Jelaskan apa yang dimaksud dengan pariwisata sebagai interdisiplin ilmu

Meskipun Ilmu Pariwisata pada saat ini telah diakui sebagai ilmu, namun persoalan kedudukan Ilmu Pariwisata sebagai sebuah Ilmu masih terus diperdebatkan. Perdebatan terjadi terutama dikalangan para saintis pengkaji Pariwisata, dimana mereka masih mempertanyakan: Ilmu Pariwisata sebagai bagian ilmu apa?.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan pariwisata sebagai interdisiplin ilmu

Perdebatan diatas kiranya wajar bilamana hingga saat ini para saintis masih mengkaji dunia Pariwisata dari masing-masing sudut keilmuan tertentu. Dalam hal ini Pariwisata baru dipandang sebagai bagian dari obyek materia suatu ilmu yang selama ini digelutinya. Artinya, Pariwisata baru dijadikan sebagai salah satu objek kajian, belum didudukkan secara mandiri sebagai subjek pengkaji bagi dirinya sendiri (baca: dunia Pariwisata). Dengan kata lain, kalaupun Ilmu Pariwisata telah diakui sebagai ilmu, namun Ilmu Pariwisata masih dipandang sebagai ilmu terapan dari ilmu tertentu.

Pandangan Yang Salah

   Sebagai ilmu yang relatif masih baru, harus diakui kalau Ilmu Pariwisata belum bisa mengeksplorasi dunia Pariwisata –selaku dunia yang menjadi ladang kajiannya– secara utuh. Sementara dilain pihak, dunia Pariwisata telah memunculkan beragam fenomena menarik bagi berbagai ragam disiplin ilmu.

   Misalkan saja, persoalan multiflier effect –misalnya,  salah satu fenomena menarik dalam dunia pariwisata, memang sangat pas untuk dikaji dari kacamata Ilmu Ekonomi. Sehingga Pariwisata, untuk kasus-kasus seperti tadi bisa menjadi salah satu obyek materia kajian Ilmu ekonomi. Sehingga bisa jadi jika dalam Ilmu ekonomi ada bidang terapan yang secara khusus mengkaji fenomena-fenomena pariwisata.

   Namun demikian, bukan berarti Ilmu Pariwisata yang utuh dapat dimasukkan sebagai bagian dari Ilmu Ekonomi. Seperti halnya bila dunia Pariwisata harus digolongkan secara sempit sebagai bagian dari dunia Industri, meskipun tentu saja dunia Pariwisata pun dapat mengemas bagian-bagian tertentu dari dirinya untuk menjadi produk dari sebuah industri. Karena fenomena yang terjadi dalam dunia pariwisata tak hanya melulu pada aspek ekonomi atau industry saja.

   Misalkan saja, kalaupun isu komersialisasi budaya atau gejolak sosial yang terjadi dibanyak objek dan kawasan wisata belum terlalu menarik minat banyak para pemerhati pariwisata, namun persoalan budaya dan sosial seperti itu seyogyanya harus menjadi kajian Ilmu Pariwisata juga.

    Demikian halnya dengan permasalahan lingkungan. Bahkan untuk menciptakan suatu Sustainable Tourism, kiranya segala hal terkait dengan isu lingkungan tak lagi bisa tak diacuhkan. Pembatalan suatu penerbangan akibat asap kebakaran hutan –misalnya, bagaimanapun telah menghambat terhadap kelancaran aktivitas perjalanan wisata. Dengan alasan ini pula sehingga, kalaupun dunia Pariwisata takkan pernah dapat melepaskan dirinya dari kehidupan manusia, namun persoalan-persoalan Ilmu Pariwisata tak selalu melulu menyangkut manusia. Karena itu alangkah terlalu sempitnya ruang kajian Ilmu Pariwisata bila ilmu ini dengan begitu saja digolongkan sebagai bagian dari Ilmu-ilmu Sosial. 

   Apalagi ketika selama ini telah banyak hasil kajian Ilmu-ilmu Sosial telah memvonis dunia Pariwisata sebagai si pembuat dosa dari sekian banyaknya gejolak sosial yang terjadi dilingkungan masyarakat tertentu yang selama ini telah dijadikan sebagai daerah tujuan dan objek Pariwisata. Padahal dilain pihak, karena Pariwisata baru didudukan sebagai objek, maka selama itu Pariwisata belum pernah diberikan keluaasan hak untuk memberikan pembelaan diri.

Obyek Materia Ilmu Pariwisata

   Bagaimana pun Ilmu Pariwisata telah memiliki obyek materia-nya sendiri. Hal yang menjadi pokok kajian Ilmu Pariwisata tak lain kecuali segala fenomena yang ditimbulkan oleh suatu perjalanan. Jadi bukan hanya manusia, karena terjadinya sebuah perjalanan tidak hanya karena adanya faktor manusia saja. Malah manusia tidak bisa dijadikan sebagai faktor utama terjadinya sebuah perjalanan.

   Selain faktor manusia, masih ada faktor waktu dan ruang sebagai faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya (atau tidak terjadinya) suatu perjalanan. Faktor manusia sebagai aktor pelaku yang menyebabkan terjadinya suatu perjalanan, baik manusia sebagai pelaku langsung maupun sebagai pendorong terjadinya kegiatan perjalanan itu sendiri. Faktor waktu sebagai matra yang menjelaskan proses suatu perjalanan terjadi. Sedang faktor ruang selaku matra tempat dimana suatu perjalanan itu dilakukan.

