Jelaskan apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi pencegahan ham?

Status KKB di Papua

Secara historis, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang di Papua memiliki sebutan yang berbeda-beda. Mulai dari Polri menyebutnya sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), TNI menggunakan istilah Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM), di mana pada intinya sama yakni merupakan kelompok pejuang yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.[1]

Untuk menyederhanakan jawaban, kami akan menggunakan istilah KKB. Berbagai penyerangan oleh KKB terhadap aparat penegak hukum yang bertugas di Papua, memaksa pemerintah untuk secara tegas menetapkan aksi tindakan kelompok yang melakukan kekerasan di Papua sebagai tindak pidana teroris.[2]

Moh. Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan melalui Siaran Pers No: 72/SP/HM.01.02/POLHUKAM/4/2021 pada tanggal 29 April 2021, menegaskan organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris.[3]

Tindakan kekerasan dan mengakibatkan ketakutan yang dilakukan oleh KKB di Papua dianggap dapat dikategorikan sebagai bentuk terorisme dan telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana teroris sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2 UU 5/2018 yang berbunyi:

Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Khususnya sejak terjadinya peristiwa di Nduga pada tahun 2018, angka kekerasan di Papua terus meningkat. Mulai dari peristiwa penyiksaan, salah satunya terhadap tenaga kesehatan (“nakes”), pembunuhan, hingga pembakaran, yang tentu mereduksi nilai-nilai kemanusiaan yang berimplikasi terjadinya pelanggaran HAM. Korban dari aksi KKB di Papua tidak hanya nakes dan masyarakat sipil, namun juga tentara dan polisi.

Penetapan status KKB di Papua yang awalnya dianggap sebagai kejahatan terhadap keamanan negara dalam Bab I Buku Kedua KUHP, kemudian diubah menjadi teroris. Sehingga, instrumen yang akan diterapkan bukan lagi KUHP, melainkan UU 15/2003 dan perubahannya.

Penanggulangan KKB di Papua melibatkan Polri, TNI, serta Badan Nasional Penanggulangan Teroris (“BNPT”). Berdasarkan Perpres 46/2010, BNPT adalah lembaga yang berwenang dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia.

Kemudian dalam beracara, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan hukum acara pidana.[4]

Apa Itu HAM dan Pelanggaran HAM?

Sebelum menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah “menghabisi” atau “melenyapkan” KKB di Papua termasuk pelanggaran HAM, perlu dipahami terlebih dahulu apa itu HAM. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU HAM menyebutkan bahwa:

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

The United Nations Centre for Human Rights berpendapat bahwa HAM adalah human rights as those rights which are in our nature and without which we can’t live as human beings.[5] Sedangkan menurut Soedjono Dirdjosisworo, HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia sejak lahir, tidak dapat dibatasi, dikurangi atau diingkari oleh siapa pun juga, karena merupakan nilai-nilai dan martabat kemanusiaan setiap individu.[6] 

Kemudian mengenai pelanggaran HAM, Pasal 1 angka 6 UU HAM berbunyi:

Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Baca juga: Ini 2 Pelanggaran HAM Berat yang Diatur di Indonesia

Menurut C. de Rover, pelanggaran HAM adalah tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana nasional, tetapi merupakan norma HAM yang telah diakui secara internasional.[7] Apabila terjadi pelanggaran HAM, maka negara/pemerintah adalah pihak yang paling dan wajib bertanggung jawab.

Menghabisi KKB di Papua, Apakah Pelanggaran HAM?

Menyambung pertanyaan Anda, apakah “melenyapkan” atau “menghabisi” KKB di Papua merupakan pelanggaran HAM? Menurut hemat kami, tindakan ini merupakan pelanggaran HAM. Padahal, pemerintah memiliki amanat konstitusi untuk menjamin HAM setiap warga negaranya.[8]

Adapun Pasal 8, Pasal 71, dan Pasal 72 UU HAM masing-masing berbunyi:

Pasal 8 UU HAM

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Pasal 71 UU HAM

Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Pasal 72 UU HAM
Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

Sebagai aktor utama, sudah sepatutnya negara bukan menjadi pelaku pelanggaran HAM dengan “menghabisi” atau “melenyapkan” KKB di Papua, negara justru harus berupaya menghentikan pelanggaran HAM dengan upaya penegakan hukum melalui lembaga pengadilan.

Lembaga pengadilan merupakan suatu lembaga yang mempunyai peran untuk mengadili dan menegakkan norma-norma hukum yang berlaku di yurisdiksi hukum nasional dan juga sebagai alat yang menegakkan keadilan.[9]

Tindakan “menghabisi” atau “melenyapkan” KKB di Papua tentu saja akan mencederai HAM. Negara seharusnya bertanggung jawab, menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM atas pelanggaran HAM, dan bukan menjadi pelaku pelanggaran HAM.

Apabila benar dilakukan “pelenyapan” KKB di Papua, pemerintah dapat dikatakan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:[10]

  1. pembunuhan;
  2. pemusnahan;
  3. perbudakan;
  4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
  5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
  6. penyiksaan;
  7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
  8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
  9. penghilangan orang secara paksa; atau
  10. kejahatan apartheid.

Dengan kondisi KKB di Papua, sudah seharusnya pemerintah mengedepankan upaya pendekatan lunak melalui upaya dialog baik jangka menengah maupun jangka panjang, membangun kesejahteraan, dan pencerahan ideologi serta berbagai upaya damai lainnya, atau juga dapat melakukan pendekatan keras yang dilakukan dengan opsi penegakan hukum.

Penegakan hukum dilakukan oleh Polri ketika KKB di Papua melakukan kekerasan/pelanggaran hukum lainnya. Sebab Polri sebagai pihak yang berwenang melaksanakan due process of law sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 UU 2/2002 bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kendati demikian, tindakan Polri dilindungi oleh undang-undang, akan tetapi kewenangan ini tidak boleh membatasi, mengurangi, atau bahkan mengesampingkan hak asasi yang melekat pada diri seseorang, dalam hal ini anggota KKB di Papua sebagai manusia.

Justru apabila Polri mengambil tindakan “brutal excessive force” atau “extra judicial killing”, perbuatan ini tidak mengindahkan asas praduga tak bersalah dan merupakan bentuk pelanggaran HAM.

Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki landasan yuridis dalam menangani dan mengadili suatu perkara yakni harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karenanya, negara harus menunjukkan pendekatan humanis, dan menjauhi tindakan represif yakni “menghabisi” atau “melenyapkan” KKB di Papua. Kedamaian hanya dapat dicapai melalui pembangunan dan bukan kekerasan. Sehingga strategi untuk mencapai keamanan harus menekankan pada pembangunan berkelanjutan yang komprehensif dan menjunjung nilai-nilai HAM.

Tindakan KKB di Papua memang bertujuan membuat masyarakat setempat hidup di bawah rasa takut. Akan tetapi, kondisi serupa juga terjadi ketika aparat keamanan pemerintah yang dilindungi oleh hukum, dapat menyakiti siapa pun tanpa mendapatkan hukuman. Pemerintah tidak seharusnya menginjak hak-hak dasar manusia dalam upaya melawan KKB di Papua. Membatasi hak dasar manusia untuk melawan KKB di Papua tidak hanya salah secara hukum dan moral namun juga tidak strategis dan kontraproduktif.

Alih-alih sebagai bentuk melindungi keamanan nasional dan menjamin keamanan publik justru menjadi kesempatan dalam penyalahgunaan kekuasaan untuk melawan warga negara yang tidak bersalah baik sengaja maupun tidak disengaja atau karena alasan politik yang kemudian jadi ancaman bagi rakyatnya sendiri.[11] Dari pada fokus mengutamakan pendekatan represif, pemerintah seharusnya dapat mencari formulasi ideal menyelesaikan permasalahan KKB di Papua dengan menyentuh akar masalah.

Menghormati HAM bukan berarti menjadi lunak terhadap KKB di Papua. Setiap individu berhak mendapatkan pengadilan yang adil dengan memperhatikan asas praduga tak bersalah. “Menghabisi” atau “melenyapkan” KKB di Papua sama saja dengan sedang menjajah anak kandung bangsa sendiri.

Baca juga: Tentang Asas Praduga Tak Bersalah

Pasal 9 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)[12] telah menjamin bahwa tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang dan tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.

Oleh sebab itu, pemerintah harus melakukan pendekatan yang lebih humanis, bukan dengan cara-cara militeristik dan kental akan kekerasan. Pendekatan penyelesaian konflik harus dilakukan secara komprehensif dan menyentuh akar persoalan. Pemerintah harus mencari titik temu dan membangun serta memilih jalan-jalan dialogis terhadap seluruh pemangku kepentingan di Papua guna mencari jalan keluar agar konflik di Papua segera berakhir, serta agar korban tak terus menerus berjatuhan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

  1. Euromed Rights. Tunisia: No to Terrorism, Yes to Human Rights, yang diakses pada 14 Maret 2022, pukul 15.00 WIB;
  2. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Menko Polhukam: Organisasi dan Orang-Orang di Papua yang Lakukan Kekerasan Masif Dikategorikan Teroris, yang diakses pada 14 Maret 2022, pukul 16.00 WIB;
  3. Sabita Firgoria Luisa Edon dan Nur Azizah Hidayat. Kewajiban Pemerintah Indonesia terhadap Pelanggaran HAM yang Dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, Vol. 9 No. 3, 2021;
  4. Soedjono Dirdjosisworo. HAM, Demokrasi dan Tegaknya Hukum dalam Konteks Ketahanan Nasional Indonesia. Makalah pada Penataran dan Lokakarya Dosen Kewarganegaraan Se-Jawa Barat Angkatan XVI Tahun Akademik 2003/200 Kerjasama KODAM III Siliwangi-STHB. Bandung 5-6 Mei 2004;
  5. Tolib Effendi dan Ananda Chrisna Dewi Panjaitan. Konsekuensi Penetapan Status Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dalam Konflik Papua sebagai Gerakan Teroris Menurut Hukum Pidana. RechtIdee, Vol. 16 No. 2, 2021;
  6. Widiada Gunakaya. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2017.

[5] Widiada Gunakaya. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2017, hal. 56

[6] Soedjono Dirdjosisworo. HAM, Demokrasi dan Tegaknya Hukum dalam Konteks Ketahanan Nasional Indonesia. Makalah pada Penataran dan Lokakarya Dosen Kewarganegaraan Se-Jawa Barat Angkatan XVI Tahun Akademik 2003/2004. Kerjasama KODAM III Siliwangi-STHB. Bandung 5-6 Mei 2004, hal. 2

[7] Widiada Gunakaya. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2017, hal. 163

[9] Sabita Firgoria Luisa Edon dan Nur Azizah Hidayat. Kewajiban Pemerintah Indonesia terhadap Pelanggaran HAM yang Dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, Vol. 9 No. 3, 2021, hal. 864