Contoh rekayasa genetika dalam bidang pangan

Contoh rekayasa genetika dalam bidang pangan

Produk rekayasa genetik (PRG) atau sering disebut transgenik memang sempat menimbulkan pro dan kontra. Bahkan pemerintah Indonesia juga tak berani melepas begitu saja peluncuran produk hasil bioteknologi tersebut.

Dengan perkembangan teknologi pertanian, ternyata PRG menjadi salah satu jalan untuk mengatasi persoalan yang hingga kini belum teratasi. Misalnya, tahan terhadap iklim dan hama.

Di dunia adopsi tanaman bioteknologi terus mengalami peningkatan. Misalnya, pada 2011 luas areal pertanaman bioteknologi sudah mencapai 160 juta hektar (ha). Luasan lahan tersebut tumbuh 8{f96eda6f8618a63bcc95c2e2e67272e5834b316e5a9a9c3aeb9c545dc6b63cdc} dari tahun 2010 yang hanya 148 juta ha. Jumlah petani yang menanam mencapai 16,7 juta petani, berada di 29 negara (19 negara berkembang dan 10 negara industri).

Dari beberapa tanaman bioteknologi yang berkembang, tanaman jagung yang paling banyak berkembang. Di China, tanaman jagung menjadi prioritas. Ini karena permintaan jagung sebagai pakan ternak berkembang cepat. Di Eropa lahan jagung bioteknologi juga berkembang pesat. Pada 2011 luas jagung Bt sudah mencapai 114.490 ha atau naik lebih dari 25{f96eda6f8618a63bcc95c2e2e67272e5834b316e5a9a9c3aeb9c545dc6b63cdc} dibandingkan 2010.

Sementara Pemerintah Indonesia baru mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 61/2011 tentang Pelepasan Varietas Tanaman. Tapi hingga kini belum menampakkan perkembangan yang nyata. Padahal di tingkat petani desakan penerapan produk hasil bioteknologi terus meningkat.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir mengatakan, bioteknologi atau rekayasa genetik masih merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan produksi komoditas pangan, terutama dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim.

“Bioteknologi adalah teknologi masa depan dan mutlak harus dilakukan. Sekarang ini kita tidak bisa mengandalkan lagi secara tradisional,” katanya dalam diskusi Bioteknologi, Tak Kenal, Maka Tak Sayang yang diselenggarakan Masyarakat Bioteknologi Pertanian Indonesia (MASBIOPI). Kegiatan tersebut merupakan salah satu rangkaian Pekan Nasional (PENAS) Petani-Nelayan XIV.

Apalagi menurut Winarno, produk komoditas pangan hasil rekayasa genetik yang berasal dari impor sudah banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia sejak 5-10 tahun lalu. Misalnya, kedelai untuk bahan baku tahu dan tempe, jagung untuk bahan baku pakan. “Produk-produk tersebut merupakan hasil rekayasa genetik,” katanya.

Dari informasi ungkap Winarno, kedelai dan jagung impor tersebut tahan terhadap perubahan iklim. Karena itu, banyak petani Indonesia menginginkan produk rekayasa genetik itu bisa ditanam di dalam negeri. “Sayangnya, masih banyak tantangan, baik dari praktisi maupun pemerintah,” sesalnya. Padahal lanjut Winarno, petani sudah siap untuk membudidayakan tanaman hasil rekayasa genetik tersebut.

Desakan menerapkan produk rekayasa genetik (PRG) juga datang dari Ketua KTNA Pati, Jawa Tengah, Suraji. “Kami petani siap mengembangkan tanaman hasil bioteknologi. Tapi persoalannya, di Indonesia belum ada ijin baik pangan dan pakan dari pemerintah. Banyak yang kontra terhadap produk ini, seakan-akan membahayakan,” sesalnya.

Sumber : Tabloid Sinar Tani

Contoh rekayasa genetika dalam bidang pangan

Genetically Modified Organism (GMO) merupakan organisme yang gen-gennya telah diubah dengan menggunakan teknik rekayasa genetika. Produk rekayasa genetika diklasifikasikan menjadi 4 macam, yaitu generasi pertama: satu sifat; generasi kedua: kumpulan sifat; generasi ketiga dan keempat: near-intragenic, intragenic, dan cisgenic. Adapun produk rekayasa genetika pada tanaman di Indonesia di antaranya adalah padi, tomat, tebu, singkong, dan kentang (Prianto dan Yudhasasmita, 2017).

Dalam SNI 6729:2016 tentang Sistem Pertanian Organik disebutkan bahwa benih dari hasil GMO tidak diperkenankan untuk digunakan. Selain benih, GMO tidak diperbolehkan untuk digunakan sebagai bahan pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT), tidak diperbolehkan untuk pakna hewan ternak yang kotorannya digunakan untuk bahan pembuatan pupuk, tidak diperbolehkan menggunakan mikroorganisme yang berasal dari GMO, dan bakteri pengurai/dekomposer bukan merupakan GMO.

            Sampai saat ini produk GMO masih menjadi sebuah kontroversi. Produk GMO dianggap dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan, lingkungan, agama, psikologi, dan lain-lain. Dengan penggunaan produk GMO, dikhawatirkan dapat terjadi mutasi tidak terduga pada objek dan memberik dampak pada lingkungan sekitarnya yang menyebabkan kondisi tidak terkendali. Dengan kondisi tersebut tentu berpotensi untuk mengganggu ekosistem.

Hal tersebut bertolak belakang dengan prinsip sistem pertanian organik. Dalam SNI 6729:2016 tercantum definisi sistem pertanian organik adalah sistem manajemen produksi yang holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus, biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan penerapan praktek-praktek manajemen yang lebih mengutamakan input dari limbah kegiatan budidaya di lahan, dengan mempertimbangkan daya adaptasi terhadap keadaan/kondisi setempat. Jika memungkinkan hal tersebut dapat dicapai dalam penggunaan budidaya, metoda biologi dan mekanik, yang tidak menggunakan bahan sintesis untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam sistem. Tujuan utama dari pertanian organik adalah untuk mengoptimalkan produktivitas komunitas organisme di tanah, tumbuhan, hewan dan manusia yang saling tergantung satu sama lain.

Pertanian organik sangat mendorong untuk penggunaan input lokal dengan mengembangkan pertanian terintegrasi yang mana bermuara pada zero waste dengan memanfaatkan kembali limbah lahan. Oleh karena itu, GMO yang masih menjadi kontroversi ini tidak diperbolehkan masuk di dalam pengelolaan sistem pertanian organik.

Penulis: Ratriani Puspita Hastuti, S.T.P. (Pengawas Mutu Hasil Pertanian Ahli Pertama Daerah Istimewa Yogyakarta)

Referensi:

Prianto, Yuwono dan Swara Yudhasasmita. 2017. Tanaman Genetically Modified Organism (Gmo) dan Perspektif Hukumnya di Indonesia. Jakarta. Universitas Islam Negeri Jakarta

SNI 6729:2016 tentang Sistem Pertanian Organik

Pemanfaatan metode rekayasa genetika pada proses produksi makanan seperti kedelai, buah-buahan dan sayuran melahirkan dua kelompok besar yang berseberangan secara global.

Kelompok investor industri pangan dan sebagian peneliti mendukung genetically modified organism (GMO) dan produk rekayasa genetika (PRG) sebagai solusi ketahanan pangan dan pemeliharaan sumber daya lingkungan dari serangan hama.

Di sisi lain, peneliti independen, pengamat lingkungan, dan konsumen mengkhawatirkan risiko baru dari pangan PRG seperti alergi makanan, kenaikan resistansi antibiotik, dan dampak kesehatan manusia yang tidak diinginkan lainnya. Lalu bagaimana sebenarnya persepsi masyarakat Indonesia terhadap produk rekayasa genetika?

Riset terbaru kami, yang dilakukan pada 21 Mei 2020 hingga 15 Juni 2020 pada 276 responden berusia 16 hingga 57 tahun, menunjukkan mayoritas responden ragu-ragu untuk membeli pangan PRG (71,3%). Bahkan, ada responden yang tidak akan membeli jika tahu produk itu adalah pangan hasil rekayasa genetika (7,9%).

Join 175,000 people who subscribe to free evidence-based news.

Namun kenyataannya tempe dan tahu yang diproduksi di Indonesia mayoritas (lebih dari 70%) menggunakan kedelai impor PRG dari Amerika. Dari dua jenis responden tersebut, semuanya mengkonsumsi tempe dan tahu. Namun, 90% responden tersebut tidak menyadari mengkonsumsi tempe dan tahu yang kemungkinan besar adalah pangan PRG.

Sebagai contoh pada 2016, lebih dari 2 juta ton kedelai yang merupakan hasil rekayasa genetika yang diimpor dari Amerika Serikat untuk kebutuhan konsumsi serta produksi tahu dan tempe. Ini artinya sebagian besar tempe dan tahu yang beredar di pasar Indonesia berbahan kedelai yang telah direkayasa gennya karena produksi kedelai dalam negeri hanya 860 ribu ton.

Rekayasa genetika

GMO adalah organisme, baik hewan, tanaman, maupun mikroorganisme yang telah diubah material genetiknya (DNA) secara sengaja, bukan secara alamiah. Sementara PRG merupakan produk yang diproduksi dari atau menggunakan GMO.

Sebenarnya, nenek moyang kita telah merekayasa genetika secara sederhana yaitu mengawinkan silang tanaman untuk mendapatkan ciri yang diinginkan. Sebagai contoh, dulu jagung hanya merupakan rumput liar bernama teosinte yang berbiji kecil dan tidak banyak isinya. Namun, nenek moyang kita telah berusaha untuk mendapatkan jagung yang sekarang kita kenal.

Di Indonesia, keamanan pangan PRG telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 21 Tahun 2005. Namun, payung hukum untuk komersialisasi PRG belum tersedia karena Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian belum menyelesaikan Pedoman Pengawasan dan Pengendalian PRG sebagai payung hukum pengawasan sesuai amanat PP No. 21/2005. Sehingga, para petani belum bisa menanam tanaman bioteknologi ini, sementara masyarakat masih mengkonsumsi PRG impor.

Sejauh ini, PRG di Indonesia masih dalam tahap pengembangan antara lain padi tahan kekeringan, padi tahan garam, padi produktivitas tinggi, tomat tahan virus, dan tomat berbiji sedikit.

PRG ini dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Kementerian Pertanian atau Indonesian Center for Agricultural Biotechnology and Genetic Resources Research and Development (ICABIOGRAD). Banyak produk lainnya seperti pepaya, tebu gula serta singkong yang juga dimodifikasi oleh institusi lainnya.

Pandangan masyarakat terhadap pangan PRG

Riset kami menggunakan kuesioner online untuk mendapatkan gambaran umum dan preferensi konsumen terhadap produk rekayasa genetika. Walau pangan PRG telah biasa dikonsumsi, survei kami menunjukkan masyarakat cenderung menjadi ragu untuk mengonsumsi suatu produk saat mengetahui bahwa produk tersebut adalah PRG.

Dari survei online, kami temukan sebagian besar responden (70,1%) sudah mengetahui informasi mengenai PRG. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi rekayasa genetika sudah menjadi pengetahuan umum di masyarakat. Pada saat menemukan PRG, hanya sekitar 20,8% responden akan membeli produk tersebut dengan alasan utama mereka merasa kualitas PRG lebih baik dari segi rasa, warna, dan bau. Sebaliknya, hanya sebagian kecil responden (7,9%) menyatakan tidak akan membeli PRG dengan alasan utama pengetahuan mereka terhadap PRG.

Menariknya, mayoritas responden (71,3%) menjawab “ragu-ragu” untuk membeli produk rekayasa genetika. Hal ini menandakan bahwa mereka bimbang antara ingin membeli atau tidak, dan pola pemikiran ini utamanya didasari oleh adanya pengetahuan mereka terhadap PRG.

Permasalahan yang kemudian timbul adalah apakah pengetahuan yang diperoleh tersebut sudah tepat atau malah keliru?

Menangkal isu dampak negatif PRG

Walau PRG telah banyak dikonsumsi di Indonesia, ada berapa misinformasi terkait dampak produk ini yang perlu diluruskan.

Salah satunya adalah bahwa mengkonsumsi produk berbasis PRG akan menyebabkan efek alergi. Efek ini dapat disebabkan oleh perpindahan gen dari organisme penyebab alergi ke organisme yang tidak menyebabkan alergi. Oleh sebab itu, WHO tidak menyarankan untuk membuat PRG dari organisme penyebab alergi kecuali dapat dibuktikan tidak menyebabkan alergi. Namun hingga saat ini belum ada efek alergi yang ditemukan pada pangan rekayasa genetika yang dipasarkan.

Bahkan dengan adanya modifikasi, PRG dapat dihilangkan sifat penyebab alerginya. Salah satu contohnya adalah produk gandum bebas protein gluten.

Isu lainnya adalah bahwa mengkonsumsi produk PRG akan menyebabkan resistansi antibiotik.

Isu tersebut disebabkan oleh perpindahan gen dari PRG yang proses pembuatannya menggunakan gen resistansi antibiotik sebagai penanda selama proses modifikasi genetik. Para peneliti kemudian dapat menggunakan penanda untuk memilih gen baru dengan sifat yang diinginkan.. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan risiko resistansi antibiotik akibat mengonsumsi PRG sangat rendah.

Permasalahan lain yang juga gencar diperdebatkan adalah perpindahan silang tanaman PRG dengan tanaman non-PRG. Hal tersebut mengkhawatirkan karena secara tidak langsung dapat mempengaruhi keamanan dan ketahanan pangan, seperti tidak terkendalinya hasil persilangan dan menurunkan keanekaragaman tanaman. Kondisi ini berujung pada penurunan kesediaan pangan.

Namun, hasil riset menunjukkan transfer gen dari tanaman PRG sangat rendah. Terlebih lagi, tanaman PRG dapat meningkatkan kesediaan pangan.

Gen tanaman PRG dapat secara tidak sengaja tercampur dalam pakan juga merupakan salah satu keresahan dalam bidang peternakan. Gen PRG dikhawatirkan terkandung dalam produk peternakan (telur, susu, dan daging) yang dikonsumsi manusia. Kenyataannya, tidak terjadi perpindahan gen PRG dari pakan ke ternak, dan gen PRG tidak memengaruhi produk peternakan.

Untuk mengatasi isu-isu tersebut, beberapa negara (seperti Australia) memakai strategi mengurangi lahan campuran atau memisah lahan tanaman rekayasa dengan yang alami.

Salah satu penyakit kronis yang juga ditakuti masyarakat adalah kanker. Penyakit tersebut juga sering menjadi pertanyaan bila mengkonsumsi PRG dalam waktu yang lama. Hingga saat ini belum ada bukti jelas bahwa pangan rekayasa genetika dapat menyebabkan kanker.

Selain menelisik pada bahan pangan yang langsung dikonsumsi manusia, para peneliti juga berusaha mencari pengaruh pakan PRG terhadap kesehatan hewan yang akan menjadi gambaran terhadap kesehatan manusia. Dari beberapa hasil riset pada beberapa produk PRG (kentang, jagung, kedelai, beras, timun, tomat, paprika, kacang polong, dan canola) terhadap beberapa hewan pada jangka waktu lama, tidak ada risiko kesehatan signifikan dari produk PRG.

Ketahanan pangan

Tingginya permintaan bahan pangan, seperti kedelai, yang tidak diimbangi oleh laju produksi dan juga adanya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena COVID-19 di berbagai daerah menyebabkan melemahnya ketahanan pangan di Indonesia.

Kondisi tersebut juga meningkatkan harga pada rantai pasok pangan .

Jauh sebelum krisis kesehatan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan luas panen dan produksi padi pada 2019 menurun dibandingkan tahun sebelumnya masing-masing sebesar 6,15 dan 7,76%.

Menurunnya produktivitas ini berpeluang mendorong Indonesia untuk bergantung pada produk impor. Sementara, kebijakan impor tidak mendukung peningkatan produktivitas dan keberlanjutan sumber daya yang tersedia.

Alih-alih meningkatkan produksi, petani mengambil cara pintas demi mempertahankan produksinya dengan pemberian pestisida untuk menghilangkan hama dan penyakit, agar mereka dapat mengurangi kejadian gagal panen. Tapi cara ini dapat menurunkan kualitas hasil panen dan mencemari lingkungan.

Indonesia perlu melakukan sinergi antara bidang pertanian, bioteknologi, dan teknologi pangan.

Manipulasi sifat tanaman secara genetika dapat menjadi strategi ampuh untuk meningkatkan produktivitas dalam negeri. Tanaman hasil PRG memiliki kemampuan tahan terhadap hama, virus, dan pestisida.

Sebagai contoh dapat kita jumpai hasil PRG seperti kentang yang dirancang untuk menghasilkan lebih sedikit akrilamida (bahan kimia penyebab kanker yang dihasilkan ketika makanan dimasak dengan api besar), padi tahan hama penggerek batang, kedelai tahan pestisida, dan golden rice yang kaya beta-karoten.

Indonesia mau tidak mau harus mengurangi ketergantungannya terhadap produk impor, meningkatkan kualitas pangan, serta pengolahan lahan yang lebih optimal.

Karena itu, kita perlu lebih banyak riset yang memperjelas baik dan buruknya pangan PRG, serta memberlakukan pengawasan yang ketat terhadap prosedur dalam produksi PRG di Indonesia. Hal-hal tersebut dapat membantu negara untuk merangkul teknologi PRG dalam negeri yang aman dikonsumsi masyarakat dan merancang dampak keberlanjutan pada sumber daya yang sudah tersedia.

Felia Vinora, mahasiswa prodi Teknologi Pangan, Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

If so, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. With the latest scientific discoveries, thoughtful analysis on political issues and research-based life tips, each email is filled with articles that will inform you and often intrigue you.

Editor and General Manager

Find peace of mind, and the facts, with experts. Add evidence-based articles to your news digest. No uninformed commentariat. Just experts. 90,000 of them have written for us. They trust us. Give it a go.

If you found the article you just read to be insightful, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. Each newsletter has articles that will inform and intrigue you.

It helps you go deeper into key political issues and also introduces you to the diversity of research coming out of the continent. It's not about breaking news. It's not about unfounded opinions. The Europe newsletter is evidence-based expertise from European scholars, presented by myself in France, and two of my colleagues in Spain and the UK.

Head of English section, France edition

Komentari artikel ini