Contoh pelanggaran UU No. 24 Tahun 2009 tentang bahasa

Mural tentang bahasa Indonesia. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Mural tentang bahasa Indonesia. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Bogor (ANTARA News) - Balai Bahasa Jawa Barat menemukan banyak pelanggaran terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar yang dilakukan pemerintah, swasta, sekolah, maupun media massa. Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat, Sutedjo, dalam penyuluhan bahasa Indonesia bagi penggiat media massa se-Kota Bogor di Balai Kota, Rabu, menyebutkan, Indonesia memiliki UU Nomor 24/2009 tentag tentang Lagu Kebangsaan, Lambang Negara, dan Bahasa. "Undang-undang ini mengatur penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, pada pasal 36 banyak yang dilanggar oleh masyarakat kita, dari nama jalan, nama gedung, perkampungan, rambu-rambu umum dan pentunjuk jalan," katanya. Banyak juga nama program kerja atau gerakan yang digagas pemerintah masih memakai bahasa asing, di antaranya Car Free Day padahal bisa di-indonesia-kan menjadi Hari Tanpa Kendaraan Bermotor, atau Traffic Management Centre oleh polisi, bisa di-indonesia-kan menjadi Pusat Tata kelola Lalu-lintas.  Ia memberi contoh seperti penggunaan istilah asing di sejumlah hotel, di antaranya kata toilet (peturasan), exit (keluar) untuk petunjuk jalan keluar, maupun penggunaan nama hotel, semisal Salak Tower, Botani Square, dan masih banyak lagi.  Beberapa temuan lain juga terjadi di sekolah-sekolah yang menulis ucapan selama datang di sekolah dengan bahasa asing, di antaranya kata welcome to, atau penulisan papan nama pimpinan perusahaan, menjadi director, supervisor, head communication and publication, vice president communication and marketing, dan masih banyak lain. Hal ini terjadi bukan cuma di perusahaan swasta melainkan juga BUMN yang sebagian besar kiprah dan pasarnya justru di dalam negeri.   "Seperti Kementerian Kehutanan itu yang benarnya Kementerian Kehutanan atau Perhutanan?," tanyanya. Dalam teknik bahasa Indonesia bentuk dan pilihan kata dalam paradigma pembentukan kata yang lain, kehutanan dan perhutanan adalah dua kalimat yang berbeda. Kehutanan artinya hanya mengurus tentang hutan, seperti menanam pohon. Sementara aktivitas perhutanan juga mengurus kegiatan di perkebunan, dan segala hal yang berkaitan dengan hutan. Demikian pula halnya di media massa, masih banyak terjadi kesalahan penulisan seperti pemukiman dan permukiman. Dalam KBBI pemukiman adalah orang yang bermukim, sedangkan permukiman adalah tempat bagi orang bermukim. Contoh lainnya media massa kerap salah dalam penulisan bentuk dan pilihan kata seperti memenangi dan memenangkan. Memenangi artinya menang dalam, sedangkan memenangkan membuat orang lain kalah. Menurut Sutedjo banyaknya pelanggaran dalam penggunaan Bahasa Indonesia salah satunya karena masih rendahnya literasi di masyarakat Indonesia. "Indonesia itu berada di peringkat 60 dari 61 negara untuk tingkat literasinya," katanya. Sutedjo yang juga dosen di Fakultas Hukum Trisaksi ini menganalogikan negara-negara maju yang tingkat membacanya (literasi) tinggi mayoritas bukan beragama Islam.  "Padahal surah pertama Al Quran yang diturunkan berbunyi 'bacalah' (iqra), artinya Islam mengajarkan umatnya untuk membaca dalam artian belajar," katanya. Lebih lanjut Sutedjo mengatakan, media massa memiliki peran penting dalam menyebarluaskan informasi terutama dalam mengedukasi masyarakat untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kondisi saat ini penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mulai tergerus oleh pengaruh bahasa asing, begitu pula dengan bahasa daerah yang mulai menghilang. "Sudah menjadi hukum alam bahasa besar (superior) akan mengalahkan bahasa yang kecil (inferior). Seperti bahasa daerah yang inferior akan kalah dengan bahasa Indonesia yang superior, begitu pula bahasa Inggris yang superior, akan mengalahkan bahasa Indonesia yang inferior," kata Sutedjo. Pemerintah Kota Bogor bersama Balai Bahasa Jawa Barat memberikan penyuluhan bahasa Indonesia bagi penggiat media massa Sekota Bogor mengangkat tema "Peningkatan Pengetahuan Kebahasaan untuk Menunjang Profesionalitas Jurnalis". Sutedjo menambahkan tidak ada pengawas dalam penggunaan bahasa Indonesia, undang-undang tidak mengatur hal itu, sehingga pelanggaran bahasa tersebut belum bisa ditindak. Perlu komitmen pemerintah daerah untuk melindungi dan melestarikan Bahasa Indonesia, karena Pemerintah Indonesia mendorong bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. "Menghadapi MEA agar tenaga kerja kita bisa bersaing, kita harusnya menerapkan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur orang asing harus menggunakan bahasa Indonesia saat bekerja di dalam negeri. Ini sudah diterapkan pemerintah Provinsi Jawa Tengah," katanya.

Pewarta: Laily RahmawatiEditor: Ade P Marboen

COPYRIGHT © ANTARA 2017

Terkait

Baca juga

Terpopuler

Senin , 05 Oct 2015, 13:00 WIB

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Kegalauan Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia sedang galau? Barangkali pertanyaan awal itu akan muncul di benak pembaca saat membaca judul artikel ini. Ya, bahasa Indonesia tengah mengalami kegalauan yang luar biasa. Apa pasal? Sebab, para penutur asli bahasa tersebut sedang keranjingan berbahasa Inggris ria. Buktinya, kosakata-kosakata bahasa Inggris kini banyak bertaburan di ruang publik kita. Pertanyaannya, bagaimana caranya agar kita bisa menghapus kegalauan tersebut?

Prof Ismet Fanany dari Universitas Deakin, Australia, berkomentar bahwa dirinya dan para pengajar bahasa Indonesia di luar negeri bingung akan penggunaan bahasa Indonesia oleh orang Indonesia saat ini. Pasalnya, kita selaku penutur asli bahasa Indonesia lebih bangga menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Apa buktinya? Lihat saja iklan-iklan di media massa dan reklame di jalanan yang kesemuanya didominasi bahasa Inggris. 

Selain itu, penggunaan bahasa Inggris di ranah umum, seperti halnya iklan di media cetak dan elektronik, reklame, spanduk, dan lain-lain, dianggap telah melanggar pasal 38 dan 39 ayat (1) UU No 24 Tahun 2009. Dalam pasal tersebut dinyatakan, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum serta dalam informasi melalui media massa.

Alih-alih menaati peraturan di atas, yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat Indonesia, sekali lagi, begitu keranjingan berbahasa Inggris ria. Dosen dan mahasiswa jurusan bahasa Indonesia, berdasarkan pengamatan saya, lebih suka mengucapkan kata-kata, seperti download, print, upload, online, dan website. Mereka kurang (atau tidak?) terbiasa mengucapkan padanan kata dalam bahasa Indonesia kata-kata itu, seperti unduh, cetak, unggah, daring, dan laman.

Jangankan masyarakat umum, dosen dan mahasiswa jurusan bahasa Indonesia saja ternyata lebih senang berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Maka, wajarlah jika kegalauan bahasa Indonesia harus "diobati" dimulai dari ranah pendidikan, khususnya LPTK yang mencetak guru bahasa Indonesia. Barulah kemudian, "obat" kegalauan bahasa Indonesia "disuntikkan" ke masyarakat umum selaku pengguna bahasa Indonesia.

Perlu sanksi tegas

Hingga kini, kita telah memiliki dua produk hukum yang terkait dengan bahasa Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, khususnya Pasal 36 dan Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Keduanya secara tegas menyatakan, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara. Dan, oleh karena itu, dalam seluruh aspek kehidupan di Indonesia wajib menggunakan bahasa tersebut.

Tetapi, sayangnya kedua produk hukum itu banyak sekali dilanggar oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Akibatnya, seperti diprediksi oleh Prof George Quinn dari Universitas Nasional Australia (ANU), kedudukan bahasa Indonesia belum kokoh di negeri ini. Mulai dari presiden, pejabat negara, hingga masyarakat kita sedang keranjingan berbahasa Inggris ria. Ditambah lagi dengan nihilnya sanksi tegas atas penggunaan bahasa Inggris secara meluas belakangan.

Saya pikir, pihak pemerintah pusat dan daerah/provinsi (pemda/pemprov) perlu merumuskan sanksi yang tegas dan berefek jera bagi pihak-pihak yang melanggar atas kedua produk hukum tadi. 

Akhir kata, pemberian sanksi tegas dalam rangka menaati Pasal 36 UUD '45 dan Pasal 25 hingga Pasal 45 UU No 24 Tahun 2009 perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Tanpa itu, saya kira, kegalauan bahasa Indonesia makin menjadi-jadi akibat masyarakat Indonesia tengah keranjingan berbahasa Inggris ria. Pertanyaannya kini, jika tidak kita yang lebih bangga berbahasa Indonesia, lantas siapa? Dan jika tidak sekarang dilakukan, lantas kapan?

Sudaryanto

Dosen Mata Kuliah BIPA & Sejarah dan Politik Bahasa Nasional PBSI 

Jakarta, Gatra.com - Ketua Ombudsman RI, Amzulian Rifai, menilai penggunaan bahasa Indonesia terbilang menyedihkan dalam 10 tahun terakhir pascadisahkannya Undang-Undang (UU) 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

"Hasil dari temuan Ombudsman pada waktu itu, memang penggunaan bahasa Indonesia di ranah publik ya mungkin terlalu jauh kalau bisa dikatakan menyedihkan. Mungkin belum sesuai dengan harapan kita," katanya dalam seminar bertajuk "Satu Dekade UU Nomor 24 Tahun 2009 dan Lanskap Kebahasaan dan Kesastraan Terkini" di Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (21/10).

Amzulian mengatakan, banyak sekali temuan penggunaan bahasa asing di ruang publik baik yang secara utuh maupun bahasa asing yang digabungkan dengan bahasa Indonesia.

Fenomena tersebut tak lepas dari polah penguasa yang menurutnya tidak konsisten dan konsekuen dalam menjalankan Undang-Undang mengenai kebahasaan sehingga dampaknya, masyarakat menjadi lebih bangga menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia.

"Ya kalau kelakuan pemerintahnya tidak konsisten dan konsekuen cuman bagus di pidato saja, menurut saya, problem juga ya, kita lihat nih berapa banyak orang bangga memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah yang justru tidak menggunakan bahasa Indonesia ya kan? Begitu kira-kira," ujarnya.

Untuk itu, pemerintah di setiap tingkatan perlu lebih bekerja keras dan konsisten untuk mengimplementasikan UU Nomor 24 Tahun 2009 di setiap tingkatan, baik pemerintah pusat maupun daerah.

"Komitmen itu menurut saya harus dimiliki di semua tingkatan, baik itu di tingkat pusat, provinsi, kabupaten atau kota hingga kecamatan, kalau mau undang-undang ini tidak sekadar hukum yang tertulis saja," ujarnya.

Reporter: ARH

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA