Jelaskan apa yang dimaksud dengan istilah kue atau sudah dalam kebudayaan Melayu Riau?

Riau merupakan salah satu daerah yang dalam perjalanan sejarahnya telah menyumbangkan sebongkah emas budaya yang bernama bahasa Melayu, yang kemudian menjadi salah satu puncak budaya nasional Indonesia. Semua tahu, bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional Indonesia itu, asal-muasalnya adalah Bahasa Melayu Riau, bahasa yang tumbuh dan berkembang di bawah dera dan tempaan kultur Melayu yang besar dan hidup di tengah masyarakat Riau.

Visi Riau 2020 yang ingin menjadikan Riau sebagai pusat budaya Melayu di Asia Tenggara hendaknya tidakboleh sebatas cita-cita tanpa kerja keras. "Kita perlu lembaga kajian dan riset kebudayaan Melayu yang mampu menghadirkan atau mencairkan warisan budaya yang beku menjadi sesuatu yang inspiratif dan bermanfaat bagi generasi saat ini dan masa yang akan datang.

Lebih lanjut kita perlu mencoba mempopulerkan Mazhab Riau namun dalam perjalanannya kemudian tidak berkembang yang diharapkan. Bahkan, lanjutnya, untuk web site yang serius mengupas masalah sastra dan budaya Melayu malah muncul dari Jogjakarta. "Kita punya aneka budaya yang bisa mengglobal kalau digarap serius," Pantun mempunyai daya tarik yang mudah mengglobal namun dalam realitasnya juga tak tergarap dengan lebih profesional.Dimensi kedua jiwa Melayu ialah warisan budayanya. Perkembangan budaya wujudnya dari kemajuan intelek manusia mengenai seni serta cara hidup masyarakat yang mencakupi aspek kemajuan akal, budi dan peradaban.

Pembentukan seni, budi pekerti dan peradaban telah bermula pada zaman kemaharajaan di tanah Melayu. dahulu. Orang Melayu terkenal dengan kehalusan dan kecantikan budaya mereka yang meliputi bahasa, sastera, adat resam, dan tatasusila. Ini semua telah berkembang sebagai nilai-nilai murni yang disanjungi oleh masyarakat turun-temurun.

Adat adalah warisan budaya yang merupakan peraturan yang sudah diamalkan turun-temurun sejak dahulu kala di dalam sesuatu masyarakat sehingga menjadi hukum yang harus dipatuhi. Jadi, kalau seseorang itu dituduh kurang adat, bermakna dia kurang sopan atau kurang ajar. Sebaliknya, kalau dia dikatakan tahu adat, bermakna dia adalah seorang yang bersopan santun. Beraneka macam adat perlu diketahui supaya warisan dan kekayaan budaya Melayu dapat dihayati. Adat-istiadat melingkupi berbagai peraturan yang dituruti turun-temurun.

Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah adalah tepat sekali. Segala perbuatan hendaklah jangan bertentangan dengan adat dan agama. Ini adalah karena pedoman yang paling munasabah bagi kita semua ialah hidup dikandung adat mati dikandung tanah, yaitu setiap orang harus mentaati adat selama hidupnya dan jangan pula lupa bahwa dia akan mati pada suatu hari nanti.

Perwatakan budaya Melayu mengikut tradisi adalah berteraskan sifat sopan santun, lemah lembut, berbudi bahasa, bersih tutur kata dan berkepribadian tinggi. Tingkah-laku dan budi pekerti baik menjadi teras ukuran peradaban Melayu yang berkesinambungan. Bagi orang Melayu, penghayatan dan akhlak adalah kritikal. Berdasarkan ilmu yang diperoleh serta rukun yang mengawal perlakuan kita, maka kualitas kehidupan sehari-hari kita akan berpegang kepada penghayatan terhadap nilai-nilai murni yang diperoleh dari dasar agama.

Aspek-aspek Kebudayaan Melayu

Beberapa warisan kebudayan Melayu yang mungkin dapat dijadikan dasar dan falsafah hidup bagi orang Melayu. Semua warisan tersebut merupakan buah pikir, buah kerja, dan karya cipta yang telah ditunjukkan oleh nenek moyang orang Melayu, yang sekarang sudah menjadi kewajiban kita untuk melestarikan warisan budaya tersebut di kalangan orang Melayu dewasa ini. Tidak hanya menjaga dan mengamankan warisan budaya Melayu tersebut, akan tetapi generasi kini maupun mendatang sudah harus mengkaji, mendalami berbagai warisan-warisan kebudayaan Melayu yang masih misterius dan belum penah tersentuh oleh pakar-pakar Melayu.

Oleh sebab itu, kekayaan yang masih tersimpan dan terbenam di dalam bumi Melayu ini, perlu kita bersinergi untuk mengungkap kembali, sehingga warisan budaya Melayu ini dapat diketahui dan dipelajari oleh generasi Melayu mendatang.

Adapun warisan-warisan budaya Melayu yang dapat dilestarikan dan dikaji kembali sehingga menjadi kekuatan kita untuk dapat mempertahankan jati diri Melayu, di antaranya adalah:

1) Bahasa dan Sastra Melayu.

Masing-masing daerah di Propinsi Riau memiliki dialek Bahasa dan Sastra yang berbeda, dan sampai sekarang masih terus menjadi panutan dari masing-masing daerah. Hal ini lebih di kenal dengan Bahasa Ibu, dan masih melekat erat dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari baik untuk dirumah tangga, di muka umum bahkan dikantor. Sedangkan Sastra yang masih digunakan ada dalam bentuk prosa dan puisi.

Hasil kesusasteraan Melayu itu pun telah dengan sendirinya memperkaya sekaligus mendorong maju ilmu pengetahuan. Karena satu sama lainnya saling berkaitan dan tidak terpisahkan. Ilmu, baik yang secara umum maupun khusus seperti kesusastraan itu, kemajuannya senantiasa melalui asah-ujian dalam praktik, pertukar-pikiran atau bahkan perdebatan yang bebas merdeka. Artinya, adanya kebebas-merdekaan dalam mengekspresikan diri, sekalipun terjadi keberbedaan dalam kebersamaan. Maka dari itu kita bisa memaklumi, bahkan dalam hal apresiasi keberadaan bahasa dan sastra Melayu dalam kaitannya dengan sastra Indonesia umumnya, terdapat berbagai pendapat, penilaian atau pandangan.

2) Tulisan/Arab Melayu.

Sekarang Tulisan/Arab Melayu sudah diajarkan ke pada anak didik mulai dari Pendidikan Dasar (SD-SLTP). Tulisan/Arab Melayu ke depan lebih berorientasi kepada dunia sekitar anak didik, perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (komputer, internet, web) dan dunia global, dan lain sebagainya. Riwayat perkembangan aksara Arab-Melayu di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peran putra-putra Melayu yang kembali ke dari tanah Arab. Tulisan Arab-Melayu menjadi salah satu simbol yang memperkokoh simpul ikatan bangsa-bangsa Melayu serumpun. Aksara Arab-Melayu, yang kemudian dikenal sebagai tulisan Arab-Jawi, secara langsung atau tidak telah ikut berjasa mengantarkan bangsa-bangsa Melayu menuju khazanah dan peradaban yang tinggi. Menurut Irfan Shofwani dalam buku "Mengenal Tulisan Arab Melayu" (2005) yang diterbitkan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), hal ini kian memperkuat besarnya peran dan posisi bahasa Melayu dalam pembentukan tradisi serta corak intelektualitas Islam di dunia.

3) Adat Istiadat Melayu

Tentang Adat Istiadat, juga ada kesamaan dan perbedaan masing-masing kabupaten/kota. Ada istiadat yang masih melekat oleh masyarakatnya seperti adat perkawinan, adat melahirkan, adat turun mandi, mandi berlimau, dan masih banyak adat istiadat yang perlu untuk digali.

Adat adalah tata cara yang mengatur tingkah laku manusia dalam segala aspek kehidupannya. Dengan demikian, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi adat segala kegiatan kehidupannya diatur oleh adat. Jika ditinjau dari sumbernya, orang melayu dalam arti luas mengenal kepada dua macam adat. Kedua macam adat itu ialah:

1. Adat temenggungan, Adat Temenggungan adalah warisan Datuk Temenggung. Adat temenggungan mengandung sistem patrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan keturunan bapak. Orang Melayu menggunakan adat Temenggungan ini. 2. Adat perpatih. Adat Perpatih merupakan warisan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Adat Perpatih mengembangkan sistem matrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan pada keturunan ibu. Adat perpatih berlaku dalam sebagian masyarakat melayu Riau Daratan. Jika ditinjau dari sudut hirarkinya, adat melayu dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Adat sebenar adat. 2. Adat yang diadatkan, 3. Adat yang teradat

Adat Sebenar Adat, ialah prinsip-prinsip yang bersumber dari agama Islam. Aturan adat ini tiadalah dapat diubah-ubah. Adat yang pertama ini tersimpul dengan ungkapan"Berdiri adat karena syarak". Adat Sebenar Adat. Ialah prinsip-prinsip adat yang disusun oleh Penguasa Melayu ( Raja, Pemuka Adat, dll). Adat sejenis ini dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak penguasa sesuai dengan ungkapan "Sekali Air Bah, Sekali Tepian Berubah".Penjelasan Mengenai Adat Yang diadatkan ini ialah:

"Adat yang diadatkan ialah:

Adat yang turun dari Raja

Adat yang tumbuh dari Datuk

Adat yang cucur dari penghulu

Adat yang lahir dari mufakat

Adat yang dibuat kemudian

Putus mufakat ia berubah

Bulat kata ia berganti

Beralih musim ia berganti

Bertukar angin ia melayang

Bersalin baju ia beralih

Berkisar duduk ia beralih

Berpaling tegak ia lepas

Adat dibuat dengan mufakat

Adat diganti dengan sepakat

Ungkapan diatas memberi petunjuk bahwa adat ini adalah adat yang dibuat sesuai dengan kesepakatan bersama atau atas ketetapan dari raja atau penguasa. Adat ini tidak selamanya berlaku, tetapi bias dirobah melalui musyawarah mufakat.

Adat Yang Di adatkan, ialah prinsip-prinsip adat yang disusun oleh penguasa Melayu (Raja, Pemuka adat, dll). Adat sejenis ini dapat pula berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak penguasa sesuai dengan ungkapan "Sekali air bah, sekali tepian berubah". Adat Yang Di adatkan, Ialah sikap, tindakan, dan putusan bersama atas dasar musyawarah yang dirasakan cukup baik oleh masyarakat. Inilah kemudian yang menjadi kebiasaan turun temurun. Adapun adat jenis ketiga ini pun dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Ialah prinsip-prinsip adat yang disusun oleh Penguasa Melayu ( Raja, Pemuka Adat, dll). Adat sejenis ini dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak penguasa sesuai dengan ungkapan "Sekali Air Bah, Sekali Tepian Berubah".

Penjelasan Mengenai Adat Yang diadatkan ini ialah: "Adat yang diadatkan ialah:

Adat yang turun dari Raja

Adat yang tumbuh dari Datuk

Adat yang cucur dari penghulu

Adat yang lahir dari mufakat

Adat yang dibuat kemudian

Putus mufakat ia berubah

Bulat kata ia berganti

Beralih musim ia berganti

Bertukar angin ia melayang

Bersalin baju ia beralih

Berkisar duduk ia beralih

Berpaling tegak ia lepas

Adat dibuat dengan mufakat

Adat diganti dengan sepakat

Ungkapan diatas memberi petunjuk bahwa adat ini adalah adat yang dibuat sesuai dengan kesepakatan bersama atau atas ketetapan dari raja atau penguasa. Adat ini tidak selamanya berlaku, tetapi bias dirobah melalui musyawarah mufakat.

Dalam masyarakat Melayu, ketiga jenis adat diatas berlaku untuk mengatur kehidupan masyarakat sehari-hari. Dikampung-kampung, aturan adat tersebut masih banyak yang diperhatikan dan diindahkan, tetapi daerah perkotaan peraturan adat tersebut sedikit tidak diperhatikan.Yang dikatakan Adat Yang di adatkan, itu ialah kebiasaan yang lambat laun mentradisi di dalam masyarakat yang awalnya tidak didasarkan pada keputusan dan mufakat. Oleh sebab itu, masyarakat menganggap bahwa adat ini amatlah longgar kedudukannya karena dianggap tidak ditopang oleh sumber yang jelas serta tidak pula dari musyawarah mufakat.

Adat yang teradat ialah sikap, tindakan, dan putusan bersama atas dasar musyawarah yang dirasakan cukup baik oleh masyarakat. Inilah yang kemudian menjadi kebiasaan turun-temurun.

Yang dikatakan Adat Yang Teradat itu ialah kebiasaan yang lambat laun mentradisi di dalam masyarakat yang awalnya tidak didasarkan pada keputusan dan mufakat. Oleh sebab itu, masyarakat menganggap bahwa adat ini amatlah longgar kedudukannya karena dianggap tidak ditopang oleh sumber yang jelas serta tidak pula dari musyawarah mufakat.

Adapun adat jenis ketiga ini pun dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam masyarakat Melayu, ketiga jenis adat diatas berlaku untuk mengatur kehidupan masyarakat sehari-hari. Dikampung-kampung, aturan adat tersebut masih banyak yang diperhatikan dan diindahkan, tetapi daerah perkotaan peraturan adat tersebut sedikit tidak diperhatikan.

4) Permainan Masyarakat Melayu

Dalam tradisi lisan, permainan ini yang dikenali juga sebagai pemainan masa lapang atau sukan rakyat termasuk dalam kategori "folk games". Permainan ini bukan sahaja berfungsi sebagai alat hiburan tetapi juga berperanan dalam aktiviti sosial untuk menyerikan majlis-majlis keramaian, perkahwinan dan sebagainya. Permainan masa lapang dan sukan rakyat yang lahir di dalam kebudayaan Melayu, malah dalam kebudayaan semua dikatakan sebagai satu cara untuk pelepasan emosi manusia itu sendiri.

Di samping berfungsi diatas permainan tradisional dalam masyarakat Melayu memainkan beberapa peranan yang lain seperti bertindak sebagai alat komunikasi di kalangan anggota masyarakat. Permainan masa lapang bagi orang Melayu boleh dibahagikan kepada permainan untuk orang dewasa dan permainan untuk kanak-kanak. Permainan untuk orang dewasa termasuklah permainan wau, sepak raga, gasing, menyabung ayam, laga buah keras, congkak, berlaga kerbau dan lain-lain. Permainan untuk kanak-kanak pula termasuklah main telaga buruk, guli-guli, main galah, main kapal terbang, cina buta, ketup atau sembunyi dan lain-lain.

5) Makanan dan Minuman

Banyak jenis makanan dan minuman Melayu yang masih melekat dan dipakai oleh masyarakat Melayu. Jenis makanan dan minuman yang sudah terlupakan juga banyak, sehingga kita tidak mengenal lagi jenis makanan dan minuman ala Melayu lagi. Perlu kita gali dan kita angkat kembali untuk lebih dikenal oleh anak didik kita. Antara lain ketupat sayur, laksa, roti kirai, kue talam belau, otak-otak, dan kole-kole modifikasi. "Roti tirai enak di makan dengan dicampur kuah kari, sedangkan laksa nikmat bila dicampur dengan kelapa bumbu gongseng, dendengdaging, Ayam Goreng Kunyit, Ayam Pedas Berempah, Daging Masak Ketumbar, Sambal Campur, Ikan Sembilang Gulai Tempoyak, Ikan Sembilang Pedas, Jengganan, Sayur Campur, Gulau Nenas Dan Ikan Kurau Masin, Sardin Goreng Pedas. Ikan asin pedas

Kuliner Melayu Riau yang paling populer adalah masakan ikan asam pedas. Beberapa jenis ikan yang sering dipakai untuk masakan ini adalah ikan baung, patin, atau selais. Ketiganya adalah ikan sungai yang berkulit licin - tidak bersisik. Baung dan patin malah memiliki kemiripan bentuk, yaitu mirip ikan lele. Keduanya memang termasuk jenis snakehead fish. Bedanya, daging ikan patin jauh lebih berlemak dan lembut. Sedangkan daging ikan baung lebih padat, flaky, dan bertekstur. Dibanding dengan baung dan patin, ikan selais lebih pipih bentuk badannya, ketiga ikan itu punya kecocokan masing-masing. Ikan baung lezat dimasak asam pedas atau gulai. Ikan patin lemak dibakar. Sedangkan ikan selais jadi top markotop bila digoreng balado. Hadirnya makanan bernuansa Melayu ini untuk mengenalkan ke generasi muda untuk lebih mencintai khas daerahnya dan melestarikannya, Masyarakat Melayu juga memiliki banyak ragam tentang penganan atau kue mueh, seperti: Penganan (Kue-Mue) Basah : Penganan Talam Manis, Penganan (Kue-Mue) Basah : Talam Belauk, Penganan (Kue-Mue) Basah : Putu Piring, Penganan (Kue-Mue) Basah : Bahulu/Bolu Kamboja, Penganan (Kue-Mue) Basah : Anta Kesuma, Penganan (Kue-Mue) Basah : Kole - Kole, Penganan (Kue-Mue) Basah, Penganan (Kue-Mue) Basah : Putu Mayang, Penganan (Kue-Mue) Basah : Halwa Nikmat, Penganan (Kue-Mue) Basah : Aman Sari Jepang, Penganan (Kue-Mue) Basah : Bahulu/Bolu Berendam, Penganan (Kue-Mue) Basah : Apam, Penganan (Kue-Mue) Basah : Tembose, Penganan (Kue-Mue) Basah : Lempeng Petanak, Penganan (Kue-Mue) Basah : Deram Deram, Penganan (Kue-Mue) Basah : Pengat Pisang, . Penganan (Kue-Mue) Basah : Mahkota Pecah Intan, Penganan (Kue-Mue) Basah : Pengat Labu, Penganan (Kue-Mue) Basah : Serikaya Kerwang, Penganan (Kue-Mue) Basah : Pulut Sambal, Penganan (Kue-Mue) Basah : Nagasari, Penganan (Kue-Mue) Basah : Lopes/Lupis Pulut, Penganan (Kue-Mue) Basah : Buah Melaka, Penganan (Kue-Mue) Basah : Kue Jongkong, Penganan (Kue-Mue) Basah : Puteri Salat, . Penganan (Kue-Mue) Basah : Sari Muka, Penganan (Kue-Mue) Basah : Bingka Ubi, Penganan (Kue-Mue) Basah : Tepung Gomak, Penganan (Kue-Mue) Basah : Pendekot, Penganan (Kue-Mue) Basah : Ongol-Ongol, Penganan (Kue-Mue) Basah : Puteri Dua Sebilik, Penganan (Kue-Mue) Basah : Kepal-Kepal, Penganan (Kue-Mue) Basah : Roti Belauk, Penganan (Kue-Mue) Basah : Tepung Kusoi, Penganan (Kue-Mue) Basah : Gendang Seturi (Kest), Menjamu Selera : Sambal Lempuyang, Menjamu Selera : Sambal Belacan, Menjamu Selera : Sambal Bilis, Menjamu Selera : Sambal Lumat, Menjamu Selera : Otak-Otak, Menjamu Selera : Kerabu Nenas. Sedangkan jenis minuman masyarakat Melayu, seperti : Minuman Khas Melayu : Laksamana Mengamuk, Minuman Khas Melayu : Air Dohot Kesemak

6) Kesenian Masyarakat Melayu

Menurut Kamus Dewan Seni didefinisikan sebagai karya (sajak, lukisan, musik, dll) yang dicipta dengan bakat (kecekapan), hasil daripada sesuatu ciptaan. Manakala kesenian bermaksud perihal seni, yang berkaitan dengan seni, keindahan (kehalusan). Kesenian ini menjadi penunjang kepada kebudayaan masyarakat Melayu sejak turun temurun. Dengan adanya kesenian seperti ini identitas masyarakat Melayu lebih memasyarakat dan dikenali ramai. Kementerian Kebudanyaan dan Kesenian telah mengambil berbagai inisiatif bagi memantapkan dan memperkembangkan lagi kebudayaan masyarakat Melayu. Kesenian bangsa Melayu telah diakui dunia sebagai unik dan menarik,seperti : seni suara, seni gerak. drama tradisional, lagu anak-anak

7) Senjata Tradisional Masyarakat Melayu

Jenis dan corak senjata tradisional masih banyak kita temukan di daerah-daerah dan itu belum tersentuh dan diangkat, sehingga banyak jenis dan corak senjata tradisional ini yang perlu diketahui oleh anak didik. Apa lagi jenis dan corak senjata tradisional yang dimiliki oleh masyarakat terasing (suku asli), dan pejuang-pejuang kita pada masa penjajahan dan perang kemerdekaan.

Senjata yang dipergunakan masyarakat Melayu sebenarnya sudah dikenal lama baik yang diperbuat secara sederhana sampai kepada senjata-senjata yang dikenal sekarang ini. Juga diketahui bahwa peralatan senjata-senjata tersebut ada yang dikenal sebagai senjata untuk menyerang, mempertahankan diri termasuk juga senjata yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti untuk berburu dan lain sebagainya.

Menurut Muhammad Usman dan kawan-kawan (1987/1988) senjata adalah sejenis alat yang dibuat oleh manusia untuk keperluan dalam menghadapi lingkungan di mana manusia itu berada. Biasanya senjata dipergunakan untuk membela diri, kepentingan berperang, menyerang lawan dan juga berkenaan memburu binatang.

Konon ketika masyarakat Melayu belum mengenal logam untuk bahan membuat senjata, bahan yang dipergunakan adalah batu yang dibentuk sedemikian rupa sehinggalah pekerjaan kepada pembuatan senjata itu sangat sederhana. Tetapi kemudiannya seiring kepada perjalanan waktu, memasuki kepada masa Sriwijaya dan kemudian Majapahit, senjata yang dibuat dan digunakan oleh masyarakat Melayu sudah beragam dan lebih baik buatannya.

Senjata yang diperbuat kemudiannya dari logam telah beragam seperti tombak, golok (parang), keris dan lain sebagainya yang dapat dipergunakan oleh masyarakat Melayu guna menyerang, mempertahankan diri dan juga untuk memenuhi keperluan hidup.

Masuknya kebudayaan Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat Melayu pada kira-kira abad ke 15 menyebabkan masyarakat Melayu mengenal senjata seperti pedang. Kemudiannya ketika masuknya pemerintah kolonial, barulah dikenal senjata lainnya seperti senapan, meriam dan lain sebagainya.

Dari beberapa jenis senjata tersebut pada saat sekarang ini, adalah yang tidak dipergunakan lagi dan kemudiannya punah. Sedangkan beberapa senjata yang masih dipergunakan adalah parang, serampang, tombak dan juga keris, malah ada yang hanya dijadikan pajangan ataupun barang pusaka.

Bentuk senjata yang diciptakan pada dasarnya dipengaruhi oleh keperluan manusia itu sendiri untuk tujuan apa dan bagaimana. Disamping bentuk, senjata juga dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan teknologi manusia pada saat senjata tersebut dibuat. Oleh karena itu, terdapat berbagai ragam bentuk senjata dengan segala kegunaannya menurut lingkungan di mana manusia tersebut bertempat tinggal. Masing-masing senjata tersebut terdiri dari beberapa unsur baik dari segi jumlah unsur yang terkandung di dalamnya maupun dari segi mutu yang menyangkut pada bahan, cara pembuatan, ragam hias dan sebagainya. (Sumintarsih dkk, 1990).Berkenaan dengan perihal yang sedemikian, masyarakat Melayu mengembangkan bentuk-bentuk senjata yang khas sesuai pula dengan kebudayaan yang dimiliki. Bentuk senjata yang dibuat disesuaikan dengan tujuan yang hendak dilakukan atau dicapai. Misalnya keris, senjata untuk menyerang ini dibuat runcing dan matanya tajam. Bentuk ini dibuat supaya mudah mengenai sasaran dan dapat mematikan atau melumpuhkan lawan. Demikian juga senjata yang diperbuat untuk kegunaan keperluan hidup seperti parang dan pisau. Bentuknya dibuat pipih dan matanya diasah hingga tajam supaya dapat memotong atau membelah hewan, kayu, buah-buahan, sayur-sayuran dan benda-benda lainnya.

Adakalanya senjata tradisional yang dibuat masyarakat Melayu bentuknya sederhana. Dikatakan sederhana karena memang terbuat dari bahan serta cara pembuatannya yang sedehana, seperti panah, sumpitan, bahkan lastik (ketapel).

Disamping senjata sederhana, ada juga senjata jenis tradisioanal yang bentuk dan cara pembuatannya rumit. Selain itu juga dilengkapi dengan sarungnya. Hal ini dilihat dari cara pembuatan keris, pedang dan tombak. Pada senjata ini biasanya terdapat ukiran, yaitu pada tangkai, bilah dan sarungnya. Tidak semua pandai besi mampu membuat senjata yang mempunya sarung dan ukiran. Diperlukan keahlian khusus bagi pandai besi untuk membuatnya.

Pada keperluan tertentu, misalnya guna menusuk atau menikam lawan, senjata tradisional yang dibuat untuk seperti ini adalah yang pendek, ringan dan tidak begitu besar. Ini dimaksudkan agar mudah menggunakannya dan tidak perlu menggunakan tenaga yang besar dalam menggerakkan senjata tersebut. Dalam hal ini senjata yang biasa digunakan adalah keris. Karena sesuai dengan fungsinya keris merupakan senjata untuk menikam atau menusuk lawan.

Ditinjau dari bentuk fisiknya, ada kalanya senjata yang dibuat bentuknya lurus, bengkok dan berlekuk. Senjata yang bentuknya lurus seperti pedang dan tombak. Ada juga keris yang dibuat bentuknya lurus. Senjata yang bentuk fisiknya bengkok adalah parang dan panah. Sementara itu, senjata yang bentuknya berlekuk diwakili oleh keris. Dari bentuk fisik senjata tradisional ini, tercermin cara penggunaannya dan untuk jenis pekerjaan apa digunakan.

Selain bentuk tersebut diatas, ada jenis senjata tradisional yang dibuat atau dilengkapi dengan hiasan. Bentuk atau motif tertentu diukir pada bagian senjata sehingga memperindah bentuk badan senjata. Ukiran yang terdapat pada senjata, terutama keris, pedang, dan tombak adakalanya berasal dari sepuhan emas atau logam berharga lainnya. Bentuk senjata seperti ini biasanya hanya dimiliki oleh orang kaya atau kamu bangsawan.

Dilihat dari mata atau sisi senjata, pada dasarnya senjata tradisional masyarakat Melayu dibuat bermata satu, dua, dan ada juga bermata tiga. Dari bentuk mata senjata tradisional ini terpancar cara penggunaan dan keefektivitasan pekerjaan orang yang menggunakan senjata tersebut. Senjata tradisional yang bermata satu terlihat dari berbagai jenis pisau dan parang. Senjata yang bermata dua adalah keris, pedang dan tombak. Sementara itu senjata yang bermata tiga adalah serampang.

Untuk pekerjaan memburu hewan atau menangkap ikan, bentuk senjata yang dibuat disesuaikan dengan pekerjaan yang dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar hewan yang diburu atau ikan yang hendak ditangkap segera didapatkan. Untuk pekerjaan seperti ini, senjata yang digunakan harus bermata tajam dan runcing serta bisa digerakkan sejauh mungkin. Pada masyarakat Melayu bentuk senjata seperti ini diwakili oleh tombak yang dapat digerakkan dengan cara melemparkannya pada sasaran yang ditombak. Bentuk tombak pada masyarakat Melayu ada yang bermata satu (tempuling) dan ada yang bermata tiga seperti trisula (serampang).

Ketentuan Sebagai Senjata berdasarkan dari tujuan pembuatan dan penggunaan senjata. Senjata-senjata tradisional masyarakat Melayu pada hakekatnya dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu ; Senjata untuk menyerang, Senjata untuk mempertahankan diri, dan Senjata yang bergerak sendiri.

8) Alat-alat Tradisional Melayu

Banyak alat-alat tradisional yang kita miliki dari berbagai daerah Di Propinsi Riau yang belum tergali dan dikemukakan. Alat-alat tradisional tersebut merupakan warisan dan buatan tangan sendiri oleh putra negeri kita. Alat-alat tersebut dapat saja diperuntukkan untuk seni, untu k mata pencaharian, untuk komunikasi dan sebagainya,. Jenis-jenisnya seperti :Peralatan Pertukangan, Peralatan Berburu, Peralatan Pertanian, Peralatan Menangkap Ikan.

9). Pantun pada Masyarakat Melayu

Pantun bagi masyarakat di kawasan Nusantara ibarat sesuatu yang begitu dekat, tetapi kini terasa jauh ketika budaya populer (low culture) makin menjadi primadona dalam industri hiburan. Dalam kondisi itu, pantun kini laksana pepatah, tak kenal maka tak sayang. Itulah yang terjadi pada pantun. Seolah-olah, ia hanya produk masa lalu yang sudah usang dan tiada berguna. Bahkan, bagi anak-anak muda di Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa, pantun seperti tidak lebih dari sekadar produk budaya Melayu, dan oleh karena itu, dianggap hanya milik orang Melayu.

Tentu saja pemahaman itu tidaklah benar. Betul, pantun sepertinya berasal dari tradisi Melayu yang sudah begitu kuat mengakar dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Pantun boleh jadi penyebarannya sejalan dengan perkembangan bahasa Melayu yang menjadi lingua franca di kawasan Nusantara. Boleh jadi karena itu pula, dibandingkan dengan masyarakat di daerah lain, pantun bagi masyarakat Melayu sudah begitu kukuh menyatu dan sebagai media penting dalam menyampaikan nasihat berkenaan dengan tata pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat. Telusuri saja ceruk pantai dan pelosok desa di kawasan Riau, Bengkalis, Tanjungpinang, dan terus memasuki wilayah semenanjung Melayu hingga ke Malaysia, maka kita akan melihat betapa pantun telah menyatu dengan kehidupan keseharian masyarakat di sana. Dikatakan Tenas Effendy, "Orang tua-tua Melayu mengatakan, rendang kayu kerana daunnya, terpandang Melayu kerana pantunnya. Ungkapan ini mencerminkan betapa besarnya peranan pantun dalam kehidupan orang Melayu."

Di berbagai daerah lain di Nusantara ini, pantun sudah pun dikenal masyarakat dengan sangat baik. Boleh jadi karena pantun mengandungi sampiran dan isi, serta dapat dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan dan disampaikan dalam sembarang masa, dalam kegiatan apa pun, dan dilakukan oleh sesiapa pun juga, pantun pada gilirannya paling banyak diminati oleh masyarakat tanpa terikat oleh status sosial, agama, dan usia. Pantun menjadi sarana yang efektif yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Itulah salah satu kelebihan pantun dibandingkan gurindam atau syair. Pantun mudah saja diciptakan oleh setiap anggota masyarakat dengan latar belakang budayanya sendiri. Maka, sesiapa pun dari etnis dan latar belakang budaya mana pun, boleh saja membuat pantun.

Semangatnya sederhana. Pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi, untuk menyelusupkan nasihat atau wejangan, atau bahkan untuk melakukan kritik sosial, tanpa mencederai perasaan siapa pun. Itulah kelebihan pantun. "Pantun bukan saja digunakan sebagai alat hiburan, kelakar, sindiran, melampiaskan rasa rindu dendam antara bujang dengan dara, tetapi yang lebih menarik ialah peranannya sebagai media dalam menyampaikan tunjuk ajar."

Sesungguhnya, jika ditelusuri lebih jauh, pantun merupakan salah satu produk budaya masyarakat Nusantara yang merepresentasikan wilayah geografi, kebudayaan, dan "potret" masyarakatnya. Maka, ketika pantun itu muncul di wilayah budaya Melayu, Batak, Sunda, Madura, Betawi, atau Jawa, tak terhindarkan petatah-petitih, nama-nama tempat dan sejumlah istilah yang berkaitan dengan budaya tempatan dengan berbagai aspek lokalitasnya, akan hadir dalam pantun yang dilahirkannya.

Pantun, seperti telah disinggung, memang seperti sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Melayu. Sebagian besar orang beranggapan bahwa pantun sudah menjadi bagian dari kehidupan keseharian orang Melayu. Maka pantun yang dihasilkannya itu disebut sebagai pantun Melayu. Tetapi, pantun dikenal juga secara baik oleh masyarakat yang tersebar di wilayah Nusantara ini. Lalu bagaimana dengan pantun yang dihasilkan oleh orang Madura, Jawa, Betawi, Sunda, dan seterusnya. Apakah pantun yang dihasilkan mereka itu disebut juga pantun Melayu? Apakah ciri-ciri pantun-dua larik pertama sebagai sampiran dan dua larik berikutnya sebagai isi- melekat juga pada pantun yang dihasilkan anggota masyarakat di luar kebudayaan Melayu? Apakah juga jumlah kata dalam setiap lariknya sama dengan pantun Melayu? Sebagai pantun, tentu saja ciri khasnya yang mengandungi sampiran dan isi, hendaknya tidak ditinggalkan begitu saja. Tetapi, menyebutkan pantun yang dihasilkan di luar wilayah Melayu sebagai pantun Melayu, tentu juga tidaklah tepat. Itulah kekhasan pantun. Ia menjadi milik masyarakat budaya yang melahirkannya, tetapi sekaligus menjadi milik warga yang berada di wilayah Nusantara.

Penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar atau para ahli tentang pantun menunjukkan, bahwa pantun termasuk produk budaya yang paling luas penyebarannya, paling dekat dengan masyarakat tanpa terbentur stratifikasi sosial, usia, dan agama. Sejauh pengamatan, penelitian Klinkert (1868) dan kemudian Pijnappel (1883) laksana pembuka pintu bagi peneliti lain dalam coba mengungkapkan berbagai hal berkenaan dengan pantun. Kemudian Ch. A. van Ophuysen membincangkan pantun secara luas dan mendalam yang disampaikannya sebagai pidato pengukuhan guru besar bahasa Melayu di Leiden tahun 1904. Orang Indonesia pertama yang membicarakan pantun tidak lain adalah Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat dalam pidatonya pada Peringatan 9 Tahun berdirinya Sekolah Dikatakan Hoesein Djajadiningrat, bahwa sejak tahun 1688 pantun telah banyak menarik perhatian peneliti Barat. Sedikitnya 20-an tulisan mereka yang dibicarakan Djajadiningrat cenderung keliru memahami pantun, karena ukuran yang digunakannya tidak lain dari persajakan Barat. Kini, perbincangan pantun seperti tiada habisnya, dan di luar perbincangan itu, tidak sedikit pula orang yang coba menulis pantun, baik untuk sekadar hiburan, maupun yang sengaja ditulis untuk berbagai keperluan. Maka, tidaklah mengherankan jika di antara mereka yang menulis pantun itu, tidak sedikit pula yang sebenarnya tidak memahami konsep pantun yang benar. Jika kedua plesetan pantun di atas dan pantun "politik" memang sengaja dimaksudkan sebagai kelakar dengan membuat sesuatu yang seolah-olah pantun atau pantun yang memang digunakan untuk tujuan kampanye untuk mendukung kandidat kepala daerah, maka ada pula yang secara serius hendak membuat pantun dan menerbitkannya sebagai buku tanpa pemahaman yang benar tentang pantun. Akibatnya, selain terjadi begitu banyak kesalahan, juga dapat menimbulkan pemahaman yang keliru tentang substansi pantun itu sendiri.

Sebagai objek kajian, pantun memang seperti tidak pernah kehilangan pesonanya. Selalu saja ada yang coba melakukan penelitian tentang pantun dari berbagai aspek. Boleh jadi, sejak tahun 1688 sampai sekarang, perbincangan tentang pantun mencapai ribuan tulisan. Mengingat pantun tidak terikat oleh batas usia, status sosial, agama atau suku bangsa, maka pantun, dapat dihasilkan atau dinikmati semua orang, dalam situasi apa pun, dan untuk keperluan yang bermacam-macam sesuai kebutuhan. Berbagai suku bangsa di wilayah Nusantara ini mengenal pantun dan kemudian memproduksi sendiri dengan menggunakan bahasanya, idiom-idiomnya, dan nama-nama tempat yang berada di sekitarnya. Maka, selain pantun Melayu yang sudah sangat terkenal itu, kita juga mengenal pantun Madura, Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, Betawi, dan sederet panjang suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Nusantara. Orang Jawa menyebutnya parikan atau ada pula yang memasukkannya sebagai wangsalan. Masyarakat Tapanuli (Batak) menyebutnya ende-ende, sedangkan orang Madura, kadang kala menyebut pantun sebagai paparegan. Ada pula yang menyebutnya kèjhung, karena ekèjhunganghi berarti dikidungkan. Tetapi secara umum masyarakat Madura lebih sering menggunakan istilah pantun. Masyarakat Betawi juga menyebutnya pantun, meskipun bahasa yang digunakannya adalah bahasa Melayu Betawi. Semangat dan isinya pun dalam beberapa hal, agak berbeda dengan pantun Melayu pada umumnya.

Begitulah, masyarakat di wilayah Nusantara ini mengenal pantun tanpa meninggalkan ciri budaya tempatannya. Perkara lokalitas, terutama yang menyangkut nama tempat, istilah, dan ungkapan tempatan itulah yang sesungguhnya membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah yang lain. Meskipun di dalamnya tetap terungkapkan bahwa pantun yang dihasilkan masyarakat di berbagai daerah itu sebagai produk khas budaya mereka, mereka juga umumnya memahami konsepsi pantun dengan tetap mmempertahankan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan a-b-a-b. Lalu ciri apa lagi yang membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah lain?

Pantun adalah bentuk puisi lama yang tampak luarnya sederhana, tetapi sesungguhnya mencerminkan kecerdasan dan kreativitas si pemantun. Ciri utama pantun adalah bentuknya yang dalam setiap baitnya terdiri dari empat larik (baris) dengan pola persajakan a-b-a-b. Dua larik pertama disebut sampiran, dua larik berikutnya disebut isi. Itulah ciri utama sebuah pantun, meskipun ada pula yang disebut sebagai pantun kilat yang terdiri dari dua larik. Dengan mendasari konsep pantun yang terdiri dari empat larik dalam setiap baitnya, mengandung sampiran (dua larik pertama) dan isi (dua larik berikutnya) dengan pola bunyi atau persajakan a-b-a-b, usaha mencermati pantun yang terdapat dalam masyarakat Jawa, Madura, dan Betawi di Indonesia dilakukan dengan coba melihat beberapa parikan Jawa, pantun Madura, dan terutama pantun Betawi yang sebagian masih hidup di tengah masyarakat dan kerap dipentaskan di depan masyarakatnya. Dengan cara itu, kita akan dapat melihat adakah perbedaan substansial dalam pantun-pantun di wilayah budaya itu atau tidak ada perbedaan signifikan, kecuali penggunaan bahasanya yang memang berbeda.

10) Pantang Larang

Masih melekat di masyarakat kita sebuah kepercayaan apa yang disebut dengan pantang larang. Patang larang ini banyak memberikan makna dan simbol yang berkaiatan dengan adat dan kebiasaan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat. Seperti jangan makan dimuka pintu, jangan berjala di kala maghrib, jangan makan mengangkat pinggan, dan banyak lagi pantang larang yang masih menjadi pegangan adat dari berbagai daerah di propinsi Riau.

Kepercayaan dan pantang larang terhadap alat-alat memasak Adapun dipercayai, bahwa alat-alat memasak tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain. Kalaupun terpaksa dipinjamkan, alat-alat tersebut tidak boleh bermalam di tempat orang. Meminjamkan alat ini, apalagi bermalam di rumah orang menjadi suatu pantangan.

Di samping itu alat-alat memasak dipandang sebagai barang pusaka, dan tidak boleh dijual. Dipercayai pula, jika pantang larang tersebut dilanggar akan mendatangkan sial kepada pemiliknya. Yang dimaksudkan timpa sial itu boleh bermacam-macam. Misalnya, barang-barang sejenis yang dimiliki di rumah akan rusak atau pecah sehingga habis. Atau rezeki dari si pemiliknya akan sangat susah. Tetapi adakalanya suatu kejadian atau peristiwa yang dianggap buang sial. Kalau perihal sedemikian terjadi, maka dianggap sebagai sesuatu keuntungan. Misalnya, kalau di dalam suatu perhelatan adat alat-alat yang rusak atau pecah, dipandang sebagai pertanda baik. Sebaliknya jika tiada yang pecah atau rusak, justru hal itu dianggap suatu kesialan. Oleh karenanya, terkadang dengan sengaja alat-alat dapur dipecahkan.

11) Tepuk Tepung Tawar

Dalam rangkaian upacara perkawinan adat Melayu Riau, sesudah acara akad nikah dilanjutkan pula dengan "Tepuk Tepung Tawar". Acara ini adalah "menepuk" dengan beras kunyit dan bertih (padi yang disangrai), yang dilanjutkan dengan mencecah inai di telapak tangan pengantin. Dalam acara ini juga senantiasa diiringi dengan pantun-pantun oleh si pembawa acara, misalnya :Pembawa acara :Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Tuan-tuan, puan-puan dan ncik-ncik dan hadirin yang budiman, Sempurne helat karene adat,Sempurne kerje karene do'a,Sesuai dengan adat,Sepadan dengan lembage, Marilah kite ikuti Acare tepuk tepung tawar.

Jung berlayar ke Pulau Penyengat, Singgah membeli secupak penganan.Tepung tawar ucapan selamat, Berkat Illahi yang diharapkan.

Kepada orang-orang yang telah memberikan tepuk tepung tawar biasanya diberikan sebuah bunga telur oleh Mak Andam sebagai ucapan terima kasih. Bunga telur adalah bunga yang dibuat dari kertas, diikat pada lidi atau bambu kecil dan ditancapkan pada pulut kuning yang dibungkus dengan daun pisang. Bagian ujung dari lidi atau bambu kecil yang diraut itu, diikat dengan telur merah yang sudah dirajut dengan benang. Tetapi kepada masa sekarang pekerjaan seperti itu telah diubah suai dengan bentuk yang beraneka ragam, sesuai dengan kemajuan zaman.

Orang-orang yang memberikan tepuk tepung tawar adalah undangan ataupun jemputan dari kalangan orang yang terpandang, seperti tokoh adat, tokoh pemerintahan, orang-orang tua kerabat yang datang dari jauh kemudian diakhiri dengan pembacaan do'a oleh seorang ulama. Tepuk tepung tawar berguna sebagai do'a supaya kedua pengantin meruah rezekinya, ikhlas dalam berbuat, memperoleh kedamaian, ketentraman hati dalam hidup berumah tangga dan bermasyarakat. Adapun makna dari tepung tawar adalah :Beras kunyit atau beras kuning. Warna kuning melambangkan raja, kebesaran, keagungan dan kebesaran Melayu Riau. Beras putih atau beras basuh. Warna putih lambang kesucian, kebersihan, dengan bermakna bahwa melaksanakan segala sesuatunya haruslah mendapatkan tuah. Bertih adalah beras yang digoreng tanpa minyak. Warna putih kecoklatan melambangkan pengembangan, kemekaran dengan kesuburan yang membawa kemakmuran. Daun Setawar melambangkan penawar yaitu obat segala yang berbisa. Daun Sedingin melambangkan kedamaian dan ketentraman hati. Air harum-haruman (air mawar) melambangkan kebahagiaan (harmonis) di dalam keluarga dan nama baik. Daun-daunan yang diikat menjadi satu sebagai perenjis melambangkan rasa kekeluargaan dan kebersamaan, kerukunan dan kedamaian rumah tangga dan bermasyarakat.

Adapun perlengkapan dan bahan-bahan tepuk tepung tawar terdiri atas :Pahar atau talam berkaki yang kecil. Sangku yaitu mangkuk tembaga yang kecil tempat beras kunyit. Beras basuh. Tepung beras dan beras bertih. Tempat inai giling. Air yang telah dicampur dengan tepung beras dan dibubuhi dengan harum-haruman (bunga mawar). Alat perenjis untuk menepuk yang terdiri dari daun setawar, daun sedingin, daun ganda rasa, daun hati-hati, daun sipulih, daun samban, daun juang, dan akar ribu-ribu. Semua daun-daun tersebut disusun dengan rapi dan diikat dengan salah satu daun.

Apabila selesai acara Tepuk Tepung Tawar, pengantin laki-laki bersama rombongannya meminta izin kepada tuan rumah untuk kembali ke rumahnya, dan menyatakan akan datang lagi membawanya untuk disatukan pada acara bersatu atau bersanding.

Kepulangan pengantin lelaki dibekali oleh keluarga pengantin perempuan dengan tepak sirih, bunga rampai dan kue-mue yang merupakan bukti bahwa pengantin lelaki telah sampai ke rumah pengantin perempuan.. Selama waktu sebelum acara persandingan dilakukan, segala persiapan makanan dan minuman untuk pengantin lelaki diantarkan oleh keluarga pengantin perempuan. Makanan tersebut diantar dengan perlengkapan berupa piring makan, piring lauk, mangkok nasi, piring kue, kesemuanya diletakkan di atas sebuah pahar dan ditutupi dengan "tudung hidang". Tudung hidang adalah tudung saji yang terbuat dari daun pandan dan di atasnya terdapat jahitan kain-kain perca.

12). Arsitektur Melayu

Riau kaya dengan berbagai jenis dan corak arsitekturnya, dan masing-masing daerah memiliki aksitektur yang berbeda, dan arsitektur tersebut memiliki makna dan simbol tersendiri. Banyak jenis dan corak arsitektur Melayu yang perlu kita garap dan diangkat, sehingga anak didik dan generasi muda kita mengetahui akan arsitektur Melayu yang sudah melembaga di kalangan masyarakat Melayu Riau.

13). Rumah Masyarakat Melayu

Rumah adalah Perkataan Melayu yang Tertua. Kalau mengikut pandangan dan pendapat orang-orang tua serta dari para cerdik pandai, bahwasanya perkataan rumah adalah terjemahan dari bahasa Jawa yaitu griya atau gir. Kedua perekataan tersebut mempunyai makna gunung. Sedangkan gunung merupakan suatu bentuk alam semula yang jadi agung. Orang Jawa menyebut rumah senagai bhodo, yang mempunyai makna lebih Luas lagi. Selain menyebut rumah, perekataan itu dipakai juga untuk menyebut bangunan yang bukan saja mempunyai kepentingan sebagai tempat tinggal keluarga.

Selain daripada makanan, miniman dan pakaian, rumah adalah sesuatu kperluan yang paling asas. Dan ianya jika dilihat secara umum mempunyai kepada tiga makna, yaitu:

Dari segi kegunaanya sebagai tempat berlindung dari pada hujan dan panas, sebagai tempat pangkalan tempat bertolak, berlabuh dan pulang. Sebagai tempat kegiatan perseorangan maupun kemasyarakatan juga sebagai tempat beberapa kegiatan lainya. Orang Melayu tak dapat dipisahkan dari rumah, sama sebagaimana mereka lahir, hidup dan meninggal karena ianya sesuatu yang harus dilalui. Laluan kehidapn ini tentulah sangat berhubungan dengan rumah yang menjadi tempat tinggal.

Dari segi jiwa atau perasaan, rumah memberikan berbagai keperluan naluri yaitu memberikan rasa aman, tentram, rasa harmoni, menjadi tempat mengasuh-mengasih dan mendapatkan ketenangan jiwa. Orang Melayu menganggap rumah adalah sebidang tempat yang menjadi milik penghuninya.

Dari segi Lambang, (status) ianya memberikan rasa kebanggaan kepada penghuninya. Oleh sebab itu setiap orang Melayu bercita-cita untuk membina sebuah rumah yang besar dan selesa. Tentunya dilihat dari kemampuan keuangan, kedudukan dan social untuk memiliki sebuah rumah dengan reka bentuk yang menarik.

Bentuk rumah melayu biasanya hanya 2 (dua) yaitu (1) bentuk persegi panjang dengan bubungan panjang (rumah bubung melayu atau rumah belah bubung) yang disebut rumah melintang atau disebut juga bubungan Melayu, dan (2) bentuk segi empat dengan bubungan berbentuk limas dan disebut rumah limas. Bentuk-bentuk ini dipandang dari bangunan induk tanpa memperhitungkan bangunan dapur dan selaras atau beranda. Biasanya, bagian induk rumah orang Melayu terpisah dengan bangunan dapur. Bangunan yang terpisah ini dihubungkan dengan suatu bangunan penghubung yang lebih kecil dari bangunan induk dan bangunan dapur. Bangunan penghubung ini disebut "kilik anak" atau "gajah menyusu" atau "susur pandan". Jadi, bangunan dapur merupakan bangunan tambahan bagian belakang rumah. Pada bagian dapur, dibuat pula suatu bagian yang menyatu dengan dapur dan agak menonjol keluar yang disebut "Pagu" yang berfungsi sebagai tempat menyusun piring dan gelas yang baru dicuci. Selain itu, pada bagian dapur dibuat pintu yang berhubungan dengan selasar atau "ketapak". Selasar, atau ketapak bagian ini berfungsi sebagai tempat mencuci piring.

Tambahan bangunan rumah tidak hanya dibagian belakang, tetapi juga dilakukan dibagian depan rumah. Bangunan dibagian ini disebut selasar atau beranda atau anjung. Selasar atau beranda terbagi atas dua jenis, yaitu selasar bedinding dan selasar terbuka diberi pagar yang berkisi-kisi (jerajak) atau berukir.. Bangunan rumah orang Melayu tradisional memiliki panggung sehingga rumah tersebut disebut rumah panggung. Tiap rumah ada yang ditanam didalam tanah dan ada pula yang beralas batu. Tiang rumah, biasanya dibuat dari kayu keras, seperti punak, belian bagi rumah yang berada didarat, dan rengas atau nibung bagi rumah yang ada dipantai.

Semua kerangka rumah terbuat dari kayu bulat atau kayu persegi, seperti "punak mentangur", sedangkan dinding rumah terbuat dari papan, terutama pada bagian induk. Pada bagian dapur, dindingnya ada yang terbuat dari papan, terutama pada bagian induk. Pada bagian dapur, dindingnya ada yang terbuat dari papan dan ada pula yang terbuat dari kulit kayu. Hal ini bergantung pada kemampuan ekonomi keluarga yang memiliki rumah tersebut.. Lantai rumah terbuat dari papan yang agak tebal, terutama di bangunan induk selasar, sedangkan dibagian dapur, ada yang terbuat dari papan dan ada pula yang terbuat dari lantai nibung atau pinang. Atap rumah terbuat dari daun rumbia yang di anyam sedemikian rupa dengan menggunakan belahan rotan yang diraut tipis. Atap rumbia dapat bertahan sampai 10 tahun jika dianyam berlapis dan sebelumnya direndam di air selama lebih kurang seminggu. Anyaman seperti ini disebut "anyaman mata ketam". Pembuatan rumah dilakukan oleh tukang kampung yang memiliki keahlian kerena bakat yang dimilikinya. Bentuk rumah, biasanya, diserahkan sepenuhnya pada tukang atau disepakati antara tukang dengan pemilik rumah.

Menurut kebiasaan orang Melayu, pencarian kayu atau "beramu kayu" dilakukan oleh tukang juga atau orang-orang tertentu yang pekerjaannya sebagai peramu kayu. Merekalah yang menentukan kayu yang layak, baik dipandang dari segi kualitas kayu maupun dipandang dari segi kekuatan magis. Untuk dijadikan sebagai bahan rumah.

Peramuan kayu tidak dapat dilakukan pada setiap hari, tetapi harus ada pelangkahnya atau hari-hari baiknya. Begitu juga perlakuannya ketika mereka akan menebang kayu. Biasanya, si peramu menggunakan jampi-jampi atau mentera tertentu. Hal ini dilakukan agar tidak muncul kejadian-kejadian yang dapat merugikan si pemilik rumah atau supaya tidak mendatangkan sial. Pemasangan kerangka pun harus memperhatikan pangkal dan ujung kayu supaya tidak sampai salah pasang atau sungsang. Jika hal ini terjadi, menurut kepercayaan orang-orang Melayu dapat menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak nyaman bagi pemilik rumah dan keluarganya. Pendirian rumah pun harus diatur pula harinya dan tanah yang akan dibangun rumah "dimatikan" dulu atau dilakukan "upacara mematikan tanah". Upacara mematikan tanah ini dengan penyemahan agar jembalang tanah yang menghuni tanah rumah tersebut pergi dan tidak mengganggu pemilik rumah dan keluarganya.

14). Tenunan Masyarakat Melayu

Sejarah perkembangan tenun Melayu Riau sejalan dan sehaluan dengan kejayaan dan kebesaran kerajaan-kerajaan Melayu pada masa lampau seperti Kerajaan Melayu Indragiri, kerajaan Siak Sri Indrapura, Johor-Riau atau Riau-Johor (1511-1787), yang kemudian menjadi kerajaan Lingga-Riau atau kerajaan Riau-Lingga (1787-1913). Buku-buku sejarah yang awal seperti sulalatus salatin (abad ke-16) dan karya yang lebih muda yakni tuhfat al-Nafis (abad ke-19) menyiratkan kenyataan itu.

Selain itu, artefak yang ditemukan yakni kain-kain dan pakaian lama yang masih tersimpan sebagai koleksi pribadi masyarakat terutama di Daik, Lingga, Kepulauan Riau merupakan bukti yang menguatkan data tertulis yang ditelusuri. Kain dan pakaian lama itu ada yang bertarikh abad ke-17 dan yang paling muda bertarikh awal abad ke-20 (tahun 1900 M). Tenun lama itu tak hanya berupa kain (sarung) semata, tetapi juga terdiri atas berbagai jenis pakaian dan benda-benda lain, dari seluar (celana) dalam perempuan sampai dengan kain penutup keranda. Jadi, tenun dipergunakan untuk berbagai keperluan, dari keperluan untuk orang hidup sampai dengan untuk orang mati. Salah satu unsur kebudayaan Melayu adalah tenun, yang sudah berkembang dengan pesat sejalan dengan keperluan masyarakat akan pakaian dan keperluan yang lain. Berbagai corak (motif) dan ragi (desaign) tenun dikembangkan seiring dengan aneka ragam fungsi pakaian itu sendiri.

Dalam masyarakat Melayu pakaian tak semata-mata untuk melindungi tubuh dari panas dan dingin belaka. Lebih dari itu, pakaian hendaklah dapat menutup malu, menjemput budi, menjunjung adat, menolak bala, dan menjunjung bangsa. Sesuai dengan kegunaannya itu, pakaian menjadi tidak bernilai apa adanya, melainkan mempunyai atau bernilai adat dan budaya, berpatutan serta keindahan. Itulah sebabnya, didalam budaya Melayu dikenal ungkapan, antara lain, "pantang memakai memandai-mandai". Dalam ungkapan yang lebih ekstrem disebutkan, "salah pakai perut terburai". Pakaian harus memiliki mutu keindahan seperti yang terdapat dalam hikayat Dewa Mendu, yakni mutu "seri gunung" dan "seri pantai". Itu berarti pakaian harus indah dipandang dari jauh dan elok pula dipandang dari dekat. Lebih dari itu, ungkapan itu menyiratkan pula bahwa pakaian haruslah indah dipandang oleh mata (lahiriah) dan elok ditilik oleh mata hati (bathiniah). Dengan keadaan seperti itulah, pakaian, seperti dinukilkan oleh pengarang Melayu lama Ahmad Rijaluddin memiliki mutu sahdu perdana yang bernilai tujuh laksana atau kecantikan kelas satu yang patut diberikan nilai tujuh bintang.

Untuk memenuhi kegunaan dan mutu seperti disebutkan di atas, pakaian harus memiliki lambang-lambang. Setiap corak dan ragi tenun dalam kebudayaan Melayu tidaklah hanya kosong belaka, tetapi mengandung makna dan lambang tertentu. Keanekaragaman makna itu amat bergantung pada corak dan ragi tertentu. Orang tua-tua mengatakan, "Ada benda ada maknanya, ada cara ada artinya, ada letak ada sifatnya". Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa aneka ragam corak dan ragam tenun Melayu yang ada di Kepulauan Riau belum begitu tersebar luas, lebih-lebih akhir-akhir ini. Bahkan, masyarakat daerah ini sendiripun banyak yang tak mengetahui keberadaan corak dan ragi serta makna yang dikandungnya.

15. Pakaian Melayu Tradisional dan perhiasannya

Baik dalam Sejarah Melayu atau Hikayat Hang Tuah cukup banyak gambaran yang menyatakan bahwa seseorang yang berhasil melaksanakan titah perintah Raja lalu "diberi Persalinan dengan selengkap pakaian " (Shellabear, 1903) dan : memakailah pakaian yang indah-indah" (Kassim Ahmad, 1975). Akan tetapi, sulit mencari keterangan seperti apakah agaknya segala macam pakaian yang indah-indah dianugerahkan itu. Namun, undang-undang Melaka pasal yang pertama ada menyatakan tentang pakaian Raja-raja, dengan warna diraja (Royal Colour) yaitu warna kuning, dan larangan memakai kain tipis yang berbayang-bayang seperti kasa (Liauw Yock Fang, 1976). Lebih-lebih dalam adat raja-raja Melayu diperoleh keterangan yang cukup banyak tentang pakaian yang dipergunakan di dalam majelis (dalam arti pertamanya mengacu pada keindahan) dan patut dibawa ke dalam majelis (dalam arti kedua mengacu kepada makna perkumpulan orang ramai), sopan, dan merendahkan diri (Panuti Sudjiman, 1983).

Karya rujukan yang berasal dari daerah Riau ialah "Tsamarat al-Mathlub fi Anuar al-Qulub" oleh Hitam Khalid bagian tentang adapt istiadat dan bekerja besar. (Samad Ahmad, 1985:41:50). Akan tetapi, penjelasan yang menggambarkan secara jelas tentang pakaian Melayu pada masa itu tak terperinci. Sebuah karya dari Siak Sri Indra Pura "Bab al-Qawaid" pun tak banyak memberikan keterangan tentang pakaian di daerah itu kecuali suatu larangan datang ke balai tanpa baju kot, seluar pantalon, dan berkopyah. Keterangan yang cukup memadai kembali terdapat dalam "Kitab pengetahuan bahasa pada kata - kepala (entry) baju". Pengarang kamus ensiklopedis monolingual itu menerangkan baju sebagai "Masyhur dipakai orang menutup badannya, serta jadi perhiasan, akan tetapi banyak macamnya dan masing-masing kesukaan orangnya dan masing-masing bangsanya'.

Dari keterangan tersebut dapatlah menjadi kesimpulan bahwa pakaian setidak-tidaknya mempunyai dua kegunaan, pertama untuk menutup badan dan kedua untuk perhiasan. Dalam kegunaan pertama terkandung arti pakaian sebagai alat untuk melindungi diri dari cuaca, dsb, sedangkan pada kegunaan yang kedua mengandung arti keindahan dan keadaan si pemakainya. The Encylopedia Americana 1970 yang menerangkan "clothing sebagai benda untuk melindungi dari cuaca, mencapai batasan kesopanan, perhiasan pada tubuh, dan menjelaskan kedudukan seseorang dalam masyarakat".

Selanjutnya kitab pengetahuan bahasa menyatakan pula sebagai berikut :

Adapun kelengkapan pakaian dan perhiasan secara tradisional bergantung kepada si pemakainya, untuk sehari-hari, baik berada di rumah maupun di luar rumah. Perihal yang sedemikian sudah dimulai sejak masih bayi, masa kanak-kanak, remaja dan dewasa maupun orang tua. Kesemuanya dibedakan pula pada umur dan juga pada laki-laki atau perempuan. Biasanya memang telah ditetapkan perhiasan dan kelengkapan tradisional yang dipakai sehari-hari baik di dalam rumah ataupun di luar rumah, berbeda dengan waktu upacara. Perihal yang sedemikian itu jelas kelihatan, terutamanya dalam kekhasannya, seperti:

1. Gurita, sejenis barut yang dipakai pada bagian perut bayi. Kegunaannya supaya si bayi tidak mudah masuk angin juga menjaga pusat si bayi kerena habis dipotong tali pusatnya.

2. Baju belah, sejenis baju untuk bayi yang tidak memakai kancing, hanya diikat saja, dipakai setelah si bayi memakai gurita.

3. Kain bedung, digunakan sebagai pembalut bayi, kegunaannya supaya kaki dan tangannya masih lunak itu tidak menjadi bengkok. Biasanya digunakan setelah bayi dimandikan. Kalau ia kencing hanya kain bedung ini yang diganti.

4. Barut gantung, kain berbentuk segi tiga sama sisi yang juga disebut otto. Barut ini biasanya dipakai setelah anak pandai berjalan. Kemudian barulah dikenakan dengan pakaian yang disesuaikan dengan jenis kelamin lelaki atau perempuan. Di sinilah baru jelas kelihatan kanak laki-laki atau perempuan.

5. Baju monyet, yaitu sejenis baju dengan celana pendek bersatu, di mukanya bersaku untuk menyimpan makanan atau benda lainnya. Untuk anak perempuan ada kalanya juga memakai baju monyet. Sekarang baju monyet sudah jarang sekali kelihatan ataupun dikenakan pada anak-anak.

6. Celana basah (basahan) dipakai oleh orang lelaki dewasa untuk bekerja di kebun atau nelayan. Pakaian kerja ini dilengkapi dengan baju yang biasanya terbuat dari kain belacu dan berlengan pendek. Untuk perempuan dewasa juga memakai kain sarung dengan baju kebaya pendek. Prihal sedemikian sesuai dengan kegunaannya untuk melakukan pekerjaan baik di dalam rumah maupun di luar rumah.

7. Kain sarung biasanya disebut kain pelikat untuk dipakai laki-laki, untuk perempuan memakai sarung polos atau batik sarung, yang memakai punca atau kepala kain.

8. Baju kurung, yaitu baju yang dipakai laki-laki atau perempuan yang disebut juga baju gunting Cina untuk laki-laki. Baju ini biasanya juga dipakai setelah badan bersih untuk bersiap-siap menunaikan sholat atau menerima tamu yang berkunjung ke rumah.

9. Tutup kepala, untuk laki-laki disebut kopiah, songkok, peci. Sedangkan bagi perempuan menggunakan sepotong kain yang disebut selendang. Pakaian yang dipakai orang tua sama yang dipakai oleh orang dewasa, hanya pada kain pelekat dewasa (muda) hanya selerang (satu lerang) saja, sedangkan untuk orang tua menggunakan kain dua lerang (labuh, panjang). Sedangkan yang lainnya hampir sama. Tetapi untuk orang lelaki yang telah pergi haji menggunakan peci haji atau surban haji, begitu juga dengan pihak perempuan.***

Jelaskan apa yang dimaksud dengan istilah kue atau wadah dalam kebudayaan melayu Riau?

Jawaban: Kue-mueh adalah makanan ringan yang bukan makanan utama. Kue-mueh pada hidangan pengantin merupakan hidangan penutup atau hidangan pencuci mulut pengantin saat melaksanakan makan berhadap.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan istilah kue?

Kue adalah kudapan atau makanan ringan yang bukan makanan utama. Kue biasanya bercita rasa manis atau ada pula yang gurih dan asin. Kue sering kali diartikan sebagai makanan ringan yang dibuat dari adonan tepung, baik tepung beras, tepung sagu, tapioka, ataupun terigu.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan budaya melayu?

Kebudayaan melayu merupakan kebudayaan yang melekat pada bangsa sejak dulu dan merupakan kebudayaan nusantara. Yang paling dominan dalam kebudayan melayu adalah persamaan agama, adat, dan bahasa.

Budaya melayu apa saja?

Ada beberapa macam tradisi kebudayaan melayu :.
Tradisi Kelahiran. Kelahiran seorang anak telah dipandang oleh orang Melayu sebagai suatu berkah daripada Allah SWT. ... .
Tradisi Nikah-Kawin. Nikah-kawin terjadi tentu saja berawal dari sentuhan pandang memandang. ... .
Tradisi Kematian. ... .
Tradisi Pakaian Melayu..