Jelaskan proses terwujudnya integrasi sosial di Aceh

Jakarta -

Integrasi sosial adalah proses penyesuaian unsur yang saling berbeda menjadi satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat. Proses ini dapat terwujud dengan adanya kesepakatan bersama terhadap nilai yang bersifat mendasar.

Kata integrasi berasal dari bahasa Latin integrate yang artinya memberi tempat dalam suatu keseluruhan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), integrasi diartikan sebagai pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Dalam konteks kelompok masyarakat, integrasi dilakukan untuk menyesuaikan perbedaan tingkah laku dalam kelompok tersebut.

Terdapat berbagai unsur yang terlibat dalam proses integrasi sosial. Dikutip dari buku Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XI oleh Kun Maryati dan Juju Suryawati, unsur-unsur yang berbeda di antaranya adalah perbedaan kedudukan sosial atau strata, ras, etnik, agama, bahasa, kebiasaan, sistem nilai, dan norma.

Antropolog Indonesia, Koentjaraningrat, mengatakan bahwa ada dua tahapan dalam proses terjadinya integrasi sosial, sebagai berikut:

1. Asimilasi

Asimilasi adalah perpaduan dua kebudayaan atau lebih dimana keduanya saling mempengaruhi sehingga memunculkan kebudayaan baru dengan meninggalkan sifat asli budayanya.

2. Akulturasi

Akulturasi menurut Koentjaraningrat adalah proses sosial yang terjadi apabila kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur kebudayaan asing, dimana lambat laun unsur tersebut akan diterima dan diserap dalam kebudayaannya sendiri tanpa mengubah sifat aslinya.

Faktor Pendorong Integrasi Sosial

Integrasi sosial dalam kehidupan dapat didorong dengan adanya toleransi hingga sikap saling terbuka dari golongan yang berkuasa. Berikut 7 faktor pendorong integrasi sosial seperti dilansir dari laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek):

1. Adanya toleransi terhadap kebudayaan yang berbeda.2. Kesempatan yang seimbang dalam bidang ekonomi.3. Adanya sikap positif terhadap kebudayaan lain.4. Adanya sikap terbuka dari golongan yang berkuasa.5. Adanya kesamaan dalam unsur-unsur kebudayaan.6. Adanya perkawinan campuran atau amalgamasi.

7. Adanya musuh bersama dari luar.

Syarat Terwujudnya Integrasi Sosial

Dalam buku Sosiologi yang disusun oleh Puline Pudjiastiti disebutkan bahwa ada tiga hal mendasar yang menjadi penyebab terjadinya integrasi sosial. Antara lain sebagai berikut:

1. Adanya konsensus atau kesepakatan bersama dari anggota masyarakat terhadap nilai kemasyarakatan yang bersifat mendasar.

2. Adanya keanggotaan ganda dimana anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota berbagai kesatuan sosial lain atau sering disebut cross cutting affiliations.

3. Adanya loyalitas ganda atau cross cutting loyalities. Kondisi ini dapat menetralkan konflik yang terjadi di tengah masyarakat.

Sementara itu, Menurut William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkoff, integrasi sosial dapat terwujud dengan adanya keberhasilan anggota masyarakat dalam mengisi kebutuhan mereka, kesepakatan bersama tentang norma dan nilai, serta pelaksanaan nilai dan norma secara konsisten.

Integrasi sosial dalam kehidupan juga dapat terwujud dengan adanya keteraturan sosial seperti pengendalian sosial dan wewenang, adat istiadat, norma hukum, prestise, dan kepemimpinan. Demikian pendapat Baso Madiong dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Hukum.

Simak Video "Warga Berbondong Saksikan Babi yang Diklaim Ngepet, Sosiolog: Gejala Perilaku Kolektif"


[Gambas:Video 20detik]
(kri/lus)

Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil menyelesaikan konflik yang selama puluhan tahun terjadi di Aceh. Pemerintah Indonesia dan petinggi Gerakan Aceh Merdeka menandatangani perjanjian Helsinki. Melalui perjanjian yang diteken pada 15 Agustus 2005 itu kedua pihak sepakat mengakhiri konflik yang selama ini terjadi di Tanah Rencong tersebut. Lahirnya perjanjian Helsinki diikuti dengan penetapan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam rangka menyelesaikan masalah atau konflik sosial di kalangan masyarakat, Pemerintahan SBY juga membentuk lembaga-lembaga dialog. Antara lain pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Presiden SBY juga memfasilitasi pembentukan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), pembentukan Komunitas Intelijen Daerah (KOMINDA) dan Forum Pembaruan Kebangsaan (FPK). Selain itu, salah satu aksi penting dalam mendukung Inpres No. 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri adalah dihasilkannya Nota Kesepahaman Bersama 10 Kementerian/Lembaga Negara. Menurut buku Pencapaian Kinerja Pembangunan KIB I (2004-2009) dan KIB II (2009-2014) yang disusun Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, semua langkah yang dilakukan SBY itu dilakukan agar terjadi kedamaian di Bumi Aceh. Proses terwujudnya MoU Helsinki sebenarnya telah dirintis sejak tahun 2000 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun proses perundingan soft power yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC) hanya melahirkan Jeda Kemanusiaan I dan II (Joint Understanding on Humanitarian Pause For Aceh), serta Moratorium Konflik yang ditandatangani pada 12 Mei 2000 di Jenewa, Swiss.Jeda Kemanusiaan berakhir pada 15 Januari 2001, namun kedamaian tak kunjung tercipta di Aceh. Konflik malah kian keras terjadi. Upaya mewujudkan Aceh yang damai kemudian diupayakan di zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Tepatnya pada 9 Desember 2002, diadakan perundingan CoHA (Cessation of Hostilities Agreement) atau Perjanjian Penghentian Permusuhan di Jenewa, Swiss. Perundingan yang juga difasilitasi HDC ini mendapat dukungan dari banyak negara, seperti Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Thailand, Denmark, Prancis, Australia, Qatar, Malaysia, Inggris, Filipina, dan Swedia. Sayang aneka perundingan yang digelar tak juga berhasil menghentikan konflik di Aceh. Barulah kemudian tanggal 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang dimediasi Crisis Management Initiative (CMI) mencapai kesepakatan damai.

(erd/nrl)

Secara umum, yang dimaksud dengan integrasi adalah proses bersatunya unsur-unsur yang berbeda di masyarakat menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam proses integrasi akan timbul suatu kehidupan yang harmonis karena adanya keselarasan dalam hidup bermasyarakat.

Adapun salah satu proses integrasi yaitu melalui asimilasi, yakni suatu proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang ada di antara individu atau kelompok dalam masyarakat. Asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama, walau terkadang bersifat emosional, dengan tujuan mencapai kesatuan (integrasi). 

Gerakan Aceh Merdeka atau yang biasa disebut dengan GAM, merupakan organisasi separatisme yang telah berdiri di Aceh sejak tahun 1976. Tujuan didirikannya GAM ini ialah agar Aceh dapat lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan membuat negara kesatuan sendiri dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam. Gerakan Aceh Merdeka juga dikenal dengan nama Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF).

Pada awalnya, GAM adalah sebuah organisasi yang diproklamirkan secara terbatas. Deklarasi GAM yang dikumandangkan oleh Hasan Tiro dilakukan secara diam-diam disebuah kamp kedua yang bertempat di bukit Cokan, Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Setahun kemudian, teks tesebut disebarluaskan dalam versi tiga bahasa; Inggris Indonesia, dan Aceh. Penyebaran naskah teks proklamasi GAM ini, terungkap ketika salah seorang anggotanya ditangkap oleh polisi dikarena pemalsuan formulir pemilu di tahun 1977. Sejak itulah, pemerintahan orde baru mengetahui tentang pergerakan bawah tanah di Aceh.
Pada awalnya, gerakan ini terdiri dari sekelompok intelektual yang merasa kecewa atas model pembangunan di Aceh. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan di bawah orang-orang Jawa. Kelompok intelektual ini berasumsi bahwa telah terjadi kolonialisasi Jawa atas masyarakat dan kekayaan alam di Aceh. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, kalangan pemuda, serta tokoh-tokoh agama di Aceh, Hasan Tiro mereproduksi gagasan anti-kolonialisasi Jawa. Gagasan-gagasan Hasan Tiro ini semakin memuncak setelah pemerintah orde baru meng-eksplorasi kekayaan gas alam dan minyak bumi di Aceh Utara sejak awal 1970-an.

Sebab lain terjadinya gerakan separatisme GAM di Aceh, di perkuat oleh dukungan yang datang dari para tokoh Darul Islam (DI) di Aceh yang belum diselesaikan secara tuntas di era orde lama. Tokoh-tokoh DI/TII yang gagal melakukan pemberontakan di Aceh, merasa bahwa dukungan mereka kepada GAM akan dapat membantu Aceh memperoleh kemerdekaannya sendiri. Munculnya kelompok GAM ditanggapi oleh pemerintahan orde baru dengan cara yang represif. GAM dipandang sebagai gerakan pengacau liar sehingga harus dibasmi. Dimasa orde baru, tidak ada toleransi bagi kaum pemberontak yang dapat menyebabkan instabilitas politik. Hampir tidak ada kebijakan orba yang mencoba untuk mengintegrasikan pihak-pihak yang memberontak, bahkan terhadap keluarga mereka sekalipun. Pendekatan militer menyebabkan terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh, seperti penghilangan orang, pembunuhan, pemerkosaan, dan penculikan. Sedangkan Hasan Tiro, sebagai ketua kelompok GAM, diasingkan di Swiss dan baru saja kembali ke tanah air pada tahun 2008 kemarin. Separatisme di Aceh justru semakin berkembang setelah tindakan represif dari pemerintahan orde baru. Dengan munculnya generasi baru yang mendukung GAM yang terdiri dari para korban Daerah Operasi Militer. Generasi ke-2 kelompok GAM ini melakukan eksodus keluar dan melakukan perjuangan dari luar Aceh, melalui Malaysia, Libya, dan Jenewa. Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, menandakan berakhirnya era orde baru. Berbagai upaya untuk meredam pemberontakan di Aceh masih terus diusahakan oleh presiden-presiden RI berikutnya. Sejak era presiden B.J. Habibie sampai dengan presiden Megawati telah mengupayakan berbagai kebijakan. Namun sayangnya kebijakan-kebijakan tidak berjalan secara efektif. Sampai akhirnya, pemerintah kembali menggunakan pendekatan militeristik untuk menyelesaikan masalah di Aceh. Pada era Abdurrahman Wahid, jalur diplomasi sudah mulai diterapkan untuk mendamaikan hubungan antara Indonesia dan Aceh. Gusdur menggunakan upaya dialog damai, yang bernama Jeda Kemanusiaan I dan II. Namun jalur ini kembali tidak efektif, karena Gusdur terpaksa turun dari kursi pemerintahan sebelum masa jabatannya usai. Pada era Megawati Soekarnoputri, pemerintah kembali menggunakan pendekatan militeristik yang membuat semakin banyaknya korban-korban sipil yang berjatuhan dengan menjadikan Aceh sebagai daerah darurat militer. Dan sekali lagi pendekatan militer membuat Indonesia menjadi semakin jauh dengan GAM. Yang akhirnya membuat masalah separatisme ini menjadi semakin berlarut-larut.

Menurut saya, Presiden harus melakukan tindakan yaitu dengan mempertemukan kedua belah pihak yang bersengket. Beliau harus melakukan pendekatan secara manusiawi supaya masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik tidak dengan cara kekerasan. Karena jika masalah ini tidak segera diselesaikan akan mengancam integrasi nasional.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA