Saya menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938 sekarang sudah 1962, jadi sudah 24 tahun. ….”. (Lihat: Makin Lama Makin Cinta Muhammadiyah, hlm. 13). Jadi Bung Karno adalah anggota resmi Muhammadiyah yang sadar berorganisasi dan sadar akan pentingnya kontribusi bagi organisasi. Oleh karena itu jelas bahwa yang menjadi proklamator kemerdekaan itu adalah anggota Muhammadiyah Ir Sukarno.

Yang menjahit bendera merah putih yang kemudian dikibarkan pada saat proklamasi adalah Ibu Fatmawati, anggota Nasyiatul Aisyiyah. Bisa dibayangkan bagaimana rasa dan nuansa proklamasi itu bila tanpa pengibaran bendera merah putih.

Yang mempertahankan Indonesia ketika Bung Karno, Bung Hatta dan H. Agus Salim diasingkan ke Pangkal Pinang dan Prapat adalah Pangsar Sudirman (didikan pandu HW), Suharto (murid SMP Muhammadiyah dan pernah dididik HW) Komandan Brigade X, Divisi III (Wehrkreise III) Kota Yogyakarta, dan Sri Sultan HB IX Menteri Pertahanan. Mereka bertiga menggerakkan TNI dan rakyat melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Ibu Kota RIS, Yogyakarta. Meskipun hanya menguasai kota Yogyakarta sekitar 6 jam, namun serangan itu di mata internasional sangat penting, karena menunjukkan Indonesia masih eksis dan berdiri tegak. Para ulama seperti Kiai Mahfudz, KHA Badawi, KRH Hadjid mengobarkan perang sabil dan mendirikan Angkatan Perang Sabil (APS) daan berjuang bersama TNI mempertahankan kemerdekaan.

Saat demokrasi mengalami kemandegan, muncul Amien Rais (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) sebagai lokomotif gerakan reformasi. Berkat adanya reformasi itu sekarang demokrasi di Indonesia berkembang menjadi lebih baik. Pemilihan umum berjalan teratur, regulasi kepemimpinan nasional berjalan baik, muncul presiden-presiden dari kalangan sipil dan seterusnya.

Saat ini dengan semboyan “sedikit bicara banyak bekerja” dan semangat fastabiqul khairat Muhammadiyah terus ikut membangun NKRI melalui dakwahnya yang sejuk dan damai, menggiatkan pendidikan sejak PAUD, TK ABA sampai perguruan tinggi yang terhampar dari Sabang sampai Merauke. Di samping itu Muhammadiyah juga membina kesehatan masyarakat, membangun budaya melalui lagu anak-anak, festival seni, film pendidikan karakter, dsb.

Sekarang Muhammadiyah akan terus membangun negeri ini untuk mewujudkan NKRI yang damai, maju, sejahtera dan berperadaban tinggi dengan semakin banyak melakukan amal saleh. Wallahu’alam.

M Sukriyanto AR. Ketua LSBO PP Muhammadiyah; Alumnus Program Studi S2 Sejarah UGM

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2019