Berdasarkan surat al fatihah siapakah yang termasuk dalam jalan orang-orang yang lurus

tunjukkanlah kami ke jalan orang yang diberi nikmat

Allah swt berfirman di dalam Surat Al-Fatihah, mendorong kita agar ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang diberi nikmat. Kita yang sedang mencoba mendalami firman Allah mungkin akan merasa janggal dengan hal ini, mengapa dalam persoalan penting seperti meminta agar diberi jalan yang lurus, justru kita diarahkan pada persoalan nikmat? Mengapa tidak kepada ajaran mulia para nabi dan orang-orang salih?

Apakah persoalan nikmat memang lebih penting daripada soal ajaran semisal Syariat Islam? Bukankah persoalan nikmat adalah persoalan kesenangan-kesenangan duniawi serta nikmat surgawi, yang seharusnya tak sebanding dengan syariat yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya? Ataukah ada persoalan nikmat yang tidak kita ketahui?

Komentar Pakar Tafsir Terkait “Orang-Orang Yang Diberi Nikmat”

Allah berfirman di dalam Surat Al-Fatihah ayat 6-7:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

Tunjukilah Kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka (QS. Al-Fatihah [01] 7).

Komentar beberapa pakar tafsir tidak secara jelas mengulas mengapa justru nikmat yang disinggung, bukan persoalan ajaran agama. Mereka hanya berkomentar tentang apakah itu jalan yang lurus? Dan siapakah mereka yang dimaksud orang yang telah diberi nikmat?

Ibn Katsir semisal, berkomentar bahwa cukup beragam ungkapan para ahli tafsir terkait tafsir dari kata “jalan”. Ada yang mengartikannya sebagai Kitab Allah, ada yang mengartikannya sebagai Tali Allah, dan ada juga yang memakai ungkapan “jalan yang sama sekali tidak ada sesuatu bengkok padanya”. Namun semuanya bisa dikatakan memiliki satu kesimpulan, bahwa jalan yang dimaksud adalah mengikuti Allah dan para utusan-Nya (Tafsir Ibn Katsir/1/137).

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 10 -13: Syukurilah Nikmat Allah SWT, Jangan Sampai Mendustakannya

Sedang terkait “orang-orang yang diberi nikmat”, banyak yang mengkaitkannya dengan Surat An-Nisa’ ayat 69:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (Q.S. An-Nisa’ [04] 69).

Ayat tersebut menyatakan, mereka orang-orang yang diberi nikmat adalah para nabi, para siddiqin, para syuhada’ dan orang-orang soleh. Usai menyatakan hal itu, mereka berlanjut menerangkan tentang orang-orang yang dibenci serta orang-orang yang tersesat (Tafsir Ibn Katsir/1/140).

Keimanan Adalah Sebuah Nikmat

Hanya beberapa pakar tafsir yang menyinggung secara langsung mengapa nikmat lebih didahulukan dari persoalan ajaran. Diantaranya adalah Sayyid Thantawi dalam Tafsir Al-Wasith yang menyatakan, Allah tidak menyatakan jalan para nabi dan orang-orang salih sebagai ganti “jalan orang-orang yang diberi nikmat”, untuk menunjukkan bahwa mengetahui ajaran yang benar kemudian mau mengamalkannya pada hakikatnya adalah suatu nikmat yang besar (Tafsir Al-Wasith/1/9).

Sayyid Thanthawi kemudian mengutip keterangan beberapa ulama tentang mengapa kata “jalan” di dalam surat ke-7 disandarkan kepada orang yang diberi nikmat, bukan yang lain. Alasannya diantaranya adalah untuk menunjukkan persoalan penting yang harus diketahui oleh orang yang hendak mengikuti Allah serta rasul-Nya. Bahwa kesempatan atau kemauan diri mengikuti Allah dan rasul-Nya, pada hakikatnya adalah nikmat besar dari Allah yang harus disadari, disyukuri dan senantiasa diingat. Dan jangan terlena dengan kesempatan dapat berkumpul dengan para nabi dan orang-orang soleh.

