Jelaskan hubungan antara tekanan parsial oksigen dengan hemoglobin dalam darah

Farmakologi terapi oksigen adalah sebagai suplementasi oksigen yang digunakan secara klinis untuk mencegah atau mengoreksi hipoksemia dan hipoksia jaringan. Oksigen merupakan gas tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa dengan kadar di atmosfer sebanyak 21%. Pada terapi oksigen, dilakukan administrasi oksigen dalam bentuk inhalasi dengan konsentrasi yang lebih besar dibandingkan konsentrasi oksigen di udara bebas.[4,7]

Farmakodinamik

Terapi oksigen dilakukan untuk meningkatkan oksigenasi seluler yang efektif. Oksigen sangat penting dalam pembentukan ATP melalui fosforilasi oksidatif. Oleh karenanya, oksigen harus dikirim secara adekuat ke semua sel yang aktif secara metabolik dalam tubuh. Dalam kondisi hipoksia atau hipoksemia, kerusakan jaringan yang ireversibel dapat terjadi dengan cepat.[8]

Hipoksia dapat terjadi akibat gangguan kapasitas pembawa oksigen darah seperti pada anemia, gangguan pelepasan oksigen seperti keracunan karbon monoksida, atau dari berkurangnya suplai darah seperti pada kondisi syok hemoragik. Sebagian besar oksigen dalam darah terikat pada hemoglobin di dalam sel darah merah, sedangkan sebagian kecil oksigen terlarut dalam plasma. Pengaturan pelepasan oksigen dari hemoglobin ke jaringan target dikendalikan oleh beberapa faktor seperti gradien konsentrasi oksigen, suhu, pH, dan konsentrasi senyawa 2,3-bifosfogliserat.[3,4,7,8]

Oksigen dari udara inspirasi akan masuk ke pembuluh darah dan didistribusikan ke jaringan. Kadar oksigen yang rendah dalam darah akan dideteksi oleh badan karotis, kemudian sebagai akibatnya ventilasi akan ditingkatkan. Terapi oksigen akan sangat efektif pada pasien dengan hipoksemia akibat insufisiensi ambilan oksigen di paru namun kapasitas darah mengangkut oksigen masih baik. Sebaliknya, terapi oksigen kurang efektif pada hipoksemia yang disebabkan oleh anemia atau kemampuan darah membawa oksigen berkurang.[1,2,4,6,7]

Oksigen, Hemoglobin, dan Saturasi Oksigen

Kebutuhan basal oksigen manusia adalah 250ml/menit/1.8m2 area tubuh. Dalam kondisi normal, udara di alveolar mengandung 14% oksigen dan memiliki tekanan 105 mmHg. Sedangkan arteri memiliki tekanan oksigen sebesar 97 mmHg. Perbedaan tekanan inilah yang menyebabkan oksigen dapat berdifusi ke dalam darah. Sebagian besar oksigen (98%) berikatan secara reversibel dengan hemoglobin (Hb), sebagian kecil sisanya (2%) larut dalam plasma.

Satu molekul haemoglobin dapat berikatan dengan 4 molekul oksigen sehingga 1 g hemoglobin dapat mengikat hingga 1,36 ml oksigen. Untuk menentukan jumlah oksigen yang terlarut dalam plasma digunakan tekanan oksigen parsial (PaO2) dengan satuan mmHg atau kPa. Sedangkan untuk mengetahui jumlah oksigen yang terikat pada hemoglobin digunakan istilah saturasi oksigen (SO2) yang merupakan rasio antara hemoglobin yang membawa oksigen dan hemoglobin total. Baku emas untuk menentukan kadar PaO2 dan SO2 adalah dengan analisa gas darah.

Saturasi oksigen yang diukur dengan pemeriksaan analisis gas darah disebut sebagai SaO2 sedangkan bila diukur dengan menggunakan pulse oxymetry disebut sebagai SpO2. Oleh karena terdapat kondisi ekuilibrium antara kadar oksigen terlarut di plasma (PaO2) dengan oksigen terikat (SO2) berdasarkan kurva disosiasi oksigen, maka SpO2 dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi PaO2 dan mendeteksi kondisi hipoksemia.[3,7,8]

Kurva Disosiasi Oksigen

Kurva disosiasi oksigen memiliki bentuk sigmoid akibat kemampuan hemoglobin untuk berikatan dengan oksigen meningkat setelah adanya molekul pertama yang terikat. Setelah hampir penuh, peningkatan tekanan PaO2 hanya akan menyebabkan peningkatan sedikit SaO2 sehingga membentuk bagian kurva mendatar. Di sisi lain, pada saturasi di bawah 90% penurunan sedikit PaO2 akan menyebabkan penurunan SaO2 yang besar. Selain itu disosiasi oksigen juga dipengaruhi langsung oleh suhu, pH dan 2,3-difosfogliserat.

