Dengan mengetahui paham dan ajaran yang bertentangan dengan ahlussunah waljamaah diharapkan warga nu

Dengan mengetahui paham dan ajaran yang bertentangan dengan ahlussunah waljamaah diharapkan warga nu
sumber gambar: syahadah.id

Oleh: Dimas Setyawan*

Perkembangan zaman membawa dampak perubahan yang sangat luar biasa dari berbagai ranah. Baik segi politik, ekonomi, sosial juga pendidikan. Perubahan tersebut juga berdampak pada pemahaman suatu faham agama atau golongan yang didorong untuk senantiasa memberikan ruang pada lingkup-lingkup tertentu. Sehingga pada akhirnya, agama dapat saling bersinergi dengan perkembangan zaman yang terus-menerus tergerus oleh kemajuan teknologi.

Jauh-jauh hari, organisasi Nahdlatul Ulama telah menyiapkan perangkat sikap moderat yang mana sikap moderat ini membawa pada Nahdlatul Ulama sebagai wadah organisasi yang tidak pernah tergerus oleh kemajuan zaman, dan kecanggihan teknologi. Sikap Ahlussunnah wal Jamaah ini terangkai dalam sikap tawasuth, tawazun, ta’adul, dan tasamuh. Apa saja pengertian dari keempat sikap itu? Mari kita kaji pada tulisan di bawah ini.

Tawasuth

Apa itu Tawasuth? Mungkin terdengar asing di telinga kita bukan? Sikap Tawasuth sendiri memiliki makna sikap tengah-tengah atau sedang di antara dua sikap, tidak terlalu keras (Fundamentalis) dan tidak terlalu bebas (Liberalis). Tawasuth berintikan kepada prinsip hidup yang menjujung tinggi keharusan berprilaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Dalam artian mengambil jalan tengah untuk menggabungkan antara nilai Keindonesiaan dan Keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat.

Majalah Tebuireng

Dalil yang melatarbelakangi sikap Tawasuth ini tertera pada ayat Al-quran pada surah Al-Baqarah ayat 143, yang berbunyi;

“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kami menjadi saksi atas (perbuatan) Manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Hal yang perlu di perhatikan dalam penerapan Tawasuth adalah;

  • Tidak bersikap ekstrim dalam menyebarkan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah;
  • Tidak mudah mengkafirkan sesama muslim karena perbedaan pemahaman agama;
  • Memposisikan diri dalam kehidupan bermasyarakat dengan senantiasa memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah) dan toleransi, hidup berdampingan baik dengan sesama warga NU, sesama umat Islam maupun warga negara yang memeluk agama lain.

Sikap Tawasuth sangat penting, karena orang yang berlebihan dalam hal keyakinan umumnya akan menanggap siapapun di luar dirinya sebagai “orang sesat”. Mereka eksklusif atas kemungkinan kebenaran dari pihak lain, mengikari keragaman pendapat, dan cenderung memaksakan kehendak untuk mewujudkan pemahaman dan tafsir ke dunia nyata.

Tawazun (Berimbang)

Setelah kita mencermati dan memahami makna Tawasuth yang berartikan “tengah-tengah” selanjutnya kita akan memahami makna dari kata Tawazun (Berimbang). Tawazun adalah sikap keseimbangan dalam segala hal, baik dalam ibadah kepada Allah, ataupun hubungan dengan sesama manusia. Termasuk juga keseimbangan di dalam menggunakan dalil akal (aqli) dan dalil Syara’ (Naqli). Karakter tawazun (keseimbangan) sangat penting dalam upaya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban setiap manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, manusia dengan mahluk yang lain seperti hewan, tumbuhan, dan lainya. Dalam sikap ini, diharapkan seseorang dapat menyeimbangkan antara kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat. Firman Allah SWT dalam surah al-Hadid : 25

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”

Mengenai pemahaman tawazun ini, sejatinya manusia telah terkena Khitob (ketentuan) sebagai Kholifah Fil Ard. Makna Kholifah Fil Ard sendiri, secara sederhana memiliki arti pengelolaan bumi, mengatur, merawat dan lain sebagainya. Maka dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah, prihal ini harus di terapkan kepada oleh setiap umat, untuk bersama-sama menjaga, merawat hubungan antara manusia dengan Allah. Manusia dengan manusia. Manusia dengan alam dan tumbuhan-tumbuhan.

Ta’adul (adil)

Sikap selanjutnya ialah Ta’adul, yakni adil. Ta’adul adalah sikap adil, jujur, dan apa adanya. Ahlussunnah Wal Jama’ah selalu menegakkan dan menjalankan keadilan kepada siapapun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun, dengan pertimbangkan kemaslahatan. Dengan sikap ta’adul diharapkan dapat menjadi masyarakat yang adil, makmur sejahtera. Firman Allah SWT dalam surah Al-Madinah : 8

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian mu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlalu adil lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Tasamuh (Toleran)

Pada tingkatan terkahir dalam sikap moderat Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah Tasamuh atau Toleran. Tasamuh juga memiliki arti ampun, maaf dan lapang dada. Tasamuh juga bisa dipahami sebagai sikap toleransi yaitu sikap menghargai serta memperbolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendiriannya sendiri. Firman Allah SWT dalam surah Thaha:44

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudahan ia ingat atau takut”.

Beberapa bentuk sikap tasamuh, yaitu :

  • Menghargai perbedaan pendapat selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam
  • Menerima dan mengembangkan segala bentuk kebudayaan yang paling baik menurut ajaran Islam, tanpa melihat dari mana datangnya.
  • Bersikap toleran dalam pergaulan baik antara sesama manusia maupun sesama bangsa.
  • Membangun pergaulan antar sesama manusia dengan dasar saling mengerti dan saling menghormati.

Itulah keempat nilai moderat Ahlussunnah wal Jama’ah yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari ketika mendirikan Jam’iyah besar Nahdlatul Ulama. Semoga kita dapat menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan kita, sehingga tidak terhenti sebatas wacana atau pada tulisan di kolom-kolom berita media massa.

*Mahasantri Mahad Aly, Ketua Rayon Yusuf Hasyim Tebuireng.

Oleh KH Abdurrahman Wahid
Beberapa tahun terakhir ini kita saksikan pergulatan yang hebat di kalangan berbagai kelompok Islam di Tanah Air. Banyak muncul berbagai organisasi baru yang mengajukan klaim sebagai perwadahan organisasi kaum ulama Indonesia, baik yang berstatus swasta maupun setengah resmi. <>Ada yang didirikan khusus untuk menampung aspirasi kelompoknya saja, tetapi ada yang didirikan sebagai wadah dialog (musawarah) para ulama berbagai kelompok.

Di samping bertemunya segala macam ajaran dari berbagai kelompok di lingkungan perguruan-perguruan tinggi agama dan non-agama, organisasi-organisasi keulamaan itu akhirnya membawakan kebutuhan untuk melakukan perumusan kembali pengertian aqidah Ahlussunnah wal Jamaah di lingkungan Nahdlatul Ulama sendiri. Ini tercetus antara lain dalam bentuk membatasi pengertian ke-ahlussunnah-an hanya pada satu ajaran saja. Yaitu ajaran tauhid kedua imam Asy’ari dan Al-Maturidi saja. Asa yang selama ini menjadi dasar keputusan bersama (ijma’ = konsesus) tentang madzhab fiqh dan akhlaq al-tasawwuf diminta agar ditinjau kembali karena ada kemungkinan keduanya tidak termasuk asa ke-ahlussunnah-an.

Kita dapat menghargai dan mengerti munculnya keinginan seperti itu yang didasarkan kepada niat baik untuk mencari pendekatan sejauh mungkin antara warga Nahdlatul Ulama dan warga organisasi-organisasi lain, sebagai reaksi atas perpecahan hebat yang terjadi dalam batang tubuh umat Islam sendiri selama ini. Kita dapat memahami munculnya gagasan islaf (meniru kaum salaf) hingga kepada masa sebelum perbentukan madzhab fiqh, sebagai ikhtiyar penghayatan kembali masa keemasan Khulafaur Rasyiddin. Kita dapat memahami peningkatan kecenderungan untuk istidlal langsung kepada nushush manqulah yang menjadi sumber utama hukum agama kita, dengan mengurangi pengambilan langsung dari aqwal fi qutubihim al-muqarrarah, demi tercapainya kesatuan dan persyatuan di kalangan umat Islam. Semuanya akan kita korbankan dan kita persembahkan kalau diperlukan untuk memelihara kesatuan dan persatuan itu.

Tetapi kenyataan yang ada tidaklah semudah impian di atas. Andai kita tinggalkan perumusan yang sudah ada tentang al-Usus al-tsalatsah fi I’tiqadi ahlissunnah wal Jamaah (bertauhid mengikuti Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi, berfiqh mengikuti salah satu madzhab empat dan berakhlaq sesuai dengan perumusan Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali) dan kita ambil patokan paling sederhana seperti yang diusulkan di atas, dapat dipastikan persatuan dan kesatuan umat Islam tetap belum terwujud. Perpecahan hebat di lingkungan umat Islam diakibatkan oleh perbedaan besar dalam soal-soal luar aqidah, maka yang terjadi adalah perbedaan dalam penerapan aqidah itu sendiri dalam masalah-masalah nyata yang timbul dalam kehidupan. Kaum Ahlussunnah wal Jam’ah di lingkungan Nahdlatul Ulama menggunakan segala kelengkapan (alat) dan istimbath al-ahkam, termasuk usulul al-fiqh, qawaid al-fiqh, dan hikmat al-tasry’ dalam merumuskan keputusan hukum agama mereka, sedangkan orang lain hanya menggunakan istinbath dari (pengambilan lnagsung dari dalam naqli tanpa terlalu mementingkan penggunaan alat-alat tersebut di atas dalil naqli itu) dalam mengambil keputusan. Biar bagaimanapun juga, tiak akan ada kesepakatan cara (wasail, metode) di kalangan kaum muslimin, dan tetap akan ada perbedaan pendapat (ikhtilaf al-ara’) di antara mereka sebagai akibat sebagaimana diperkuat oleh kaidah ikhtilaf al-ummah rahmah.

Menciptakan Saling Penghargaan

Pemecahan persoalannya bukanlah dengan cara mempersatukan semua wasail yang berbeda-beda itu, melainkan menciptakan saling penghargaan di antara kelompok yang berlainan pandangan itu. Kesamaan sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan adalah alat utama untuk menghilangkan perbedaan pendapat, atau setidak-tidaknya usaha menghindarkan perbedaan yang tajam. Sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan yang bersamaan secara nisbi, dapat dikembangkan melalui penyusunan dasar-dasar umum penerapan aqidah masing-masing guna maslahah bersama. Kalau kita perbincangkan pengembangan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, maka caranya bukanlah dengan mengembangkan (perumusan kembali) aqidah yang sudah muttafaq ‘alaih semenjak berabad-abad, melainkan dengan mengembangkan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah diterima secara umum di lingkungan Nahdlatul Ulama itu. Biarkanlah al-usus al-tsalatsah yang sudah menjadi konsesus itu tetap pada keasliannya, sesuai dengan kaidah “al-ashlu baqau ma kana ala makana”. Yang terpenting adalah bagaimana merumuskan dasar-dasar umum penerapan ketiga usus itu dalam kehidupan nyata sekarang.

Dua Bentuk Kerja Utama

Pengembangan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah ada, tanpa mengubah aqidah itu sendiri, dapatlah dirumuskan sebagai upaya pengembangan ajaran (ta’lim) Ahlussunnah wal Jamaah. Pengembangan ajaran itu mengambil bentuk dua kerja utama berikut.

Pertama, pengenalan pertumbuhan kesejarahan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang meliputi pengkajian kembali sejarah pertumbuhan Ahlussunnah wal Jamaah dan dasar-dasar umum penerapannya di brbagai negara dan bangsa, semenjak masa lalu dan sekarang. Ini meliputi pengkajian wilayah (dirasat al-aqalim al-muslimah/area studies of Islamic people), dari Afrika Barat hingga ke Oceania dan Suriname. Kekhususan dasar umum masing-masing wilayah harus dipelajari secara teliti, untuk memungkinkan pengenalan mendalam dan terperinci atas praktik-praktik ke-ahlussunnah-an.

Kedua, perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, meliputi bidang-bidang berikut;

1.  Pandangan tentang tempat manusia dalam kehidupan alam

2.  Pandangan tentang ilmu, teknologi, dan pengetahuan

3.  Pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan masyarakat

4.  Pandangan tentang hubungan individu (syakhs) dan masyarakat (mujtama’)

5.  Pandangan tentang tradisi dan penyegarannya melalui kelembagaan hukum, pendidikan, politik dan budaya

6.  Pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat, dan

7.  Asas-asa penerapan ajaran agama dalam kehidupan.

Secara terpadu, perumusan akan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat itu akan membentuk perilaku kelompok dan perorangan yang terdiri dari sikap hidup, pandangan hiup, dan sistem nilai (manhaj al-qiyam al-mutsuliyyah) yang secara khusus akan memberikan kebulatan gambaran watak hidup Ahlussunnah wal Jamaah (syakhsyiyatu ma tamassaka bi aqidati Ahlissunnah wal Jamaah).

Kehidupan Masa Kini

Perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat yang dibagi dalam tujuh bidang di atas, akan dapat dilakukan dalam sebuah dialog terbuka di kalangan warga Nahdlatul Ulama, tidak hanya terbatas di lingkungan tertentu saja. Untuk memungkinkan pembicaraan terbuka yang eifisien, diperlukan sebuah kerangka umum pandangan Nahdlatul Ulama atas masalah-masalah kehidupan masa kini. Kerangka umum itu, menurut hemat penulis, haruslah memasukan unsur-unsur berikut.

Pertama, pandangan bahwa keseluruhan hidup ini adalah peribadatan (al-hayatu ‘ibadatun kulluha). Pandangan ini akan membuat manusia menyadari pentingnya arti kehidupan, kemuliaan kehidupan, karena itu hanya kepadanya lah diserahkan tugas kemakhlukan (al-wadhifat al-khalqiyyat) untuk mengabdi dan beribadat kepada Allah SWT. Demikian berharganya kehidupan, sehingga menjadi tugas umat manusia lah untuk memelihara kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, termasuk memelihara kelestarian sumber-sumber alam, memelihara sesama manusia dari pemerasan oleh segolongan kecil yang berkuasa melalui cara-cara bertentangan dengan perikemanusiaan, meningkatkan kecerdasan bangsa guna memanfaatkan kehidupan secara lebih baik, dan seterusnya.

Kedua, kejujuran sikap hidup merupakan sendi kehidupan bermasyarakat sejahtera. Kejujuran sikap ini meliputi kemampuan melakukan pilihan antara berbagai hal yang sulit, guna kebahagiaan hidup masa depan; kemampuan memperlakukan orang lain seperti kita memperlakukan diri sendiri (sehingga tidak terjadi aturan permainan hidup bernegara yang hanya mampu menyalahkan orang lain dan menutup mata terhadap kesalahan sendiri); dan kemampuan mengakui hak mayoritas bangsa dan umat manusia untuk menentukan arah kehidupan bersama. Kejujuran sikap ini akan membuat manusia mampu memahami betapa terbatasnya kemampuan diri sendiri, dan betapa perlunya ia kepada orang lain, bahkan kepada orang yang berbeda pendirian sekalipun. Ini akan membawa kepada keadilan dalam perlakuan di muka hukum, penegakan demokrasi dalam arti yang sebenarnya, dan pemberian kesempatan yang sama untuk mengembangkan pendapat masing-masing dalam kehidupan bernegara.

Ketiga, moralitas (akhlaq) yang utuh dan bulat. Akhlaq yang seperti ini, yang sudah dikembangkan begitu lama oleh para ulama kita, tidak rela kalau kita hanya berbicara tentang pemberantasan korupsi sambil terus-menberus mengerjakannya; tidak dapat menerima ajakan hidup sederhana oleh mereka yang bergelimang dalam kemewahan tidak terbatas yang umumnya diperoleh dari usaha yang tidak halal; dan menolak penguasaan seluruh wilayah kehidupan ekonomi oleh hanya sekelompok kecil orang belaka.

Secara keseluruhan, kerangka umum di atas akan membawa Nahdlatul Ulama kepada penyusunan sebuah strategi perjuangan baru yang akan mampu memberikan jawaban kepada tantangan-tantangan yang dihadapi Nahdlatul Ulama sendiri dewasa ini dan di masa mendatang, strategi perjuangan itu, yang unsur-unsurnya sudah banyak dibicarakan dan dirumuskan dalam berbagai kesempatan oleh banyak kalangan Nahdlatul Ulama sendiri, perlu dirumuskan dan disusun, jika kita ingin melakukan perjuangan yang lebih terarah dengan cara yang lebih tepat.

Dua Sendi

Untuk keperluan penyusunan strategi perjuangan itu, di bawah ini akan dikemukakan kedua sendi yang tidak boleh tidak harus dimiliki.

Pertama, pendekatan yang akan diambil oleh strategi itu sendiri, yang seharusnya ditekankan pada penanganan masalah-masalah kongkret yang dihadapi oleh masyarakat melalui kerja-kerja nyata dalam sebuah proyek rintisan, baik di bidang pertanian, perburuhan, industri kecil, kesehatan masyarakat, pendidikan keterampilan, dan seterusnya.

Kedua, organisasi atau arah yang akan ditempuh oleh strategi itu sendiri, yang seyogianya dipusatkan pada pelayanan kepada kebutuhan pokok mayoritas bangsa, yaitu kaum miskin dan yang berpenghasilan rendah.

*) Tulisan ini pernah dimuat sebagai kata pengantar dalam buku “Ahlussunnah wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis” karya  KH Said Aqil Siroj (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008).