Baca juga: Tafsir Surat Ibrahim Ayat 34: Menghitung Nikmat Allah dan Rasa Iri Melihat Orang Lain

Imam Ath-Thabari berkata, Surat Al-Fatihah ayat-7 merupakan bukti jelas bahwa kemauan melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangan-Nya, merupakan nikmat serta taufiq dari Allah kepada orang-orang yang dapat menjalankannya. Bukankah dalam ayat tersebut, Allah menyandarkan persoalan petunjuk, ketaatan serta ibadah kepada bagaimana Allah memberi nikmat kepada hamba-Nya (Tafsir Ath-Thabari/1/179).

Berbagai uraian di atas menunjukkan kepada kita, kita tidak boleh lupa bahwa kemauan diri untuk mengikuti ajaran Allah dan rasul-Nya, adalah salah satu bentuk dari nikmat Allah. Bahkan nikmat terbesar. Persoalan mengikuti ajaran Allah dan rasul-Nya memang penting. Namun kita tidak boleh lupa. Di samping harus sekuat tenaga mengikuti ajaran Allah dan rasul-Nya, kita harus bersyukur diberi nikmat oleh Allah berupa kemauan dan kesempatan untuk mengikuti Allah dan rasul-Nya. Wallahu A’lam.

Orang-orang yang sesat dalam Surat Al-Fatihah

Artikel ini akan menguraikan tentang perbedaan penafsiran tentang kata ad-Dhōllīn dalam Surat Al-Fatihah yang sering diterjemahkan dengan orang-orang yang sesat. Mari kita simak selengkapnya firman Allah Swt tentang Surat Al-Fatihah:

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ  ١ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ  ٢ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ  ٣ مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ  ٤ إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ  ٥ ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ  ٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ  ٧

Artinya:

(1). Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, (2). Segala Puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, (3). Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, (4). Pemilik hari pembalasan. (5). Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan, (6). Tunjukilah kami jalan yang lurus, (7). (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau Beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Orang-orang yang sesat dalam akhir ayat surat al-Fatihah di atas masih terdapat perdebatan di antara para ulama, terkait tafsir siapa sebenarnya yang dimaksud oleh al-Quran dengan penggunaan term ad-Dhōllīn?

Dalam tulisan ini, penulis akan mendiskusikan tentang makna-makna yang terkandung dalam surat-Al-Fatihah, makna yang dimaksud oleh penulis adalah makna lafadz ad-dholīn.

Terkait makna dari lafadz tersebut, para mufasir silang pendapat tentang perkiraan maksud dari ayat tersebut. Namun yang pasti, kata ad-dholīn, secara bahasa dapat diartikan sebagai sesat, dan menyimpang dari kebenaran. (A.W. Munawwir: 1997).

Sedangkan dalam konteks perkataan orang Arab kata ad-dholīn berarti ad-ḍihāb ‘an tharīqil ḥāq (menjauh dari jalan kebenaran) wal inḥirāf ‘an naḥj al-qawīm (menyimpang dari jalan yang lurus).(Muhammad ‘Ali as-Shobūni: 1980).

Para Ulama berbeda penafsiran terkait kata ad-Dhōllīn dalam akhir ayat Surat Al-Fatihah.  Dalam Tafsir Jalalayn dijelaskan definisi ad-Dhōllīn sebagai orang-orang Nasrani sebab mereka bukanlah orang yang diberikan petunjuk oleh Allah (Jalālain; 1994). Ibn Kastir juga mengatribusikan kata sesat dalam ayat di atas merujuk kepada orang Nasrani yang mana mereka telah melakukan kesasatan.(Ismail ibn Katsir; 2000).

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Kepada Siapa Nikmat Itu Diberikan?

Tafsiran yang lain seperti milik al-Baghāwi yang mendefisikan ad-Dhōllīn sebagai orang Nasrani dengan argumen bahwa dalam ayat yang lain Allah telah menghukumi orang Nasrani dengan sebutan dholāl (al-Baghawi: 2002), yakni pada ayat berikut:

وَلَا تَتَّبِعُوٓاْ أَهۡوَآءَ قَوۡمٖ قَدۡ ضَلُّواْ مِن قَبۡلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرٗا وَضَلُّواْ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ  ٧٧

Artinya:

“Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) banyak menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah[5]: 77).”

Penafsiran-penafsiran di atas banyak ditemukan dalam berbagai kitab tafsir baik klasik maupun kontemporer dan menjadi model penafsiran yang umum di kalangan ulama’.

Meskipun demikian, pada ayat ini sebenarnya tidak disebutkan secara eksplisit kata Nasrani, maka kemudian tidak heran jika masih terdapat perbedaan pandangan tentang siapa yang dirujuk oleh kata ad-Dhōllīn.

Imam as-Sya’rawi memilih untuk tidak merujuk kata ad-Dhōllīn ke kelompok agama tertentu, dan beliau memilih untuk mengartikannya sebagai orang yang mengambil jalan yang sesat yakni sebab ia tidak mengambil jalan kepada Allah. (as-Sya’rawi: 1991).

Pada hakikatnya, lafadz ad-dholīn adalah ‘aṭaf (sambungan) dari lafadz sebelumnya, kalaupun diperkirakan menjadi ghoiril maghdhūbi ‘alaihim wa ghoirid dholīn.

Ar-Rāzī dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kebanyakan ayat di atas dimaknai sebagai berikut: al-maghdhūb (orang yang dibenci) beratribusi kepada orang-orang Yahudi. Sedangkan ad-dhōlīn (orang-orang yang sesat) diatribusikan kepada orang-orang Nasrani, pandangan yang seperti ini dianggap lemah.

Menurut Imam ar-Razi pada dasarnya makna yang terkandung dalam lafadz al-maghdhūbi ‘alaihim (orang yang dibenci oleh Allah) adalah setiap orang fasiq yang melakukan kekeliruan dalam perilaku-perilaku yang nampak secara dhohir. Sedangkan makna ad-dholīn (orang yang sesat) bukanlah merujuk kepada orang-orang Nasrani, namun merujuk kepada orang yang melakukan kekeliruan dalam berkeyakinan.

Kemudian imam ar-Razi memperjelas bahwa sebenarnya orang yang dibenci adalah orang kafir sedang orang yang sesat adalah orang munafiq. Dan hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan orang Yahudi dan Nasrani. (Fakhruddin ar-Razi; 1981).

Baca Juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?

Dengan demikian, pengatribusian kata sesat kepada orang Nasrani yang tekesan sensitif sebenarnya dapat dihindari. Sebab ayat tersebut sarat akan makna yang tidak hanya merujuk kepada Nasrani sebagai salah satu dari penganut agama abrahamik sebelum Islam. Namun jika ditelisik lebih jauh, ternyata antar satu tafsir dengan tafsir yang lainnya mempunyai distingsi yang jelas, sebagaimana dalam kasus tafsir mafātḥul ghaib.

Pemaknaan yang demikian tidak akan berhenti sampai di sini, pemaknaan yang dimunculkan juga dapat semakin beragam jika pembaca berkenan menelisik lebih dalam melalui sudut pandang sosio-historis dan dengan pengungkapan aspek makro dalam kehidupan umat Islam pada saat itu.

Oleh karena itu, bagi penulis  penafsiran-penafsiran toleran tetap terbuka untuk dihadirkan melalui narasi al-Qur’an tanpa menghilangkan maghzā  (substansi dan pesan moral) dari ayat yang berkaitan. Wallahu A’lam bis Showāb.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA