Sampah merupakan sisa hasil kegiatan manusia yang terkadang menimbulkan masalah. Hasil survey tentang kontribusi kegiatan terhadap sampah maenunjukkan 73 % sampah berasal dari rumah tangga (sampah rumah tangga), 14 % dari hotel (sampah hotel), 5 % dari pasar (sampah pasar), dan 8% lainnya berasal dari terminal, rumah sakit, rumah makan, serta kantor (Kompas, 2008). Volume sampah yang dihasilkan tidak sebanding dengan kapasitas pengolahan akibatnya menghasilkan cemaran lingkungan dan bau yang mengganggu manusia. Bau tersebut merupakan gas yang dihasilkan saat sampah organik membusuk. Dalam proses kimia tersebut dihasilkan gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). hanya CH4 yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar Biogas sebagian besar mengandung gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2), dan beberapa kandungan gas yang jumlahnya kecil diantaranya hidrogen (H2), hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3) serta nitrogen (N) yang kandungannya sangat kecil. Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana (CH4). Semakin tinggi kandungan metana maka semakin besar kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya semakin kecil kandungan metana (CH4) semakin kecil nilai kalor.
Rumah tangga sebagai penghasil sebagian besar sampah organik berpotensi menghasilkan biogas yang bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Sampah dipilah antara anorganik dan organik sehingga kebiasaan membuang sampah pada tempatnya sesuai jenisnya akan memudahkan proses pemilahan. Sampah organik tersebut ditambahkan air sesuai takaran kemudian dimasukkan ke fermentor-wadah yang digunakan untuk proses fermentasi. Sebagai starter dan katalis proses fementasi tetap melibatkan kotoran hewan karena relatif banyak mengandung mikroba yang dibutuhkan dalam proses menghasilkan gas metana. Kotoran yang relatif bagus dan efektif dalam proses ini adalah kotoran sapi. Banyak gas metana yang dihasilkan tergantung dari komposisi campuran dan sampah organik yang digunakan. Sisa dari hasil fermentasi tersebut masih bisa digunakan untuk pupuk karena kandungan kimianya yang bermanfaat untuk tanaman.
Biogas dari sampah organik tersebut diharapkan bisa mengurangi beban rumah tangga dan menjadi sumber energi alternatif baru dan terbarukan yang relatif tidak mencemari lingkungan. Solusi ini juga bisa digunakan pada desa-desa yang jauh dari akses infrastruktur utama sehingga bisa menciptakan kemandirian energi.
(Maschun-DML)
10
Teknologi Tepat Guna
Tahun VIII / Mei 2012
Edisi 9
Memanfaatkan Kotoran Sapi
untuk Sumber Energi Alternatif
Rubrik diasuh oleh :
Sektor pertanian memiliki posisi strategis tidak
hanya sebagai penghasil pangan semata, melainkan
diharapkan mampu menghidupi industri pengolahan
dan hasil-hasilnya. Melihat posisi tersebut, perlu
adanya dukungan pemenuhan kebutuhan energi yang
mencukupi dengan sistem yang terintegrasi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai
Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK)
Gunung Kidul, Yogyakarta telah memunculkan
suatu sistem pertanian terintegrasi atau terpadu
tersebut. Sistem Pertanian Terpadu ini berangkat dari
pengembangan peternakan sapi yang menghasilkan
kotoran melimpah, diolah dengan alat biogas untuk
menopang kebutuhan pertanian.
Artinya, alat biogas mampu menghasilkan energi
bagi kebutuhan rumah tangga petani dan olahannya.
Selain itu, euen (sampah) biogas bisa digunakan
sebagai sumber pupuk organik yang dipakai untuk
bercocok tanam maupun tambahan hijauan pakan
ternak. “Terintegrasi berarti seperti sebuah siklus.
Semua komponen dalam sistem bekerja dan
menghasilkan manfaat yang memberi nilai tambah
ekonomi,” ungkap Satriyo Krido Wahono, Peneliti UPT
BPPTK LIPI Yogyakarta.
Menurutnya, selain memadukan pertanian
dan peternakan, sistem ini juga merambah pada
budidaya perikanan. “Ada keterkaitan antara biogas
dari kotoran sapi sebagai sumber energi yang juga
termanfaatkan untuk pupuk organik, dengan olahan
sampah biogas untuk media budidaya ternak lain,
seperti ikan,” tambahnya.
Usaha pencarian dan pengembangan energi alternatif (terbarukan) non bahan
bakar minyak (BBM) terus diupayakan. Hal ini untuk mengatasi persoalan krisis
energi berbahan fosil (minyak bumi/BBM) yang belakangan ini jumlahnya semakin
terbatas. Salah satunya adalah pemanfaatan kekayaan sumber daya peternakan
Indonesia yang menyimpan potensi energi terbarukan, yakni biogas. Biogas
merupakan sumber energi alternatif yang berasal dari kotoran sapi.
dari pipa PVC diameter 4 inchi,” imbuhnya.
Kemudian, Andi Febrisiantosa, Peneliti UPT
BPPTK LIPI Yogyakarta lainnya menambahkan, bak
pengumpan dan euen berasal dari pasangan bata/
batako dengan diameter 300 cm, tinggi 240 cm dan
kapasitas tampungnya 15.000 liter.
Alat Biogas
Salah satu kunci utama dalam sistem pertanian
terpadu adalah penggunaan alat pengolah kotoran
sapi menjadi biogas. Melihat secara teknis, Satriyo
menjelaskan, alat biogas atau sering disebut digester
biogas biasanya dibuat sesuai kebutuhan di lingkup
peternakan maupun pertanian yang ada.
Hardi Julendra, Peneliti sekaligus Kepala UPT
BPPTK LIPI Yogyakarta mengungkapkan, penerapan
sistem pertanian terpadu berbasis alat biogas salah
satunya diujicobakan dalam penelitian di daerah
Kapitan Meo, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur
(NTT). “Penelitian dilakukan dengan membuat unit
biogas dengan kapasitas 27.000 liter,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, alat biogas itu dibuat dengan
ukuran nominal penampung gas diameter 3 meter (m)
dan tinggi 2,4 m. Volume tersebut diasumsikan untuk
menampung kotoran sapi sebanyak 9 ekor. “Bahan
pembuatan digester menggunakan beton bertulang,
saluran pengumpan dan euen-nya (saluran sampah)
Proses Kerja
Andi menjelaskan, sistem kerja alat biogas
bermula dari pengumpanan digester dilakukan
dengan pengglontoran dan pengenceran kotoran
sapi. Pengenceran dilakukan melalui penyampuran
kotoran dengan air sehingga berbentuk lumpur.
Lumpur kotoran dialirkan melalui parit yang
dilengkapi jeruji pada posisi dekat lubang pemasukan
digester (alat biogas) untuk memisahkan sisa
pakan. “Dengan adanya jeruji pemisah tersebut,
sisa pakan akan tertahan sedangkan lumpurnya
masuk ke dalam digester,” tambahnya.
Dikatakan Andi, alat biogas akan memproses
lumpur dan menghasilkan gas yang disalurkan ke
perumahan dan digunakan sebagai bahan bakar
kompor dan generator set (genset) berbahan bakar
gas dengan kapasitas 750 watt 220 volt. “Bahan
bakar gas yang diharapkan adalah CH4 atau gas
metana,” tandas Andi.
Selain menghasilkan gas untuk listrik, Satriyo
menambahkan, sisa sampah biogas yang keluar
dari pipa pembuangan dalam bentuk lumpur dapat
pula dimanfaatkan sebagai pupuk organik. “Caranya
dilakukan pemisahan antara padat dengan cair
dengan pengendapan dan penyaringan. Padatan
diendapkan satu malam serta cairannya disaring
sel anjutnya dianalisa kandung an minera lnya,”
urainya.
Keduanya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
organik asal kandungannya sesuai yang disyaratkan.
Tak hanya itu saja, dia menuturkan, sisa biogas
tersebut juga bisa dipakai untuk media budidaya
ikan maupun cacing (pakan ikan). “Sistem pertanian
terpadu berbasis biogas berupaya mengoptimalisasi
pemanfaatan limbah yang terbentuk agar lebih
ramah lingkungan,” pungkasnya. (Purwadi/Humas BKPI
LIPI)
Penerapan Penelitian di Beberapa Daerah
Manfaat sistem pertanian terpadu telah dirasakan di sejumlah kawasan Indonesia. Sistem ini
mampu menggerakan usaha peternakan yang dipandang sebagai usaha hulu dan budidaya tanaman
pangan sampai pengolahan hasil pertanian sebagai usaha hilir.
Usaha hilir yang berkembang akan memberikan peluang pada usaha hulu agar berkembang
lebih besar lagi. Perputaran siklus tersebut akan terus saling menguatkan komponen-komponen
kegiatannya dan mampu menekan beban lingkungan akibat pemanfaatan limbah yang dihasilkan.
Kepala UPT BPPTK LIPI Yogyakarta, Hardi Julendra menyebutkan bahwa Sistem Pertanian Terpadu
dengan titik tolak alat biogas telah diterapkan di beberapa daerah sebagai lokasi penelitian sejak
tahun 2007. “Selain diterapkan di Gunung Kidul dan Bantul (Yogyakarta), sistem tersebut juga telah
merambah Wonosobo, Temanggung dan Purwokerto (Jawa Tengah) serta Belu (NTT),” urainya.
Ia berharap, sistem pertanian terpadu yang telah dikembangkan itu mampu berjalan secara
berkesinambungan. Tidak hanya berjalan saat penelitian saja, melainkan masyarakat diharapkan
mampu menerima alih teknologi dan menggunakannya dalam jangka panjang.
Ditekannya, muara akhir penciptaan sistem pertanian terpadu adalah meningkatkan nilai tambah
kehidupan masyarakat. Terutama, kehidupan masyarakat pedesaan maupun perbatasan yang
menggantungkan hidupnya pada pertanian. (Purwadi/Humas BKPI LIPI)
Pengoptimalan Gas Metana
dengan Filter Biogas
Terkadang hasil pengolahan kotoran sapi dari digester
(alat biogas) belum menghasilkan gas CH4 alias metana
(gas yang berperan untuk energi listrik maupun lainnya)
secara maksimal. Hasilnya adalah energi gas untuk
menghidupkan kompor maupun genset kurang optimal.
Satriyo Krido Wahono, Peneliti UPT BPPTK LIPI
Yogyakarta mengatakan, untuk mengatasi persoalan
tersebut, pihaknya telah menciptakan alat lter biogas.
“Tujuan filter adalah meningkatkan performa biogas
dengan pemurnian,” ujarnya.
Ia menjelaskan, spesikasi alat ini berukuran berat
2.500 gram per paket berbentuk silinder dengan panjang
antara 50-70 cm dan diameter (ukuran tengah) 10-12 cm.
“Filter tersebut terpisah dari digester dan harga di pasaran
sekitar Rp 1 juta per paket,” tambahnya.
Adapun keunggulan alat itu, Satriyo menyebutkan
bahwa materi penyerap mempunyai sifat/kemampuan
multi-adsorpsi (membersihkan) semua gas pengotor
biogas. “Dengan penggunaan lter, kadar gas metana
dalam biogas dapat meningkat sebesar 5-20 % dari kadar
metana awal,” tandasnya.
Keunggulan lain, lanjutnya, biogas hasil penyaringan
mampu meningkatkan esiensi konversi (pengubahan)
energi listrik dengan menggunakan genset. “Energi listrik
yang dihasilkan maksimal dan sesuai yang diharapkan,”
imbuh dia.
Tak hanya itu saja, lelaki kelahiran Blitar Jawa Timur
tersebut menuturkan, lter juga mengurangi potensi korosi
pada kompor atau mesin konversi energi lainnya. Untuk
pengembangan lanjutan, lter dapat dikembangkan lebih
lanjut untuk pemurnian berbagai macam gas yang bersifat
sebagai polutan (penyebab polusi udara), baik di cerobong
asap pabrik, kendaraan bermotor dan lainnya.
Satriyo menambahkan, alat berbentuk silinder
hasil penelitiannya bersama tim tersebut mengandung
material penyerap berbahan padat berbasis material lokal
Indonesia. “Kami membuat alat
ini dengan komponen utama
berasal dari dalam negeri,”
tutupnya. (Purwadi/Humas BKPI
LIPI)