Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk brainly

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk brainly
MK RI

Tafsir terhadap prinsip “penguasaan oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 terus mengalami perkembangan dialetikanya. Mulanya tafsir tersebut muncul melalui Putusan MK 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan a quo, frasa “dikuasai oleh negara” diterjemahkan melalui urain sebagai berikut:

“Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal demikian sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang undang dasar. Sekiranya pun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazimnya di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena itu, pengertian “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi menjadi hanya kewenangan negara untuk mengatur perekonomian. Dengan demikian, baik pandangan yang mengartikan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, keduanya ditolak oleh Mahkamah.

Argumentasi tersebut menunjukkan bahwa pengertian dalam frasa “penguasaan oleh negara” merupakan konsepsi hukum publik. Konsepsi ini terkait dengan prinsip daulat rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Bila, pengertian “dikuasai oleh negara” hanya dimaknai sebagai kepemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, terlebih lagi “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Atas dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap frasa ini. Lebih lanjut, berikut penjelasan MK terhadap prinsip penguasaan oleh negara.

Bahwa berdasarkan uraian tersebut, pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.

Kerangka tafsiran tersebut secara saksama memberikan pengertian bahwa wujud hak “penguasaan oleh negara”, bila – negara casu quo pemerintah – mengadakan kekuasaan mengatur (regelendaad), mengurus (bestuuradaad), mengelola (beheersdaad), mengawasi (toezichthoedensdaad). Uraian ini mengemukakan perihal bahwa negara harus terlibat aktif sejak dari pengaturan, pengurusan, pengelolaan, hingga pada fungsi pengawasan dalam penyelenggaran sumber daya alam. Persoalannya kemudian adalah apakah empat bentuk (mengatur, mengurus, mengelola dan mengawasi) dari prinsip “penguasaan oleh negara” dimaknai secara kumulatif atau hanya alternatif.

Menurut tafsir Mahkamah Konstitusi, yang telah diuraikan sebelumnya, menyatakan bahwa ukurannya adalah “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Artinya, keempat bentuk “penguasaan oleh negara” dapat dimaknai sebagai pilihan alternatif, asalkan berorientasi pada “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Akan tetapi seyogianya keempat bentuk tindakan dalam prinsip tersebut dipatuhi secara komprehensif.

Mahkamah Konstitusi lantas memberikan tolok ukur terhadap unsur “kemakmuran rakyat”, yang menjadi tujuan dari tindakan “penguasaan oleh negara”. Kriteria tersebut dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan a quo dikemukakan empat tolok ukur. Kempat tolok ukur yaitu:

  1. kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat.
  2. tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat
  3. tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta
  4. penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Keempat parameter tersebut wajib dijadikan dasar bila salah satu dari keempat bentuk prinsip “penguasaan oleh negara” (mengatur, mengurus, mengelola dan mengawasi) ada yang dikhususkan atau didahulukan. Tolok ukur tersebut sebenarnya merupakan bentuk antisipasi MK bila ada upaya penegasian terhadap tujuan “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Perkembangan selanjutnya terkait dengan prinsip “penguasaan oleh negara” dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi merumuskan bahwa untuk mewujudkan tujuan penguasaan negara yaitu “sebesar-besarya kemakmuran rakyat”, jika keempat bentuk penguasaan oleh negara tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, maka harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Mahkamah Konstitusi, bentuk “penguasaan oleh negara” diberi peringkat berdasarkan kemampuan negara menghadirkan kemakmuran rakyat. Peringkat pertama dan yang paling penting dari bentuk penguasaan oleh negara adalah melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan guna mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun peringkat terakhir dari bentuk penguasaan negara adalah negara melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan.

Dari konstruksi pemaknaan secara berjenjang tersebut, memperlihatkan upaya Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 33 UUD 1945 secara komprehensif, sehingga tujuan penguasaan negara, “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” termanifestasikan dengan baik.

Perkembangan pemaknaan tafsir atas prinsip “penguasaan oleh negara” melalui Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 terus mengalami reformulasi. Perumusan ulang tersebut adalah bentuk keseriusan Mahkamah Konstitusi untuk memantapkan tarcapainya tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan demikian, ke depannya diharapkan agar supaya seluruh pihak terkait dengan Pasal 33 UUD 1945, tidak mengalami kesulitan dalam mengejawantahkan prinsip penguasaan oleh negara.