Secara etimologis, dalam bahasa Yunani demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuatan), yang secara harfiah apabila digabungkan memiliki makna kekuatan rakyat. Dalam konteks demokrasi, Franklin D. Roosevelt menegaskan bahwa masyarakat memiliki kekuasaan penuh atas negara, sedangkan filsuf Yunani, Aristoteles, mengatakan bahwa demokrasi terjadi ketika masyarakat miskin memegang kekuasaan. Definisi demokrasi lainnya yang paling sering kita dengar adalah oleh Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln, yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep demokrasi muncul sekitar tahun 508-507 SM di era Yunani Kuno. Setelah itu Republik Romawi pertama kali mengadopsi konsep demokrasi dari Yunani Kuno dan menggunakan sistem pemerintahan republik di peradaban Barat, yang kemudian diikuti oleh negara-negara modern lainnya. Sebagai sebuah sistem bernegara, demokrasi menempatkan aspirasi rakyat melalui wakil-wakilnya sebagai pemilik kekuasaan tertinggi yang memberikan legitimasi kepada seorang pemimpin melalui mekanisme pemilihan yang terbuka, adil, dan jujur. Namun, apabila prinsip demokrasi tidak diimbangi oleh literasi politik dan pengetahuan yang baik, kebebasan berpendapat bisa disalahgunakan sehingga berpotensi memicu konflik sosial-politik di kalangan masyarakat. Demokrasi Pancasila sebagai pilihan Di Indonesia sistem demokrasi mulai semarak kembali sejak era Orde Baru (1966) karena di masa pemerintahan Soeharto masyarakat Indonesia dilibatkan secara langsung dalam menentukan pemimpin negara melalui Pemilihan Umum yang bersifat Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Selain itu, lembaga-lembaga perwakilan rakyat seperti DPR baik di pusat maupun daerah, MPR, dan lain-lainnya juga mulai menjalankan fungsinya untuk menampung suara rakyat. Meskipun demikian, praktik demokrasi juga tidak bisa dikatakan maksimal di era ini karena sistem pemerintahan Soeharto yang opresif dan militeristik, khususnya terhadap kelompok minoritas dan kelompok agama. Namun, sejauh ini prinsip atau sistem demokrasi merupakan pilihan tepat untuk negara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengingat masyarakatnya yang sangat pluralis. Oleh karena itu, sejauh ini Demokrasi Pancasila yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sistem pemerintahan yang paling mungkin diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan konsep Demokrasi Liberal, Demokrasi Kapitalis, dan Demokrasi Terpimpin yang dalam catatan sejarah perjalanan bangsa pernah gagal diterapkan di Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan representasi dari realitas masyarakat Indonesia yang memiliki ciri beragam atau multikultural, namun tetap menempatkan budaya gotong royong dan persatuan di atas segala perbedaan. Penerapan konsep musyawarah untuk mencapai suatu mufakat yang selama ini kita kenal di masyarakat juga merupakan bukti bahwa Demokrasi Pancasila bertujuan untuk mengutamakan keselarasan, keseimbangan, dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi maupun golongan. Tantangan demokrasi di Indonesia Sejak memasuki era reformasi, konsep demokrasi semakin nyata didengungkan. Hal ini terlihat dari kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat dalam mengkritik pemerintah. Dicabutnya larangan ekspresi budaya Tionghoa oleh Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid menandakan bahwa prinsip Demokrasi Pancasila masih diminati oleh bangsa ini. Namun di sisi lain, era reformasi juga membawa dilema untuk bangsa ini. Salah satunya adalah karena kebebasan berpendapat kerap disalahgunakan sebagai penegasan terhadap identitas kelompok tertentu atas nama mayoritas. Hal tersebut tentunya menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa ini dan secara potensial ini dapat mencederai hakikat Demokrasi Pancasila. Sebagai contohnya, banyak kita temukan konflik berbasis perbedaan agama dan budaya terjadi di masyarakat, maraknya ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas, serta bermunculannya ideologi intoleran dan kejahatan terorisme. Di level pemerintahan dan politik, kondisi demokrasi di Indonesia, khususnya dari aspek supremasi hukum, juga cukup mengkhawatirkan. Salah satunya bisa kita soroti dari banyaknya tindakan pelanggaran HAM, minimnya pelibatan aspirasi publik terhadap Rancangan berbagai Undang-Undang seperti Revisi UU KPK, RKUHP, keberadaan UU ITE yang menyulitkan pejuang HAM, beberapa penerbitan Perpu yang tidak dilandaskan pada kajian yang objektif dan masih banyak lagi. Hal tersebut sangat ironis karena kedaulatan ada di tangan rakyat dan partisipasi rakyat adalah hal yang mutlak sekaligus kunci dari demokrasi itu sendiri. Selain itu, jika kita melihat situasi politik belakangan ini, banyak politikus yang memanfaatkan isu-isu SARA untuk saling menyerang lawan politik mereka demi mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Oleh karena itu, beberapa contoh di atas berpotensi mencederai Demokrasi Pancasila dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Kita seakan lupa bahwa negeri ini menjadi kuat karena dibangun dari perbedaan. Bagaimana seharusnya demokrasi dijalankan secara ideal? Lalu, bagaimana kita menjaga Demokrasi Pancasila agar tetap lestari sebagai prinsip bernegara dan bermasyarakat? Sebagai bangsa demokratis, negara harus mengakomodasi aspirasi atau suara rakyat (khususnya kaum minoritas) karena dalam sistem demokrasi rakyat memegang kekuasaan penuh atas pemerintahan yang dijamin secara konstitusional. Oleh karena itu, sebagai upaya menjalankan demokrasi yang bebas, adil, dan jujur, penentuan pemimpin harus dilakukan melalui pemilihan umum yang melibatkan penuh asprirasi rakyat, atau kata kuncinya adalah legitimasi. Dengan kata lain, legitimasi merupakan salah satu tolok ukur apakah prinsip demokrasi dijalankan dengan sebaik-baiknya atau tidak karena legitimasi merupakan representasi dari suara rakyat yang seharusnya dijadikan referensi utama oleh negara dalam menentukan pemimpin. Musyawarah untuk mencapai mufakat yang merupakan prinsip utama demokrasi juga harus dilakukan secara bertanggung-jawab karena dengan cara inilah rakyat dapat menentukan harapan bersama dengan tetap menjaga harmoni dan stabilitas sosial-politik. Selain itu, di lingkup sosial, literasi masyarakat tentang prinsip dan hakikat demokrasi juga harus disuarakan. Media massa dan negara melalui sektor pendidikan harus memberikan pendidikan politik dan demokrasi yang baik supaya kebebasan berpendapat dapat diutarakan dengan kritis, santun, dan bertanggungjawab. Satu hal yang terpenting dari penerapan demokrasi yang kita jalankan harus bermuara pada kemanusiaan karena secara filosofis prinsip demokrasi adalah merangkul dan mengakomodasi suara rakyat baik mayoritas maupun minoritas demi terciptanya suatu masyarakat yang adil, makmur, dan beradab. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tantangan Demokrasi di Indonesia", https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/12/102904765/tantangan-demokrasi-di-indonesia?page=all#page2. Editor : Heru Margianto
Hampir 15 tahun sesudah Orde Baru berlalu, sebagian besar Orde Reformasi dinilai gagal. Indonesia berhasil mewujudkan struktur-struktur demokratis, pelanggaran hak-hak asasi manusia sangat berkurang, perekonomian menunjukkan kemajuan, namun tujuan untuk memberantas KKN “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme†gagal. Bahkan Indonesia, dalam pandangan Prof. Dr. Franz Magnis Suseno bak situasi tidak menentu. Penilaian luar negeri memang memberi kesan Indonesia lebih positif daripada negatif, Indonesia diterima dalam Kelompok 20 dan dipuji sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia. “Namun kita yang ada didalam tahu bahwa tidak semuanya yang berkilat adalah bagus, bahwa yang borok semakin menjadi kenyataan. Republik ini diguncang krisis-krisis kecil dan skandal-skandal, tak ada dobrakan apapun yang sungguh dapat dibanggakan, pertumbuhan ekonomis untuk sebagian besar hanya karena kita menjual hasil bumi, bukan karena kita menjual perindustrian dan efisiensi kerja yang meningkat,†ujar franz Magnis, di Balai Senat UGM, Sabtu (23/20) saat menjadi pembicara pada Lokakarya Refleksi Kebangsaan Kembali ke Jati Diri Manusia Indonesia: Tantangan dan Peluang, yang digelar MGB UGM. Keberhasilan-keberhasilan tersebut, karena sebagian besar hanya karena Indonesia menjadi juara dunia ekspor minyak sawit bukan dalam hal ekspor udang. Indonesia juga juara dunia dalam menghancurkan hutan rimba dan hutan bakau. “Suasana tidak puas, tidak menentu ini mengingatkan kita akan situasi di tahun 1955, dimana orang tidak puas dengan pemerintahan pasca Pemilu, yang akhirnya Sukarno, presiden waktu itu mematikan demokrasi dan mempermaklumkan 'demokrasi terpimpin yang berakhir dengan kehancuran ekonomi dan tragedi 1965-1966,' paparnya. Kata Franz Magnis Suseno, sekurang-kurangnya empat ancaman serius bisa membawa Indonesia pada kehancuran demokrasi saat ini. Keempat ancaman tersebut adalah kegagalan otonomi daerah, ketidakadilan menciptakan keadilan sosial, semakin bebas merajalelanya ideologi agamis radikalis, fundamentalis, ekstremis, serta tenggelamnya kelas politik dalam balutan money poltics dan korupsi. Prof. Ir. Rinaldy Dalimi, M.Sc., Ph.D menyoroti perkembangan kondisi bangsa dan martabat manusia Indonesia dalam perspektif kedaulatan teknologi menyatakan sebagai negara yang banyak menggunakan teknologi negara lain, Indonesia rentan dan menjadi tergantung pada negara lain dalam pemanfaatan teknologi. Baik ketergantungan jangka pendek, dari pengoperasian teknologi, tidak memiliki keahlian, maupun ketergantungan jangka panjang seperti pemeliharaan, perbaikan, suku cadang dan bahan baku. “Ketergantungan bukan saja dari sisi teknologi, tetapi juga persyaratan-persyaratan yang diminta oleh negara yang memiliki teknologi kepada pemerintah Indonesia saat terjadi kontrak jual-beli,†katanya. Menurut Rinaldy beberapa penyebab yang dapat menimbulkan ketergantungan kepada negara lain akibat penerapan dan penggunaan peralatan teknologi adalah teknologi yang dipergunakan atau dibeli meruoakan teknologi tinggi yang belum dikuasai. Faktor lain tidak memiliki suku cadang, penggunaan teknologi tertentu namun Indonesia belum memiliki bahan baku dan kerjasama yang mensyaratkan harus menggunakan teknologi negara lain. (Humas UGM/ agung) |