Jelaskan pendapat sarjana-sarjana barat tentang datangnya islam ke nusantara

Oleh: Muhammad Farid Wajdi *)

Related Post: Islam masuk ke Nusantara saat Rasulullah SAW masih Hidup

BLOGGURU – Diawali oleh Pijnappel, seorang Profesor Bahasa Melayu di Universitas Leiden, yang mengemukakan Teori India. Menurutnya, Islam datang ke Indonesia bukan berasal dari Arab atau Persia secara langsung, tetapi berasal dari India, terutama dari pantai barat, Gujarat dan Malabar. Sebelum Islam sampai di Nusantara, banyak orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India. Dari sana, selanjutnya Islam menyebar ke Indonesia.[1]

Beberapa sejarawan/orientalis yang mengemukakan teori serupa, antara lain: Snouck Hurgonje, Moquette, Fatimi, dan sebagainya. Snouck Hurgonje (1857 – 1936) yang merevisi Teori dari Pijnappel, mengemukakan bahwa  setelah Islam memperoleh pijakan yang kuat di kota-kota pelabuhan India Selatan; wilayah Malabar dan Coromandel, sejumlah Muslim Dhaka (Deccan) banyak yang hidup di sana sebagai perantara dalam perdagangan antara Timur Tengah dan Nusantara – datang di Kepulauan Melayu sebagai para penyebar Islam pertama.

Snouck Hurgronje berteori bahwa mereka diikuti oleh Orang-orang Arab, terutama yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dengan memakai gelar Sayyid atau Syarif, yang menjalankan dakwah Islam, baik sebagai para ustad maupun sultan.[2] Snouck Hurgronje beralasan Islam di Nusantara dari Dhaka (Deccan) adalah adanya kesamaan tentang paham Syafi’iyah yang kini masih berlaku di Pantai Coromandel. Demikian pula pengaruh Syi’ah yang masih meninggalkan sedikit jejaknya di Jawa dan Sumatera, yang dahulunya mempunyai pengaruh kuat sebagaimana kini berlaku di India. Selain itu, dia berpendapat bahwa abad ke-12 merupakan waktu yang paling mungkin bagi saat paling awal islamisasi di kepulauan Melayu – Nusantara.[3]

Mengambil sudut pandang berbeda, sejarawan lain asal Belanda, J.P Moquette (1856 – 1927) menyimpulkan bahwa asal usul Islam di Nusantara adalah Gujarat, India berdasarkan pada pengamatan Moquette terhadap batu nisan di Pasai yang berangka 17 Dzulhijjah 831 H/27 September 1428 M, yang identik dengan batu nisan yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (822 H/1419 M) di Gresik, Jawa Timur saat ini.

J.P. Moquette lebih jauh menyatakan bahwa corak batu nisan yang ada di Pasai dan Gresik sama dengan yang ditemukan di Cambay, Gujarat. Dia berspekulasi bahwa dari penemuan-penemuan itu batu nisan Gujarat tidak hanya diproduksi lokal, tetapi juga untuk pasar luar negeri termasuk di Sumatera dan Jawa. Oleh karena itu, berdasarkan logika linear, Moquette menyimpulkan bahwa karena mengambil batu nissan dari Gujarat, orang-orang Melayu – Indonesia juga mengambil Islam dari wilayah tersebut.[4]

Dalam buku Potret Islam Jawa[5], disebutkan bahwa dasar dari Teori Gujarat adalah :

  1. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara;
  2. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
  3. Adanya batu nisan Sultan Samudera Pasai yaitu Malik Al-Saleh tahun 1297 M yang bercorak khas Gujarat.

Teori Gujarat atau teori batu nisan yang dikemukakan Moquette memang mendapat banyak dukungan dari sejarawan barat lainnya, seperti Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Scriekke, dan Hall. Namun ada juga sebagian sejarawan yang tidak sependapat, seperti Fatimi dengan teori Bengal-nya (Bengal, sekarang Bangladesh) dan Morrison dengan bantahannya terhadap teori yang dikemukakan Moquette.

Marrison membantah teori tersebut dengan menunjukan kenyataan bahwa selama masa islamisasi Samudera Pasai, ketika penguasa Muslim pertamanya meninggal pada 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu yang menunjukkan sikap bermusuhan terhadap Orang-orang muslim. Baru pada Tahun 699 H/1298 M wilayah Cambay dikuasai oleh Kaum Muslimin.

Jika Gujarat merupakan pusat para juru dakwah Islam dalam melakukan perjalanan menuju Kepulauan Melayu – Indonesia, maka Islam pasti telah tegak dan tumbuh subur di Gujarat sebelum kematian Malik Al-Shahih, persisnya, sebelum 698 H/1297 M. Morrison lebih jauh mencatat, bahwa meskipun kaum Muslim menyerang Gujarat beberapa kali pada 415 H/1024 M, 574 H/1178 M, dan 695 H/1197 H, para raja Hindu mampu mempertahankan kekuasaan di sana sampai 698 H/1297 M.

Kesimpulannya, Morrison mengemukakan teorinya bahwa Islam diperkenalkan ke Kepulauan Melayu – Indonesia oleh para juru dakwah Muslim dari Coromandel pada akhir Abad  XIII.[6] Pandangan Morrison tersebut mendukung pendapat yang dipegang Thomas W Arnold (1864 – 1930), yang mengatakan bahwa Islam di bawa ke Indonesia antara lain berasal dari Coromandel dan Malabar. Teori ini didasarkan didasarkan pada argumen adanya persamaan Mazhab Fiqh di kedua wilayah tersebut.

Selain itu, perlu diketahui, bahwa Coromandel dan Malabar – menurut Arnold – bukanlah satu-satunya tempat Islam dibawa. Islam di Indonesia juga dibawa oleh para pedagang dari Arabia. Para pedagang Arab ini terlibat aktif dalam penyebaran Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak awal Abad VII dan VIII M. Asumsi ini didasarkan pada Sumber-sumber China yang menyebutkan bahwa menjelang perempatan ketika Abad  VII M, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera. Bahkan beberapa orang Arab ini telah melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi yang kemudian membentuk inti sebuah komunitas muslim yang para anggotanya telah memeluk Islam.[7] Dengan demikian muncullah teori baru dalam proses masuknya Islam di Indonesia, yaitu Teori Arab.

Teori Arab tersebut, semula dikemukakan oleh Crawfurd (1783 – 1868) yang mengatakan bahwa Islam dikenalkan pada masyarakat di Nusantara langsung dari tanah Arab, meskipun hubungan Melayu – Nusantara  dengan umat Islam di pesisir Timur India juga merupakan faktor penting. Dengan sedikit pengembangan oleh Keyzer yang  berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Mesir, dengan didasarkan pada persamaan Mazhab Syafi’i. Hal senada juga dikemukakan oleh Niemann dan de Hollander, dengan sedikit revisi, yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Hadhramaut, Yaman. Sementara itu, P.J Veth (1814 – 1895) berpandangan bahwa hanya orang-orang Arab yang melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi yang berperan dalam penyebaran Islam di pemukiman baru mereka di berbagai wilayah Indonesia saat ini.[8]

Selain itu, ada juga teori China yang dianut oleh sarjana barat, H.J. de Graaf yang menyunting beberapa literatur Jawa Klasik (Catatan Tahunan Melayu), yang mana memperlihatkan peranan Orang-orang China dalam pengembangan Islam di Nusantara. Dalam tulisan itu, disebutkan bahwa tokoh-tokoh besar semacam Sunan Ampel (Raden Rahmat/Bong Swi Hoo) dan Raja Demak (Raden Patah/Jin Bun) merupakan Orang-orang keturunan China.[9]

Dari beberapa teori yang telah dikemukakan, pada dasarnya sebagian besar ahli Barat menganut teori yang menyatakan bahwa pembawa atau juru dakwah pertama Islam di Nusantara  adalah para pedagang Muslim yang membawa Islam bersama-sama dengan barang dagangan mereka. Sebuah elaborasi dari teori ini menyatakan bahwa para pedagang muslim itu melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi. Terbentuknya keluarga-keluarga muslim yang merupakan nukleus komunitas Muslim selanjutnya memainkan peranan besar dalam menyebarkan Islam. Sejumlah pedagang itu juga diyakini menikah dengan keluarga kerajaan yang memungkinkan mereka atau keturunan mereka pada akhirnya memperoleh kekuasaan politik yang berguna untuk menyebarkan Islam.[10]

Referensi:

[1] Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 32

[2]Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: MIZAN, 2002), hlm. 24-25

[3] Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, hlm. 33

[4]Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, hlm. 25

[5]Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013), hlm. 21

[6]Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, hlm. 26

[7]Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, hlm. 35

[8]Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, hlm. 28

[9]Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, hlm. 38

[10]Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, hlm. 31

(* Muhammad Farid Wajdi, S.H.I., M.M., Guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di Ponpes Modern Putri IMMIM Minasatene-Pangkep

Bukti menguatkan Islam datang ke Nusantara sejak masa Rasulullah.

Antara/Irwansyah Putra

Pelajar melintas di depan Masjid Raya Baiturrahman saat mengikuti pawai keliling kota di Banda Aceh, Aceh, Selasa (30/4/2019).

Rep: Iit Septyaningsih Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Banyak orang meyakini, Islam mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-14 Masehi, dibawa para pedagang dari Gujarat, India. Teori itu pun tertulis di berbagai buku sejarah.  

Baca Juga

Teori yang dibawa seorang orientalis Belanda bernama Snouck Hurgronje itu tidak sepenuhnya tepat. Pasalnya, sejumlah pakar sejarah dan arkeolog membuktikan, Islam sudah masuk ke Nusantara sejak Rasulullah SAW masih hidup.  

Arkeolog dari Australia National University, Peter Bellwood, menemukan bukti-bukti yang menunjukkan telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Indonesia, dan Arab, sebelum abad kelima masehi. Pada tahun ini Rasulullah belum lahir.   

Bellwood menyebutkan, beberapa jalur perdagangan utama sudah berkembang sehingga dapat menghubungkan Nusantara dengan Cina. Hal itu dibuktikan dengan adanya temuan tembikar Cina dan benda berbahan perunggu dari zaman Dinasti Han di Selatan Sumatra serta Jawa Timur. 

Sejarawan GR Tibbetts turut mengakui keberadaan jalur perdagangan utama itu. Dia kemudian meneliti lebih dalam mengenai perdagangan yang terjadi antara pedagang asal Arab dengan pedagang dari kawasan Asia Tenggara sebelum Nabi Muhammad menyebarkan Islam. 

Dirinya menemukan bukti-bukti adanya kontak perniagaan antara Jazirah Arab dengan Nusantara kala itu. Tibbets menulis, perdagangan terjadi karena kepulauan Indonesia menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke Cina sejak abad kelima Masehi. Maka, peta perdagangan utama di Selatan saat itu meliputi Arab-Nusantara-Cina. 

Kemudian sekitar 625 M atau 15 tahun setelah Rasulullah menerima Wahyu pertama, di sebuah pesisir pantai Sumatra sudah ada perkampungan Arab Muslim. Waktu itu masih dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya.  

Di perkampungan tersebut banyak orang Arab tinggal. Mereka menikahi perempuan-perempuan lokal, dan beranak pinak di sana.   

Tempat belajar Alquran dan Islam yang merupakan cikal bakal lahirnya madrasah dan pesantren pun didirikan di perkampungan itu. Tempat tersebut dianggap pula sebagai rumah ibadah atau masjid.  

Profesor Hamka memperkuat temuan di atas dengan menyebut seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada 674 M. 

Hamka mengatakan, pengembara itu menemukan satu kelompok bangsa Arab yang mendirikan perkampungan sekaligus bermukim di pesisir barat Sumatra.  

Dijelaskan, kampung bernama Barus itu terletak di antara Kota Singkil dan Sibolga atau sekitar 414 kilometer dari Medan. Pada masa Sriwijaya, Kota Barus masuk dalam wilayahnya.  

Hanya saja setelah Sriwijaya mengalami kemunduran lalu digantikan Kerajaan Aceh Darussalam, Barus masuk ke wilayah Aceh. Kabarnya para pedagang Arab hidup berkecukupan serta memiliki kedudukan baik di Barus.   

Menurut Prof Hamka, penemuan tersebut mengubah pandangan orang mengenai sejarah masuknya Islam ke Tanah Air. Penemuan ini, kata dia, sudah dipastikan pula kebenarannya oleh para sejarawan dunia Islam di Princetown University di Amerika.  

Jelaskan pendapat sarjana-sarjana barat tentang datangnya islam ke nusantara

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...