Jelaskan perbedaan nu sebagai jamiyah diniyah dan jamiyah ijtimaiyah

Apakah kamu lagi mencari jawaban dari pertanyaan NU sebagai jamiyah diniyah ijtimaiyah. Arti ijtimaiyah adalah?

Berikut pilihan jawabannya:

  1. keagamaan
  2. kemaslahatan
  3. kemasyarakatan
  4. kepemudaaan

Kunci jawabannya adalah: C. kemasyarakatan.

Dilansir dari Ensiklopedia, NU sebagai jamiyah diniyah ijtimaiyah. Arti ijtimaiyah adalahnu sebagai jamiyah diniyah ijtimaiyah. arti ijtimaiyah adalah kemasyarakatan.

Klik Gambar Untuk Mendapatkannya!!

Penjelasan

Kenapa jawabanya bukan A. keagamaan? Nah ini nih masalahnya, setelah saya tadi mencari informasi, ternyata jawaban ini lebih tepat untuk pertanyaan yang lain.

Kenapa nggak B. kemaslahatan? Kalau kamu mau mendaptkan nilai nol bisa milih jawabannya ini, hehehe.

Kenapa jawabanya C. kemasyarakatan? Hal tersebut sudah tertulis secara jelas pada buku pelajaran, dan juga bisa kamu temukan di internet

Terus jawaban yang D. kepemudaaan kenapa salah? Karena menurut saya pribadi jawaban ini sudah keluar dari topik yang ditanyakan.

Kesimpulan

Jadi disini sudah bisa kamu simpulkan ya, jawaban yang benar adalah C. kemasyarakatan.

~Sebuah Refleksi Singkat tentang Esensi NU[1]

Terus terang penulis hingga detik ini belum bisa menyimpulkan dengan gamblang pemetaan pemikiran dari karya-karya ilmiah dan reflektif tentang NU dan ke-NU-an. Alasan mendasarnya klasik, yaitu keterbatasan waktu, juga referensi. Tidak banyak karya ke-NU-an yang bisa penulis telaah kini. Masisir secara umum nampaknya kekurangan akses untuk mengoleksi segala hal yang berkaitan dengan NU, walaupun mereka secara kultural atau struktural berasal dari NU. Tidak hanya NU saya kira, akses ke wawasan ke-Indonesia-an secara umum di sini bisa juga dibilang kurang—dari sudut pandang materiil, tentu saja. Saya tidak bisa mengatakan iklim ini negatif, tentu saja, karena bagaimana pun juga kita sedang di negeri orang, negeri yang punya warisan kekayaan dan keegoan peradabannya sendiri yang agung, yang bahkan dalam banyak titik sangat mempengaruhi intelektual dan dinamika sosiopolitik di Indonesia. Dan banyak tambahan peradaban dan intelektual dari sini yang kelak sangat bermanfaat bagi Indonesia. Tapi, yang ingin saya ungkapkan hanyalah kekurangan akses. Itu saja.

Rentang tahun 70-90-an, ke-NU-an merupakan tema yang sangat seksi di mata para peneliti. Dalam masa itu, banyak buku ke-NU-an ditulis, baik oleh orientalis maupun pribumi Indonesia sendiri. Tapi pasca-11 September 2001, minat para orientalis beralih ke seputar jaringan radikalisme di Indonesia. Dan NU sudah tidak seksi lagi di mata mereka.[2]

Terlepas darinya, sebagai sebuah kajian ke-NU-an, buku paling menarik yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri adalah NU Studies karya Ahmad Baso. Buku ini berhasil menampilkan kajian-kajian ke-NU-an dalam bentuk diskursus, dan memang sejak awal buku ini sengaja ditulis untuk melampaui Islamic Studies ala Orientalis.[3] Terlepas dari kelebihannya, nampaknya sang penulis terlalu luruh dalam tesis-tesis Muhammad Abed al-Jabiri, seorang pemikir strukturalis ternama dari Maroko dengan tetralogi masterpiece-nya Naqd al-‘Aql al-‘Arabî, sehingga dalam sudut-sudut tertentu malah kurang menampilkan spirit esensial NU itu sendiri yang akan kita bahas dalam tulisan ini.

Bagaimana menemukan spirit esensial NU? Ini pertanyaan besar dan sulit, namun saya kira jawabannya tidak bisa didapatkan kecuali dengan cara kita ‘luruh’ dalam naungan NU sebagai objek kajian kita. Sementara objek kajian kita ini bukan entitas yang eksak, materiil, ‘benda mati’, sehingga kita bisa sangat berjarak dengannya. Lebih dari itu, objek kajian kita adalah suatu tradisi hidup yang terdiri atas komunitas yang berinteraksi dalam banyak status: status sebagai muslim, status sebagai bangsa Indonesia, dan status sebagai tonggak keberlangsungan ekonomi negara Indonesia; begitu banyak status sosial yang dalam wacana sosiologis digambarkan merupakan salah satu penyebab konflik horizontal.

Atas dasar NU sebagai tradisi yang hidup maka memahami NU dengan berjarak akan sangat keluar dari esensinya sebagai jam’iyyah dîniyyah ijtimâ’iyyah (jam’iyyah keagamaan-kesosialan); kharakteristik yang dengan bangga dikukuhi oleh NU dan selalu diperjuangkan mati-matian supaya tradisi NU yang unik tetap hidup. Gambaran ini kurang lebih akan kita dapatkan ketika kita menghadirkan kembali bayang-bayang sejarah NU masuk wilayah politik yang sangat spekulatif itu sejak Muktamar NU di Palembang 1972 untuk menegaskan diri tidak sebagai ormas, tapi sebagai parpol[4], sampai Muktamar NU ke-27 di Situbondo yang berlangsung 8-12 Desember 1984 yang menegaskan NU kembali ke Khittah 1926 dan kembali murni menjadi jam’iyyah dîniyyah ijtimâ’iyyah.[5] 14 tahun tersebut tentu saja merupakan babak yang sangat kritis dalam sejarah NU.

Proses kembalinya NU menjadi ormas bukan saja peristiwa sejarah yang tak berbias apa-apa, tapi bagi saya merupakan satu bentuk luapan esensial warga NU yang semburat keluar dan mengekspresikan keinginannya dalam bentuk sejarah—meskipun tentu saja tidak lepas total dari tarik-ulur perdebatan sosiopolitik waktu itu. Karena peristiwa-peristiwa sejarah, termasuk di dalamnya peristiwa politik, adalah peristiwa manusia yang punya kehendak bebas dan naluri yang beragam. Kesepakatan keluar politk yang hampir bisa dikatakan sebagai konsensus yang kemudian banyak disyukuri oleh para warga NU dan para petingginya itulah salah satu tanda esensial yang membedakannya dengan komunitas yang (kita tahu bersama) mula-mula sangat intens dalam pemurnian Islam, kemudian berubah ‘tiba-tiba’ menjadi partai politik dengan kesepakatan mayoritas yang lantas disyukuri sebagai kemajuan ideal bagi cita-cita besar yang didambakan. Sekali lagi kita lihat watak dasar yang terpendam dalam kesadaran tiap ormas pada gilirannya akan tampil dalam salah satu babak sejarahnya. Inilah salah satu bukti kongkret sejarah peristiwa merupakan sejarah manusia.

Dengan tidak malu-malu dan mengakui bahwa NU adalah jam’iyyah keagamaan-kesosialan, kita akan menjadi tersambung dengan peristiwa pendirian NU 88 tahun silam di bawah komando Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah. Akan kita dapatkan kejernihan watak dasar NU tersebut terutama ketika kita menelaah dengan seksama karya-karya berbahasa Arab Mbah Hasyim Asy’ari yang hampir semuanya bercorak keagamaan dan sosial,[6] yang kini sudah beredar sebagian terjemahannya. Belum lagi, fakta bahwa latar belakang pendirian NU yang berasal dari komunitas pesantren mempertegas watak dasar tersebut.

Yang menarik dan yang membuat keberagamaan dan sosial warga nahdliyyyin sangat unik dibanding semua ormas Islam di Indonesia–tidak terkecuali Muhammadiyyah yang dalam hal tertentu relatif paling dekat dengan NU dibanding, misalnya, Persis, apalagi al-Irsyad dan PKS sebagai partai-ormas—adalah kebanggaan (juga perjuangan dan pertaruhan) NU menjadi semacam penjaga corak keberislaman awal bangsa Indonesia yang dipopulerkan oleh Wali Songo; corak yang kini dengan sangat masif dan sistematis diolok-olok dan diperangi oleh kaum Islamis Salafi-Wahhabi[7]. Dengan corak awal Islam itu, NU berada di antara dua kutub yang saling berseberangan secara corak, tapi saling mengandaikan secara kenyataan: satu kutub tradisi keberislaman ala Wali Songo dan satu kutub kenyataan sejarah keberislaman ketika NU lahir dan mencoba berinteraksi dengan sejarah untuk terus hidup lestari.

Mencoba melestarikan warisan keberislaman Wali Songo bukannya tanpa risiko. Bahkan bisa dikatakan punya risiko sangat besar di hadapan tanggung jawab iman, islam, dan kebangsaan rakyat Indonesia. Belum lagi usaha mulia itu belum terimbangi dengan warisan historis yang berwujud kitab-kitab yang berisi ajaran lengkap berislam ala Wali Songo–paling tidak hingga detik ini belum ditemukan utuh. Lantas apakah usaha “nekat” NU ini menjadi sebuah proyek yang mustahil?

Akan menjadi mustahil bila memang tidak ada warisan Wali Songo yang cukup tipikal dalam menggambarkan dakwah mereka. Akan tetapi, pesantren dengan warisannya yang turun-temurun sejak Wali Songo–bahkan bentuk materiilnya terlacak jauh dalam tradisi Hindu-Buddha di Indonesia pra-Wali Songo[8]–punya apa yang disebut sebagai tradisi hidup (living tradition) yang berupa sekumpulan kearifan lokal (local wisdoms) yang terekspresikan dalam cara-cara keberislaman bangsa Indonesia yang unik sehari-hari. Oleh karena itu, terbentuknya NU merupakan salah satu langkah besar menuju keberhasilan proyek pelestarian tradisi tersebut.

Dan kita sebagai Masisir yang Nahdliyyin tentu bangga dengan usaha mulia NU ini, bukan?[]

 Husein, 8 Februari 2014

[1] Disampaikan dalam Orientasi Penerimaan Anggota Baru (OPABA) PCINU Mesir pada 8 Februari 2014.

[2] Ahmad Baso, NU Studies-Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, cet. I, hlm. 5.

[3] Ibid., hlm. 16-20. Bandingkan dengan capaian orientalis dalam: Ben Anderson, Religion and Politics in Indonesia since Independence; Mitsuo Nakamura, The Radical Traditionalism of The Nahdlatul Ulama in Indonesia: A Personal Account of the 26th National Congress, June 1979, Semarang; Greg Barton & Greg Fealy (eds.), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, 1996.       

[4] Mahrus El-Mawa, M. Imdadun Rahmat, Izzuddin Washil, 20 Tahun Perjalanan LAKPESDAM Memberdayakan Warga NU, Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005, cet. I, hlm. 6.

[6] Cucu Mbah Hasyim Asy’ari, KH. Ishomuddin Hadziq mengumpulkan, memilih, mentahqiq, dan menerbitkan karya-karya Mbahnya itu dalam satu kitab tebal berisi sekitar 15 risalah dengan judul, Irsyâd as-Sârî fî Jam’i Mushannafât asy-Syaikh Hâsyim Asy’arî Muassis al-Ma’had al-Islâmî as-Salafî Tebuireng wa Jam’iyyah Nahdlati’l-Ulamâ`, Jombang: Tebuireng, 1994, cet. I.

[7] Usaha yang tak konstruktif dalam lanskap kebangsaan itu tercermin dalam usaha penghapusan sejarah Wali Songo dengan menganggapnya hanya sebagai mitos, seperti terlihat dari buku Ensiklopedia Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve. Lihat usaha tandingannya dari salah seorang warga nahdliyyin, Agus Sunyoto, atas serangan historis tak berdasar itu dalam karya seriusnya, Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah, Depok: Pustaka IiMaN, 2012, cet. II.

[8] Agus Sunyoto, ibid., hlm. 380-382.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA