Berikan pendapat dan pandangan saudara tentang pelaksanaan demokrasi di indonesia

Konsepsi negara hukum tidak asing lagi dalam ilmu ketatanegaraan sekarang ini. Tapi, dalam praktek ketatanegaraan, banyak kalangan masih pesimistis apakah negara hukum itu memang sudah sepenuhnya dijalankan. Hal ini dapat dipahami karena dalam prakteknya, negara hukum itu seolah hanya mitos dan belum pernah terbukti. Alasan mendasar ambiguitas negara hukum itu bersumber pada rapuhnya penegakan hukum. Begitu juga Indonesia. Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amandemen keempat 2002, konsepsi negara hukum atau "rechtstaat", yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3). Dalam konsep negara hukum, hukumlah yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan, bukan politik atau ekonomi. Persoalannya, implementasi penegakan hukum itu sangat lemah dan melenceng dari konsep ideal negara hukum itu sendiri. Ini terbukti dengan adanya beberapa kasus pelanggaran hukum yang dilakukan aparat negara. Korupsi semakin merajalela tanpa ada penegakan hukum yang setimpal. Walhasil, negara hukum menjadi simbol paradoksal bagi bangsa ini. Pada dasarnya, negara hukum adalah negara yang berlandaskan hukum dan keadilan bagi warganya. Artinya, kekuasaan negara dibatasi oleh hukum, sehingga segala tingkah lakunya harus berlandaskan hukum. Tapi kesadaran semacam ini tampak belum membudaya dalam penegakan hukum di Indonesia. Sehingga orientasi hukum cenderung berubah menjadi alat pengabsah suatu tindakan, entah itu tindakan penyelenggara negara ataupun rakyat sendiri. Buku ini merupakan catatan pemikiran Abdul Aziz mengenai eksistensi penerapan konsepsi negara hukum dan demokrasi di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritisi secara mendalam penerapan hukum yang carut-marut karena masih menggunakan paradigma positivisme. Paradigma ini sering mengidentikkan hukum hanya seperangkat aturan yang sudah disahkan negara (ius constituendum). Apa pun keputusan hukum dari negara tetap menjadi alat legitimasi bagi para penguasa negeri ini. Akibatnya, arah kebijakan hukum di Indonesia selalu terkooptasi oleh kepentingan aparat negara dan elite penguasa, sedangkan rakyat bawah menjadi korban legitimasi konsepsi hukum positivisme yang terkesan benar dan tepat. Ciri yang sangat menonjol aliran positivisme ini menyatakan bahwa sumber-sumber hukum adalah kekuasaan, yaitu negara. Apa yang dianggap hukum adalah peraturan tertulis yang dibuat dan disahkan oleh negara. Dengan demikian, semua aturan di luar undang-undang dianggap bukan sebagai hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat untuk berlaku dan ditaati. Walhasil, dapat diasumsikan, salah satu sebab lemahnya hukum di Indonesia, penerapannya masih berdasarkan kaidah-kaidah tekstual. Lebih jauh penulis memaparkan, wajah hukum yang sangat positivistik menyebabkan keinginan menerapkan hukum berdasarkan nilai-nilai sosiologis dan filofis menjadi dilematis. Fenomena ini kita lihat, misalnya, dalam tindak pidana. Seorang pencuri sandal seharga Rp 20.000 dengan cepat dijatuhi hukuman penjara sesuai dengan ketentuan pasal Kitab Undang-Undang Pidana, dengan alasan tekstual karena si pencuri terbukti memenuhi unsur pencurian. Tapi coba lihat bagaimana dengan pencuri uang milik negara sebanyak Rp 20 milyar. Prakteknya, sulit sekali dia dikenai hukuman setimpal. Dua kasus itu, dilihat dari sisi tekstual, memang tetap mendapatkan sanksi hukum, tapi secara sosiologis ataupun filosofis tentu memiliki ukuran yang sangat berbeda. Kondisi inilah yang merisaukan masyarakat terhadap keadilan hukum itu sendiri (halaman 173). Dalam kondisi seperti ini, penegakan reformasi memang sulit, tapi wajib dilaksanakan. Substansi yang dapat dipetik dari buku ini adalah gagasan tentang harus adanya dekonstruksi hukum dari yang berparadigma posistivistik ke arah hukum berbasis paradigma kritis, progresif, dan responsif berlandaskan pada nilai-nilai sosio-kutural keindonesiaan.

Sumber : http://toko-bukubekas.blogspot.com/2012/05/negara-hukum-dan-demokrasi-di-indonesia.html

Berikan pendapat dan pandangan saudara tentang pelaksanaan demokrasi di indonesia


Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia tidak terlalu buruk. Pasalnya, indeks persepsi demokrasi Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan.

“Perkembangan demokrasi kita tidak jelek-jelek banget. Pada tahun 2017, indeks persepsi demokrasi kita 72,18, pada tahun 2018 itu 72,39, naik. Mudah-mudahan tahun 2019 pemilu kemarin juga naik dan yang akan datang,” ujar Menko Polhukam Mahfud MD saat menjadi pembicara dalam Peluncuran Program Pilkada “Pemilu Rakyat 2020” di Jakarta, Kamis (12/12/2019).

Untuk itu, Menko Pohukam mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga agar meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Meskipun, diakui, kadangkala banyak pihak yang marah dengan menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia kebablasan, kampungan, dan kriminal.

“Ternyata indeksnya itu 72,39, cukup, tidak jelek, meskipun belum bagus benar. Kita usahakan indeks demokrasi kita akan naik, tentu tidak cukup hanya dengan Pilkada dan sebagainya,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Menko Polhukam bercerita mengenai proses demokrasi Indonesia sejak masa Orde Baru hingga Reformasi. Pada saat Orde Baru, Pilkada dilaksanakan melalui pemilihan langsung oleh DPRD. Namun karena prosesnya dinilai tidak baik, rawan terhadap politik uang, maka diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.

“Bagaimana pun kita harus laksanakan pemilu rakyat dengan sebaik-baiknya. Peran media massa sangat besar bagi pemilu berkualitas, peran pengawas pemilu Bawaslu, penyelenggara pemilu, Polri, dan TNI. Pilkada itu masuk bagian dari pemilu,” kata Menko Polhukam Mahfud MD.

Berikan pendapat dan pandangan saudara tentang pelaksanaan demokrasi di indonesia

Wapres pun menegaskan bahwa sejauh ini Jepang memang merupakan mitra penting Indonesia khususnya dalam bidang ekonomi. Selengkapnya

Berikan pendapat dan pandangan saudara tentang pelaksanaan demokrasi di indonesia

Wapres pun mengungkapkan apresiasi atas dukungan yang diberikan oleh pemerintah Jepang. Selengkapnya

Berikan pendapat dan pandangan saudara tentang pelaksanaan demokrasi di indonesia

Pemerintah memiliki kesadaran penuh bahwa pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi tantangan global sangat membutuhkan peran Selengkapnya

Berikan pendapat dan pandangan saudara tentang pelaksanaan demokrasi di indonesia

Pemulihan sektor pariwisata Indonesia dinilai menjadi salah satu best practice. Data menunjukkan pada Juli 2022, kedatangan wisatawan mancan Selengkapnya

KOMPAS.com - Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi.

Sistem pemerintahannya diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Demokrasi tercermin dari terselenggarakannya pemilihan umum (pemilu). Indonesia sudah menyelenggaran pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.

Selain pemilu, apa saja ciri negara demokratis? Bagaimana Indonesia menjalankan demokrasi?

Sejarah demokrasi

Dilansir Encylopaedia Britannica (2015), demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang diambil dari kata "demos" (rakyat) dan "kratos" (pemerintahan).

Baca juga: Pilkada Langsung atau Tidak, Mau Dibawa ke Mana Demokrasi Kita?

Pada pertengahan abad ke-5 SM, demos dan kratos adalah sebutan untuk sistem politik yang berlaku di beberapa kota Yunani saat itu, salah satunya Athena.

Sebagai bentuk pemerintahan, demokrasi bertolak belakang dengan monarki. Dalam sistem monarki, pemerintahan dipegang oleh raja, ratu, atau kaisar. 

Sistem demokrasi juga berbeda dengan oligarki. Dalam pemerintahan oligarki, kekuasaan dipegang oleh beberapa orang.

Demokrasi juga berseberangan dengan sistem aristokrasi, atau pemerintahan oleh kelas istimewa. Demokrasi juga beda dari despotisme, atau pemerintahan absolut oleh satu orang.

Bangsa Yunani kuno adalah bangsa pertama yang mempraktikkan demokrasi dalam komunitas sebesar kota.

Beberapa badan demokrasi yang mereka bentuk yakni majelis. Majelis banyak ditiru di negara-negara demokrasi, salah satunya di Indonesia.

Gunawan Sumodiningrat & Ary Ginanjar Agustian, dalam bukunya Mencintai Bangsa dan Negara Pegangan dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara di Indonesia (2008), demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.

Baca juga: BJ Habibie Terima ICMI Award sebagai Bapak Teknologi dan Demokrasi Indonesia

Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.

Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.

Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.

Presiden pertama Indonesia, Soekarno mengatakan jika demokrasi Indonesia lahir dari kehendak memperjuangkan kemerdekaan.

Menurut Soekarno, demokrasi Indonesia meletakan embrionya pada perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme.

Dikutip dari buku Indonesia Menggugat (2001) dan Di Bawah Bendera Revolusi (2014), demokrasi adalah suatu pemerintahan rakyat.

Baca juga: Penambahan Masa Jabatan Presiden Dinilai Cederai Prinsip Demokrasi

Lebih lanjut lagi, demokrasi adalah suatu cara dalam membentuk pemerintahan yang memberikan hak kepada rakayat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan.

Demokrasi yang diinginkan Soekarno tidak ingin meniru demokrasi modern yang lahir dari Revolusi Prancis.

Karena, demokrasi yang dihasilkan oleh Revolusi Prancis hanya menguntungkan kaum borjuis dan menjadi tempat tumbuhnya kapitalisme.

Suakrno mengonsepsikan sendiri demokrasi yang menurutnya cocok untuk Indonesia dan tertuang dalam pemikirannya, yaitu marhaenisme.

Ada tiga pokok atau yang disebut sebagai “Trisila” dalam marhaenisme yaitu:

1. Sosio-nasionalisme, yang berarti nasionalisme Indonesia yang diinginkan oleh Soekarno adalah nasionalisme yang memiliki watak sosial dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam nasionalisme itu sendiri, jadi bukan nasionalisme yang chauvinis.

Baca juga: Politikus PDI-P: Tak Larang Demo, Jokowi Komitmen pada Demokrasi

2. Sosio-demokrasi, yang artinya bahwa demokrasi yang dikehendaki Soekarno bukan semata-mata demokrasi politik saja.

Tetapi juga demokrasi ekonomi, dan demokrasi yang berangkat dari nilai-nilai kearifan lokal budaya Indonesia, yaitu musyawarah mufakat.

3. Ketuhanan Yang Maha Esa, yang artinya bahwa Soekarno menginginkan setiap rakyat Indonesia adalah manusia yang mengakui keberadaan Tuhan (theis), apa pun agamanya.

Muhammad Hatta, menilai jika demokratis masyarakat asli Indonesia ini bersumber dari semangat kebersamaan atau kolektivisme.

Kolektivisme ini mewujud dalam sikap saling tolong menolong, gotong royong, dan sebagainya. Kolektivisme dalam masyarakat asli Indonesia juga berarti pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

Ini berbeda dengan kebiasaan yang berlaku dalam sistem demokrasi Barat yang individualistis.

Secara umum ada beberapa bentuk demokrasi. Berikut kedua bentuk yang paling umum beserta contoh negaranya: 

Sistem Presidensial

Sistem presidensial adalah penyelenggaraan pemilihan presiden secara langsung melalui pemilihan umum (pemilu) seperti yang ada di Indonesia.

Baca juga: Khofifah: Museum HAM Munir Akan Jadi Pembelajaran tentang Demokrasi

Dengan dipilihnya presiden secara langsung oleh rakyat, maka presiden terpilih tersebut akan mendapatkan mandat secara langsung oleh seluruh rakyatnya.

Negara yang menerapkan sistem presidensial di antaranya, yakni Amerika Serikat, Filipina, Argentina, Myanman, Brazil, Kolombia, dan Mexico. 

Sistem Parlementer

Sistem parlementer menggunakan dua konsep, yakni kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Dalam sistem parlementer kepala negara adalah seorang raja, ratu atau presiden, sedangkan kepala eksekutif adalah seorang perdana menteri.

Negara yang menerapkan ini negara yang sistemnya kerajaan, seperti Inggris dan India.

Haniah Hanafie dan Suryani, dalam bukunya Politik Indonesia (2007), Indonesia pernah memakai sistem demokrasi parlementer pada 14 November hingga 12 Maret 1946. Ini terjadi di bawah kepemimpinan Perdana Menteri pertama Indonesia, Sutan Sjahrir.

Sistem demokrasi parlementer diberlakukan setelah jatuhnya kabinet presidensial pertama pada 14 November 1945. Kejatuhan itu disebabkan oleh keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X/1945 pada 16 Oktober 1945.

Kemudian diikuti oleh Maklumat Pemerintah pada 3 November 1945 yang berisi tentang seruan untuk mendirikan partai-partai politik di Indonesia.

Saat ini, negara yang menerapkan demokrasi parlementer yakni, Singapura, Malaysia, Thailand, Turki, India, dan Pakistan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.