Daerah manakah yang pertama kali menerima kedatangan Islam berdasarkan data data sejarah?

KOMPAS.com - Saat ini,Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Penyebaran Islam di Indonesia sendiri dianggap berasal dari beberapa sumber, seperti keigatan pedagang oleh para pedagang Muslim Arab, adopsi oleh penguasa lokal, serta adanya pengaruh tasawuf.

Namun, sejarah masuknya Islam ke Indonesia untuk pertama kalinya masih diperdebatkan. Ada yang menyebut pada abad ke-7, ada pula yang meyakini pada abad ke-13.

Baca juga: Periodisasi Sejarah Peradaban Islam

Masuknya Islam di Indonesia

Beberapa sejarawan menyebut Islam pertama kali memasuki wilayah di Indonesia pada abad ke-7.

Bukti sejarah masuknya agama Islam di Indonesia dimulai pada abad ke-7 Masehi ditunjukkan oleh berita China dari zaman Dinasti Tang.

Catatan tersebut menerangkan bahwa pada 674 M, di pantai barat Sumatera telah terdapat perkampungan bernama Barus atau Fansur, yang dihuni oleh orang-orang Arab yang memeluk Islam.

Hal ini juga didukung oleh keterangan para pedagang Muslim Arab dan Persia, yang telah memiliki hubungan dagang dengan Kerajaan Sriwijaya di Palembang.

Sangat mungkin bahwa melalui kontak bisnis, terjadi pula kontak budaya dan agama antara masyarakat lokal dengan pedagang Muslim.

Baca juga: Historiografi pada Masa Islam di Nusantara

Perkembangan Islam di Indonesia

Masa sebelum penjajahan

Meski Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7, penyebarannya baru terjadi pada sekitar abad ke-12.

Pada awalnya, Islam diperkenalkan melalui para pedagang Muslim Arab. Setelah itu, lewat aktivitas dakwah yang dilakukan para ulama.

Bukti yang memperkuat dugaan bahwa Islam mulai berkembang di Pulau Jawa pada abad ke-11 adalah ditemukannya nisan Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, yang berangka tahun 1082 M.

Selain itu, terdapat jirat atau batu nisan khas Gujarat di nisan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik.

Di daerah Jawa lainnya, terdapat jirat yang dibuat pada masa Kerajaan Majapahit, yaitu di Troloyo dan Trowulan.

Jirat tersebut menunjukkan bahwa pengaruh pemeluk Islam sudah ada di Kerajaan Majapahit.

Baca juga: Sejarah Masuknya Islam di Jawa Tengah

Seiring berjalannya waktu, politik Islam juga mulai bertumbuh pada abad ke-13 di pantai utara Sumatera.

Dari catatan Marco Polo, yang singgah di Perlak ketika dalam perjalanan pulang dari China menuju Persia pada 1292, dilaporkan bahwa setidaknya ada satu kota Muslim di Indonesia.

Diketahui bahwa saat itu telah ada kerajaan Islam di Tumasik dan Samudra Pasai, yang menguasai perdagangan di Selat Malaka dan memiliki pelabuhan-pelabuhan penting untuk mengekspor lada ke Gujarat dan Benggala.

Pelabuhan tersebut mulai ramai pada abad ke-12, ketika Majapahit masih memiliki hegemoni di kawasan tersebut dan ketika para pedagang Islam dari berbagai bangsa telah melakukan perdagangan dengan pedagang di kawasan ini.

Secara umum, para pedagang lokal dan bangsawan kerajaan besar adalah orang-orang pertama yang mengadopsi agama baru.

Penyebaran Islam pun kian terasa setelah seorang pedagang Muslim menikahi wanita Indonesia.

Baca juga: Sejarah Masuknya Islam di Jawa Timur

Setelah itu, pada abad ke-15, pedagang Muslim dari Arab, India, Sumatera, Semenanjung Melayu, dan China mulai mendominasi perdagangan di Indonesia, yang saat itu dikuasai oleh para pedagang Majapahit Jawa.

Dinasti Ming China melakukan pelayaran yang bertujuan untuk menciptakan pemukiman Muslim China di Palembang.

Ming pun secara aktif mendirikan komunitas Muslim Tionghoa-Melayu di pesisir utara Jawa.

Pada 1430, Dinasti Ming berhasil membentuk komunitas Muslim China, Arab, dan Melayu di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel.

Dengan demikian, Islam pun mulai benar-benar berpijak di Jawa, di mana penyebarannya juga tidak dapat dipisahkan dari peran Wali Songo.

Baca juga: Strategi Dakwah Wali Songo

Masa penjajahan

Pada abad ke-17, Belanda mulai menjajah Indonesia karena tertarik akan kekayaan rempah-rempah di sana.

Kedatangan Belanda di Indonesia ini mengakibatkan terjadinya monopoli pelabuhan pusat perdagangan.

Di sisi lain, kondisi ini justu membantu proses penyebaran Islam, karena para pedagang Muslim Indonesia pindah ke pelabuhan kecil dan terpencil.

Masih di periode yang sama, transportasi bertenaga uap mulai diperkenalkan, sehingga hubungan antara Indonesia dengan negara Islam lain, seperti Timur Tengah kian meningkat.

Di Mekkah, jumlah peziarah tumbuh secara signifikan. Kemudian pertukaran ulama dan mahasiswa juga mengalami peningkatan.

Sekitar 200 mahasiswa Asia Tenggara, mayoritas dari Indonesia, belajar di Kairo pada pertengahan abad 1920-an.

Selain itu, sekitar 2.000 warga Arab Saudi juga merupakan keturunan Indonesia.

Baca juga: Sejarah Masuknya Islam di Lombok

Bersamaan dengan itu, sejumlah pemikiran dan gerakan keagamaan Islam mulai bertumbuh di Indonesia.

Salah satu organisasi massa beraliran Islam pertama adalah Sarekat Islam, yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905.

Sarekat Islam berperan sebagai organisasi nasionalis pertama yang melawan kolonialisme.

Lewat organisasi ini, Islam berusaha diperjuangkan agar menjadi identitas bersama di antara komposisi etnis dan budaya yang beragam di Indonesia.

Selain itu, aliran modernis Muslim mulai muncul di Sumatera Barat, seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915).

Gerakan Modernis juga bertujuan untuk menghapus unsur-unsur yang dianggap jauh dari Islam memasukkan nilai-nilai modern, misalnya membangun sekolah Islam dan melatih perempuan menjadi pengkhotbah.

Baca juga: KH Hasyim Asyari: Silsilah, Peran, dan Perjuangannya

Daerah manakah yang pertama kali menerima kedatangan Islam berdasarkan data data sejarah?
KOMPAS.COM/Tebuireng Online Foto KH. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan pendiri Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.

Pada 1920-an, anak-anak di Pulau Jawa juga mulai belajar Alquran. Segera setelah itu dibentuk Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 oleh Hasyim Asy'ari.

Sejak saat itu, berbagai organisasi Muslim mulai terbentuk, seperti Perti (1930) dan Nahdlatul Wathan yang ada di Lombok.

Setelah proklamasi kemerdekaan dilakukan, Indonesia menjadi negara Muslim terbesar kedua di dunia.

Perkembangan Muslim di Indonesia yang selanjutnya telah membawa negara ini semakin dekat dengan pusat intelektual Islam.

Sejumlah cendekiawan dan penulis sudah berkontribusi dalam pengembangan interpretasi Islam dengan melakukan pertukaran ilmu bersama orang asing.

Baca juga: Sejarah Masuknya Islam di Jawa Barat

Salah satu penulis modernis dan pemimpin agama di Indonesia adalah Abdul Malik Karim Amrullah. Ia adalah orang pertama yang melakukan tafsir al-Azhar dalam bahasa Indonesia.

Abdul Malik Karim Amrullah mencoba menafsirkan prinsip-prinsip Islam dalam budaya Melayu-Minangkabau.

Selain itu, salah satu tokoh ternama yang juga menggeluti bidang Islam adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang kemudian menjadi Presiden Indonesia.

Gus Dur pernah menempuh pendidikan di Universitas Bagdad dan menjadi tokoh sentral aliran Islam liberal Indonesia.

Ketika Islam semakin tersebar luas, muncul kontroversi mengenai perannya, khususnya dalam bidang politik.

Kendati demikian, terdapat sejumlah partai politik Islam yang masih aktif hingga kini, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) yang berorientasi Muhammadiyah, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang Islamis.

Referensi:

  • Burhanudin, Jajat. (2013). Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretations. Belanda: Amsterdam University Press.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Penyebaran Islam di Nusantara adalah proses menyebarnya agama Islam di Nusantara (sekarang Indonesia). Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang dari Gujarat, India selama abad ke-11, meskipun Muslim telah mendatangi Nusantara sebelumnya.[butuh rujukan] Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui jumlah penganut Hindu dan Buddhisme sebagai agama dominan bangsa Jawa dan Sumatra. Bali mempertahankan mayoritas Hindu, sedangkan pulau-pulau timur sebagian besar tetap menganut animisme sampai abad 17 dan 18 ketika agama Kristen menjadi dominan di daerah tersebut.

Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatra Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.

Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia, bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala itu.[1]:3 Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa dalam Islam mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan mayoritas penduduknya telah memeluk Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan terus berlangsung di Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia modern. Namun demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527, pemimpin perang Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai "Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu menjadi "Jakarta". Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat setelah penaklukan ini.

Awal sejarah

Daerah manakah yang pertama kali menerima kedatangan Islam berdasarkan data data sejarah?

Peta lokasi Kesultanan Samudera Pasai.

Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara.[1]:3 Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun Republik Indonesia lebih memilih situs peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau Jawa dalam alokasi sumber daya mereka untuk penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi perhatian pada penelitian tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri maupun swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada mengeksplorasi yang lama.[2]

Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll) menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatra.

Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah, menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelaut Muslim terutama karena kelimpahan komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkih, Lengkuas dan banyak lainnya.[3]

Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara.[1]:3 Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H (1082 M), meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan tersebut tidak diangkut ke Jawa di masa setelah tahun tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatra Utara, Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota Muslim,[4] dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Madh'hab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India.[4]

Pada awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat Nusantara dengan cara yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara melihat hampir tidak ada aktivitas misionaris Muslim terorganisir.[5] Namun klaim ini kemudian dibantah oleh temuan sejarawan bahwa beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa Barat dan kerajaan Majapahit di Jawa Timur ditaklukkan oleh Muslim Jawa dari Kesultanan Demak. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum Muslim di abad ke-16, sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur yang Hindu-Buddha sering berperang.[1]:8 Pendiri Kesultanan Aceh Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer pada tahun 1520 untuk mendominasi bagian utara Sumatra dan mengkonversi penduduknya menjadi Islam. Penyebaran terorganisir Islam juga terbukti dengan adanya Wali Sanga (sembilan orang suci) yang diakui mempunyai andil besar dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini. [1]:8[6]

Malaka

Didirikan sekitar awal abad ke-10, negara perdagangan Melayu Kesultanan Malaka (sekarang bagian Malaysia) didirikan oleh Sultan Parameswara, adalah, sebagai pusat perdagangan paling penting di kepulauan Asia Tenggara, pusat kedatangan Muslim asing, dan dengan demikian muncul sebagai pendukung penyebaran Islam di Nusantara. Parameswara sendiiri diketahui telah dikonversi ke Islam, dan mengambil nama Iskandar Shah setelah kedatangan Laksamana Cheng Ho yang merupakan Suku Hui muslim dari negeri China. Di Malaka dan di tempat lain batu-batu nisan bertahan dan menunjukkan tidak hanya penyebaran Islam di kepulauan Melayu, tetapi juga sebagai agama dari sejumlah budaya dan penguasa mereka pada akhir abad ke-15.

Bagian utara Sumatra

Daerah manakah yang pertama kali menerima kedatangan Islam berdasarkan data data sejarah?

Masjid di Sumatra Barat dengan arsitektur tradisional Minangkabau.

Bukti yang lebih kuat mendokumentasikan transisi budaya yang berlanjut berasal dari dua batu nisan akhir abad ke-14 dari Minye Tujoh di Sumatra Utara, masing-masing dengan tulisan Islam tetapi dengan jenis karakter India dan lainnya Arab. Berasal dari abad ke-14, batu nisan di Brunei, Trengganu (timur laut Malaysia) dan Jawa Timur adalah bukti penyebaran Islam. Batu Trengganu memiliki dominasi bahasa Sansekerta atas kata-kata Arab, menunjukkan representasi pengenalan hukum Islam. Menurut Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433) yang ditulis oleh Ma Huan, pencatat sejarah dan penerjemah Cheng Ho: "negara-negara utama di bagian utara Sumatra sudah merupakan Kesultanan Islam. Pada tahun 1414, ia (Cheng Ho) mengunjungi Kesultanan Malaka, penguasanya Iskandar Shah adalah Muslim dan juga warganya, dan mereka percaya dengan sangat taat".

Di Kampong Pande, Banda Aceh terdapat batu nisan Sultan Firman Syah, cucu dari Sultan Johan Syah, yang memiliki sebuah prasasti yang menyatakan bahwa Banda Aceh adalah ibu kota Kesultanan Aceh Darussalam dan bahwa kota itu didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan (22 April 1205) oleh Sultan Johan Syah setelah ia menaklukkan Kerajaan Hindu-Buddha Indra Purba yang beribu kota di Bandar Lamuri.

Pembentukan kerajaan-kerajaan Islam lebih lanjut di bagian Utara pulau Sumatra didokumentasikan oleh kuburan-kuburan akhir abad ke-15 dan ke-16 termasuk sultan pertama dan kedua Kesultanan Pedir (sekarang Pidie), Muzaffar Syah, dimakamkan 902 H (1497 M) dan Ma'ruf Syah, dimakamkan 917 H (1511 M). Kesultanan Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan kemudian akan menjadi negara yang paling kuat di utara Pulau Sumatra dan salah satu yang paling kuat di seluruh kepulauan Melayu. Sultan pertama Kesultanan Aceh adalah Ali Mughayat Syah yang nisannya bertanggal tahun 936 H (1530 M).

Pada 1520, Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer untuk mendominasi bagian utara Sumatra. Dia menaklukkan Daya, dan mengkonversi orang-orangnya ke Islam.[7] Penaklukannya berlanjut ke bawah pantai timur, seperti Pidie dan Pasai menggabungkan beberapa daerah penghasil emas dan lada. Penambahan daerah-daerah tersebut akhirnya menyebabkan ketegangan internal dalam Kesultanan Aceh, karena kekuatan Aceh adalah sebagai bandar perdagangan, yang kepentingan ekonominya berbeda dari wilayah-wilayah bandar produksi.

Buku ahli pengobatan Portugis Tome Pires yang mendokumentasikan pengamatannya atas Jawa dan Sumatra dari kunjungannya tahun 1512-1515, dianggap salah satu sumber yang paling penting tentang penyebaran Islam di Nusantara. Pada saat tersebut, menurut Piers, kebanyakan raja di Sumatra adalah Muslim, dari Aceh dan ke selatan sepanjang pantai timur ke Palembang, para penguasanya adalah Muslim, sementara sisi selatan Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatra dan ke pantai barat, sebagian besar bukan. Di kerajaan lain Sumatra, seperti Pasai dan Minangkabau penguasanya adalah Muslim meskipun pada tahap itu warga mereka dan orang-orang di daerah tetangga bukan. Bagaimanapun, dilaporkan oleh Pires bahwa agama Islam terus memperoleh penganut baru.

Setelah kedatangan rombongan kolonial Portugis dan ketegangan yang mengikuti tentang kekuasaan atas perdagangan rempah-rempah, Sultan Aceh Alauddin al-Kahar (1539-1571) mengirimkan dutanya ke Sultan Kesultanan Utsmaniyah, Suleiman I tahun 1564, meminta dukungan Utsmaniyah melawan Kekaisaran Portugis. Dinasti Utsmani kemudian dikirim laksamana mereka, Kurtoğlu Hızır Reis. Dia kemudian berlayar dengan kekuatan 22 kapal membawa tentara, peralatan militer dan perlengkapan lainnya. Menurut laporan yang ditulis oleh Laksamana Portugis Fernão Mendes Pinto, armada Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh terdiri dari beberapa orang Turki dan kebanyakan Muslim dari pelabuhan Samudra Hindia.[8]

Jawa Tengah dan Jawa Timur

Daerah manakah yang pertama kali menerima kedatangan Islam berdasarkan data data sejarah?

Masjid Agung Demak, Kerajaan Islam pertama di Jawa.

Prasasti-prasasti dalam aksara Jawa Kuno, bukan bahasa Arab, ditemukan pada banyak serangkaian batu nisan bertanggal sampai 1369 M di Jawa Timur, menunjukkan bahwa mereka hampir pasti adalah Jawa pribumi, bukan Muslim asing. Karena dekorasi rumit dan kedekatan dengan lokasi bekas ibu kota kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, Louis-Charles Damais (peneliti dan sejarawan) menyimpulkan bahwa makam ini adalah makam orang-orang Jawa pribumi yang sangat terhormat, bahkan mungkin keluarga kerajaan.[9] Hal ini menunjukkan bahwa beberapa elit Kerajaan Majapahit di Jawa telah memeluk Islam pada saat Majapahit yang merupakan Kerajaan Hindu-Buddha berada di puncak kejayaannya.

Ricklefs (1991) berpendapat bahwa batu-batu nisan Jawa timur ini, berlokasi dan bertanggal di wilayah non-pesisir Majapahit, meragukan pandangan lama bahwa Islam di Jawa berasal dari pantai dan mewakili oposisi politik dan agama untuk kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan dengan kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir pasti telah melakukan kontak dengan para pedagang Muslim, namun kemungkinan adanya abdi dalem keraton yang berpengalaman untuk tertarik pada agama kasta pedagang masih sebatas dugaan. Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi mistisisme dan mungkin mengklaim mempunyai kekuatan gaib, lebih mungkin untuk diduga sebagai agen konversi agama para elit istana Jawa yang sudah lama akrab dengan aspek mistisisme Hindu dan Buddha.[1]:5

Pada awal abad ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di mana suku Jawa hidup, masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal di pedalaman Jawa Timur di Daha (sekarang Kediri). Namun daerah pesisir seperti Surabaya, telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan daerah pedalaman, kecuali Tuban, yang tetap setia kepada raja Hindu-Buddha. Beberapa wilayah di pesisir tersebut adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi ke Islam, atau wilayah Tionghoa Muslim, India, Arab dan Melayu yang menetap dan mendirikan negara perdagangan mereka di pantai. Menurut Pires, para pemukim asing dan keturunan mereka tersebut begitu mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka meniru gaya tersebut dan dengan demikian mereka menjadi "Jawa". Perang antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman ini juga terus berlanjut lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan Demak, bahkan permusuhan ini juga terus berlanjut lama setelah kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.[1]:8

Kapan orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam tidaklah jelas. Muslim Tionghoa, Ma Huan, utusan Kaisar Yongle,[4] mengunjungi pantai Jawa pada 1416 dan melaporkan dalam bukunya, Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433), bahwa hanya ada tiga jenis orang di Jawa: Muslim dari wilayah barat Nusantara, Tionghoa (beberapa adalah Muslim) dan Jawa yang bukan Muslim.[10] Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah dari Muslim Jawa lima puluh tahun sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa Islam mungkin memang telah diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa sebelum orang Jawa pesisir.

Sebuah nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di Gresik, pelabuhan di Jawa Timur dan menandai makam Maulana Malik Ibrahim. Namun bagaimanapun, dia adalah orang asing non-Jawa, dan batu nisannya tidak memberikan bukti konversi pesisir Jawa. Namun Malik Ibrahim, menurut tradisi Jawa adalah salah satu dari sembilan utusan Islam di Jawa (disebut Wali Sanga) meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang tradisi ini. Pada abad ke-15-an, Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa berada di penurunan. Setelah dikalahkan dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa jatuh di bawah meningkatnya kekuatan Kesultanan Demak pada tahun 1520.

Jawa Barat

Suma Oriental ("Dunia Timur") yang ditulis Tome Pires melaporkan juga bahwa Suku Sunda di Jawa Barat bukanlah Muslim di zamannya, dan memang memusuhi Islam.[1] Sebuah penaklukan oleh Muslim di daerah ini terjadi pada abad ke-16. Dalam studinya tentang Kesultanan Banten, Martin van Bruinessen berfokus pada hubungan antara mistik dan keluarga kerajaan, mengkontraskan bahwa proses Islamisasi dengan yang berlaku di tempat lain di Pulau Jawa: "Dalam kasus Banten, sumber-sumber pribumi mengasosiasikan "tarekat" tidak dengan perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja, kekuatan magis dan legitimasi politik."[11] Ia menyajikan bukti bahwa Sunan Gunung Jati diinisiasi ke dalam aliran "Kubra", "Shattari", dan "Naqsyabandiyah" dari sufisme.

Daerah lain

Tidak ada bukti dari penerapan Islam oleh orang Nusantara sebelum abad ke-16 di daerah luar Pulau Jawa, Pulau Sumatra, Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku, dan Kesultanan Brunei dan Semenanjung Melayu.

Legenda Nusantara dan Melayu

Meskipun kerangka waktu bagi masuknya Islam di wilayah Indonesia dapat ditentukan secara luas, sumber-sumber utama sejarah tidak bisa menjawab banyak pertanyaan yang spesifik, sehingga kontroversi terus mengelilingi topik ini. Sumber-sumber seperti tidak menjelaskan mengapa konversi signifikan orang pribumi Nusantara menjadi Islam tidak dimulai hingga beberapa abad bahkan setelah para Muslim asing mengunjungi dan tinggal di Nusantara. Sumber-sumber ini juga tidak cukup menjelaskan asal usul dan perkembangan "aliran" istimewa Islam di Nusantara, atau bagaimana Islam menjadi agama yang dominan di Nusantara.[1]:8 Untuk mengisi kekosongan celah sejarah ini, banyak peneliti mencari referensi ke legenda-legenda Melayu dan Nusantara tentang konversi pribumi Nusantara ke Islam.

Ricklefs berpendapat bahwa meskipun legenda-legenda ini bukanlah catatan historis yang dapat diandalkan tentang peristiwa yang sebenarnya, legenda-legenda ini berharga dalam memberi titik terang mengenai beberapa peristiwa, melalui wawasan mereka yang tersebar di masyarakat, ke dalam sifat pembelajaran dan kekuatan magis, latar belakang asing dan hubungan perdagangan para guru Islam awal, dan proses konversi yang bergerak dari atas (golongan elit keraton) ke bawah. Legenda ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana generasi muda Nusantara (Indonesia) melihat proses Islamisasi ini.[1]:8–11 Sumber-sumber ini termasuk:

  • Hikayat Raja-raja Pasai - sebuah teks Bahasa Melayu Kuno yang menceritakan bagaimana Islam datang ke negeri "Samudra" (Kesultanan Samudera Pasai, sekarang di Aceh) di mana Kerajaan Islam di Nusantara yang pertama didirikan.
  • Sejarah Melayu - teks Bahasa Melayu Kuno, yang seperti juga Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan kisah konversi Samudra, tetapi juga bercerita tentang konversi Raja Malaka (Parameswara).
  • Babad Tanah Jawi - nama generik yang digunakan untuk sejumlah besar manuskrip, di mana konversi ke dalam bahasa Jawa yang pertama diatributkan pada Wali Sanga ("sembilan orang suci").
  • Sejarah Banten - Sebuah teks Jawa yang berisi cerita konversi.

Dari teks-teks yang disebutkan di sini, teks-teks Melayu menggambarkan proses konversi ke Islam sebagai ritual pelepasan yang signifikan, ditandai dengan tanda-tanda formal dan nyata dari ritual konversi, seperti sunat, pengakuan iman, dan mengadopsi nama Arab. Di sisi lain, ketika peristiwa-peristiwa magis masih memainkan peran penting dalam kesaksian Jawa tentang Islamisasi, peristiwa magis dalam konversi ke Islam menurut kesaksian teks-teks Melayu tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan proses konversi Jawa ke Islam lebih merupakan "menyerap" Islam ketimbang berpindah,[1]:9 hal ini konsisten dengan elemen sinkretisme agama yang secara signifikan lebih besar dalam Islam kontemporer Jawa dibandingkan terhadap Islam yang relatif lebih ortodoks di Sumatra dan Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia).

Bendera-Bendera Kesultanan di Hindia Timur (Indonesia)

Lihat pula

Daerah manakah yang pertama kali menerima kedatangan Islam berdasarkan data data sejarah?
Portal Indonesia
Daerah manakah yang pertama kali menerima kedatangan Islam berdasarkan data data sejarah?
Portal Islam

  • Ibnu Khordadbeh
  • Islam di Indonesia
  • Masjid di Indonesia
  • Penyebaran Islam di Asia Tenggara
  • Penyebaran Islam

Rujukan

  • Van Nieuwenhuijze. 1958. Aspek Islam Pasca-Kolonial Indonesia. Den Haag. W. van Hoeve Ltd. C.A.O.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan. ISBN 0-333-57689-6. 
  2. ^ Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 29–30. ISBN 0-300-10518-5. 
  3. ^ http://gernot-katzers-spice-pages.com/engl/spice_geo.html#asia_southeast
  4. ^ a b c Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo (1942). "Islam in the Netherlands East Indies". The Far Eastern Quarterly. 2 (1): 48–57. doi:10.2307/2049278. JSTOR 2049278.  Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  5. ^ Nieuwenhuijze (1958), p. 35.
  6. ^ Ricklefs, M.C. History of Modern Indonesia Since c.1200. P.8.
  7. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-06-25. Diakses tanggal 2014-07-17. 
  8. ^ Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. hlm. 169. 
  9. ^ Damais, Louis-Charles, 'Études javanaises, I: Les tombes musulmanes datées de Trålåjå.' BEFEO, vol. 54 (1968), pp. 567-604.
  10. ^ Ma Huan’s, Ying-yai Sheng-lan: The overall survey of the ocean's shores' (1433). Ed. and transl. J.V.G. Mills. Cambridge: University Press, 1970
  11. ^ Martin van Bruinessen (1995). "Shari`a court, tarekat and pesantren: religious institutions in the sultanate of Banten". Archipel. 50: 165–200. doi:10.3406/arch.1995.3069. 

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Penyebaran_Islam_di_Nusantara&oldid=21307700"