   Kedudukan dari ketiga unsur Pariwisata diatas adalah sama. Tidak ada diantara ketiganya yang memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap terjadinya suatu perjalanan. Bahkan boleh dikatakan ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak mungkin bisa dipisah-pisahkan. Satu saja tidak ada, maka perjalanan suatu Pariwisata pasti tidak akan pernah terjadi.

   Karena ketiga faktor diatas itulah, maka hal yang harus dikaji oleh Ilmu Pariwisata pun tidak hanya satu pokok permasalahan tertentu saja. Untuk di Indonesia misalnya, adalah hal yang salah jika misteri dari suatu perjalanan Pariwisata telah bisa terungkap dari hanya sudut pandang kajian psikologis seorang wisatawan saja. Faktor jarak negeri asal si wisatawan, sikap keterbukaan penduduk setempat, masalah isu keamanan serta kondisi lingkungan yang buruk (seperti adanya kabut asap akibat kebakaran hutan), adalah beberapa misteri dunia Pariwisata Indonesia yang telah sangat mendesak untuk bisa terpecahkan.

   Dengan demikian, hal lain yang harus disepakati bersama ialah bahwa dunia Pariwisata tidak bisa dikaji secara mandiri hanya dari dan oleh salah satu atau beberapa disiplin ilmu saja. Dunia Pariwisata harus dikaji secara secara multi disiplin. Selain harus mempertanyakan soal manfaat ekonomi Pariwisata bagi kemakmuran masyarakat setempat, kiranya segenap pemerhati dunia Pariwisata jangan sampai mengabaikan bahwa masalah kemakmuran suatu masyarakat pun ternyata telah menjadi paktor pendorong untuk terjadinya suatu aktivitas wisata. Fakta kongkrit, hingga saat ini selain sebagai negara pengimpor wisatawan, ternyata negara-negara yang secara ekonomi mampu itu telah pula menjadi negara pengekspor wisatawan.

   Perlakuan yang sama harus terjadi ketika para pemerhati Pariwisata tengah memandang permasalahan-permasalahan sosial. Hal yang bijak kiranya jika pada waktu itu mereka tidak hanya mempermasalahkan dampak dari suatu aktivitas wisata terhadap gejolak-gejolak sosial yang terjadi saja. Hal yang harus dipahami, seperti pada saat ini terjadi di Indonesia– ternyata begitu banyaknya permasalahan-permasalahan sosial yang telah menjadi batu penghalang dari suatu aktivitas pariwisata.

   Demikian halnya bahwa dunia pariwisata tidak melulu berkaitan dengan segala aktivitas yang menjadi pemicu terciptanya masalah budaya dan moral yang terdegradasi. Lebih jauh, kiranya aktivitas wisata yang terjadi disuatu tempat bisa pula menjadi semacam motor penggerak dari roda-roda pembangunan kualitas budaya dan moral suatu masyarakat. Sebagaimana, selain bisa merusak, aktivitas wisata yang sama sebetulnya bisa dijadikan sebagai katalisator bagi terciptanya kelestarian lingkungan.

   Karena dalam mengkaji dunia Pariwisata harus bersifat interdisiplener, maka kami kira Ilmu Pariwisata lebih pantas untuk disebut sebagai ilmu holistik. Bahkan mungkin jauh lebih bersifat holistik dibanding dengan ilmu-ilmu lain yang terlebih dahulu telah menyatakan dirinya sebagai ilmu yang bersifat holistik. Banyak obyek kajian ilmu-ilmu holistik, persoalan-persoalan Ekologi dan Komunikasi –misalnya, juga telah menjadi permasalahan-permasalahan yang dikaji Ilmu Pariwisata.

   Adapun sebagai sebuah ilmu interdisipliner, sudah barang tentu Ilmu Pariwisata harus mengakui terhadap eksistensi, bahkan harus selalu bergandengan tangan dengan ilmu-ilmu lain. Keharusan adanya jalinan mutualisme antara Ilmu Pariwisata dengan ilmu-ilmu lainnya tersebut karena mengingat obyek Ilmu Pariwisata baru bisa dikaji apabila bisa memanfaatkan segenap khasanah kekayaan pengetahuan yang telah dimiliki oleh ilmu-ilmu tersebut. Apalagi selaku Ilmu yang relatif masih baru. Sehingga, meskipun untuk tujuan dan dalam sudut pandang yang berbeda, namun hasil kajian ilmu-ilmu lain terhadap dunia pariwisata yang telah mereka lakukan bisa dijadikan sebagai sarana bagi Ilmu Pariwisata untuk mengenal keluasan dunia yang harus dipelajarinya.

   Terkait dengan kedudukan Ilmu Pariwisata yang bersifat Interdisipliner pula, maka dalam tatanan praktis pembangunan dunia Pariwisata tak dapat dilakukan secara sepihak dengan hanya melihatnya dari salah satu sudut pandang keilmuan tertentu saja. Segala kebijakan pembangunan Pariwisata harus berdasarkan atas hasil pertimbangan dari berbagai sudut pandang berbagai disiplin ilmu sehingga sebuah kebijakan pembangunan yang terintegrasi dan bersifat sistemik.

   Demikian. Bila dilihat dari sudut pandang Ilmu Pariwisata, kita pun boleh berkata bahwa, pembangunan Pariwisata dinegara kita ternyata tidak dilaksanakan secara terintegrasi dan sistemik. Sehingga wajar jika keluaran yang telah dicapainya masih jauh dari menggembirakan.

Cihaurbeuti, 27/5  s.d 1/12 – 2006