Berikut ini merupakan salah satu kejahatan dunia maya adalah

Written by Super User on 29 November 2019. Hits: 118574

KEJAHATAN DUNIA MAYA (CYBERCRIME)

OLEH : SITI AISYAH, S. Ag, M. HP.

(Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo Kelas IA)

A.   PENDAHULUAN

            Perkembangan teknologi informasi telah menjadikan masyarakat lebih cenderung terjadi perubahan yang cepat di masyarakat.

            Berkenaan dengan pembangunan teknologi, kemajuan dan perkembangan teknologi informasi melalui internet, peradaban manusia dihadapkan pada fenomena-fenomena baru yang mampu mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia. [1]

            Perkembangan pesat internet telah menimbulkan berbagai sengketa dan konflik hukum yang cukup serius bagi pemakainya, banyak berbagai persoalan yang tidak terduga sebelumnya makin bermunculan.

            Maraknya penggunaan internet di berbagai bidang kehidupan sering menimbulkan persoalan-persoalan hukum seperti penipuan, pencurian, pembobolan dan merusak data dengan penyebaran virus, dll.

            Para Pengguna jasa internet kerap mengalami berbagai permasalahan, hal ini karena aturan main di dunia maya belum jelas, selain itu juga akibat kurang amannya sistem dalam pengaturan internet.

            Kenyataannya perkembangan dunia maya tak mungkin dapat dicegah, bukan saja lintas wilayah, tapi batas negara pun ditembusnya. Transaksi-transaksi yang dilakukan melalui media internet belum dapat dijangkau hukum[2], salah satu contohnya adalah E-mail Wakil Ketua MPR dibajak penipu untuk kepentingan sejumlah uang. (Jawa Pos, Selasa 28 Mei 2013) ;

            Pemberitaan di media massa tentang kasus-kasus tersebut begitu maraknya, sebab hal itu merupakan hal baru yang belum ada landasan hukumnya. Bila disimak, persoalannya justru terletak pada vakumnya regulasi hukum di bidang siber (cyber) atau internet. Ketiadaan aturan hukum internet membuat suburnya kejahatan atau pelanggaran.

  1. PERMASALAHAN
  2. Apakah undang-undang pidana kita mampu menjerat pelaku pidana yang dilakukan di dunia maya (cybercrime) ?
  3. Bagimana tindakan pemerintah untuk mengantisipasi hal tersebut?
  1. Bagaimanakah penerapan hukum kejahatan dunia maya di Indonesia terhadap kasus e-mail wakil MPR yang dibajak penipu ?

  1. PEMBAHASAN
  2. Bagaimanakah penerapan hukum kejahatan dunia maya di Indonesia terhadap kasus e-mail wakil MPR yang dibajak penipu ?

Istilah “cybercrime” merujuk pada suatu tindakan kejahatan yang berhubungandengan dunia maya (cyberspace) dan tindakan kejahatan yang menggunakankomputer. Ada ahli yang menyamakan tindakan kejahatan cyber (cybercrime) dengan tindakan komputer, dan ada ahli yang membedakan di antara keduanya.

Secara umum yang dimaksud kejahatan komputer atau kejahatan di dunia cyber (cybercrime) adalah upaya memasuki atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut.”[3]

Kejahatan dalam dunia maya (cybercrime) secara sederhana dapat diartikan sebagai jenis kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan media internet sebagai alat bantu.

Jenis-jenis kejahatan dalam kategori cybercrime diantaranya :

  1. Cyber-terorisme ;
  2. Cyber-pornography : penyebarluasan obscene materials termasuk pornography, indecent exposure, dan child pornography ;
  3. Cyber-harassment : pelecehan sexual melalui e-mail, websites, atau chats programs ;
    1. Cyber-stalking : crimes of stalking melalui penggunaan komputer dan internet ;
    2. Hacking : penggunaan programming abilities dengan maksud yang bertentangan dengan hukum ;
    3. Carding (credit-card fraud) ;

Ciri-ciri khusus cybercrime, yakni :

  1. Non violence (tanpa kekerasan) ;
  2. Sedikit melibatkan kontak fisik (minimize of physical contact) ;
  3. Menggunakan peralatan (equipment) dan teknologi ;
  4. Memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media dan informatika) global ; [4]

Dari ciri-ciri cybercrime ketiga dan keempat tersebut Nampak jelas bahwa cybercrime dapat dilakukan dimana saja, kapan saja serta berdampak kemana saja, seakan-akan tanpa batas (bordeless). Keadaan ini mengakibatkan pelaku kejahatan, korban, tempat terjadinya perbuatan pidana (locus delicti) serta akibat yang ditimbulkannya dapat terjadi pada beberapa negara, disinilah salah satu aspek transnasional/internasional dari kejahatan ini.