Pada kondisi normal, SaO2 pada dewasa sehat berkisar antara 95-98%. Penurunan mendadak kadar SaO2 (di bawah 80%) dapat menyebabkan gangguan fungsi mental dan meningkatkan risiko hipoksia jaringan. Oleh karena itu, disarankan agar SaO2 berada pada saturasi lebih dari 90%, dan target terapi oksigen berkisar antara 94-98%.[3,7,8]

Farmakokinetik

Terapi oksigen yang tepat guna akan mencegah kerusakan jaringan, menurunkan resistensi vaskular paru, dan meringankan beban kerja jantung. Oksigen juga dapat meningkatkan ekspresi enzim antioksidan dalam jaringan dan plasma melalui peningkatan kadar glutathione, mengurangi tingkat peroksidasi lipid, dan mencegah aktivasi neutrofil sebagai respons terhadap kerusakan endotel.[3,9,10]

Absorpsi

Oksigen masuk ke alveolus melalui udara yang diinhalasi. Absorpsi dari alveolus ke kapiler darah terjadi melalui difusi pasif akibat adanya perbedaan tekanan parsial antara udara di alveolus (PAO2) dengan tekanan udara di kapiler darah. Peningkatan konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) menyebabkan peningkatan tekanan alveolar (PAO2) dan tekanan oksigen dalam darah (PaO2) sehingga mengkompensasi permasalahan ventilasi, difusi dan ketidaksesuaian rasio ventilasi-perfusi.[1]

Distribusi

Distribusi oksigen dalam darah dilakukan oleh hemoglobin dan dipengaruhi oleh cardiac output, sehingga diperlukan hemoglobin dengan konsentrasi yang cukup, fungsi mengikat oksigen yang baik, serta fungsi jantung yang baik. Ambilan oksigen oleh darah di paru dan pelepasan oksigen di jaringan ditentukan oleh kurva disosiasi oksigen.[1,7]

Metabolisme

Ditingkat jaringan, oksigen berdifusi dari darah melalui mikrovaskulatur dan jaringan interstitial menuju ke sel. Oksigen dimetabolisme bersama dengan glukosa untuk membentuk energi, CO2, dan H2O. Metabolisme tersebut terdiri atas proses glikolisis, siklus Krebs dan fosforilasi oksidatif di mitokondria dan menghasilkan 34 ATP.[1,3]

Eliminasi

Eliminasi hasil sisa produk respirasi, yaitu CO2 dan H2O dilakukan melalui proses ekspirasi di alveolus. Selain itu, CO2 dan H2O juga membentuk H+ dan HCO3- yang diekskresikan melalui ginjal.[1,7]

Penulisan pertama: dr. Della Puspita Sari

  • Area Anggota
  • MASUK Pustakawan

navigate_beforeDetil Spesifik

Kode EksemplarNo. PanggilTipe KoleksiLokasiStatus Eksemplar
T19298FKT19298fkTesisPerpustakaan FKUITersedia

Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah merupakan komplikasi yang cukup sering pascabedah jantung terbuka. Salah satu faktor yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan otak adalah faktor oksigenasi jaringan yang terganggu. Selama periode pascabedah gangguan oksigenasi jaringan masih tidak dapat disingkirkan sebagai penyebab POCD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 pascabedah terhadap kejadian POCD pada bedah jantung terbuka di RSCM. Metode: Penelitian ini adalah kohort prospektif dilakukan di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Sebanyak 44 pasien bedah jantung terbuka elektif dilakukan uji neurokognisi pada 1 hari sebelum pembedahan dan hari ke 5 pascabedah. Subjek dinyatakan mengalami disfungsi kognitif pascabedah jika terjadi penurunan > 20% dibandingkan dengan nilai uji prabedah, pada 2 dari 3 area kognisi. Nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 diambil dari kateter arteri dan kateter vena sentral pada 6 jam dan 24 jam pascabedah. Analisis data bivariat variabel numerik menggunakan Independent T-test atau Mann-Whitney dengan SPSS 20.0. Variabel dengan nilai p < 0.25 pada analisis bivariat selanjutnya dimasukkan kedalam regresi logistik. Hasil: Terdapat 23 dari 44 subjek (52,3%) mengalami POCD. Nilai Hb 6 jam pascabedah lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD. (9,13±1,15 vs 10,61±1,10 mg/dL, nilai p < 0,001). Sama halnya dengan nilai Hb 24 jam pascabedah juga lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, nilai p < 0,001). Nilai PaO2, SaO2, dan ScvO2 tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Analisis multivariat menunjukkan nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah sebagai variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian POCD. Simpulan: Nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah memiliki hubungan dengan angka kejadian POCD pascabedah jantung terbuka. Kata Kunci: Hemoglobin; Tekanan parsial oksigen arteri; Saturasi oksigen arteri; Saturasi oksigen vena; Disfungsi kognitif pascabedah; Operasi bedah jantung Introduction. Postoperative cognitive dysfunction is a compilaction in open heart surgery. Factor that may involve is associated with impaired brain tissue oxygenation. The aim of this study is to investigate the association between postoperative value of Hb, PaO2, SaO2, and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM. Purpose: To evaluate association between postoperative value of Hb, PaO2, SaO2, and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM. Methods. This study was prospective cohort held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. We included 44 elective open heart surgery patients tested for cognitive function on 1 day before surgery and postoperative day 5. Bloods were taken in 6 hours and 24 hours after surgery to measure postoperative value of Hb, PaO2, SaO2 and ScvO2. Subjects were categorized as POCD if there was decline > 20% in postoperative neurocognitive test than preoperative. Data were compared using SPSS 20.0 software. Bivariate analysis with p-value above 0.25 were included in logistic regression. Results: There was 23 of 44 subjects (52.3%) became POCD. Hemoglobin value in 6 hours and 24 hours were significantly lower in POCD group [(9,13±1,15 vs 10,61±1,10 mg/dL, p value < 0,001) and (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, p value < 0,001)]. PaO2, SaO2, and ScvO2 were not significantly different between two groups. From multivariate analysis, it was found that hemoglobin value in 6 hours and 24 hours after surgery affect POCD in open heart surgery. Conclusion: There is an association between hemoglobin values in 6 hours and 24 hours after surgery with POCD in open heart surgery

Key-words: Hemoglobin; Arterial partial oxygen pressure; Arterial oxygen saturation; Venous oxygen saturation; Postoperative cognitive dysfunction; Cardiac surgery


Tidak tersedia versi lain


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA