Golongan yang berhasil mendobrak dihapuskannya tanam paksa adalah

Aturan tanam paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch ternyata juga menimbulkan pertentangan dari kalangan mereka sendiri, siapa sajakah mereka?

Pelaksanaan sistem tanam paksa yang menyengsarakan masyarakat akhirnya mendapat kritikan dari berbagai pihak.

Tokoh-tokoh penentang Tanam paksa (cultuurstelsel)

Tokoh-tokoh penentang tanam paksa di antaranya adalah sebagai berikut.

1) E.F.E. Douwes Dekker (Multatuli)

Lewat bukunya yang berjudul Max Havelaar. Akibat kritikan Douwes Dekker atau yang dikenal dengan nama Multatuli, Belanda mengganti politik tanam paksa dengan politik pintu terbuka.

Dalam bukunya, Multatuli mengemukakan keadaan pemerintahan kolonial yang zalim dan korup di Jawa. Buku itu menjadi senj*ta bagi kaum liberal untuk melancarkan protes atas pelaksanaan tanam paksa.

2) Baron van Hoevell

Baron van Hoevell adalah mantan pendeta yang menyaksikan sendiri penderitaan rakyat akibat tanam paksa. Baron van Hoevell membela rakyat Indonesia melalui pidato-pidatonya di DPR Nederland.

3) Fransen van der Putte

Fransen van der Putte yang menulis Suiker Contracten. Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuurstelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa.

Penghapusan sistem tanam paksa

Secara berangsur-angsur penghapusan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel adalah sebagai berikut.

a. Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.

b. Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk teh dan nila.

c. Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.

Setelah dihapuskannya tanam paksa, kaum pengusaha swasta leluasa mengatur tanah jajahan demi keuntungan pribadi.

UU Agraria Tahun 1870 membuka jalan bagi pihak swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga banyak investor swasta asing, seperti Inggris, Belgia, Prancis, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang yang menanamkan modalnya di Indonesia.

Dengan demikian, perkebunan di Indonesia meningkat dengan pesat. Akan tetapi, sistem ini pun tidak lebih baik dibanding sistem sebelumnya. Sistem ekonomi terbuka telah mematikan para pengusaha pribumi yang memiliki modal kecil.

Undang-Undang Koelie Ordonantie

Sistem yang buruk tersebut dibiarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, pemerintah kolonial mengeluarkan aturan yang merugikan kaum buruh pribumi.

Misalnya, pada tahun 1881 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang Koelie Ordonantie yang mengatur para kuli.

Dengan aturan ini, kuli yang dipekerjakan di Sumatra harus melalui kontrak kerja. Tidak boleh meninggalkan pekerjaan sebelum kontraknya habis. Bagi yang melarikan diri dikenakan hukuman berupa punale sanctie.

Golongan yang berhasil mendobrak dihapuskannya tanam paksa adalah
Gambar: Sistem Kerja Rodi

Kerja Rodi (kerja paksa)

Penderitaan bangsa Indonesia bertambah buruk setelah pemerintah kolonial memberlakukan sistem rodi alias kerja paksa.

Sistem tersebut diterapkan untuk mendukung program penanaman modal Barat di Indonesia dengan cara menyediakan sarana dan prasarana, seperti irigasi, wadukwaduk, jalan raya, jalan kereta, dan pelabuhan-pelabuhan.

Dalam membangun sarana-sarana tersebut, pemerintah kolonial Belanda menggunakan tenaga kerja Indonesia tanpa upah, serta dikerahkan secara paksa.

Berbagai kebijakan pemerintah kolonial telah melahirkan penderitaan bagi rakyat Indonesia. Di daerah kerajaan, ajakan perlawanan dari para bangsawan maupun ulama yang berpengaruh untuk melawan kekuasaan asing dengan cepat mendapat sambutan baik dari kelompok rakyat, yang karena tekanan-tekanan hidup yang mereka alami sudah bersikap antipati terhadap kekuasaan asing.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi di daerahdaerah selama kontak dengan kekuasaan Barat cukup subur untuk timbulnya perjuangan tersebut.

Oleh karena dalam tiap-tiap daerah konvensi intensitas kontak dari kekuasaan Belanda tidak bersamaan waktu terjadinya, maka timbulnya perjuangan terhadap kekuasaan asingpun tidak sama
waktunya.

Perjuangan-perjuangan itu bisa berupa perlawanan besar, atau pemberontakan maupun hanya merupakan kericuhan-kericuhan.

Golongan yang berhasil mendobrak dihapuskannya tanam paksa adalah
Pelaksanaan tanam paksa diselewengkan oleh Belanda dan para petugasnya yang berakibat membawa kesengsaraan rakyat. Bentuk penyelewengan tersebut, misalnya, kerja tanpa dibayar untuk kepentingan Belanda (kerja rodi), kekejaman para mandor terhadap para penduduk, dan eksploitasi ke- kayaan Indonesia yang dilakukan Belanda.

Melihat penderitaan rakyat Indonesia, kaum humanis Belanda menuntut agar tanam paksa dihapuskan. Tanam paksa mengharuskan rakyat bekerja berat selama musim tanam. Penderitaan rakyat bertambah berat dengan adanya kerja rodi membangun jalan raya, jembatan, dan waduk. Selain itu, rakyat masih dibebani pajak yang berat, sehingga sebagian besar penghasilan rakyat habis untuk membayar pajak. Akibatnya, rakyat tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga kelaparan terjadi di mana-mana, seperti Cirebon, Demak, dan Grobogan.

Sementara itu di pihak Belanda, tanam paksa membawa keuntungan yang besar. Praktik tanam paksa mampu menutup kas negara Belanda yang kosong sekaligus membayar utang-utang akibat banyak perang. Adapun tokoh-tokoh kaum humanis anti tanam paksa sebagai berikut.

  1. Eduard Douwes Dekker yang memprotes pelaksanaan tanam paksa melalui tulisannya berjudul Max Havelaar. Dalam tulisan tersebut, ia menggunakan nama samara Multatuli, artinya aku yang menderita.
  2. Baron van Hoevell, ia seorang pendeta di Batavia yang berjuang agar tanam paksa dihapuskan. Usahanya mendapat bantuan Menteri Keuangan Torbecke.
  3. Fransen van de Pute, ia seorang anggota Majelis Rendah yang mengusulkan tanam paksa dihapuskan.
  4. Van Deventer, pada tahun 1899, menulis artikel berjudul Een Eereschuld (Utang Budi) yang dimuat dalam majalah De Gids. Artikel tersebut berisi, antara lain, Trilogi Van Deventer yang mencakup edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Edukasi artinya mendirikan sekolah-sekolah bagi pribumi dan akhirnya akan melahirkan kaum cerdik pandai yang memelopori pergerakan nasional Indonesia. Irigasi artinya mengairi sawah-sawah, namun pada praktiknya yang diairi hanya perkebunan milik Belanda. Transmigrasi artinya memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, misalnya Sumatra. Namun praktiknya berubah menjadi emigrasi, yaitu memindahkan penduduk Indonesia ke Suriname untuk kepentingan perkebunan Belanda.

Akhirnya, tanam paksa dihapuskan, diawali dengan dikeluarkannya undang-undang (Regrering Reglement) pada tahun 1854 tentang penghapusan perbudakan. Namun pada praktiknya, perbudakan baru dihapuskan pada tanggal 1 Januari 1860. Selanjutnya, pada tahun 1864 dikeluarkan Undang-Undang Keuangan (Comptabiliteits Wet) yang mewajibkan anggaran belanja Hindia Belanda disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, ada pengawasan dari Badan Legislatif di Nederland. Kemudian pada tahun 1870 dikeluarkan UU Gula (Suiker Wet) dan UU Tanah (Agrarische Wet).

Tanam paksa benar-benar dihapuskan pada tahun 1917. Sebagai bukti, kewajiban tanam kopi di Priangan, Manado, Tapanuli, dan Sumatra Barat dihapuskan.

Untuk materi lebih lengkap tentang SISTEM TANAM PAKSA DI INDONESIA silahkan kunjungi link youtube berikut ini. Kalau bermanfaat jangan lupa subscribe, like dan share.. Terimakasih

Golongan yang berhasil mendobrak dihapuskannya tanam paksa adalah

Mari berlomba lomba dalam kebaikan. Semoga isi dari blog ini membawa manfaat bagi para pengunjung blog. Terimakasih

Cultuurstelsel (secara harfiah berarti Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budi Daya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya teh, kopi, dan kakao. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Golongan yang berhasil mendobrak dihapuskannya tanam paksa adalah

Graaf Johannes van den Bosch, pelopor kebijakan Cultuurstelsel.

Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.

Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditas tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835 hingga 1940.

Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.

Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.

Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa:

  • Tuntutan kepada setiap rakyat Pribumi agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
  • Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
  • Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
  • Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
  • Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
  • Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
  • Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa

 

Wolter Robert baron van Hoëvell, pejuang Politk Etis

Menurut sebuah catatan seorang Eropa yang jadi inspektur Tanam Paksa, yaitu L. Vitalis menyebut laporan dari awal 1835, di Priangan. Mayat para petani bergelimpangan karena keletihan dan kelaparan, di sepanjang Tasikmalaya dan Garut. Manakala mereka dibiarkan saja, tak dikubur, itu karena alasan Bupati yang seolah tak peduli: "Di waktu malam harimau akan menyeret mereka."[1] Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan, Demak, Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.

Kritik kaum liberal

Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.

Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.

UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.

Kritik kaum humanis

Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.

Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya mengimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.

Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditas pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkih. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditas pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.

Dalam bidang sosial

Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.

Dalam bidang ekonomi

Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotong royong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.

Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.

  1. ^ Mohamad, Goenawan (2006, cet.6). Catatan Pinggir. 1:430 – 431. Jakarta: Grafiti Pers. ISBN 979-96724-3-0.

  • (Indonesia) Secara Ekonomi, Tanam Paksa Gagal[pranala nonaktif permanen]

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Cultuurstelsel&oldid=20883234"