Hewan dan tanaman merupakan ciptaan allah yang disebut

#TantanganGuruSiana

#TantanganHariKe- 22

Manusia disebut sebagai makhluk paling sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Seperti malaikat, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Kenapa demikian ?? maksud dari sempuna disini sangat luas pengertiannya. Sempurna disini bukan berarti manusia itu adalah makhluk yang paling benar dan tidak pernah bersalah. Sempurna disini maksudnya adalah manusia itu memiliki hampir semua hal yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.

Malaikat contohnya adalah sama-sama makhluk Allah dengan manusia. malaikat diberi akal fikiran oleh tuhan, manusia juga diberi akal fikiran. Tapi ada satu yang tidak Allah berikan kepada malaikat yaitu hawa nafsu sementara manusia diberikan hawa nafsu. Disinilah letak kesempurnaan manusia dibandingkan dengan malaikat. Karena malaikat tidak diberikan nafsu oleh Allah sehingga kehidupan itu monoton dan mereka selalu mematuhi perintah Allah dan tidak ada malaikat yang membangkang kepada perintah Allah. Sementara manusia diberikan hawa nafsu oleh Allah, dengan hawa nafsu kehidupan manusia bisa berkembang dengan pesat, kemajuan ilmu dan teknologi juga bisa kita saksikan kemajuannya.

Begitu pula dengan hewan. Kesempurnaan manusia juga lebih baik dari hewan. Sama-sama diberikan hawa nafsu oleh Allah tapi kepada hewan tidak Allah berikan akal fikiran yang bisa membedakan yang baik dan yang buruk, yang halal dan yang haram, yang pantas dan tidak pantas. Manusia dengan akal fikiran yang diberikan oleh Allah bisa membedakan yang baik dan yang buruk, mana yang bermanfaat untuk dirinya dan mana yang tidak bermanfaat untuk dirinya.

Kembali kita lihat kesempurnaan manusia yang diciptakan oleh Allah. Manusia memiliki tubuh yang indah lengkap dengan fungsi-fungsinya, raga yang kuat, otak yang dapat berpikir secara tajam dan jauh serta sifat dan karakter yang bermacam-macam. Manusia juga disebut sempurna karena rasa yang dimilikinya. Walaupun makhluk lain mungkin juga memiliki rasa tapi tidak bisa merasakan kesempurnaan seperti manusia.

Manusia diciptakan dengan berbagai rasa dan perasaan. Rasa senang, bahagia, kasih sayang, marah, benci dan lain sebagainya yang tidak bisa diungkapkan. Disamping itu kesempurnaan manusia juga terletak pada sifat malu yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sehingga semua hal yang kita ketahui dalam kehidupan didunia ini, manusialah yang paling memiliki segala hal yang paling lengkap.

Bahkan manusia juga bisa dikatakan sempurna karena bisa melakukan banyak hal. Bukan hanya kebaikan yang bisa dilakukannya namun juga keburukan dan kejahatan bisa dilakukannya. Hal-hal seperti inilah yang melengkapi manusia sehingga mereka disebut makhluk Allah yang paling sempurna.

Oleh sebab itu marilah kita syukuri kesempurnaan kita sebagai manusia dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Apabila manusia mampu memelihara kesempurnaan ciptaannya maka derajat mereka bisa lebih tinggi dan lebih mulia dari malaikat, tetapi apabila manusia tidak bisa memelihara kesempurnaan ciptaannya maka derajat mereka lebih rendah dari pada hewan.

Jadi jangan hanya bangga dengan kesempurnaan yang kita miliki, tapi kita tak mau menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.

Kota solok, 08 Maret 2020

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan adalah makhluk Allah SWT yang diciptakan secara berpasang-pasangan. Hubungan antara pasang-pasangan itu menghasilkan keturunan, agar hidup di alam semesta ini berkesinambungan. Dengan demikian, penghuni dunia ini tidak pernah sunyi dan kosong, tetapi terus berkembang dari generasi ke generasi.1 Dalam al-Qur‟an Allah SWT berfirman:2

Artinya : “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT.”

1

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 1 2 QS. Adz-Dzaariyat (51): 49

1

2

Lebih khusus dinyatakan dalam al-Qur‟an bahwa manusia juga diciptakan untuk saling berpasang-pasangan antara kaum laki-laki dan perempuan, bercampurnya pasangan umat manusia tersebut biasa dalam agama Islam diucapakan dengan lafadh nikah atau perkawinan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:3

Artinya: “dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.” Manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan hubungan dengan sesama dan direalisasikan dalam bentuk hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya terdapat keluarga yang merupakan salah satu pembentuk dari masyarakat itu sendiri. Keluarga merupakan masyarakat yang paling kecil dan dihuni oleh suami, istri dan anak-anak yang sah diikat dengan adat atau agama. Pembentukan keluarga diawali dengan perkawinan yang merupakan kebutuhan fithriyah manusia sebagai makhluk fisik. Sebagai bagian dari makhluk hidup, manusia memerlukan pemenuhan kebutuhan fisik dan rohani, yang salah satunya yakni memerlukan pemenuhan kebutuhan biologis sehingga dapat mengembangkan keturunannya.4 Perkawinan ialah ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

3

QS. An-Najm (53): 45 Siti Romlah, Karakteristik keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam dan Pendidikan Umum (Jakarta: UI, 2006), h. 67 4

3

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5 Di samping itu pula, perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan, sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan tak lain adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Maka untuk menegakkan keluarga yang bahagia dan menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat, suami istri memiliki beberapa tanggung jawab dan kewajiban. Perkawinan pada hakikatnya merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita dalam masyarakat di bawah suatu peraturan khusus dan hal ini sangat diperhatikan baik oleh agama, negara maupun adat. Artinya bahwa, dari peraturan tersebut bertujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut hukum, baik agama, negara maupun adat dengan serangkaian hak dan kewajiban untuk dijalankan oleh keduanya yang berstatus sebagai suami istri. Begitu tingginya agama Islam menjunjung tinggi nilai-nilai dan kehormatan manusia sebagai makhluk yang paling mampu di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT lainnya. Anjuran untuk berpasang-pasangan dengan ikatan perkawinan merupakan tindakan yang sangat memuliakan derajat seorang manusia. Jika perkawinan yang dilakukan oleh seorang pasangan telah memenuhi rukun dan syarat diadakannya perkawinan, maka sudah sah hukumnya pasangan tersebut menyalurkan kebutuhan fisik serta rohani terhadap pasangannya. Hal ini berlaku secara umum bagi seluruh umat manusia yang ada di bumi, terutama umat muslim yang memang memegang teguh ajaran Islam, baik itu daerah yang berada

5

Indonesia, Undang-undang tentang Perkawinan UU No. 1 Tahun 1974, LN No.1 Tahun 1974

4

di belahan timur, barat, selatan maupun utara. Semua manusia dianjurkan untuk segera menuju ke jenjang perkawinan manakala sudah memenuhi rukun dan syarat yang ada, serta khawatir akan terjerumus ke dalam perbuatan hina jika tidak segera menikah. Ciri khas Jawa dengan berbagai macam tradisi. Misalnya saja tradisi dalam perkawinan, mulai dari tahapan awal perkawinan yaitu tembungan (istilah Jawa). Maksudnya adalah orang yang dipercaya dan diutus oleh pihak keluarga calon pengantin laki-laki, agar mengadakan pembicaraan khusus dengan keluarga calon pengantin perempuan terkait status, kesediaan serta kesepakatan kedua keluarga. Setelah kedua keluarga sepakat, tahapan selanjutnya yakni nglamar (dalam Islam dikenal dengan istilah khithbah atau peminangan), yang biasa disertai dengan acara liru kalpika rukmi (tukar cincin) sebagai tanda pacangan (perjodohan). Tujuh hari atau lima hari (sepasar) sebelum pelaksanaan perkawinan, biasanya diadakan rapat keluarga, yang disebut dengan istilah kumbakarnan. Acara ini diadakan di rumah keluarga yang akan menyelenggarakan hajatan dengan mengundang para sesepuh, tokoh masyarakat, keluarga dan tetangga terdekat. Tiga hari sebelum pelaksanaan hajatan perkawinan, biasanya diadakan berbagai kegiatan, yakni pasang tarub (mempersiapkan tempat dilaksanakannya acara hajatan perkawinan secara keseluruhan, baik diadakan di gedung ataupun di rumah sendiri), siraman (diadakan khusus untuk calon pengantin perempuan dan disesuaikan dengan hari kelahirannya), dipaes (bagian rambut pada dahi dan kening disungging dengan warna hitam sebagai tanda siap melaksanakan perkawinan dan secara mental siap menjadi ibu rumah tangga), sengkeran atau

5

pingitan (tradisi di mana calon pengantin perempuan yang sudah melakukan ritual siraman sudah tidak diperbolehkan keluar dari area rumah, sampai saat pelaksanaan perkawinan), midodareni dan majemukan (dilaksanakan pada malam menjelang dilaksanakannya perkawinan dengan menghadirkan para sesepuh, sekitar pukul 20.00-24.00 WIB).6 Jadi tidak diragukan lagi jika Jawa masih “kental” akan tradisi-tradisi yang berkaitan dengan perkawinan khususnya, sehingga membuat penelitian yang bertempatkan pada salah satu daerah di tanah Jawa semakin menarik untuk diteliti lebih mendalam. Berlokasikan di Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang, sebuah tradisi perkawinan telah berkembang dalam waktu yang cukup lama. Sebut saja Hana (nama samaran) dan Heru (nama samaran) sebagai calon mempelai. Berpacaran hampir 5 tahun, membuat hubungan mereka menjadi serius. Berawal dari tidak adanya restu dari salah satu orang tua calon mempelai, membuat rencana perkawinan ini menarik untuk disimak, karena usaha yang dilakukan oleh salah satu calon mempelai dalam mencari restu orang tua. Hingga pada akhirnya, keluarlah kata sepakat dari kedua keluarga besar untuk lebih serius menangani hubungan putra-putrinya. Rembugan mulai dilakukan oleh kedua calon mempelai terkait keinginan mereka dan keluarga besar akan hubungan yang sudah terjalin sekian lama. Akhirnya Heru memutuskan untuk meminang Hana, dan Hana pun menyetujui keputusan tersebut. Selanjutnya keluarga besar Heru menjalani berbagai rangkaian tradisi yang harus dilakukan sebagai orang Jawa, mulai dari tembungan, nglamar, sepasar, kumbakarnan, pasang tarub, siraman, paesan

6

Muhammad Sholikin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 202-205

6

(untuk mempelai perempuan) hingga acara pingitan. Hari perkawinan pun sudah dipersiapkan dengan sangat matang, di mana penetapan hari perkawinan juga ditetapkan sesuai tradisi Jawa. Segala persiapan hajatan telah diselesaikan oleh keluarga yang mengadakan walimah di mana keluarga besar Hanalah yang mengadakan acara tersebut. Undangan perkawinan, emas dan alat shalat sebagai mas kawin, sound system, kue-kue hingga souvenir telah dibuat dengan semenarik mungkin. Kedua keluarga besar telah siap untuk menyambut acara besar yang satu ini. Sekitar 5 bulan, segala persiapan telah usai dilakukan. Semuanya bersuka cita menyambut kedatangan menantu baru yang tentunya akan membawa warna baru dalam kehidupan keluarga mereka. Sehari menjelang diadakannya walimah, tibatiba ayah dari mempelai laki-laki terjangkit serangan jantung. Kejadian diawali saat beliau berbincang-bincang dengan para tamunya di rumah, tiba-tiba Pak Sunyoto, orang tua Heru memegang dada sebelah kanannya dan merintih kesakitan. Segera para penduduk yang saat itu tengah berbincang dengan Pak Sunyoto segera melarikan ke rumah sakit terdekat. Semua orang sangat panik menyaksikan kejadian tersebut, dan tak sampai lima menit tibalah Pak Sunyoto beserta rombongan di rumah sakit terdekat. Segera pasien diarahkan menuju Unit Gawat Darurat. Setelah lima belas menit berjalan, salah seorang dokter yang memeriksa Pak Sunyoto keluar dari ruang UGD dan menyatakan bahwa Pak Sunyoto sudah tidak bisa tertolong lagi. Beliau sudah meninggal karena penyakit stroke yang selama bertahun-tahun telah dideritanya. Mendengar berita tersebut, keluarga besar Heru merasa kaget dan syok hingga tak percaya kebenarannya. Semua anggota keluarga merasa berduka atas musibah yang menimpanya kali ini.

7

Seorang utusan segera dikirim ke kediaman calon mempelai perempuan, yang memberi kabar bahwa perkawinan antara Heru dan Hana tidak bisa dilaksanakan esok hari dan harus ditunda hingga ada komunikasi lebih lanjut antara kedua keluarga. Mendengar berita yang dibawa utusan tersebut, keluarga besar Hana tak kalah terkejut. Semua menjadi linglung karena berita duka tersebut. Di sisi lain, semuanya sudah tertata dengan sangat rapi, sedangkan di sisi yang lain keluarga besar calon mempelai laki-laki sedang dilanda musibah yang begitu menyedihkan. Peristiwa seperti inilah yang biasa dikenal dengan istilah kerubuhan gunung. Meskipun tidak ada utusan yang dikirim oleh pihak calon mempelai laki-laki, secara otomatis perkawinan yang telah direncanakan sebelumnya haruslah ditunda pelaksanaannya. Bisa setahun, bisa juga lebih untuk waktu penundaannya tergantung dengan kesepakatan kedua pihak keluarga. Yang pasti, waktu minimalnya yaitu satu tahun dari musibah yang menimpa salah satu pihak.7 Peristiwa serupa juga dialami oleh pasangan Elin dan Arfan yang perkawinan keduanya sempat tertunda hingga 2 tahun lebih karena kejadian sama yang dialami Heru dan Hana menimpa keluarga besar mereka. Bahkan pada tahun 1982, bisa dibilang lebih parah daripada kejadian yang dialami Heru dan Hana karena perkawinan mereka hanya ditunda hingga 1 tahun. Sebab ditundanya perkawinan Elin dan Arfan hingga 2 tahun karena memang saat itu, kedua keluarga besar sama-sama ditimpa musibah dengan selisih waktu 1 tahun. Tak kalah terkejut, pasangan ini sempat tidak ingin meneruskan perkawinannya karena penundaan yang terlalu lama, sehingga menyebabkan masyarakat sekitar

7

Hana, wawancara (Malang, 6 Januari 2015)

8

membuat pembicaraan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ada yang bilang tidak cocok, ada yang bilang bahwa kelahiran mereka tidak memperkenankan perkawinan ini, ada yang bilang rumah mereka saling menghadap ke arah utara dan barat, hingga calon mempelai wanita hanya membawa musibah terhadap keluarga besar yang akan dibinanya.8 Peristiwa ini menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam, karena pada kenyataannya setelah turun lapangan secara langsung, tradisi yang memang sudah diyakini kebenarannya oleh masyarakat ini, menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Jika diperhatikan secara kasat mata, persiapan yang telah ditata jauh-jauh hari harus direlakan untuk pergi hanya karena kejadian yang tidak memakan waktu lama. Anggapan adanya ketidakadilan tiba-tiba muncul, baik dari kalangan keluarga calon mempelai ataupun masyarakat sekitar.

Sehingga

diharapakan penelitian ini mampu memberikan informasi sedalam-dalamnya tentang tradisi yang telah mengakar di masyarakat Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang khususnya dengan jalan pengamatan dan observasi secara langsung pada objek penelitian.

B. Batasan Masalah Penelitian berdasarkan fakta lapangan ini, hanya sebatas daerah yang telah disebutkan pada bagian latar belakang di atas, yaitu Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Begitu juga dengan tokoh masyarakat yang terdapat di daerah ini, sesuai dengan definisi operasional yang akan penulis jabarkan pada

8

Elin, wawancara (Malang, 6 Januari 2015)

9

sub bab selanjutnya. Hasil akhir yang diharapkan juga sesuai dengan pengetahuan dari para informan terkait tradisi yang telah berkembang di masyarakat Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang.

C. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pandangan tokoh masyarakat Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang terhadap tradisi perkawinan kerubuhan gunung? 2. Bagaimanakah relevansi tradisi perkawinan kerubuhan gunung Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang bagi perkembangan hukum perkawinan dalam Islam?

D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penulisan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang terhadap tradisi perkawinan kerubuhan gunung 2. Mengetahui relevansi tradisi perkawinan kerubuhan gunung Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang bagi perkembangan hukum perkawinan dalam Islam

10

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan merinci tentang tradisi perkawinan kerubuhan gunung di Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang, sehingga dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum terutama syari‟ah serta sebagai bahan bacaan dan kepustakaan. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan gambaran umum mengenai tradisi yang telah berkembang di suatu daerah. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan yang luas tentang tradisi perkawinan yang telah berkembang di suatu daerah, sehingga mampu bersaing dengan arus modernisme yang saat ini membutuhkan pembaharuan-pembaharuan guna perbaikan dalam segala bidang kehidupan.

F. Definisi Operasional Berdasarkan judul yang diangkat oleh peneliti, maka dapat ditarik beberapa kata kunci yang membutuhkan penjelasan untuk maksud yang ingin dicapainya. Beberapa kata kunci yang menurut penulis memerlukan penjelasan yaitu : a. Tokoh masyarakat Tokoh masyarakat dalam hal ini merujuk pada penduduk atau orang-orang yang berada di Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Supaya

11

lebih terstruktur dalam pembahasannya, maka penulis membedakan tiga golongan dari tokoh masyarakat itu sendiri, yaitu : 1) Tokoh agama, yang meliputi seorang kyai, Sarjana Hukum Islam atau IAIN, guru agama serta mudin di Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang 2) Tokoh adat, merupakan orang yang dianggap tahu tentang tradisi kerubuhan gunung atau biasa dikenal dengan sebutan sesepuh. Dalam hal ini umur tidak menjadi faktor utama, melainkan kadar pengetahuan tentang tradisi tersebut adalah prioritas utama dalam penentuan tokoh adat 3) Tokoh pemerintahan, merupakan pejabat pemerintah Desa Dilem yang mengetahui pertumbuhan tradisi perkawinan ini. Meliputi Ketua RT, Ketua RW, Kepala Desa, Pamong Desa, Kasun Desa dan Sekretaris Desa. b. Tradisi Tradisi adalah kebiasaan turun temurun.9 Term tradisi secara umum dimaksudkan untuk menunjuk kepada suatu nilai, norma dan adat kebiasaan yang lama dan hingga kini masih diterima, diikuti bahkan dipertahankan oleh kelompok masyarakat tertentu.10 Hassan Hanafi memberikan pengertian tradisi (turats) sebagai semua warisan masa lampau yang sampai kepada kita dan masuk ke dalam kebudayaan yang sekarang berlaku. Tradisi berasal dari bahasa Inggris tradition, berasal dari kata latin traditio atau tradire yaitu menyerahkan, menurunkan atau mengingkari. Tradisi juga

9

Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, h. 756 Soenarto Timoer, Mitos ura-Bhaya Cerita Rakyat sebagai Sumber Penelitian Surabaya (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), h. 11 10

12

berarti intelek (bukan intelegensi), sedangkan dalam ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Menurut Pranowo (2002:8) yang dikutip oleh Nur Syam, tradisi adalah suatu yang diwariskan atau ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini. Sedangkan menurut Anton Rustanto tradisi adalah suatu perilaku yang lazim orang lakukan dalam sebuah tatanan masyarakat tertentu secara turun menurun. Hal ini dilakukan semata-mata karena sifat dari tradisi adalah kontinuitas, dilakukan terus menerus sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para pendahulu mereka.11 Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara

turun-temurun

dari

nenek

moyang.

Tradisi

dipengaruhi

oleh

kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan. c. Kerubuhan Gunung Kerubuhan gunung termasuk paribasan Jawa yang memiliki pengertian „Wong nemoni kesusahan sing gedhé banget‟.12 Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, maka istilah tersebut bermakna „seseorang yang sedang menghadapi masalah yang besar. Seseorang dalam konteks ini dikaitan dengan calon mempelai, baik itu calon mempelai perempuan ataupun laki-laki yang akan membangun rumah tangga bersama pilihannya. Istilah kerubuhan gunung ini digunakan bila akan dilakukan perkawinan terdapat keluarga dekat yang

11

Dadang, “Penjelasan tentang Tradisi”, http://makalahilmupendidikandanperpustakaan.blogspot.com/2011/07/pendidikan-dan-tradisikeagamaan.html, diakses 26 Juli 2011 12 Kasminah, wawancara (Malang: 2 Januari 2015)

13

meninggal dunia, maka perkawinan harus dibatalkan.13 Jika dianalogikan, maka bayangkan saja jika seseorang ditimpa atau dijatuhi oleh gunung yang begitu besar dan menjulang tinggi. Tentunya, rasa sakit yang dirasakan akan sangat pedih jika dibandingkan dengan ditimpa dengan benda-benda lain yang ukurannya lebih kecil daripada sebuah gunung. Jangankan ditimpa oleh gunung yang begitu besar ukurannya, bila kita ditimpa dengan sebuah batu bata yang ukurannya tidak sebanding dengan ukuran sebuah gunung, dapat dipastikan bahwa kita akan merasakan sakit yang amat, karena keras dan beratnya batu bata tersebut. Apalagi jika ditimpa dengan gunung yang ukurannya berkali lipat dari sebuah batu bata. Tentunya rasa sakit yang dirasakan akan beribu kali lipat. Dengan demikian istilah dalam Bahasa Jawa pun disebut dengan kerubuhan gunung.

G. Sistematika Pembahasan Penulisan penelitian skripsi ini terstruktur dalam lima bab. Antar bab, memiliki kuantitas dan titik tekan materi masing-masing sebagaimana diuraikan sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan, di mana bab ini memuat beberapa elemen dasar penelitian ini, antara lain latar belakang yang memberikan landasan berpikir pentingnya penelitian ini, rumusan

permasalahan yang menjadi titik fokus

penelitian, tujuan penelitian yang mendeskripsikan alasan-alasan atau statement diadakannya penelitian ini yang kemudian dirangkai dengan manfaat penelitian 13

Alpha Savitri, “Sejarah Agama, Tradisi Tengger Bromo”, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wpcontent/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf, diakses 02 Februari 2010

14

baik secara teoritis maupun praktis, definisi operasional, dan diakhiri dengan sistematika penulisan laporan penelitian. Dengan mencermati bab ini, gambaran dasar dan alur penelitian akan dapat dipahami dengan jelas. Kajian seputar teori dan penelitian terdahulu, dipaparkan dalam Bab II. Bagian pertama dalam bab ini mengulas perihal mitos dan tradisi orang Jawa. Sedangkan bagian kedua menjelaskan tentang makna, hukum, rukun, syarat, tujuan dan hikmah perkawinan dalam pandangan orang Jawa. Bab III merupakan bagian yang menjelaskan tentang metode penelitian. Metode penelitian menjadi hal penting untuk sebuah penelitian karena hasil akhir yang diperoleh sangat tergantung pada metode yang digunakan. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan lebih pada penelitian lapangan yang mendasarkan informasi pada hasil wawancara, pengamatan dan dokumentasi. Informasi cukup mendalam mengenai profil Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang dan pembahasan penelitian terdapat dalam Bab IV. Profil lembaga ini dianggap penting karena akan memberikan informasi dasar kepada pembaca perihal seluk beluk Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Paparan ini diharapkan akan menjadi pijakan awal bagi pembaca untuk mengetahui lebih jauh tentang tradisi yang berkembang di Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Selanjutnya akan dibahas uraian informasi mengenai pandangan dan relevansi tradisi perkawinan kerubuhan gunung dengan perkembangan hukum perkawinan dalam Islam saat ini. Sebagai akhir dari penelitian, Bab V adalah penutup. Bab ini merupakan bagian yang memuat dua hal dasar, yakni kesimpulan dan saran. Kesimpulan

15

merupakan uraian singkat tentang jawaban atas permasalahan yang disajikan dalam bentuk poin per-poin. Adapun bagian saran memuat beberapa anjuran akademik baik bagi lembaga utamanya dalam hal ini masyarakat terkait maupun untuk peneliti selanjutnya.

16