Bagi orang Islam Perang Salib disebut dengan

OLEH HASANUL RIZQA

Perang Salib mewarnai sejarah perjumpaan antara dunia Islam dan Kristen. Dalam sebuah wawancara dengan Live Science, dosen pada Nottingham Trent University Nicholas Morton mengatakan, perang tersebut mengisi imajinasi banyak orang bahkan hingga abad modern kini.

Pendapat yang disampaikan penulis Encountering Islam on the First Crusade (2016) itu boleh jadi benar. Penggunaan terminologi “perang salib” atau “tentara salib” seakan-akan terus mengalami pengulangan. Lihat saja, umpamanya, imbas dari peristiwa serangan pada 11 September 2001 di Amerika Serikat.

Presiden AS saat itu, George Walker Bush, seketika menggunakan istilah “perang salib” (crusades) untuk menggambarkan perang global melawan terorisme. Tak mengherankan bila gelombang Islamofobia membesar tidak hanya di Negeri Paman Sam, tetapi juga seluruh negara minoritas Muslim sejak saat itu.

Namun, bagaimana Perang Salib apabila dilihat dari perspektif dunia Islam? Haddad Wadi Z dalam artikelnya, “The Crusaders through Muslim Eyes”, menjelaskan bahwa kebanyakan sejarawan Muslim pada akhir abad pertengahan menilai Perang Salib sebagai serangan brutal yang dilakukan “orang asing” (alien intruders) kepada penduduk lokal, yakni warga Baitul Makdis dan sekitarnya.

Para ahli sejarah itu juga menyoroti perbedaan Salibis dengan agresor lainnya pada masa itu. Kaum penjajah dari Eropa Barat ini terkesan datang bukan untuk merampas suatu wilayah, lalu memerintah dan menarik pajak dari seluruh masyarakat lokal.

Alih-alih begitu, mereka justru lebih suka mendirikan koloni di wilayah taklukannya setelah membantai semua orang setempat yang berlainan iman dengannya. Dapat disimpulkan, tentara Salibis dalam perspektif sejarawan Muslim adalah gerombolan ekstremis.

Mereka menyaksikan dengan sedih, bagaimana Salibis tidak beretika dalam melancarkan perang.

Bagaimanapun, yang cukup menarik perhatian adalah bahwa tidak satu pun ahli sejarah itu yang menyebut mereka sebagai “pasukan salib” atau nama-nama lain yang menunjukkan identitas keagamaan tertentu, semisal Kristen. Para agresor itu disebutnya “bangsa Frank” (al-Faranj atau al-Ifranj) yang menandakan asal negeri, bukan agama, mereka.

Dengan demikian, apa yang dinamakan sejarawan modern kini sebagai “tentara Salib” itu diidentifikasi para sarjana Muslim abad pertengahan lebih sebagai orang asing. Walaupun memang, lanjut Haddad Wadi, ada kalanya balatentara itu disebut sebagai “orang kafir”, seperti pada saat pertempuran berlangsung antara kedua belah pihak.

Haddad meneruskan, banyak dinasti Muslim yang memerangi Romawi Timur (Bizantium) sebelum gelombang Salibis terjadi. Artinya, pertempuran melawan “bangsa asing” yang “non-Islam” bukanlah sesuatu yang luar biasa.

Akan tetapi, fenomena yang dihadirkan Pasukan Salib membuka mata mereka tentang perangai barbar yang datang dari luar dunia Islam. Mereka menyaksikan dengan sedih, bagaimana Salibis tidak beretika dalam melancarkan perang.

Saat menduduki Antiokia, Akra, Haifa, Jubail, dan—puncaknya—Baitul Maqdis, gerombolan tersebut bertindak tanpa perikemanusiaan sedikit pun. Mereka membasmi semua orang Islam setempat dan membumihanguskan rumah-rumah warga sipil.

Karena itu, ketika Sultan Shalahuddin membebaskan Tanah Suci pada 1187, kebijakan yang diambil sang pemimpin Dinasti Ayyubiyah bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Salibis berpuluh-puluh tahun silam.

Diserang saat lengah

Pada periode Perang Salib, dunia Islam lebih unggul dalam hal peradaban. Bahkan, bayang-bayang dari masa keemasan masih nyata. Semestinya, Muslimin dapat segera membendung serangan dari Eropa yang saat itu masih dicengkeram masa kegelapan.

Namun, faktanya Baitul Makdis jatuh ke tangan agresor pada 1099. Puluhan ribu orang Islam terbantai. Bahkan, beberapa wilayah Muslim di Syam lepas sehingga berdirilah kerajaan-kerajaan Kristen Latin di sana selama beberapa dekade.

