Berikut ini adalah tokoh yang memimpin Muhammadiyah periode orde baru sampai orde reformasi kecuali

MINEWS, JAKARTA – Tepat pada hari ini, 18 November 2019, Muhammadiyah memasuki usia 107 tahun. Terbentuk pada 8 Dzulhijah 1330 Hijriah atau 18 November 1912, nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Muhammadiyah selalu dipimpin tokoh-tokoh hebat sepanjang perjalanannya.

Berikut sederet nama Ketua Umum Muhammadiyah dari masa ke masa:

1. Ahmad Dahlan

Selain terkenal sebagai pendiri Muhammadiyah, beliau juga merupakan seorang ulama dan salah satu tokoh pembaharuan Islam di Indonesia. Tak hanya itu, KH Ahmad Dahlan juga mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional berkat perjuangan dan jasa-jasanya. Ia menjadi pemimpin Muhammadiyah pada 1912-1923.

2. Ibrahim

Setelah KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah mendapatkan pemimpin baru yaitu KH Ibrahim. Beliau merupakan seorang ulama dan ahli seni membaca Al-Quran. Ia memimpin gerakan Muhammadiyah pada 1923-1934.

3. Hisyam

Lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 10 November 1883 ini merupakan anak murid dari KH Ahmad Dahlan. Ia menjadi pemimpin besar Muhammadiyah saat usianya 61 tahun. Hisyam dikukuhkan sebagai pemimpin Muhammadiyah pada 1934-1937.

4. Mas Mansur

Beliau merupakan tokoh Islam dan Pahlawan Nasional Indonesia dan sempat menjadi santri di Pondok Pesantren Demangan, Bangalan, Madura. Terpilihnya Mas Mansoer sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada 1937 mengharuskannya untuk pindah ke Yogyakarta bersama keluarganya.

5. Ki Bagoes Hadikoesoemo

Beliau lahir di Yogyakarta, 24 November 1890 dan merupakan anggota dari BPUPKI. Pada tahun 1937, Ki Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Hingga di tahun 1942, Ki Bagoes menggantikan Mas Mansur menjabat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah.

6. Buya A.R Sutan Mansur

Ia adalah anak dari pasangan Abdul Somad Al-Kusai, seorang ulama terkenal di Maninjau, dan Siti Abbasiyah. A.R. Sutan Mansur dieketahui merupakan guru di Kuala Simpang, Aceh. Pada saat itu ia masih tergabung di perumpulan Sumatera Thawalib. Sutan Mansur menjabat sebagai pemimpin Muhammadiyah pada 1953-1959.

7. M. Yunus Anis

Pada 1959, Yunus terpilih menjadi pemimpin Muhammadiyah menggantikan A.R Sutan Mansur. Ia lahir di Yogyakarta 3 Mei 1903. Sebelum menjadi pemimpin Muhammadiyah, Yunus pernah diminta membina bagian pemuda Hizbul Wathan.

8. Ahmad Badawi

Badawi merupakan putra dari KH Muhammad Fakih, selaku pengurus Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai komisaris. Badawi menuntut ilmunya hingga ke pondok pesantren. Sejak ia masih menjadi santri, Badawi sering membuat kelompok belajar terorganisir yang mendukung kelancaran proses mengajinya. Potensi ini kemudian ditumbuhkembangkan di wadah Muhammadiyah.

9. Faqih Usman

Ia merupakan aktivis Islam di Indonesia dan politikus dari partai Masyumi. Sebelum menjabat sebagai pemimpin Muhammadiyah ditahun 1968, Faqih adalah seorang Menteri Agama. Saat Faqih memimpin kelompok itu, Muhammadiyah Gresik diakui secara resmi sebagai cabang Muhammadiyah

10. H. A.R. Fachruddin

Fachruddin menjabat sebagai pemimpin muhammdiyah pada tahun 1968-1990. Pada tahun 1934, ia dikirim oleh Muhammadiyah untuk misi dakwah sebagai guru di sepuluh sekolah dan sebagai mubaligh di Talangbalai selama sepuluh tahun. Ketika Jepang datang, ia pindah ke Muara Meranjat, Palembang sampai tahun 1944. Selama tahun 1944, Fachruddin mengajar di sekolah Muhammadiyah, memimpin dan melatih Hizbul Wathan

11. Ahmad Azhar Basyir

Ia dikenal memiliki pribadi  yang setia pada organisasi. Untuk itu, Basyir tercatat sebagai anggota Muhammadiyah yang konsisten, dan mengantarkannya sebagai pemimpin periode 1990-1995.

12. Amien Rais

Amien Rais dibesarkan dikeluarga aktivis Muhammadiyah. Namanya mulai muncul ke kancah perpolitikan Indonesia pada di akhir masa jabatan Presiden Soeharto. Amien Rais muncul sebagai salah satu orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Ia menjabat sebagai pemimpin Muhammadiyah pada tahun 1995-1998.

13. Ahmad Syafii Maarif

Beliau adalah seorang ulama, ilmuwan dan pendidik di Indonesia. Ia lahir di Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935. Ahmad syafii juga dikenal sebagai pendiri Maarif Institute, dan juga tokoh Indonesia yang kritis. Ia menjabat sebagai Pemimpin Muhammadiyah pada periode 1998-2005

14. Din Syamsuddin

Ia menjabat sebagai pemimpin Muhammadiyah selama sepuluh tahun pada 2005-2015. Sosoknya dikenal sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat pada tahun 2014-2015. Sebelumnya ia menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat menggantikan Dr (HC). KH. Sahal Mahfudz.

15. Haedar Nashir

Setelah Din Syamsuddin lengser, Dr. K.H Haedar Nashir pun menggantikannya. Dikalangan aktivis Ikatan Mahasiwa Muhammadiyah (IMM), namanya sudah tak asing lagi. Ia pernah menjadi sekretaris ketika Ahmad Syafii Maarif menjabat ketua umum Muhammadiyah. Kini ia menjabat sebagai pemimpin gerakan Muhammadiyah periode 2015-2020.


5. Ki Bagoes Hadikoesoemo (1944-1953)Pada tahun 1937, Ki Bagoes diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa Jepang untuk menjadi ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Ki Bagus mengisi  posisi ketua umum melalui mekanisme mukmatar darurat. Posisi ini dijabat hingga tahun 1953.Semasa menjadi pemimpin Muhammadiyah, Ki Bagoes termasuk dalam anggota BPUPKI dan PPKI. Ki Bagus Hadikusumo sangat besar peranannya dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu dalam Muqaddimah UUD 1945 itu disetujui oleh semua anggota PPKI.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

6. Buya AR Sutan Mansur (1953-1959)Tercatat selama masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) Sutan Mansur berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat, konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya manusia, serta membentuk kader handal.Dalam bidang fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum agama yang tidak pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak mengikat anggota Muhammadiyah.

7. KH Yunus Anis (1959-1962)

Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih Usman, dan kemudian diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.

8. KH Ahmad Badawi (1962-1968)

KH Ahmad Badawi adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965. Citra politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut, karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan dengan adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis. Muham­madiyah sendiri kurang leluasa dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa Muham­madiyah hanya mampu mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama.

9. KH Faqih Usman (1968-1968)

 Faqih Usman banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang sangat membantu pengem­bangan Muhammadiyah. Dia pernah memimpin majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammadiyah Jawa Timur. Kegiatannya dalam Muhammadiyah memperluas jaringan pergaulan­nya, sehingga iapun terlibat aktif di berbagai organisasi masyarakat, seperti Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937.Pada tahun 1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada tahun 1945 dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya. Pada tahun 1959, dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas) bersama-sama dengan Buya Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad. Majalah ini memiliki ikatan yang erat dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil dalam Partai Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta. Dia duduk sebagai salah seorang Pengurus Besar Masyumi, dan pada tahun 1952 duduk sebagai Ketua II sampai dengan tahun 1960, yaitu pada saat Masyumi dibubarkan.Faqih Usman banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim Perdanakusumah sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Pada tahun 1951 ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat. Situasi politik di tanah air yang tidak stabil saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3 April l952 sampai 1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan Nahdhatul Ulama. K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan representasi kubu NU menuntut agar jabatan Menteri Agama diberikan kepada unsur NU. Namun, setelah diadakan pemungutan suara, ternyata Faqih Usman (representasi Masyumi) yang terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di tanah air, karena akhirnya justru mempercepat proses pemisahan Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA