Jelaskan peranan para ulama dalam menyebarkan agama dan kebudayaan Islam

Penyebaran Islam di Indonesia dimulai dari bagian Barat Indonesia yaitu bagian Barat Indonesia. Bukti peninggalan sejarah penyebaran agama Islam tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Batu nisan yang paling pertama terbaca pada batu nisan tersebut terdapat tulisan tahun 475 H atau 1082 M. Ada pendapat lain menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia pertama yang memeluk agama Islam berasal dari Sumatera Barat. Pendapat tersebut dibuktikan dari laporan Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292. Marco Polo melaporkan setidaknya satu kota Muslim dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Penyebaran Islam di Indonesia juga tak terlepas dari peran para ulama dan Wali Sanga atau sembilan wali yang memiliki andil yang cukup besar dalam penyebaran Islam di Indonesia. Para Wali Sanga tersebut menyebarkan agama Islam dengan cara berdakwah bahkan hingga menyelipkan ajaran-ajaran Islam dalam pertunjukan kebudayaan seperti pertunjukan wayang.

Para ulama/ kyai dan Wali Sanga mulai mendirikan pesantren atau sekolah sebagai lembaga pendidikan bagi pribumi. Sekolah yang didirikan ini umumnya memiliki kurikulum islam yang mirip dengan pendidikan di Timur Tengah atau Arab. Sekolah menjadi sarana penyebaran Islam yang penting. Semakin terkenalnya ulama/ kyai yang mendirikan pesantren tersebut, maka semakin berpengaruh pesantren tersebut di tengah masyarakat sekitar. Sehingga, ajaran Islam dapat menyentuh berbagai kalangan di masyarakat.

Dengan demikian, ulama memiliki  peran penting dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia. Di samping itu, lembaga pendidikan menjadi sarana pendukung persebaran agama Islam di Indonesia. 

Penguasa dan kadi di Banten abad 16. (The Sultanate of Banten).

PADA masa jaya kerajaan-kerajaan Islam, peran ulama menonjol sebagai bagian dari pejabat elite. Fungsinya memperkokoh kedudukan pemimpin yang duduk di singgasana. 

Di Asia Tenggara, apalagi Nusantara, hubungan erat raja dan ulama bukan hal yang aneh. Contohnya di Kerajaan Samudera Pasai. 

Ayang Utriza Yakin dalam Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX M menulis, di Samudera Pasai, pemerintah Islam menunjuk ulama yang punya kemampuan mumpuni sebagai mufti resmi. Itu berdasarkan keterangan Ibnu Batutah yang pernah tinggal selama 15 hari di Samudera Pasai pada 1345. Dalam catatannya, al-Rihlat, Batutah menyebut fungsi mufti sangat penting dalam kesultanan. Sang mufti biasanya duduk dalam ruang pertemuan bersama dengan sekretaris, para pemimpin tentara, komandan, dan pembesar kerajaan.

Advertising

Advertising

Sistem itu, kata Ayang, agaknya dibawa dari kebiasaan di Kesultanan Perlak (Peureulak). Kerajaan Islam di Aceh itu punya majelis fatwa yang dipimpin seorang mufti. Ia menangani persoalan hukum agama. Jabatannya itu di atas kementerian kehakiman.

“Sistem itu berlanjut hingga ke masa pembentukan Kesultanan Samudera Pasai,” kata dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu.

Gambaran jelas keberadaan ulama di tengah politik kerajaan muncul pada abad 16. Salah satunya Hamzah Fansuri, ulama Melayu Nusantara yang peninggalannya relatif lengkap mencakup biografi dan karya keislaman. Selain itu, ulama terkemuka yang meninggalkan karya monumental antara lain Shamsuddin al-Sumaterani (1693), Nuruddin ar-Raniri (1658), Abdul Rau’f al-Sinkili (1693), dan Yusuf al-Makassari. Pada abad 18 muncul Abd. Samad al-Falimbani dan Syekh Daud al-Fatani.

Dosen sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jajat Burhanudin menjelaskan, kehadiran ulama Melayu Nusantara sebagai bagian dari elite kerajaan lebih memperlihatkan gejala kota. “Mereka menjadi satu kelompok sosial yang termasuk elite kota dengan sejumlah keistimewaan karena pengetahuannya di bidang ilmu keislaman,” kata Jajat.

Dalam bukunya, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, Jajat menulis, para ulama senantiasa di samping raja untuk memberi nasihat spiritual sekaligus memberi legitimasi politik di tengah rakyatnya yang beralih menjadi muslim.

Kadi

Dalam bidang hukum, ulama memegang peran sentral dalam membuat regulasi dan menentukan kehidupan keagamaan umat Islam. Mereka sebagai kadi atau penghulu di Jawa.

Lembaga Kadi makin mapan pada abad 17 di Kerajaan Aceh. Tak hanya memberi legitimasi dan nasihat kepada raja seperti di Kerajaan Malaka, para kadi juga menjalankan hukum Islam di kerajaan. Kadi di Aceh mulai berdiri pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Kerajaan Aceh juga memiliki lembaga Syaikhul Islam yang berada langsung di bawah raja. Lembaga ini mempengaruhi kebijakan raja dalam masalah sosial dan politik.

“Orang-orang yang bertanggung jawab di lembaga ini adalah ulama Aceh terkemuka,” kata Jajat.

Informasi soal lembaga itu, salah satunya, didapatkan lewat catatan perjalanan perwakilan khusus Inggris ke Aceh pada 1602. Sir James Lancaster, menggambarkan Hamzah Fansuri, Syaikhul Islam waktu itu, sebagai uskup agung. Dia diangkat raja untuk memimpin perundingan damai dan persahabatan antara Aceh dan Inggris.

Jajat mencatat, Nuruddin ar-Raniri sempat pula mengepalai Syaikhul Islam. Dia pernah menengahi protes keras Belanda atas regulasi perdagangan kerajaan yang menguntungkan pedagang Gujarat. Dengan otoritasnya itu, dia berhasil meyakinkan raja, Safiyyatuddin (1641-1675), untuk menarik regulasi itu.

“Aceh merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki lembaga resmi ulama. Raja-rajanya memberi ulama kesempatan untuk terlibat dalam wilayah yang melampaui urusan keagamaan,” tulis Jajat.

Di Jawa, lembaga itu bisa ditemui di Kerajaan Demak. Dalam menjalankan pemerintahannya, sultan-sultan Demak dibantu para ulama. Mereka bertindak sebagai ahlulhalli walaqdi. Lembaga itu menjadi wadah permusyawaratan kerajaan yang punya hak ikut memutuskan masalah agama, kenegaraan, dan segala urusan kaum muslimin. 

Sunan Giri pernah menduduki ahlulhalli walaqdi. Diia berwenang mengesahkan dan memberi gelar sultan pada penguasa kerajaan Islam di Jawa. Dia juga menentukan garis besar politik pemerintahan dan bertanggung jawab di bidang keamanan muslim dan kerajaan Islam. Dia juga berhak mencabut kedudukan sultan bila menyimpang dari kebijakan para wali.

Legitimasi Kekuasaan

Tak hanya sebagai penasihat raja, para ulama juga menjadi penerjemah Islam ke dalam sistem budaya Indonesia. 

“Dalam tugas itu, ulama berkontribusi dalam memberi legitimasi pada budaya politik Melayu berorientasi kerajaan,” jelas Jajat. 

Karya intelektual para ulama menjadi sumber legitimasi bagi kerajaan. Salah satunya Ar-Raniri yang memiliki pandangan lebih rinci tentang hubungan ulama-raja. Lewat karyanya, Bustan us-Salatin yang ditulis sekira 1630-an dan didedikasikan kepada Iskandar Thani, dia menjabarkan cara seorang ulama neo-sufi berhadapan dengan isu politik kerajaan. 

Ar-Raniri menekankan untuk mematuhi raja sebagai sebuah kewajiban agama. Kepatuhan pada raja sama saja dengan mengikuti perintah Tuhan. 

“Dengan cara ini, para raja diberikan otoritas politik yang sah, yang harus diakui oleh umat Islam,” tulis Jajat. 

Karenanya, kata jajat, Islam telah memberi sumbangan bagi pembentukan kerajaan absolut di dunia Melayu-Indonesia prakolonial. Semakin mapan ulama dalam elite kerajaan, makin mantap Islam sebagai ideologi politik kerajaan. 

Pada periode itu, tercatat raja-raja absolut seperti Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Thani di Aceh, Sultan Agung di Mataram, dan Sultan Hasanuddin di Makassar. 

“Bisa diasumsikan sejumlah ulama juga tampil mendukung politik kerajaan absolut,” tegas Jajat.

Nama : Zahrah Nur Fakhirah Kelas : XI IPS 1

Peranan Ulama Dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara

Ulama artinya orang yang ahli dalam hal pengetahuan agama Islam. Banyak ulama yang berperan menyebarkan agama Islam di Nusantara. Ulama-ulama tersebut ada yang berasal dari negeri asing yang kedatangannuya ikut bersama para pedagang, tetapi tidak sedikit ulama dalam negeri yang ikut giat mengembangkan ajaran Islam ke seluruh pelosok nusantara. Di pulau Jawa, muncul sebuah dewan dakwah wali yang dikenal sebagai walisanga (wali sembilan). Istilah wali diletakkan kepada kepribadian dan perjuangan dakwah seseorang yang membuatnya dikasihi Allah. Selain itu, sebutan wali juga ditujukan kepada orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Adapun peranan para wali ini antara lain sebagai berikut :

1. Menjadi guru agama atau mubaligh yang bertugas menyiarkan agama Islam,        dengan cara mendirikan masjid dan pondok pesantern.


2. Penasihat raja, bahkan ada yang sekaligus menjadi raja dan ahli siasat perang.
3. Menjadi panutan masyarakat atau tokoh agama,
4. Memberi doa restu atau memimpin ibadah dan upacara.
5. Sebagai pengembang kebudayaan setempat yang disesuaikan dengan        kebudayaan Islam. Dan berikut adalah nama - nama walisanga beserta dengan perjuangannya menyebarkan islam di Indonesia : 1. Maulana Malik Ibrahim ( Sunan Gersik ) Beliau tinggal di daerah Gresik, sehingga diberi gelar Sunan Gresik. Sunan Gresik diyakini sebagai pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. la berdakwah secara intensif dan bijaksana. Sunan Gresik bukan orang Jawa, namun ia mampu mengantisipasi keadaan masyarakat yang dihadapinya dan menerapkan metode dakwah yang tepat untuk menarik simpati masyarakat terhadap Islam. Upaya menghilangkan sistem kasta dalam masyarakat pada masa itu menjadi objek dakwah Sunan Gresik . Beliau datang di Jawa Timur tahun 1379 M dan wafat tahun 1419, dimakamkan di Gresik . 2 Sunan Ampel Sunan ampel pada saat kecil mempunyai nama Raden Rahmat , berasal dari Campa . Sunan Ampel memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta (dekat Surabaya). Dengan kegiatan itu ia dikenal sebagai pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Sunan Ampel adalah seorang wali yang tidak setuju terhadap adat istiadat masyarakat Jawa pada masa itu, seperti kebiasaan mengadakan sesaji dan selamatan. perkembangan ilmu ketuhanan, keimanan, dan tasawuf. 3. Sunan Bonang Sunan Bonang merupakan putra dari Sunan Ampel , nama kecil Sunan Bonang adalah Makdum Ibrahim .  Beliau tinggal di Desa Bonang, Tuban. Sunan Bonang dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang menggemari wayang dan musik gamelan. Untuk itu ia menciptakan gending-gending yang memiliki nilai keislaman. Setiap bait lagu diselingi dengan ucapan dua kalimat syahadat (syahadatain), sehingga musik gamelan yang mengiringinya kini dikenal dengan istilah ‘sekaten’. 4. Sunan Giri Nama kecil Raden Paku, daerah penyebarannya di Jawa Timur dan di luar Jawa (Madura, Ternate, dan Tidore). Beliau dikenal sebagai ahli pendidik yang berjiwa demokrasi dengan media lagu anak-anak bertema Islam. Lagu hasil karyanya adalah ilir-ilir, Jamuran, dan Cublak-cublak Suweng, serta pencipta gending Asmaradhana dan Pocung. 5. Sunan Drajat Sunana Drajat adalah putra dari Sunan Ampel , nama kecil sunan Drajat adalah Syarifudin . Beliau tinggal di Drajat , sedayu . Hal yang paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah sosial. Ia banyak membantu yatim piatu, fakir miskin, orang sakit, dan orang sengsara. Sunan Drajat juga menggunakan media kesenian dalam berdakwah. Untuk itu ia menciptakan tembang Jawa (tembang pangkur) yang hingga kini masih digemari. 6. Sunan Gunung jati Nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. Beliau  menyebarkan Islam di daerah Jawa Barat. dan tinggal di Gunung Jati, Cirebon. la juga merupakan pendiri dinasti Kesultanan Banten yang dimulai dari putranya, Sultan Maulana Hasanuddin. Atas prakarsa Sunan Gunung Jati, dilakukanlah penyerangan ke Sunda Kelapa pada 1527 di bawah pimpinan Fatahillah, panglima perang Kesultanan Demak. 7. Sunan Kali Jaga Sunan kalijaga bertugas menyebarkan agama Islam di daerah Demak dan sekitarnya. Sunan Kalijaga adalah wali yang sangat terkenal karena menyebarkan agama Islam melalui seni wayang kulit. Caranya dengan mengadakan pertunjukkan, sambil diisi dakwah. Nama asli Sunan Kalijaga adalah Raden Mas Said. 8.  Sunan Kudus Nama kecil Sunan Kudus adalah  Ja’far Shodiq, beliau terkenal sebagai wali yang pandai ilmu Tauhid, Usul fiqih, Hadis, dan sastra, makanya beliau mendapat gelar Walliyyulilmi. Karyanya yang terkenal adalah gending Maskumambang dan Mijil. Menara Masjid Kudus yang mirip candi adalah hasil peninggalannya. 9. Sunan Muria Sunan Muria memiliki nama asli yaitu Umar Said . Beliau tinggal di kaki Gunung Muria. Nama asli Sunan Muria adalah Raden Said atau Raden Prawoto. la adalah putra Sunan Kalijaga. Sunan Muria menggunakan kesenian sebagai sarana berdakwah. Dua tembang yang diciptakannya dan sangat terkenal adalah sinom dan kinanti.

Jelaskan peranan para ulama dalam menyebarkan agama dan kebudayaan Islam

Selain di lakukan oleh para wali sanga islam di sebarkan oleh ulama seperti Sunan Bayat , Syekh Betong , Sunan Sendang Duwur dan lain - lain . Di luar jawa penyebarab islam di lakukan oleh : 1. Dato’ri Bandang, ulama di daerah Gowa, Makassar, Sulawesi Selatan. 2. Dato’ Sulaiman, ulama di Sulawesi Tengah dan Utara. 3. Tuan Tunggang Parang , ulama dari Kalimantan Timur . 4. Penghulu Demak , ulama dari Banjar ( Kalimantan Selatan )

Tugas Sejarah Peminatan

SMAN 1 BOJONGGEDE

Sumber :

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://ipsterkini.blogspot.com/2016/08/peranan-para-pedagang-dan-ulama-dalam.html&ved=2ahUKEwjC_pvJj9_dAhUIr48KHV3gDDkQFjALegQIBRAB&usg=AOvVaw12kjHA-jNzGqMeS_yjsmZP

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.websejarah.com/2015/11/peranan-ulama-proses-awal-perkembangan-islam-di-indonesia.html&ved=2ahUKEwjC_pvJj9_dAhUIr48KHV3gDDkQFjAEegQICBAB&usg=AOvVaw3yHEvU2luxY4Ycj6j5cC4_

https://www.google.com/url?sa=i&source=images&cd=&ved=2ahUKEwiWtMr5l9_dAhWVfysKHZLTAcgQjhx6BAgBEAI&url=https%3A%2F%2Fkisahteladan.web.id%2Fkisah-wali-songo%2Fkisah-kisah-wali-songo%2F&psig=AOvVaw0YmCtgUKjtbaz5E3eIsIs3&ust=1538275225086014