Apa yang menyebabkan daulah dengan “peradaban yang tinggi” kalah dalam melawan serangan bangsa yang “terbelakang” secara budaya?

Seorang ulama Syekh Ali al-Sulami (1039-1106) mendedah jawabannya dalam karyanya yang berjudul Kitab al-Jihad. Dalam buku tersebut, alim bermazhab Syafii itu melihat bahwa umat Islam diserang saat lengah dan lemah.

Kelengahan terjadi karena Muslimin terlalu larut dalam konflik politik saat itu. Pada tahap awal Perang Salib, para penguasa Muslim di Syam juga menunjukkan mental apatis dan kompromistis. Bukannya melawan, beberapa dari mereka malah berkompromi dengan musuh.

Sebaliknya, orang-orang Frank—yakni Salibis—menunjukkan semangat tempur dan fanatikus keagamaan yang tinggi. Balatentara musuh ini sangat berambisi dalam mencapai tujuan, yaitu merebut Baitul Maqdis seutuhnya.

Dalam Kitab al-Jihad, al-Sulami menyajikan strategi perjuangan untuk umat Islam. Pertama, menurutnya, kaum Muslimin perlu terlebih dahulu memperbaiki moral.

Dengan membenahi keadaan mental dan laku spiritual, mereka akan lebih siap untuk introspeksi diri (muhasabah) secara kolektif. Perbaikan itu berlaku bagi seluruh elemen umat, mulai dari pemimpin, alim ulama, kaum terpelajar, hingga rakyat biasa.

Bagi al-Sulami, jatuhnya Baitul Maqdis dan kesengsaraan yang timbul akibatnya merupakan teguran dari Allah. Maka sesudah bertobat kepada-Nya, jalani langkah kedua, yaitu menggalang potensi kekuatan dalam melawan al-Faranj yang telah menjajah Tanah Suci.

Dalam uraiannya, al-Salami mengutip banyak pendapat Imam al-Ghazali (1058-1111). Ia pun diyakini pernah bertemu dengan al-Ghazali saat sang Hujjatul Islam bertandang ke Masjid Damaskus, dalam perjalanan sesudah meletakkan jabatan rektor Universitas Nizhamiyah Baghdad.

Dapat disimpulkan, seruan ulama Syam tersebut sejalan dengan semangat Gerakan al-Islah atau Reformasi yang dicetuskan pakar tasawuf penulis Ihya Ulum ad-Din tersebut. Gerakan yang sama kemudian menginspirasi pula Syekh Abdul Qadir al-Jailani, sang penggagas Madrasah Qadiriyah.

Maka setelah “proyek besar” al-Islah menemui kesuksesan, yakni dengan lahirnya Generasi Shalahuddin yang mampu membebaskan al-Aqsha pada 1187, kaum Muslimin mendapati tantangan yang lebih gawat lagi.

Musuh mereka tidak hanya datang dari barat, melainkan juga timur, yakni bangsa Mongol. Pada 1258, Baghdad diserbu balatentara yang dipimpin Hulagu Khan. Jantung Kekhalifahan Abbasiyah itu seketika menjadi kota mati.

Bagi dunia Islam saat itu, Mongol adalah musuh yang sesungguhnya—bukan Salibis. Berbeda dengan al-Faranj, bangsa dari timur ini memiliki kekuatan yang lebih dahsyat. Ancamannya pun lebih nyata.

Kekuatan Muslim saat itu bukan lagi Ayyubiyah, yang meredup seiring dengan wafatnya Shalahuddin pada 1193, melainkan Mamluk. Dinasti yang berpusat di Mesir itu akhirnya berhasil menghalau pasukan Mongol dalam Pertempuran Ain Jalut pada 25 Ramadhan 658 Hijriyah atau bertepatan dengan 3 September 1260.

Nama sebagai simbol

Kegemilangan strategi al-Islah dan lalu kedatangan bangsa Mongol kian “mengecilkan” arti Perang Salib dalam historiografi Islam pada akhir abad pertengahan. Bahkan, nama “perang salib” pun baru diadopsi para penulis Muslim mulai dari abad baru-baru ini.

Carole Hillenbrand dalam The Crusades: Islamic Perspectives mengungkapkan, “Kaum Muslim menunjukkan sedikit rasa ketertarikan terhadap Perang Salib sebagai suatu kenyataan yang berbeda, sebagai suatu bagian dari sejarah dunia. Istilah-istilah Arab seperti al-hurub ash-shalibiyyah atau harb ash-shalib, yang digunakan sekarang ini untuk menunjukkan Perang Salib, diperkenalkan pada pertengahan abad ke-19.”

Karya pertama sarjana Muslim tentang fenomena Perang Salib adalah Al-Akbar al-Saniyyah fil Hurub ash-Shalibiyyah karya Sayyid Ali al-Hariri. Dalam bukunya itu, ilmuwan Mesir tersebut mengutip berbagai sumber manuskrip Islam abad pertengahan.

Menurut Hillenbrand, penggunaan istilah “perang salib” (Hurub ash-Shalibiyyah) dalam kitab tersebut tak lepas dari konteks zaman ketika al-Hariri menuliskannya pada 1899. Seperti ditegaskan dalam bagian pendahuluan karya ini, kata sang penulis, “Sultan kami yang paling jaya, (raja Turki Utsmaniyah) Abdul Hamid II telah menyatakan dengan tegas bahwa Eropa kini melancarkan Perang Salib terhadap kita dalam bentuk kampanye politik.”

Pada akhir abad ke-19, sultan Turki melancarkan kampanye pan-Islamisme. Dalam berbagai siaran pers, Sultan Abdulhamid II mengatakan, “perang salib” sedang dijalankan Eropa terhadap Turki Utsmaniyah. Karena itu, kaum Muslimin diimbaunya bersatu di bawah bendera kekhalifahan.

Maka dapat dikatakan, “perang salib” sebagai simbol mulai digunakan penguasa Muslim sebagai api pembakar semangat melawan musuh (negara) sejak saat itu. Pola okupasi simbol yang sama digunakan Presiden Amerika Serikat George W Bush sekira 100 tahun kemudian.

Kronologi Perang Salib

1085 Ibu kota Kerajaan Islam Taifa, Toledo, di Andalusia direbut Raja Castile, Alfonso VI.

1091 Roger I merebut Pulau Sisilia dari kekuasaan Islam.

1095 Kaisar Byzantium Alexius I meminta bantuan militer dari raja-raja Eropa; Paus Urban II berpidato di Konsili Clermont.

1097-1099 Pasukan salib bergerak ke timur dan akhirnya merebut Yerusalem. 1144 Gubernur Mosul, Imaduddin Zangi, mengambil alih Halab (Aleppo) dan ar-Ruha' (Edessa).

1146 Imaduddin Zangi wafat dan digantikan oleh putranya, Nuruddin Zangi.

1147-1169 Nuruddin Zangi berhasil merebut Damaskus, Antiokia, dan Mesir.

1153 Askalon dikuasai pasukan salib.

1174 Nuruddin Zangi wafat; pemimpin militer dari Suku Kurdi, Shalahuddin al-Ayyubi (Saladin) menguasai Damaskus.

1183 Upaya ksatria salib, Renaud dari Chatillon, gagal saat hendak menyerbu Makkah.

1187 Pasukan Saladin memenangkan pertempuran di Hattin.

1189-1192 Acre dapat dikuasai pasukan salib. 1193 Saladin wafat.

1202-1204 Pasukan salib yang awalnya dipersiapkan menyerbu Mesir berbalik haluan sehingga menyerang Konstantinopel; ibu kota Romawi Timur berhasil direbut pasukan salib di bawah pimpinan Raja Baudouin.

1218 Pasukan salib berhasil dikalahkan saat hendak menyerbu Mesir.

1228-1229 Frederik II memimpin pasukan salib untuk menduduki kembali Yerusalem.

1248-1250 Ludwig dari Prancis memimpin pasukan salib untuk menyerbu Mesir, tetapi gagal.

1258 Ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad, hancur diserbu bala tentara Mongol dari timur.

1260 Dinasti Mamluk memukul mundur pasukan Mongol di Ain Jalut.

1263-1268 Mamluk mulai mengambil kembali daerah-daerah di Suriah dan sekitarnya dari pasukan salib.

1270 Ludwig dapat merebut Tunis, tetapi ia dan pasukannya kemudian terjangkit wabah pes; pasukan Muslim mulai mengambil-alih kendali atas kota-kota dari tangan salibis.

1291 Acre dan banyak wilayah kecil lainnya jatuh ke tangan Mamluk. Inilah akhir dari rangkaian Perang Salib yang berpusat di Mediterania Timur.

1302 Mamluk berhasil merebut Pulau Ruad (sebelah timur Suriah) dan Jubail (kini Lebanon) dari kendali Templar.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA