Jelaskan tingkatan konsep makrokosmos dalam ajaran hindu budha

Makrokosmos dan mikrokosmos adalah skema Neo-Platonik Yunani kuno yang melihat pengulangan pola yang sama di setiap tingkatan kosmos, mulai dari ukuran terbesar (makrokosmos atau tingkat semesta) sampai ukuran terkecil (mikrokosmos atau tingkat sub-sub-atomik atau bahkan metafisik). Dalam sistem ini, penengahnya adalah manusia yang meringkas seluruh kosmos.

Makrokosmos/mikrokosmos adalah kata majemuk Yunani yang terdiri dari μακρο- "Makro-" dan μικρο- "Mikro-", masing-masing berarti "besar" dan "kecil", dan kata κόσμος kósmos yang berarti "tatanan" sekaligus "dunia" atau "dunia tertata".

Kini, konsep mikrokosmos didominasi oleh sosiologi untuk menyebut sekelompok kecil individu yang perilakunya sama seperti badan sosial yang lebih besar yang menyelubunginya. Suatu mikrokosmos dapat dipandang sebagai semacam epitom istimewa. Sebaliknya, makrokosmos adalah badan sosial yang terbentuk dari himpunan-himpunan kecil.

  • Kaidah antropik
  • Arkologi
  • Emerald Tablet
  • Keluarga sebagai model negara
  • Penyebab salah
  • Teori fraktal
  • Nanoekonomi
  • Rose Cross and Alchemy
  • Surat Shabda Yoga

  1. Republic, Plato, trans. By B. Jowett M.A., Vintage Books, NY. § 435, pg 151
  • Theories of Macrocosms and Microcosms in the History of Philosophy, G. P. Conger, NY, 1922, which includes a survei of critical discussions up to 1922.
  • Cosmos - an Illustrated Dimensional Journey from microcosmos to macrocosmos Diarsipkan 2008-04-12 di Wayback Machine. - dari Digital Nature Agency

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Makrokosmos_dan_mikrokosmos&oldid=18041600"

Kerajaan Majapahit (Foto: Portal Sejarah)

Beberapa kerajaan kuno di Asia Tenggara mempunyai sebuah landasan kosmogonis ketika menggambarkan kepercayaan mereka akan hubungan dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Menurut R. von Heine Geldern, seorang ahli sejarah dan arkeolog yang meneliti asal-usul kehidupan manusia Indonesia, kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia menganut kosmogonis tersebut. Dalam kepercayaan ini manusia selalu ada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan alam semesta yang dipercaya sebagai tempat tinggal Dewa. Kekuatan makrokosmos dipercaya dapat membawa kebahagiaan, kesejahteraan, dan perdamaian di dalam kehidupan manusia, termasuk di dalam menjalankan sistem kekerajaan.

Selama manusia melakukan segala kegiatannya selaras dengan pergerakan alam semesta, maka kehidupannya akan selalu terhindar dari segala bencana. Sebuah kerajaan pun dapat dianggap sebagai kosmos dalam bentuk kecil, selama kerajaan tersebut bergerak dalam kosmos yang lebih besar, yaitu makrokosmos tempat para Dewa. Kerajaan digambarkan sebagai alam semesta dan raja dianggap sebagai perwujudan dari Dewa yang mendiami alam semesta.

Menurut ajaran agama Hindu, alam terdiri dari sebuah benua sebagai pusat yang berbentuk lingkaran, dinamakan Jambudwipa. Benua itu dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan, dan dikelilingi oleh barisan pegunungan sebagai dinding pembatasnya. Pusat dari alam semesta digambarkan sebagai sebuah gunung yang berada di tengah Jambudwipa, bernama gunung Meru. Di puncak Gunung Meru terdapat kota para dewa yang dikelilingi oleh delapan dewa penjaga mata angin, disebut Lokapala. Matahari, bulan, dan bintang-bintang digambarkan mengelilingi Gunung Meru tersebut sebagai perlambangan kekuasaan atas pusat alam semesta.

Dalam ajaran agama Buddha konsep alam semesta memiliki beberapa perbedaan dengan ajaran agama Hindu, walaupun pusatnya tetap Gunung Meru yang dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan. Menurut ajaran agama Buddha, setelah daratan pegunungan sebagai dinding pembatas tempat tinggal Dewa, terdapat empat benua yang berada disetiap penjuru mata angin. Tempat manusia tinggal berada di benua sebelah selatan. Seluruh benua dilindungi oleh barisan pegunungan yang disebut dengan Cakrawala. Di puncak Meru terdapat surga bernama Sudrasana, tempat 33 Dewa tinggal, serta tempat Dewa Indra sebagai raja dari para dewa.

Konsep kosmogonis di Indonesia, tepatnya di Kerajaan Mataram Kuno, dijelaskan dalam prasasti Canggal. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Sanjaya telah menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitar Mataram. Selama Raja Sanjaya memerintah dengan berikat pinggangkan samudera dan berdada gunung-gunung, rakyat dapat tidur dengan tenang dan aman tanpa merasa takut akan bahaya. Gambaran tersebut memperlihatkan masyarakat percaya bahwa Raja Sanjaya adalah pusat alam semesta di Kerajaan Mataram sekaligus perwujudan dewa yang dikirim untuk mensejahterakan rakyat.

Sumber : Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta : Balai Pustaka.

KOMPAS.com - Candi Borobudur adalah candi Buddha terbesar di dunia yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Candi yang memiliki ketinggian 42 meter ini didirikan oleh Raja Wisnu dari Wangsa Syailendra pada 770 Masehi dan selesai pada 842 Masehi.

Bangunan yang sempat masuk dalam 7 keajaiban dunia ini ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles pada 1814, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris di Jawa.

Sejak saat itu, Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali).

Candi borobudur merupakan salah satu keajaiban dunia yang ternyata hasil akulturasi kebudayaan Buddha dengan kebudayaan asli Indonesia. Kebudayaan Indonesia tampak dari bentuk punden berundak-undak.

Candi ini berbentuk punden berundak yang terdiri dari sembilan teras bertumpuk, yang mencakup enam teras berbentuk bujur sangkar dan tiga pelataran berbentuk bundar.

Di atasnya terdapat stupa utama terbesar yang memahkotai monumen ini.

Stupa tersebut dikelilingi oleh tiga barisan 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila.

Sementara pada bagian dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief yang indah.

Candi Borobudur dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah yang menuntun manusia dari nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.

Sampai saat ini, Borobudur masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan dan setiap tahunnya dijadikan tempat untuk memeringati Trisuci Waisak oleh umat Buddha dari seluruh penjuru dunia.

Baca juga: Candi Borobudur, Bangunan Indonesia asli yang Berupa Punden Berundak

Tingkatan Candi Borobudur

Bentuk dasar bangunan Candi Borobudur berupa punden berundak dengan tiga tingkatan yang melambangkan kosmologi Buddha Mahayana.

Tiga tingkatan tersebut adalah kamadhatu (kaki candi), rupadhatu (tubuh candi), dan arupadhatu (atas candi).

Kamadhatu

Tingkatan paling bawah pada Candi Borobudur disebut dengan kamadhatu, yang menggambarkan kehidupan manusia di dunia yang penuh keburukan, nafsu, dan bergelimang dosa.

Bagian ini sebagian besar tertutup tumpukan batu yang diduga digunakan untuk memperkuat konstruksi candi.

Rupadhatu

Rupadhatu atau bagian tengah melambangkan kehidupan manusia yang telah terbebas dari hawa nafsu, namun masih terikat dengan hal-hal bersifat duniawi.

Bagian ini terdiri dari empat undak teras berbentuk persegi yang dindingnya dihiasi relief.

Sedangkan pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari kamadhatu menuju rupadhatu.

Baca juga: CIri Khas Candi Hindu dan Candi Buddha

Arupadhatu

Arupadhatu atau tingkatan atas melambangkan kehidupan religius dan spiritual tertinggi yang mengagungkan perdamaian penuh keselamatan jiwa.

Tingkatan ini menggambarkan kehidupan Sang Buddha yang telah mencapai kesempurnaan karena berani meninggalkan kehidupan dunia untuk mencapai pencerahan.

Oleh karena itu, dindingnya sama sekali tidak dihiasi relief.

Arupadhatu terdiri dari tiga tiga pelataran berbentuk bundar dan stupa paling atas yang besar.

Relief Candi Borobudur

Pada Candi Borobudur ditemukan relief-relief sangat indah yang menggambarkan kehidupan Sang Buddha Gautama.

Selain itu, terdapat relief yang menggambarkan suasana alam yang permai, perahu bercadik, bangunan tradisional nusantara, dan masih banyak lainnya.

Bahkan Borobudur diyakini memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.

Relief-relief tersebut terdapat di hampir semua tingkatan dinding candi, kecuali pada arupadhatu.

Pahatan relief pada dinding Candi Borobudur termasuk kedalam jenis seni rupa murni, yang artinya tercipta untuk dinikmati keindahan dan keunikannya saja.

Baca juga: Tokoh di Balik Kemahsyuran Candi Borobudur

2.672 panel relief yang ada di Borobudur dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni panel naratif fan dekoratif.

Sebanyak 1.460 panel naratif tersusun dalam sebelas baris yang mengelilingi monumen dengan total panjang lebih dari 3.000 meter.

Sedangkan 1.212 panel dekoratif juga disusun dalam barisa, namun dianggap sebagai relief individu.

Relief-relief tersebut dibaca sesuai arah jarum jam, atau dalam bahasa Jawa Kuna disebut mapradaksina, yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya timur.

Oleh karena itu, pembacaan cerita-cerita relief ini dimulai dan berakhir di pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya.

Adapun susunan dan pembagian relief naratif pada Candi Borobudur adalah sebagai berikut:

Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Panel
Kaki candi asli Karmawibhangga 160 panel
Tingkat I dinding Lalitawistara 120 panel
jataka/awadana 120 panel
langkan jataka/awadana 372 panel
jataka/awadana 128 panel
Tingkat II dinding Gandawyuha 128 panel
langkan jataka/awadana 100 panel
Tingkat III dinding Gandawyuha 88 panel
langkan Gandawyuha 88 panel
Tingkat IV dinding Gandawyuha 84 panel
langkan Gandawyuha 72 panel
Total 1.460 panel

Baca juga: Candi Borobudur: Candi Terbesar di Dunia