Berikan penjelasan mengenai zona laut teritorial Indonesia Mas Dayat

Berikan penjelasan mengenai zona laut teritorial Indonesia Mas Dayat

JMOL. Tulisan berikut adalah suntingan bebas dari paper berjudul “The United Nations Convention on the Law of the Sea (A historical perspective)” yang disampaikan pada peringatan “The International Year of the Ocean” pada tahun 1998.

Konvensi III PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) membagi laut dalam tiga bagian. Pertama, laut yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan sebuah negara (laut teritorial dan laut pedalaman); Kedua, laut yang bukan merupakan wilayah kedaulatan sebuah negara namun negara tersebut memiliki sejumlah hak dan yurisdiksi terhadap aktifitas tertentu (zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif); Ketiga, laut yang bukan merupakan wilayah kedaulatan dan bukan merupakan hak/yurisdiksi negara manapun, yaitu laut bebas.

Zona ekonomi eksklusif (ZEE) adalah salah satu fitur paling revolusioner dari UNCLOS 1982 dan memberi dampak yang signifikan pada pengelolaan dan konservasi sumber daya laut. Rezim ZEE menertibkan klaim-klaim sepihak (unilateral) atas perairan oleh negara-negara di masa sebelumnya, dengan memberi hak kepada Negara pantai untuk eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan energi dari air, arus laut dan angin.

Hak eksklusif di ZEE disertai tanggung jawab dan kewajiban. Sebagai contoh, UNCLOS 1982 mendorong pemanfaatan stok ikan secara optimal. Di ZEE-nya, setiap Negara pantai harus menentukan total tangkapan yang diperbolehkan untuk setiap spesies ikan, dan memperkirakan kapasitas penangkapannya.

Negara pantai berkewajiban untuk memberi akses kepada Negara lain, khususnya negara tetangga dan negara yang tanpa laut (landlock states), terhadap surplus hasil tangkapan yang diizinkan. Akses tersebut harus diberikan sesuai dengan upaya konservasi yang ditetapkan oleh peraturan Negara pantai. Selain itu, negara pantai memiliki kewajiban tertentu lainnya, seperti upaya pencegahan polusi dan memfasilitasi penelitian ilmiah kelautan di ZEE mereka.

ZEE diatur pada Bab V dari UNCLOS 1982. Terdiri atas 21 pasal, dari pasal 55 hingga pasal 75. Pasal 55 UNCLOS 1982 mendefinisikan ZEE sebagai perairan (laut) yang terletak di luar dan berbatasan dengan laut teritorial, tunduk pada rezim hukum khusus (special legal regime) yang ditetapkan dalam Bab V ini berdasarkan hak-hak dan yurisdiksi negara pantai, hak-hak, serta kebebasan-kebebasan negara lain.

Area ZEE didefinisikan “Bagian perairan (laut) yang terletak di luar dari dan berbatasan dengan laut teritorial selebar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur”. Lebar ZEE bagi setiap negara pantai tidak lebih dari 200 mil sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 57 UNCLOS 1982 yang berbunyi “the exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles from the baseline from which the breadth of territorial sea is measured”

Bab V UNCLOS 1982 yang berisi pasal-pasal yang mengatur ZEE dapat dilihat di sini

Sekilas Latar Belakang
Sebelum lahirnya ZEE, hukum laut internasional hanya mengakui laut teritorial dan laut bebas. Rezim ZEE mengubah secara revolusioner pengaturan atas laut di atas. ZEE adalah warisan yang paling berharga dari UNCLOS 1982. Daerah penangkapan ikan yang paling menguntungkan sebagian besar berada di perairan pesisir hingga batas ZEE 200 mil. Sekitar 87 persen cadangan hidrokarbon dunia (yang diketahui dan diperkirakan) berada di ZEE.

Perikanan dan Migas Lepas Pantai
Keinginan negara-negara untuk mengendalikan sektor penangkapan ikan adalah pendorong utama lahirnya ZEE. Sektor perikanan dunia berkembang pesat pada tahun 1950-an dan 1960-an. Dari lima belas juta ton hasil tangkapan ikan pada tahun 1938, menjadi 86 juta ton pada tahun 1989. Perikanan tangkap bukan lagi sekedar usaha nelayan perorangan, tetapi sudah tumbuh menjadi industri skala global, yang menggunakan armada perikanan besar, dilengkapi fasilitas pemprosesan ikan di atas kapal, peralatan pelacak ikan, serta mampu berlayar selama berbulan-bulan dan jauh dari tempat asalnya.

Armada kapal ikan besar yang berlayar jauh mencari ikan hingga ke perairan negara lain, bertemu dan berkompetisi dengan aktivitas nelayan lokal. Kompetisi dan konflik perebutan fishing ground tak terhindarkan. Antara tahun 1974 dan 1979 saja, terjadi sebanyak 20 perselisihan mengenai ikan kod, ikan teri, tuna dan jenis lainnya, yang melibatkan Inggris dan Islandia, Maroko dan Spanyol, dan Amerika Serikat dan Peru.

Pada tahun 1945, Presiden Harry S Truman, mengumumkan perluasan yurisdiksi Amerika Serikat atas semua sumber daya alam di landas kontinen negara tersebut. Pada Oktober 1946, Argentina mengklaim laut di atas landas kontinentalnya. Chili dan Peru pada tahun 1947, dan Ekuador pada tahun 1950, menegaskan hak berdaulat atas zona 200 mil, dengan tujuan membatasi akses armada perikanan asing dan untuk mengendalikan menipisnya stok ikan di laut lepas pantainya.

Setelah Perang Dunia Kedua, Mesir, Ethiopia, Arab Saudi, Libya, Venezuela, dan beberapa negara Eropa Timur mengklaim laut teritorial sepanjang 12 mil, jauh melebihi batas sebelumnya yang sepanjang 3 mil.

Pada tahun 1959, negara kepulauan Indonesia menegaskan hak untuk berkuasa atas laut yang diantara 13.000 pulau. Filipina juga melakukan hal yang sama. Pada tahun 1970, Kanada menegaskan hak untuk mengatur navigasi di area yang membentang sejauh 100 mil dari pantainya untuk melindungi Kutub Utara dari polusi.

Pada akhir 1960-an, eksplorasi migas bergerak menjauhi daratan, semakin jauh dan semakin dalam hingga batas dasar benua. Di Teluk Meksiko, produksi minyak lepas pantai pada tahun 1947 kurang dari satu juta ton. Tumbuh menjadi 400 juta ton pada tahun 1954. Teknologi pengeboran minyak sudah mampu mencapai 4.000 meter di bawah permukaan laut. Minyak lepas pantai adalah daya tarik Laut Utara. Inggris, Denmark, dan Jerman bersaing memperebutkan landas kontinen yang kaya minyak.

Perundingan UNCLOS 1982 dimulai tak lama setelah perang Arab-Israel Oktober 1973. Terjadinya embargo yang diikuti oleh meroketnya harga minyak dunia telah meningkatkan kekhawatiran atas kontrol cadangan minyak di lepas pantai. Pada saat itu, sebagian besar minyak berasal dari pengeboran lepas pantai: 376 juta dari 483 juta ton diproduksi di Timur Tengah (1973); 431 juta barel per hari di Nigeria, 141 juta barel di Malaysia, 246 juta barel di Indonesia. Dan seluruh produksi minyak tersebut hanya berasal dari eksplorasi terhadap 2 persen luas landas kontinen. Artinya, potensi cadangan migas di ZEE masih sangat besar.

Laut menjadi penuh dengan klaim, counter klaim, dan sengketa kedaulatan.

Perundingan UNCLOS 1982 dimulai dengan harapan terciptanya tatanan dunia yang lebih stabil, mendorong pemanfaatan yang lebih besar dan pengelolaan sumber daya laut yang lebih baik, menghadirkan keharmonisan dan itikad baik penyelesaian konflik di antara negara-negara yang saling bertentangan klaim.

Dimulai sejak tahun 1973, melalui pembahasan selama 9 tahun, hasil dari Konfrensi PBB ketiga, berikut ZEE, disepakati pada sesi ke-11 di Montego Bay, Jamaika pada 10 Desember 1982. Konvensi Hukum Laut kemudian populer disebut UNCLOS 1982. Diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke 60 meratifikasinya. [RED]

  • Jerome Wirawan
  • Wartawan BBC Indonesia

Keterangan gambar,

Perairan Kepulauan Natuna menjadi lokasi tiga insiden yang melibatkan kapal nelayan Cina sepanjang 2016.

Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai pemerintah Cina 'bermain kata' ketika berkomunikasi dengan pemerintah Indonesia mengenai perairan Kepulauan Natuna.

Permainan kata yang dimaksud Hikmahanto merujuk pada pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying.

Saat menanggapi insiden pengejaran TNI Angkatan Laut terhadap kapal-kapal nelayan Cina yang diduga menangkap ikan secara ilegal di perairan Kepulauan Natuna, 17 Juni lalu, Hua 'mengecam tindakan penembakan terhadap kapal nelayan Cina oleh TNI Angkatan Laut' yang notabene 'merupakan wilayah tradisional penangkapan ikan Cina'.

Akan tetapi Hua menggarisbawahi bahwa 'perseteruan kedaulatan teritorial antara Cina dan Indonesia tidak ada'. Hua juga mengakui kedua negara memiliki opini berbeda mengenai klaim hak maritim yang tumpang tindih di beberapa bagian perairan di Laut Cina Selatan.

Dalam pernyataan tersebut, menurut Hikmahanto, ada dua hal yang patut dicermati. Pertama, Cina menyebut tidak ada perseteruan kedaulatan teritorial. Kedua, Cina menyebut wilayah tradisional penangkapan ikan.

Berikan penjelasan mengenai zona laut teritorial Indonesia Mas Dayat
Berikan penjelasan mengenai zona laut teritorial Indonesia Mas Dayat

Sumber gambar, Science Photo Library

Keterangan gambar,

Indonesia berhak memanfaatkan sumber daya di Zona Ekonomi Eksklusif, kawasan sejauh 200 mil dari Pulau Natuna.

“Berulang kali Cina mengatakan menghormati sovereignty Kepulauan Natuna. Sovereignty diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi kedaulatan. Yang dipermasalahkan sekarang bukan sovereignty, bukan laut teritorial kita, ataupun kepemilikan Kepulauan Natuna oleh Indonesia. Yang menjadi masalah adalah sovereign right, hak berdaulat,” ujar Hikmahanto.

Hak berdaulat Indonesia, lanjutnya, ada pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen. ZEE adalah kawasan yang berjarak 200 mil dari pulau terluar. Di kawasan ZEE ini, Indonesia berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang ada, termasuk ikan.

Adapun landasan kontinen merupakan wilayah dasar laut dan juga tanah di bawahnya yang bersambungan dengan pantai di luar laut teritorial hingga kedalaman 200 meter atau lebih, sepanjang kedalaman kolom air laut di atasnya masih memungkinkan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi.

“Memang di wilayah tersebut adalah wilayah laut lepas, tidak dimiliki negara. Tetapi sumber daya alam yang di dalam Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen diberikan kepada negara pantai. Di situlah kemudian Indonesia mengelola sumber daya alam yang ada di situ. Dan apabila ada kapal negara lain yang ingin mengambil ikan di situ, tentu harus meminta izin kepada Indonesia. Nah, sovereign right ini yang dipermasalahkan Cina,” papar Hikmahanto.

Berikan penjelasan mengenai zona laut teritorial Indonesia Mas Dayat
Berikan penjelasan mengenai zona laut teritorial Indonesia Mas Dayat

Sumber gambar, BBC World Service

Keterangan gambar,

Peta wilayah yang diklaim Cina, yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dashed lines.

Dia lalu menyoroti pernyataan pemerintah Cina yang menyebut klaim hak maritim yang tumpang tindih. Menurutnya, pemerintah Cina mengeluarkan peta kawasan sembilan garis putus-putus atau nine-dashed lines yang mencakup sekitar 90% dari 3,5 juta kilometer persegi perairan Laut Cina Selatan. Adapun Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dekat perairan Kepulauan Natuna, kata Hikmahanto, masuk di dalamnya.

“Bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dianggap oleh pemerintah Cina sebagai traditional fishing ground. Dan jika kita melihat peta nine-dashed lines, memang bertumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Tetapi, yang jadi permasalahan, pemerintah Cina tidak punya dasar pada UNCLOS (konvensi PBB tentang hukum laut) dan hukum internasional. Alasan mereka adalah alasan sejarah,” kata Hikmahanto.

Yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia, sebagaimana dipaparkan Hikmahanto, adalah terus membantah klaim Cina.

“Kalau pemerintah Indonesia melakukan pembiaran, tentu Cina akan mengatakan Indonesia akan menerima. Lalu karena menerima, dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional. Konsekuensinya, Indonesia seolah-olah mengakui nine-dashed lines dan wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan Cina,” kata Hikmahanto.

Dalam konferensi pers yang digelar di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Selasa (21/06), Menteri Susi Pudjiastuti menegaskan tidak mengakui wilayah tradisional penangkapan ikan dari negara manapun.

“Kami tidak mengetahui dan tidak mengakui traditional fishing zone siapapun di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kecuali di satu wilayah yang telah kita tandatangani bersama di Selat Malaka dengan pemerintah Malaysia,” kata Susi.

Keterangan gambar,

TNI Al berencana menambah kekuatan di wilayah perairan Kepulauan Natuna. Namun, rencana itu belum terwujud.

Pada 17 Juni lalu, TNI Angkatan Laut mengatakan pihaknya telah melepaskan tembakan peringatan kepada sejumlah kapal nelayan berbendera Cina yang dituduh mencuri ikan di perairan Indonesia di dekat kepulauan Natuna.

Salah satu kapal nelayan dengan nomor lambung 19038 itu dapat dihentikan. TNI AL memastikan kapal itu milik nelayan Cina dengan jumlah ABK tujuh orang. Semuanya sudah diamankan di Pangkalan TNI AL di Ranai, Kepulauan Riau.

Insiden yang melibatkan kapal nelayan itu adalah kali ketiga sepanjang 2016. Dua di antaranya, kapal patroli Cina terlihat mendampingi kapal-kapal nelayan tersebut. Bahkan, pada Maret lalu, sebuah kapal patroli Cina dilaporkan menabrak kapal nelayan agar rusak dan tidak bisa ditarik kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying, berkeras bahwa kapal-kapal nelayan Cina beroperasi secara sah.

Dalam wawancara eksklusif dengan BBC Indonesia beberapa waktu lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa masalah pencurian ikan di Laut Natuna sebagai masalah kecil yang tak seharusnya menjadi urusan negara.

Meski demikian, Ryamizard berencana meningkatkan kekuatan militer di kawasan tersebut.

"Itu nanti ada satu flight pesawat tempur, ada tiga nanti kapal jenis korvet, kemudian ada satu pasukan marinir, Paskhas, satu batalion Angkatan Darat di situ. Marinir nanti lengkap dengan sea rider-nya. Bersenjata semua itu. Kalau ada apa-apa itu nanti dia (masuk)," kata Ryamizard.

Hingga kini, rencana itu belum terwujud.