Kemajuan teknologi yang dipergunakan oleh pelaku kejahatan dalam cybercrime mengakibatkan timbulnya berbagai masalah hukum tersendiri dalam penanggulangannya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa “Perkembangan kedua yang mempunyai akibat yang besar sekali terhadap perkembangan masyarakat internasional dan hukum internasional yang mengaturnya ialah kemajuan teknologi. Kemajuan teknik dalam berbagai perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas Negara.”[5]

Dalam makalah ini Penulis mengambil contoh kasus yang dialami oleh Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saifuddin yang e-mail nya telah dibajak penipu untuk mendapatkan kepentingan dengan sejumlah uang dengan mengirimkan surat kepada kontak-kontak yang ada di e-mail milik Lukman Hakim Saifuddin (Jawa Pos, Selasa 28 Mei 2013) sebagaimana terlampir.

Berdasarkan pasal 26 ayat 2 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 yang berbunyi “setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini,” dalam hal ini, Lukman Hakim Saifuddin mempunyai hak untuk mendapatkan keadilan, dengan penerapan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang perbuatan yang dilarang, yang berbunyi :”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.” Dalam pasal ini pelaku yang membajak e-mail Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saifuddin telah menyebarkan berita bohong dengan unsur penipuan untuk mendapatkan kepentingan dengan sejumlah uang dengan mengirimkan surat kepada kontak-kontak yang ada di e-mail milik Lukman Hakim Saifuddin, sehingga pelaku dapat dikenakan pidana sebagaimana tertera dalam pasal 45 ayat 2 tentang ketentuan pidana Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 yang berbunyi “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyard rupiah).”

Dalam kasus yang menimpa Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin tersebut, pelaku kejahatan dunia maya yang membajak e-mail Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin juga dapat diterapkan dengan pelanggaran pasal 378 KUHP tentang penipuan yang berbunyi “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoendanigheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”[6]

Ketentuan pidana yang terdapat dalam KUHP pasal 378 tersebut disebutkan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, akan tetapi dalam pasal 45 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 disebutkan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.

  1. Apakah undang-undang pidana kita mampu menjerat pelaku pidana yang dilakukan di dunia maya (cybercrime) ?

Sehubungan dengan perangkat perundang-undangan dalam mengantisipasi maraknya kejahatan dengan menggunakan internet (cybercrime), undang-undang pidana kita belum mampu menjerat pelaku tindak pidana yang dilakukan di dunia maya (cybercrime).

Sekalipun perangkat hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah dimiliki Indonesia, namun peraturan itu masih belum cukup mampu menjerat pelaku tindak pidana di internet, apalagi dalam pasal 1 KUHP disebutkan “tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu ketentuan Undang-Undang.” Asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia lege).

Dari segi kepastian hukum, memang asas nullum delictum seyogyanya dipegang teguh, tetapi dari sisi rasa keadilan tampaknya asas ini sering mengundang silang pendapat, apalagi bila dalam hal ini hakim dalam memeriksa perkara tidak menggunakan kewajibannya untuk menggali hukum (rechtsvinding) lantaran berpatokan pada asas pidana yang menekankan perlunya perumusan delik (kriminalisasi) terlebih dahulu.         

Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu :

a). Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

b). Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.

c). Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[7]

Selain pasal 1 KUHP tersebut, kesulitan hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana yang dilakukan di dunia maya berkaitan dengan masalah pembuktian, karena hukum positif Indonesia mengharuskan adanya alat bukti, saksi, keterangan ahli serta terdakwa dalam pembuktian, sedangkan dalam hal kejahatan terkait dengan teknologi informasi sulit dilakukan pembuktiannya.[8]

Dalam hal pembuktian terhadap kejahatan dunia maya, telah disebutkan pada pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-Undang nomer 11 tahun 2008.

Mengenai hal ini Soedjono Dirdjosisworo menyatakan :”Perubahan dan penyesuaian soal serta perkembangan teknologi selama setengah abad sejak 1958 (Undang-Undang nomor 73 tahun 1958) demikian pesatnya, dan kepesatan perkembangan social dan teknologi serta semakin berpengaruhnya globalisasi yang terus didorong oleh teknologi informasi dan komunikasi sangatlah terasa bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah sejak lama tidak mampu secara sempurna mengakomodasi dan mengantisipasi kriminalitas yang meningkat, baik kualitatif maupun kuantitatif dengan jenis, pola dan modus operandi yang tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (contoh menonjol adalah cybercrime).”[9]

Ketiadaan Undang-Undang yang menjadi penyebab tidak dapat dihukumnya pelaku kejahatan tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, karena apabila hal ini tidak segera diselesaikan akan menimbulkan keresahan di masyarakat dan pada akhirnya hukum akan kehilangan wibawanya.

            Dengan memperhatikan hal-hal sebagaimana dikemukakan diatas nampak jelas bahwa kebutuhan perundang-undangan baru yang mengatur mengenai kejahatan di dunia maya (cybercrime) sudah tidak dapat ditunda-ditunda lagi, dimana dibutuhkan perubahan terhadap hukum pidana Indonesia berkaitan dengan munculnya kemajuan teknologi informasi (pengkajian dari aspek politik hukum).

            Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan penyesuaian materi hukum sebagai konsekuensi terhadap perubahan perundang-undangan, yaitu ius constitutum (hukum yang berlaku), perubahan masyarakat dan ius constituendum (hukum yang harus ditetapkan).[10]

  1. Bagimana tindakan pemerintah untuk mengantisipasi hal tersebut?

Guna menindaklanjuti tuntutan globalisasi serta kemajuan teknologi informasi yang menghendaki segala aktivitas manusia berlangsung dengan cepat, transparan serta tanpa dibatasi oleh wilayah (bordeless), maka dewasa ini pembaharuan hukum pidana sebagai bagian kebijakan hukum pidana telah diupayakan oleh berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi maupun pemerintah melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang masih terus diolah.

   Pembaharuan hukum pidana (penal reform) harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, oleh karena pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari suatu kebijakan. Pendekatan kebijakan sebagai bagian dari kebijakan sosial, kebijakan penegakan hukum (substansi hukum), pendekatan nilai-nilai social politik dan kebijakan kriminal.

Berkenaan dengan peran Hukum Pidana terhadap perkembangan teknologi informasi, maka perlu diperhatikan beberapa hal penting sebagai upaya penyempurnaan terhadap ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, antara lain daya berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana harus diperluas, sehingga tidak hanya mengacu pada asas/prinsip yang selama ini dianut dalam pasal 2- pasal 9 KUHP yaitu asas personal, asas territorial dan asas universal. Untuk merumuskan dan menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dapat dikenai sanksi pidana dan untuk menjerat pelaku tindak pidana yang melakukan kejahatan di dunia maya (cybercrime) dapat digunakan lembaga penafsiran hukum (interpretasi) Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan kekosongan hukum.

  1. KESIMPULAN

                 Era globalisasi dan teknologi informasi membawa pengaruh terhadap munculnya berbagai bentuk kejahatan yang sifatnya baru (cybercrime), merupakan suatu fenomena yang memerlukan penanggulangan secara cepat dan akurat.

                   Perubahan terhadap beberapa ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mengatasi jenis kejahatan baru (cybercrime).

                   Dengan diperlakukannya berbagai perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional diharapkan sebagai akibat dari timbulnya berbagai perubahan dalam masyarakat akan berdampak pada pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum.

Berbagai kasus pelanggaran hukum melalui media internet kini kerap terjadi di Indonesia, negeri yang merupakan negara hukum (recht-staats). Kelemahan hukum sering dijadikan kambing hitam, sehingga banyak perbuatan pidana terlepas dari jerat hukum.

Hukum itu sangat dinamis, hukum bukan barang mati dan tidak matematis. Soal kebenaran dalam hukum tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi kelompok, karena hukum itu pada hakekatnya harus dapat merespons rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat. Hukum bukan hanya sekedar permainan pasal-pasal secara legalitas, akan tetapi hukum harus mengikat secara sosiologis.

Bila suatu aturan hukum belum ada peran hakim harus diutamakan, hakim tidak boleh bersikap pasif, tetapi hakim harus menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana terkandung dalam pasal 27 (1) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman nomor 14 tahun 1970.

  1. DAFTAR PUSTAKA
    1. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT.Bumi Aksara, Jakarta, cetakan kedua puluh dua, 2003 ;
    2. Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ;
    3. Iman Sjahputra, Problematika Hukum Internet Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta, Juni 2002 ;

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT.Refika Aditama, Bandung, 2005.


[1] Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum dan Teknologi Informasi, Bandung, 2005, hal. 2.

Apa saja kejahatan di dunia maya?

Beberapa contoh kejahatan siber atau cyber crime adalah penipuan lelang secara online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit/carding, confidence fraud, penipuan identitas, pornografi anak, dan lain sebagainya.

Apa itu kejahatan dunia maya dan contohnya?

Cyber crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh penjahat dengan menggunakan teknologi komputer dan internet untuk menyerang sistem informasi korban. Contoh: meretas jejaring sosial, menyusup ke perangkat teknologi dan data korban. Kemudian wipe akun atau saldo kartu kredit korban.