Hukum memperjual belikan barang yang halal bisa menjadi haram jika

Hukum memperjual belikan barang yang halal bisa menjadi haram jika

Pada dasarnya setiap manusia memiliki banyak kebutuhan setiap harinya baik itu kebutuhan sandang, pangan dan papan. Oleh karena itu terjadilah transaksi jual beli demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Namun pernahkah Anda bertanya-tanya, apakah transaksi jual beli yang terjadi di kehidupan sehari-hari telah sesuai dengan hukum syariat Islam? Karena mungkin saja dikarenakan ketidaktahuan kita, kita telah melanggar hukum Allah sehingga mengurangi keberkahan di dalam hidup kita.

Maka dari itu, pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai dasar-dasar hukum jual beli (ba’i) dalam Islam dengan harapan dapat menghilangkan ketidaktahuan dan membuka wawasan kita sehingga menghindarkan kita dari perbuatan-perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah SWT.

Bentuk Jual-Beli dalam Islam

Jual-Beli (ba’i) memiliki hukum mubah, yakni jika dikerjakan ataupun tidak dikerjakan maka tidak mendapat pahala dan juga tidak mendapat dosa. Namun hukum ba’i dapat berubah sesuai situasi dan kondisi menjadi wajib, sunah, makruh bahkan haram.

Berikut beberapa landasan hukum jual-beli dari Al-Quran dan Al-Hadist.

“….Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS: Al-Baqarah ayat 275).

“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan akad jual-beli) selama mereka belum berpisah.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam tuntunan Islam, ba’i dibagi menjadi 3 bentuk berdasarkan sisi obyek, sisi waktu serah-terima dan sisi penetapan harga.

1. Ba’i dari sisi obyek akad

  • Menukar uang dengan barang. Misal: Menukar laptop dengan rupiah.
  • Menukar barang dengan barang atau barter (muqayadhah). Misal: Menukar handphone dengan jam tangan.
  • Menukar uang dengan uang (sharf). Misal: Menukar Rupiah dengan Won.

2. Ba’i dari sisi waktu serah-terima

  • Serah terima barang dan uang dengan cara tunai.
  • Serah terima barang dan uang dengan cara uang dibayar di muka (akad salam).
  • Serah terima barang dan uang dengan cara barang diterima di muka dan uang menyusul (jual beli kredit/tidak tunai/ba’i ajal).
  • Serah terima barang dan uang tidak tunai atau jual beli hutang dengan hutang (ba’i dain bi dain). Misal: Jual-beli buku dengan saling menyepakati harga namun penjual tidak memiliki produk dan pembeli tidak memiliki uang tunai. Setelah produk ada, produk dikirim kemudian dan uang diserahkan kemudian.

3. Ba’i dari sisi penetapan harga

  • Ba’i musawamah yaitu jual beli dengan cara tawar menawar. Misal: Suatu barang yang dijual dengan ditetapkan harga tertentu oleh penjual tanpa menyebutkan harga pokok dan pembeli diberi kesempatan untuk menawar harga barang tersebut (bentuk asal ba’i).
  • Ba’i amanah yaitu jual beli dengan cara penjual menyebutkan baik harga pokok barang dan harga jual barang tersebut. Ba’i jenis ini dibagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu:
  1. Ba’i murabahah, yakni penjual menyebutkan harga pokok barang dan keuntungan yang didapatkannya dari menjual barang tersebut. Misal: “Saya membeli barang ini seharga Rp 5.000 dan saya jual Rp 6.000 atau dengan keuntungan 20% dari modal.”
  2. Ba’i wadh’iyyah, yakni penjual menjual barang dagangannya dengan harga jual di bawah harga pokok. Misal: “Saya membeli barang ini dengan harga Rp 75.000 dan akan saya jual dengan harga Rp 50.000.”
  3. Ba’i tauliyah, yakni penjual menjual barang dagangannya dengan harga jual sama dengan harga pokok. Misal: “Saya membeli barang ini dengan harga Rp 50.000 dan akan saya jual dengan harga yang sama.”

Lantas, Apa Syarat Sah Ba’i?

Suatu transaksi jual-beli tidak akan sah apabila tidak terpenuhi 7 syarat-syarat berikut ini:

1. Saling rela antara kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli

Syarat ini merupakan syarat yang mutlak harus ada dalam transaksi jual beli sesuai dengan firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS: An Nisaa ayat 29).

Oleh karena itu, transaksi perdagangan yang terjadi dikarenakan keadaan terpaksa/dipaksa maka transaksi tersebut dianggap batal/tidak sah. Namun apabila dalam suatu keadaan terdesak, misal seseorang terlilit hutang dan dipaksa oleh hakim/qadhi untuk menjual hartanya demi melunasi beban hutangnya, maka akad tersebut sah.

2. Kedua belah pihak pelaku akad adalah orang yang memenuhi syarat melakukan akad

Maksud memenuhi syarat di sini adalah berakal dan sudah baligh. Maka dari itu, akad yang dilakukan oleh anak di bawah umur, orang gila atau orang dengan gangguang kejiwaan dianggap tidak sah kecuali dengan izin walinya. Namun, ada pengecualian bagi anak di bawah umur, yakni boleh melakukan akad hanya untuk jual beli hal kecil, misal: permen. Syarat ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nisaa ayat 5 dan An Nisaa ayat 6.

3. Masing-masing pelaku akad memiliki hak milik atas harta obyek transaksi

Tidak sah menjual obyek yang tidak kita miliki dan tanpa seizin pemiliknya. Bagi barang milik anak yatim, penyandang keterbelakangan mental atau gangguan jiwa, maka wali dari mereka disamakan statusnya sebagai pemilik barang tersebut. Hal ini berdasarkan hadist berikut:

“Jangan engkau jual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

4. Obyek transaksi adalah barang yang tidak dilarang agama

Menjual barang haram termasuk haram hukumnya. Misal menjual miras, daging babi, rokok, dan lain sebagainya. Hal ini berdasarkan hadist berikut:

“Sesungguhnya Allah bila mengharamkan suatu barang juga mengharamkan nilai jual barang tersebut.” (HR. Ahmad).

5. Obyek transaksi adalah barang yang dapat diserahterimakan

Transaksi jual beli tidak sah apabila obyek yang diperjualkan tidak dapat diserahterimakan. Misal, jual beli bintang di langit. Hal ini berdasarkan hadist berikut:

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi melarang jual beli gharar (penipuan). (HR. Muslim).

6. Obyek transaksi harus jelas dari segi apapun dan diketahui oleh kedua belah pihak

Tidak diperbolehkan terjadi transaksi yang tidak jelas obyeknya. Misal, jual beli mobil tanpa dilihat terlebih dahulu bentuk fisik serta spek mobilnya. Transaksi dengan obyek yang tidak jelas diklasifikasikan ke dalam gharar dan Allah jelas-jelas melarangnya.

Untuk mengetahui obyek transaksi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

  1. Melihat langsung barang sebelum akad atau pada saat akad.
  2. Penjual menjelaskan spesifikasi obyek secara sejelas-jelasnya kepada pembeli tanpa ada yang ditutup-tutupi.

7. Harga obyek harus jelas saat transaksi terjadi

Tidak sah suatu transaksi jual beli apabila penjual tidak menyebutkan secara jelas harga obyek transaksi. Hal ini diklasifikasikan ke dalam gharar.

Sekian pembahasan mengenai jual-beli yang sesuai dengan tuntunan Islam. Sudahkah kamu menerapkan syarat-syarat sahnya? Bagi kamu yang ingin melakukan transaksi jual beli dengan sistem cicilan tapi takut terjerat riba, jangan khawatir! Dengan SyarQ, kamu bisa melakukan transaksi jual beli dengan sistem cicilan secara halal, tanpa riba dan tanpa denda.

Sumber: Fiqih Muamalah Maaliyah, Sharia Standards by Erwandi Tarmizi & Associates.